Sunteți pe pagina 1din 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan dimana
jantung tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya
suatu sindroma klinis berupa dispnu (sesak nafas), fatik (saat istirahat atau aktivitas),
dilatasi vena dan edema, yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur atau fungsi
jantung.
Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi,
tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan
stres. Akibat lanjut jika penyakit jantung tidak ditangani maka akan mengakibatkan gagal
jantung, kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian.
Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. (Di Eropa, tiap tahun
terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada anak–anak yang
menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum umur
1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 – 15 tahun.
Di Indonesia,data dari Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukan pasien
yang diopname dengan diagnosis decompensasi cordis mencapai 14.449. (Data yang
diperoleh dari rekammedik Rumah Sakit RK Charitas diperoleh data prevalensi penderita
DC pada tahun 2008 sebanyak 114 orang sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi
135 orang, dan pada periode bulan Januari sampai dengan Juni 2010 berjumlah sebanyak
72 orang.
Menurut data yang diperoleh penulis hingga sekarang penyakit jantung
merupakan pembunuh nomor satu (Sampurno,1993). WHO menyebutkan rasio penderita
gagal jantung di dunia adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita
penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari
jumlah penduduk di Nusantara (www.depkes.go.id).
Gagal jantung merupakan salah satu penyebab morbiditas & mortalitas. Akhir-
akhir ini insiden gagal jantung mengalami peningkatan. Gagal jantung merupakan tahap
akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan masalah kesehatan dunia. Di Asia,
terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan
gaya hidup, peningkatan konsumsi kalori, lemak dan garam, peningkatan konsumsi
rokok, dan penurunan aktivitas. Akibatnya terjadi peningkatan insiden obesitas,
hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit vaskular yang berujung pada peningkatan
insiden gagal jantung.

B. Rumusan Masalah
Uraian diatas menunjukkan pentingnya studi kasus tentang bagaimana pelaksanaan
asuhan keperawatan dengan Decompensasi Cordis mulai dari pengkajian sampai dengan
evaluasi asuhan keperawatan serta pendokumentasiannya?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan keperawatan dengan Decompensasi Cordis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
c. Mampu melakukan perencanaan keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
d. Mampu melakukan pelaksanaan keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
f. Mampu mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam
pendokumentasian hasil asuhan keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis

D. Manfaat
1. Peningkatan Kualitas Asuhan Keperawatan
Menjadi masukan dalam melaksanakan asuhan keperawatan, sehingga mampu
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama pada Decompensasi Cordis
melalui pemberian asuhan yang sesuai standar asuhan keperawatan yang
komprehensif.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan agar laporan studi kasus ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi
bagi profesi keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Decompensasi Cordis serta sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat
terhadap profesi di masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk
mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad
ramali.1994) .
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan
fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani,
1998; Price ,1995).
Decompensasi Cordis adalah keadaan dimana jantung tidak mampu memompakan
darah dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh untuk keperluan metabolisme dan
oksigen. (Nugroho, 2011: 269)
Dari beberapa definisi diatas dapat dsimpulkan bahwa Decompensasi Cordis
adalah ketidakmampuan jantung memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi
metabolisme tubuh, sehingga terjadi defisit penyaluran o2 ke organ-organ tubuh lainya.

B. Klasifikasi
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan
kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4
kelas :
1. Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
2. Kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas
sehari hari tanpa keluhan.
3. Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
4. Kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus
tirah baring.

Berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi :


1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri
Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan
pada akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan
normal sehingga pada masa diatol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan
tekanan distol semakin tinggi, makin lama terjadi bendungan didaerah natrium
kiri berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas normal pada atrium kiri
(normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena pembuluh
pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat
memompa darah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu
cepat tekanan hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga
melampui 18 mmHg dan terjadi transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-
paru.
Pada saat peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis,
terjadi transudasi cairanin tertisiel bronkus mengakibatkan edema aliran udara
menjadi terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi eksspirasi dan menjadi lebih
panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila
tekanan di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan
keluar dari saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk,
menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan tertahan di jaringan intertissiel paru-
paru yang makain lama akan menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara
mengakibatkan udema paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang
lebih dikenal dengan syak cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi
lemah dan rendah serta perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis
otot-otot jantung yang berakibat kematian.
Gagalnya khususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang
mengandung oksigen tubuh yang berakibat dua hal:
a. Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak output seperit dyspnoe de effort
(sesak nafas pada akktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada saat berbaring
dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri.kemudian dispnue noktural
paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun)
b. Dan kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang
bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru, takikakrdia,
c. Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses
aktif yang tergantung pada energi ) dan kekakuan dindiing ventrikel .

2. Decompensasi cordis kanan


Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa
melawan tekanan yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat
membaliknya kembali kedalam sirkulasi sistemik, peningkatan volume vena dan
tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk kedalam(edema perier) (long,
1996).
Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel kanan
tidak bisa berkontraksi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan
vena kava superior dan inferiordan tampak gejal yang ada adalah udemaperifer,
hepatomegali, splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang
cepat, hal ini akibaat vetrikel kanan pada saat sistol tidak mampu mempu darah
keluar sehingga saat berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin
meningkat demikian pula mengakibatkan tekanan dalam atrium meninggi diikuti
oleh bendungan darah vena kava superior dan vena kava inferior serta seluruh
sistem vena tampak gejal klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis
eksterna, bven hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan
bendungan-bedungan pada pada ena-vena perifer. Dan apabila tekanan hidristik
pada di pembuluh kapiler meningkat melampui takanan osmotik plasma maka
terjadinya edema perifer.

C. Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi
aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal
sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ),
gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade
jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah
pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di
dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A,
1995).

Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga penyebab :


1. Stroke volume : isi sekuncup
2. Kontraksi kardiak
3. Preload dan afterload
Meliputi :
a. Kerusakan langsung pada jantung (berkurang kemampuan berkontraksi), infark
myocarditis, myocarial fibrosis, aneurysma ventricular
b. Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle
c. Overload tekanan (kebanyakan pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri
pulmonal, hipertensi pulmonari
d. Keterbatasan pengisian sistolik ventricular
e. Pericarditis konstriktif atau cardomyopati, atau aritmi, kecepatan yang
tinggi,tamponade, mitra; stenosis
f. Ventrucular overload (kebanyakan preload) regurgitasi dari aourta, defek seftum
ventricalar

D. Patofisiologi
Bila kekuatan jantung untuk menapung stres tidak mencukupi dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh, jantung akan gagal untuk melakukan tugasnya sebagai
organ pemompa, sehingga terjala yang namanya gagal jantung. Pada tingkat awal,
disfungsi komponen pompa dapat mengakibatkan kegagalan jika cadangan jantung
normal mengalami payah dan kegagalan respon fisiologis tertentu pada penurunan curah
jantung adalah penting. Semua respon ini menunjukan upaya tubuh untuk
mempertahankan perfungsi organ vital normal.
Sebagai respon tehadap gagal jantung, ada tiga mekanisme respon primer, yaitu
meningkatnya aktivitas. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan
curah jantung.
Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah
jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini pada keadaan
normal.
Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat
dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:
1. Pasien dengan Penyakit Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari
2. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit,
akan tetapi jika ada kegiatan berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta
angina
3. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya
merasa sehat jika beristirahat.
4. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan
sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.

Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
dapat dilihat pada gambar berikut :
Pathways
E. Manifestasi klinis
Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sistem vena atau sisitem pulmonal
antara lain :
1. Lelah
2. Angina
3. Cemas
4. Oliguri. Penurunan aktifitas GI
5. Kulit dingin dan pucat

Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antaralai :
1. Dyspnea
2. Batuk
3. Orthopea
4. Reles paru
5. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru

Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :


1. Edema perifer
2. Distensi vena leher
3. Hati membesar
4. Peningkatan central venous pressure (CPV)

Menurut Ardiansyah (2012:28), manifestasi klinis dari Decompensasi Cordis meliputi :


1. Dispnea, yang terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas. Gangguan ini dapat terjadi saat istirahat ataupun beraktivitas
2. Orthopnea, yaitu kesulitan bernafas saat penderita berbaring.
3. Proximal, yaitu nokturna dispnea. Gejala ini biasanya terjadi saat pasien duduk lama
dengan posisi kaki atau tangan dibawah atau setelah pergi berbaring ditempat tidur.
4. Batuk, baik kering maupun basah sehingga menghasilkan daha atau lendir.
5. Mudah lelah, dimana gejala ini muncul akibat cairan jantung yang kurang sehingga
menghambat sirkulasi cairan dan sirkulasi oksigen.
6. Kegelisahan akibat gangguan oksigenasi jaringan.

Disfungsi ventrikel kanan dengan tanda-tanda berikut:


1. Edema ekstremitas bawah.
2. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kana atas.
3. Anoreksia dan mual.
4. Rasa ingin kencing pada malam hari.
5. Badan lemah akibat menurunya curah jantung.

F. Komplikasi
1. shock kardiogenik
Shock kardiogenik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri.
Dampaknya adalah terjadi gangguan berat pada fungsi jaringan dan penhantaran
oksigen ke jaringan. Gejala ini merupakan gejala yang khas terjadi pada kasus shock
kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut. Gangguan ini disebabkan
oleh kehilangan 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vokal di
seluruh ventrikel, karena ketidak seimbangan antara kebutuhan dan persendian
oksigen miokardium
2. Edema paru-paru
Edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema yang muncul di bagian
tubuh mana saja, termasuk faktor apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru-
paru meningkat dari batas negatif menjadi batas positif. (Ardiansyah, 2012: 30).

G. Pemeriksaan penunjang
1. Keluhan penderita berdasarkan tanda dan gejala klinis.
2. Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut, dan
guna mengkaji kompensaai seperti hipertropi ventrikel. Irama sinus atau atrium
fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta tanda
RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.
3. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau nekrotik pada
penyakit jantung kotoner
4. Film X-ray thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran jantung
5. esho-cardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri polmonal.utuk
menyajikan data tentang fungsi jantung.
6. Foto polos dada
a. Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi
arteria pulmonalis.
b. Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan
pembesaran ventrikel kanan.
7. Kateterisasi jantung dan Sine Angiografi
Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol.
Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui
frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan
ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.

H. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan penyakit decompensasi cordis adalah sbb:
1. perbaikan suplai oksigen /mengurangi kongesti : pengobatan dengan oksigen,
pengaturan posisi pasien deni kebcaran nafas , peningkatan kontraktilitas myocrdial
(obat-obatan inotropis positif), penurunan preload (pembatan sodium, diuretik, obat-
obatan, dilitasi vena) , penurunan afterload (obat0obatan dilatasi arteri, obat dilatasi
arterivena, inhibitor ACE
2. Meningkatkan oksigen dengan pemberian oksigen dan menurunkan kosumsi O2
melalui istirahat/ pembatasan aktivitas
3. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
a. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan
aritmia.
b. Digitalisasi :
1) Dosis Digitalisi :
a) Digoksin oral untuk Digitalisasi cepat 0,5-2mg dalam 4-6 dosis selama
24 jam dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
b) Digoksin iv 0,75-1mg dalam 4 dosis selama 24 jam
c) Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam
2) Dosis penunjang untuk gagal jantung : dogoksin 0,25 mg sehari. Untuk
pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
3) Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
4) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat
a) Digoksin : 1-1,5 mg iv perlahan-lahan
b) Cedilanid 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan. (Arif, 2000: 435)

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal, nokturia, keringat
malam hari).
Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu,
dispneu.
b. Sirkulasi
Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital:
kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi,
serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock
hipovolema.
Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang
keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
c. Integritas Ego
Tanda: menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan
kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna. kepribadian
neurotic.
d. Makanan/Cairan
Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.
Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising
terdengar krakela dan mengi.
e. Neurosensoris
Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
Tanda: Kelemahan
f. Pernafasan
Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah,
gelisah.
g. Keamanan
Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
Tanda: Kelemahan tubuh
h. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
Tanda: Menunjukan kurang informasi.

2. Diagnosa
a. Menurunnya curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
b. Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
dengan kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke
miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
c. Kerusakan pertukaran gas yang berhungan dengan perembesan cairan, kongesti
paru sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan interstisial.
d. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak
optimal, kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
e. Gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya gurah jantung.
f. Penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan penurunan aliran darah
ke otak.
g. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik.
h. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
i. Aktual/risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
j. Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan adanya sesak
napas.
k. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau
perubahan kesehatan.

3. Intervensi
a. Menurunnya curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam penurunan curah jantung dapat
teratasi.
kriteria hasil : Klien akan melaporkan penurunan episode dispnea.
Intervensi :
1) Kaji dan laporkan tanda penurunan curah jantung.
2) Catat bunyi jantung.
3) Palpasi nadi perifer.
4) Istirahkan pasien dengan tirah baring optimal.
Rasionalisasi :
1) Kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan MI yang lebih
dari 24 jam pertama.
2) S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa, irama gallop
umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke dalam serambi
yang distensi murmur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis mitral.
3) Penurunan curah jantung menunjukkan menurunnya nadi, radial,
popliteal, dorsalis pedis, dan postibial.
4) Oleh karena jantung tidak dapat diharapkan untuk benar-benar istirahat
untuk sembuh seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang
dilakukan adalah mengistirahatkan klien. Melalui inaktivitas, kebutuhan
pemompaan jantung.
b. Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
dengan kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke
miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
Tujuan :Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan dan terdapat penurunan
respons nyeri dada
Kriteria hasil :Secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri dada.
Intervensi :
1) Catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lama, dan penyebarannya.
2) Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera.
3) Lakukan manajemen nyeri keperawatan:
4) Atur posisi fisilogis.
5) Istirahatkan pasien.
6) Ajarkan teknik telaksasi pernapasan dalam
7) kolaborasi pemberian terapi farmakologis antiangina.
Rasionalisasi:
1) Variasi penampilan dan perilaku klien karena nyeri terjadi sebagai temuan
pengkajian.
2) Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada
kematian mendadak.
3) Posisi fisiologis akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer.
4) Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari
iskemia jaringan otak.
5) Obat-obatan antiangina bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik
dengan menambah suplai oksigen atau dengan mengurangi kebutuhan
miokardium akan oksigen.

c. Kerusakan pertukaran gas yang berhungan dengan perembesan cairan, kongesti


paru sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan interstisial.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan sesak atau terdapat
penurunan respons sesak napas.
Kriteria hasil :Secara subjektif klien menyatakan penurunan sesak napas.
Intervensi :
1) Berikan tambahan O2 6 liter/menit.
2) Koreksi keseimbangan asam basa.
3) Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan napas dalam.
4) Kolaborasi
- RL 500 cc/24 jam
- Digoxin 1-0-0
Rasionalisasi :
1) Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
2) Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernapasan.
3) Kongesti yang berat akan memperburuk proses pertukaran gas sehingga
berdampak pada timbulnya hipoksia.
4) Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat mengurangi
timbulnya edema dan dapat mencegah gangguan pertukaran gas.
d. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak
optimal, kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
Kriteria hasil : Klien tidak sesak napas.
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi napas (krakles).
2) Kaji adanya edema.
3) Ukur intake dan output.
4) Kolaborasi dalam pemberian diet tanpa garam.
Rasionalisasi :
1) Indikasi edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.
2) Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
3) Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan keluaran urine.
4) Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang
berdampak terhadap peningkatan beban kerja jantung dan akan membuat
kebutuhan miokardium meningkat.

e. Gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya gurah jantung.


Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam perfusi perifer meningkat.
Kriteria hasil : klien tidak mengeluh pusing,TTV dalam batas normal.
Intervensi :
1) Auskultasi TD. Bandingkan kedua lengan.
2) Kaji warna kulit, suhu, sianosis
3) Kaji kualitas peristaltik, jika perlu pasang sonde.
4) Pantau urine output.
5) Kolaborasi : Pertahankan cara masuk heparin (IV) sesuai indikasi.
Rasionalisasi :
1) Hipotensi dapat terjadi juga disfungsi ventrikel.
2) Mengetahui derajat hipoksemia dan peningkatan tahanan perifer.
3) Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya produksi urine.
4) Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat.

f. Penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan penurunan aliran darah


ke otak.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi penurunan tingkat
kesadaran.
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji status mental klien secara teratur.
2) Observasi perubahan sensori dan tingkat kesadaran pasien.
3) Kurangi aktivitas yang merangsang timbulnya respons valsava/aktivitas.
4) Catat adanya keluhan pusing.
Rasionalisasi :
1) Mengetahui derajat hipoksia pada otak.
2) Bukti aktual terhadap penurunan aliran darah ke jaringan serebral adalah
adanya perubahan respons sensori dan penurunan tingkat kesadara.
3) Respons valsava akan meningkatkan beban jantung sehingga akan
menurunkan curah jantung ke otak.
4) Keluhan pusing merupakan manifestasi penurunan suplai darah ke
jaringan otak yang parah.

g. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik.


Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan
sistemik.
Kriteria hasil : Klien tidak sesak napas
Intervensi :
1) Kaji adanya edema ekstremitas.
2) Kaji tekanan darah.
3) Kaji distensi vena jugularis.
4) Ukur intake dan output.
5) Kolaborasi berikan diet tanpa garam.
Rasionalisasi :
1) Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
2) Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang
dapat diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung.
3) Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat
dipantau melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis.
4) Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan keluaran urine.
5) Namun meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma.

h. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
Tujuan : Aktivitas sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya
kemampuan beraktivitas.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala-gejala
yang berat.
Intervensi :
1) Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD, selama dan sesudah
beraktivitas.
2) Pertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut.
3) Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis.
4) Pertahankan penambahan O2 , sesuai kebutuhan.

Rasionalisasi :
1) Respons klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan adanya penurunan
oksigen miokard.
2) Menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen.
3) Untuk mengurangi beban jantung.
4) Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return.
5) Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan.

i. Aktual/risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat peningkatan dalam pemenuhan
nutrisi.
Kriteria hasil : klien secara subjektif termotivasi untuk melakukan pemenuhan
nutrisi sesuai anjuran.
Intervensi :
1) Jelaskan tentang manfaat makan bila dikaitkan dengan kondisi klien saat ini.
2) Anjurkan agar klien memakan makanan yang disediakan di rumah sakit.
3) Beri makanan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diet TKTPRG.
4) Kolaborasi : Dengan nutrisi tentang pemenuhan diet klien, Pemberian
multivitamin.
Rasionalisasi :
1) Dengan pemahaman klien akan lebih kooperatif mengikuti aturan.
2) Untuk menghindari makanan yang justru dapat mengganggu proses
penyembuhan klien.
3) Untuk meningkatkan selera dan mencegah mual, mempercepat perbaikan
kondisi, serta mengurangi beban kerja jantung.
4) Meningkatkan pemenuhan sesuai dengan kondisi klien.
5) Memenuhi asupan vitamin yang kurang dari penurunan asupan nutrisi secara
umum dan memperbaiki daya tahan.

j. Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan adanya sesak
napas.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan gangguan pemenuhan tidur
berkurang
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh mangantuk.
Intervensi :
1) Catat pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2) Atur posisi fisiologis.
3) Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker sesuai dengan
indikasi.
4) Kolaborasi pemberian obat sedatif.

Rasionalisasi :
1) Variasi penampilan dan perilaku Klien dalam pemenuhan istirahat serta tidur.
2) Posisi fisiologismana mengakibatkan asupan O2 dan rasa nyaman.
3) Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian miokardium.
4) Meningkatkan istirahat/relaksasi dan membantu klien dalam memenuhi
kebutuhan tidur.

k. Risiko tinggi cedera yang berhubung dengan pusing dan kelemahan.


Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi cidera kepala pada klien.
Kriteria hasil : Klien tidak terjatuh, TTV dalam batas normal.
Intervensi :
1) Catat pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2) Pantau adanya pengaman pada tempat tidur klien.
3) Atur posisi fisiologis.
Rasionalisasi :
1) Variasi penampilan dan perilaku klien dalam pemenuhan istirahat dan tidur
sebagai temuan pengkajian.
2) Tempat tidur dengan adanya pengaman / pagar tempat tidur dapat mencegah
klien jatuh pada saat gelisah dan mengalami kelemahan.
3) Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 dan rasa nyaman.

l. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau
perubahan kesehatan.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan klien berkurang.
Kriteria hasil : Klien menyatakan kecemasan berkurang.
Intervensi :
1) Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
2) Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi klien, dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
3) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
4) Kolaborasi: berikan anticemas sesuai indikasi, contohnya diazepam.
Rasionalisasi :
1) Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
2) Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan
gelisah.
3) Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
4) Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.

4. Implementasi
Fokus dari tahap implementasi asuhan keperawatan adalah kegiatan implementasi
dari perencanaan intervensi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan asuhan keperawatan meliputi intervensi independen, dependen, dan
interdependen
a. Independen
Asuhan keperawatan independen adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh
perawat tanpa petunjuk dari dokter atau profesi kesehatan lainya. Type dati
aktivitas yang dilaksanakan perawat secara independen didefinisikan berdasarkan
diagnosis keperawatan.
b. Interdependen
Asuhan keperawatan interdependen menjelaskan kegiatan yang meemerlukan
kerjasama dengan profesi kesehatan lainya, seperti tenaga social, ahli gizi,
fisioterapi, dan dokter.
c. Dependen
Asuhan keperawatan dependen berhubungan dengan pelaksanaan rencana
tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara dimana tindakan medis
dilaksanakan

5. Evaluasi
Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi kegiatan mengukur pencapaian
tujuan pasien dan menentukann keputusan dengan cara membandingkan data yang
terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan.
a. Evaluasi proses
Fokus pada evaluasi proses atau formatif adalah aktivitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan
untuk membantu menilai efektifitas intervensi tersebut.

b. Evaluasi hasil
Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan
pasien pada akhir asuhan keperawatan. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir
asuhan keperawatan secara paripurna.
Evaluasi pada decompensasi cordis antara lain:
1. penurunan curah jantung dapat teratasi.
2. klien menyatakan penurunan rasa nyeri dada.
3. Klien menyatakan kecemasan berkurang
4. TTV dalam batas normal.
5. keluhan gangguan pemenuhan tidur berkurang
6. Klien tidak sesak napas
7. Nutrisi klien terpenuhi
AFTAR PUSTAKA

Tabrani, (1998), Agenda Gawat Darurat Jilid 2, Penerbit Alumni Bandung


Guyton, (1991), Fisiologi Manusia, EGC, Jakarta
Barbara Engram, (1995), Perawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Dongoes M.E, Marry F, Alice G (1997) Nursing Care Plans,
F.A davis Company, Philadelphia. Carpennito L.J (1997), Nursing Diagnosis, JB.
Lippincot, New York
Hudak & Gallo (1997), Keperawatan Kritis Pendekatam Holistik, Penerbit EGC,
Jakarta.
Price Sylvia A ( 1993) , Patofisiologi, Penerbit EGC, Jakarta.
Lily ismudiati rilanto dkk, (2001). Buku Ajar Kardiologi, penerbit Fakultas
Kedokteran Unversitas Indonesia, Gaya Baru Jakarta.
Long. C.B (1996) Medical Surgical. Nursing. CV. Mosby St Louis, USA.

S-ar putea să vă placă și