Sunteți pe pagina 1din 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang
tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga
para pakar hokum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam berijtihad tidaklah secara
acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat dalam
kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad
itu tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan
hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar hokum
Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan
menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan
cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-sunnah,
menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-
prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an
dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al-
maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg
disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam
pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah
satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam kaidah-
kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih mengetahui
macam-macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah akan dibahas dalam bab
selan jutnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Kaidah Asasi?
2. Bagaimana Macam – macam Kaidah Asasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Kaidah Asasi!
2. Mengetahui Macam – macam Kaidah Asasi!

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Asasi

Kaidah Asasi semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari
segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat
diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid
belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili.

Kaidah Asasi itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui al-Qur’an
dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah
didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum
fiqih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-
nash ahkam.

B. Al-Qawaid al - Khamsah (Lima Kaidah Asasi)

Kelima kaidah tersebut dibawah ini sangat masyhur dikalangan mazhab al-
Syafi’I khususnya dan di kalangan mazhab-mazhab lain umumnya meskipun
urutannya tidak selalu sama.

1. Kaidah yang berkaitan dengan niat


a. Teks kaidahnya

ِ َ‫األ ُ ُم ْو ُر ِب ِمق‬
‫اص ِدهَا‬

Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.

b. Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah SWT:

Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya


menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).

3
Sabda Nabi SAW:

‫ااْلَ ْع َمالُ ِبالنِبَاتِ َواِنَّ َما ِل ُك ِّل ْم ِرئٍ َمان ََوى‬


ْ ‫ِإنَّ َم‬

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan


sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”

c. Eksistensi niat

Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud


melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.

ِ‫ارنُ ِل ْل ِف ْع ِل‬ ْ َ‫ش ْيئِ ُم ْقت َِرنًا ِب ِف ْع ِل ِهأَوالق‬


ِ ‫ص ُرال ُم َق‬ ْ َ‫ق‬
َ ‫ص ُرال‬

Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah


bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-
ihram.1

ُ َ‫صدُبِالقَ ْلبِ َويَ ِجبَأ َ ْنتَ ُك ْونَال ِنيَةُ ُمق‬


ِ‫ارنَةًللت َ ْك ِبي ِْر‬ ْ َ‫الق‬

Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada


didalam hati karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat
dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad didalam
hatinya. Itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari
perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-
ihram didalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.

Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna


perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang
diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi
semata-mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir

1 Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo,
1996), h. 107-109.

4
disebuah mesjid, kemudian duduk atau tiduran dimesjid tersebut, maka
apakah dia berniat I’itikap ataukah tidak. Apabila dia berniat ihtikaf
dimesjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah ikhtikafnya.

Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan


ibadah adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal
saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.

Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:

1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.

2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun


kejahatan.

3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu


serta membedakan yang wajib dari yang sunah.

Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam)


merinci masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti
thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat, qasar
jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah
dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak,
wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perwakilan, utang-
piutang, dan akad-akad lainnya.

Diantara kekecualian kaidah diatas antara lain:

1. Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat,


sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini
tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat,
khauf, zikir dan membaca al-Qur’an kecuali apabila
membacanya dalam rangka nazar.
2. Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan,
seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan

5
lain yang dilarang karena dengan tidak melakukan perbuatan
tersebut maksudnya sudah tercapai.
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan
dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan
suatu perbuatan.2

Dikalangan mazhab Hanafi ada kaidah:

ِ‫ْلَثَ َوابَإِ َْلبِالنِيَ ِة‬

Artinya: “Tidak ada pahala kecuali niat”.

Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah yang


pertama sebelum al-umur bimaqashidiha.

Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi


cabang dari kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh
Qadhi Abd Wahab al-Baqdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat mazhab
Maliki ini bisa lebih diterima karena kaidah diatas asalnya.

ِ‫ْلَث َ َوابَ َوْلَ ِعقَابَإِْلَبِاالنِيَ ِة‬

Artinya: “Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena
niatnya”.

2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan


a. Teks kaidahnya

ِ‫اَ ْل َي ِق ْينُّلَيُزَ الُ ِبالش َِك‬

Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.

Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang


berhubungan dengan kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang
sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal
wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja

2
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 35-37.

6
untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui
wudhunya.

Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka


kepada orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak
dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan menyakinkan bahwa
orang tersebut telah melakukan kejahatan.

b. Dasar-dasar nash kaidah

Sabda Nabi SAW:

َ َ‫ش ْي ٌءأ َ ْمّلَفَّلَيَ ْخ ُر َجن َِمن َِْال َمس ِْج ِد َحت َى َي ْس َمع‬
ِ‫ص ْوتًاأَ ْويَ ِجد ِْر ْي‬ َ ‫ش ْيئًافَآ َ ْش َكلَعَلَ ْي ِهاَخ ََر َج ِم ْن ُه‬ ْ َ‫اِذَ َاو َجدَأ َ َحد ُ ُك ْم ِفيب‬
َ ‫صنِ ِه‬
‫) ًحاِ(رواهمسلمعنأبىهريرة‬

Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu


dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar
dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari
mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah).

َِ‫دَ ْع َماي ُِر ْيبُ َكإِلَى َماْلَي ُِر ْيبُك‬

Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah


kepada yang tidak meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari
Hasan bi Ali).

Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:

‫ظرأَواالدَّ ِليْل‬
َ َ‫ه َُو َماكَا َنثَا ِبتًا ِبالن‬

Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca


indra atau dengan adanya dalil”.

Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu


yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat
sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.

7
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a. Teks kaidahnya

ِ‫شقَةُتَجْ ِلبُالت َ ْي ِسي ُْر‬


َ ‫ال َم‬

Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.

b. Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah SWT:

َ ُ‫ي ُِر ْيد ُالل ُه ِب ُك ْم ْاليُس ِْر َوْلَي ُِر ْيد ُ ِب ُك ُم ْالع‬
ِ‫سر‬

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia


tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).

Sabda Nabi SAW:

‫س ْم َحةَِ(رواهالبخر‬
َ ‫)ال ِد ْينُيُس ٌْرا ُخبُال ِد ْينِإلَىالل ِهالخ ِف َيةَال‬

Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah


adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah).3

Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu


setidaknya ada tujuh macam yaitu:

1. Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka


puasa, dan meninggalkan shalat jum’at.

2. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai


air shalat fardhu sambil duduk.

3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan


hidupnya.

3
Ibid, h. 123

8
4. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu
puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan
pura-pura lupa.

5. Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena


tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka
dia tidak dikenai sanksi.

6. Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya


dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat
kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang
dibutuhkan dalam pengobatan.

7. Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya


anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk.4

c. Klasifikasi kesulitan

Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2


kategori, yaitu:

1. Kesulitan Mu’tadah

Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana


manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum
masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan
ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia
dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa
dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah ittu
menggugurkan hukum qishas.

2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah

4
A. Djazuli, op. cit, h. 56-58

9
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada
kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan
itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri
dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini
dapat diukur oleh criteria akal sehat. Syariat sendiri serta
kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini
diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).

d. Tingkatan kesulitan dalam ibadah

Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah


menjadi 3 macam, yaitu:

1. Kesulitan Adhimah

Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa


ataupun jasad manusia.

2. Kesulitan Khofifah

Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan


menggunakan muza jika sangat dingin menyentuh air.

3. Kesulitan Mutawasithah

Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan


yang ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada
persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih
rukhshah juga tidak dilarang memilihnya.5

e. Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan

Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk


keringanan dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:

1. Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)

5
Ibid, h. 126-127.

10
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah
haji dan umrah serta jihad jika ada uzur.

2. Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)

Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi


2 rakaat.

3. Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)

Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum,


mengganti berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat.

4. Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan


waktunya)

Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar


dilakukan shalat zuhur, mendahulukan zakat sebelum setahun,
mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.

5. Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)

Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan


pada waktu shalat ashar, mengakhiri puasa ramadhan bagi yang
bepergian dan yang sakit.

6. Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)

Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr


untuk keperluan berobat.

4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan


a. Teks kaidahnya
ِ‫ض َر ُريُزَ ا ُل‬
َ ‫ال‬
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.

Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan


syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak

11
kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk
merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah,
dengan cara menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya
meringankannya.

Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah


diatas:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan
kemudaratan bagi rakyat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah
(hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
- Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan
untuk menghilangkan kemudaratan/6

b. Dasar-dasar nash yang berkaitan

Firman Allah SWT:

َ‫ْل‬
ِ ‫ِهه)و‬:‫ِ(اْلعراف‬
َ ‫ض‬ ْ ِ‫ت ُ ْفس ُِر َواف‬
ِ ‫ىاْلَ ْر‬

Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi.


“. (QS. al-A’raf : 55).

Sabda Nabi SAW:

ِ‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوْل‬


َ ‫ض َر‬ َ َ‫ْل‬

Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta


membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah
dari Ibnu Abbas).

6
A. Djazuli. Op. cit, h. 67.

12
c. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat

Kaidah pertama:

ِ‫ت‬ ُ ْ‫ض ُر ْو َراتُتُبِ ْي ُح ْال َمح‬


ِ ‫ظ ْو َرا‬ َ َ‫ا‬

Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan


keharaman”.

Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi


manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.

Kaidah kedua:

‫وراتِيُقَدَ ُر ِبقَدَ ِرهَا‬ َ ‫َماأ ُ ِب ْي َعلل‬


َ ‫ض ُر‬

Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar


kedaruratannya”.

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat


adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini.
Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan
manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:

1. Darurat

2. Hajah

3. Manfaat

4. Fudu

Kaidah ketiga:

َ ‫َجازَ ِلعُذْ ٍر َب‬


‫طلَ َبزَ َوا ِل ِه َما‬

Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan


itu hilang manakala udzurnya hilang”.

13
Kaidah keempat:

ُ ‫ط ِب ْال َم ْع‬
ِ‫س ْو ِر‬ ُ ‫ا َ ْل َم ْي‬
ُ َ‫س ْو ُرْلَيُ ْسق‬

Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan


kesulitan”.

Kaidah kelima:

ِ‫اريُب ِْطلُ َحقَ ْالغَي ِْر‬ ْ ‫اَ ْ ِْل‬


َ ‫ض‬
ُ ‫ط َر‬

Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang


lain”.

Kaidah keenam:

َ ‫صلَ َحةٌقُ ِد َمدَ ْفعُ ْال َم ْف‬


‫سدَةِغَا ِلبًا‬ َ ‫ض َم ْف‬
ْ ‫سدَة ٌ َو َم‬ َ َ‫صا ِل ِعفَ ِاذَاتَع‬
َ ‫ار‬ ْ ِ‫ىم ْن َج ْلب‬
َ ‫ىال َم‬ ِ َ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِدا َ ْول‬

Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik


mashlahah dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan
mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.

Kaidah ketujuh:

َ ‫ض َر ُرْلَيُزَ الُبِال‬
ِ‫ض َر ِر‬ َ ‫اَل‬

Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan


kemudaratan yang lain”.

Kaidah kedelapan:

‫ارتِكَا ِب ْال َخفِ ِه َما‬


ْ ‫ض َر ًرا ِب‬ َ ‫سدَت َانِ ُر ْو ِع ْيا َ ْع‬
َ ‫ظ ُم َها‬ َ ‫ض َم ْف‬ َ ‫اِذَات َ َع‬
َ ‫ار‬

Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan


mana yang lebih besar mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan
mudaratnya”.

Kaidah kesembilan:

َ ‫ا َ ْل َحا َجةُ ْال ْعا َمةُا َ ِو ْالخَا‬


َ ‫صةُت َ ْن ِزلُ َمي ِْزلَةَال‬
ِِ‫ض ُر ْو َرة‬

14
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki
tempatnya darurat”.7

5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan


a. Teks kaidahnya

ٌ‫اَل َعادَة ُ ُم َح َك َم ِة‬

Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah


berlaku di masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain
termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas
dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai
tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar
kesadaran masyarakat tersebut.

b. Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah SWT:

ِ‫ف‬ ْ ‫َو َعا ِش ُر َو ُهنَ ِب‬


ِ ‫اال َم ْع ُر ْو‬

Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang


ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).

Sabda Nabi SAW:

‫سعَلَ ْي ِهعَلَى ُح ْك ِم ْال َم ْعقُ ْو ِل َو َعاد ُْوااِِلَ ْي ِه َم َرةًبَ ْعدَا ُ ْخ َرى‬


ُ ‫ا َ ْلعَادَة ُ َماا ْست َ َم َرالنَا‬

Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula
disisi Allah”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).

c. Pengertian ‘Adah atau ‘uruf

Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya


mempunyai arti yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya.
Al-Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah dengan:

7
Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, h. 153.

15
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan
manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus. Sedangkan
‘uruf adalah:

‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau


juga meninggalkan sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa
Arab antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.

Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi


wanita, setiap bulan seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara
perhitungannya ada yang menggunakan metode tamyiz dan ada juga
metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan
keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam hanafi mewajibkan
penggunaan metode adah sedang Imam Syafi’I menguatkan metode
tamyiz.

d. Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah

Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika


memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.


2) Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang
boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku
masyarakat.
3) Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an
maupun as-Sunnah
4) Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa
dan akal yang sejahtera.8
e. Kaidah yang berkaitan dengan adah

Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah


adalah sebagai berikut:

Kaidah pertama:

8
Ibid, h. 140-141.

16
‫إِ ْستِ ْع َم ُاْللنَا ِس ُح َجةٌيَ ِجبُالعَ َملُ ِب َها‬

Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah


yang wajib diamalkan”.

Kaidah kedua:

ْ ‫ط َردَتْأ َ ْو َغلَ َب‬


ِ‫ت‬ َ ‫ض‬
ْ ‫إِنَ َمات ُ ْعتَبَ ُرالعَادَةُإِذَاا‬

Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu


hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.

Kaidah ketiga:

ِ‫ال ِعب َْرة ُ ِللفَا ِلبِالشَائِ ِعّلَ ِللنَاد ِِر‬

Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang


dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”.

Kaidah keempat:

ً ‫ْال َم ْع ُر ْوفُعُ ْرفًاكَالَ َم ْش ُر ْو ِطش َْر‬


ِ‫ص‬

Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang


disyaratkan dengan suatu syarat”.

Kaidah kelima:

ِ ‫ْال َم ْع ُر َوفُ َب ْينَالت ُ َج‬


ِ‫اركَل َم ْش ُر ْو ِط َب ْي َن ُه ْم‬

Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku


sebagai syarat diantara mereka”.

Kaidah keenam:

‫الت َ ْع ِي ْينُ ِبالعُ ْر ِفكَالت َ ْع ِب ْي ِن ِبالنَص‬

Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan


berdasarkan nash”.

Kaidah ketujuh:

17
ً‫ْال ُم ْمتَنَعُعَادَةًكَال ُم ْمتَ َن ِع َح َق ْيقَ ِة‬

Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan


seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”.

Kaidah kedelapan:

ِ‫ال َح ِق ْيقَةُتُتْ َر ُكبِدَْلَلَ ِةالعَادَِة‬

Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti


menurut adat”.

Kaidah kesembilan:

‫َالذْنِاللَ ْف ِظى‬
ِ ‫الذْنُالعُ ْرفِىك‬
ِِ

Artinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama


dengan pemberian izin menurut ucapan”.9

9
A. Djazuli. Op. cit. h. 85-87.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan:

Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala
kaidah fiqhiyah yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:

1. Kaidah yang berkaitan dengan niat

a. Teks kaidahnya

ُ ‫األ ُ ُم‬
ِ َ‫ور ِب ِمق‬
‫اصدَهَا‬

“Segala perkara tergantung kepada niatnya”

b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5


dan Hadits Nabi SAW.

2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan

a. Teks kaidahnya

ِ‫اَ ْليَ ِق ْينُّلَيُزَ الُبِالش َِك‬

“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.

b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi

3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan

a. Teks kaidahnya

ِ‫شقَةُتَجْ ِلبُالت َ ْي ِسي ُْر‬


َ ‫ال َم‬

“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.

b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat


185 dan Hadits Nabi SAW.

19
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan

a. Teks kaidahnya

ِ‫ض َر ُريُزَ ا ُل‬


َ ‫ال‬

“Kemudaratan harus dihilangkan”.

b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-A’raf ayat 55


dan Hadits Nabi SAW.

5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan

a. Teks kaidahnya

ٌ‫اَل َعادَة ُ ُم َح َك َم ِة‬

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum”.

b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah an-Nisa ayat 19


dan Hadits Nabi SAW.

20
DAFTAR PUSTAKA

·A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006.

Usman Muhlish, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja


Grafindo, 1996.

Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

[1] Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,


(Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 107-109.

[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group,


2006), h. 35-37.

[3] Ibid, h. 123

[4] A. Djazuli, op. cit, h. 56-58

[5] Ibid, h. 126-127.

[6] A. Djazuli. Op. cit, h. 67.

[7] Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2002), Cet. 1, h. 153.

[8] Ibid, h. 140-141.

[9] A. Djazuli. Op. cit. h. 85-87.

21

S-ar putea să vă placă și