Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa Kami panjatkan puja dan puji syukur
atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Aspek Hukum Dalam Praktik
Kebidanan Dan Kode Etik Kebidanan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal munkin sehingga dapat dimengerti
oleh pembaca. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
Daftar Isi
Halaman Judul...............................................................................................................i
Kata Pengantar............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Aspek hukum dan keterkaitannya dengan pelayanan kebidanan atau praktek bidan
atau kode etik
8. PP/UU tentang :
Aborsi
Bayi tabung
Adopsi
A. Kesimpulan....................................................................................................... 6
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang serta
meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap meningkatnya tuntutan
masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan. Hal ini
merupakan tantangan bagi profesi kebidanan dalam mengembangkan profesionalisme selama
memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan
komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi.
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap bidan akan tercermin dalam setiap
langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi
yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta
penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan
keperawatan atau kebidanan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan
dihormati.
B. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui aspek hukum dan keterkaitannya dengan pelayanan atau praktek
bidan dalam kode etik
3. Untuk mengetahui tanggung jawab dan tanggung gugat bidan dalam praktek
kebidanan
Aborsi
Bayi tabung
Adopsi
PEMBAHASAN
A. Aspek hukum dan keterkaitan dengan pelayanan/praktek bidan dan kode etik
Bidan merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau standar profesi.
Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam KEPMENKES RI No.
369/MENKES/SK/III/2007 yang berisi mengenai latar belakang kebidanan. Berbagai defenisi
dalam pelayanan kebidanan. Berbagai defenisi dalam pelayanan kebidanan, falsafah
kebidanan, paradigma kebidanan, ruang lingkup kebidanan, standar praktek kebidanan.
PelayananKebidanan
Adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktek profesi bidan dalam sistem
pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka
mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.
Falsafah Kebidanan
b. Manusia terdiri dari pria dan wanita yang kemudian kedua jenis individu
itu berpasangan menikah membentuk keluarga yang mempunyai anak
d. Persalinan adalah satu proses yang alami, peristiwa normal, namun apabila
tidak dikelolah dengan tepat dapat berubah menjadi abnormal
e. Setiap individu berhak untuk dilahirkan secara sehat untuk itu maka setiap
wanita usia subur, ibu hamil, melahirkan dan bayinya behak mendapatkan
pelayanan yang berkualitas
Paradigma Kebidanan
Kebidanan dalam bekerja memberikan pelayanan keprofesiannya berpegang pada
paradigma berupa pandangan terhadap manusia/wanita, lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan keturunan.
a. Wanita
Wanita/ manusia adalah makhluk biopsiko sosial kultural dan spiritual yang utuh dan
unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bemacam-macam sesual dengan tingkat
perkembangannya.
b. Lingkungan
Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi
individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya.
c. Perilaku ‘
Perilaku merupakan hasil dari berbagai pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan sikap dan tindakan.
d. Pelayanan kebidanan
Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diarahkan
untuk mewujudkan kesehatan keluarga dalam rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan
sejahtera.
e. Keturunan
Kualitas manusia diantaranya ditentukan oleh keturunan. Manusia yang sehat dilahirkan
oleh ibu yang sehat. Hal ini menyangkut penyiapan wanita sebelum perkawinan, masa
kehamilan, masa kelahiran dan masa nifas.
Lingkup prakek kebidanan yang digunakan meliputi asuhan mandiri/ otonomi pada anak-
anak perem, remaja putri dan wanita desa sebelum, selama kehamilan dan selanjutnya. Hal
ini berarti bidan membeirkan pengawasan yang diperlukan asuhan serta nasehat bagi wanita
selama masa hamil, bersalin dan nifas.
Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan.
Standar V : Tindakan
Standar IX : Dokumentasi
1. Tenaga kesehatan sarjana yaitu dokter, dokter gigi, apoteker,sarjana lain dalam bidang
kesehatan
2. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah misalo asisten apoteker, perawat,
bidan
Hak pasien :
• Menghormati dan memperhatikan kepentingan milik pasien lain dan petugas kesehatan
INFORMED CONSENT
Kata concent berasal dari bahasa latin, consentio yang artinya persetujuan izin,
menyetujui ; atau pengertian yang lebih luas adalah memberi izin atau wewenang kepada
seseorang untuk melakukan suatu informed consent (IC), dengan demikian suatu penyataan
setuju atau izin oleh pasien secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi
yang dipahaminya darri tenaga kesehatan/dokter tentang penyakitnya. Harus diingat bahwa
yang terpenting adalah pemahaman oleh pasien.
Pengertian lain yaitu Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
(orang tua/wali/suami/istri/orang yang berhak mewakilinya) kepada tenahga kesehatan/dokter
untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang
dideritanya. Informed Consent berarti pernyataan kesediaan atau penolakan setelah mendapat
informasi secukupnya.
Jay katz mengemukakan falsafah dasar informed consent yaitu pada hakikatnya suatu
keputusan pemberian pengobatan atas pasien harus terjadi secara kolaboratif (kerjasama)
antara tenaga kesehatan/dokter dan pasien serta bukan semata-mata keputusan sepihak.
Dengan demikian, informed consent mengandung 2 unsur utama, yakni sukarela
(voluntariness) dan memahami (understanding).
a. Keadaan normal
b. Keadaan darurat
a. Lisan
b. Tulisan
Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.
Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui
umum.
Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat
(emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan
tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat maka dokter dapat
melakukan tindakan medic terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal
11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed Consent, artinya bila pasien dalam
keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.
Exressed Consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila
yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam
keadaan demikian sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang
akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian.
1. Informasi
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang informed consent dinyatakan bahwa
dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau
tidak diminta, jadi indormasi harus disampaikan. Informasi tersebut meliputi informasi
mengenai apa (what) yang perlu disampaikan, kapan disampaikan (when), siapa yang harus
menyampaikan (Who), dan informasi yang mana (Which) yang perlu disampaikan.
2. Persetujuan
c. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat
memahami tindakan itu perlu dilakukan
Seperti dikemukakan pada bagian awal, Tidak selamanya pasien atau keluarga setuju
dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian kalangan dokter
maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga
mempunyai hak menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai informed
Refusal.
Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjuran, walaupun
dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien. Bila dokter
gagal dalam meyakinkan pasien pada alternative tindakan yang diperlukan, maka untuk
keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga
menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan.
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di
dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta
ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur didalam peraturan atau
kepuasan menteri kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrak oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bidan memiliki kewajiban memberi asuhan kepada ibu dan anak yang meminta
pertolongan kepadanya. Ibu dan anak merupakan bagian dari keluarga. Oleh karena itu,
kegiatan bidan sangat erat kegiatannya dengan keluarga.tanggung jawab bidan tidak hanya
pada kesehatan ibu dan anak, tetapi juga menyangkut kesehatan keluarga.
Dalam menjalankan kewenangan yang sesuai dengan Landasan Hukum maka Bidan
bertanggung jawab atas pelayanan mandiri yang diberikan dan berupaya secara optimal
dengan mengutamakan keselamatan ibu dan bayi atau janin.
1. Tuntutan pidana
Tuntutan Pidana terjadi karena dakwaan dilakukan kejahatan atau pelanggaran seperti
yang diatur dalam KUH Pidana
2. Tuntutan Perdata
3. Tuntutan Administrasi
a. Pelanggaran disiplin atau tata tertib yang tidak dapat dipidana atau dituntut perdata Yang
Melandasi Tugas,Fungsi dan Praktek Bidan
b) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan
martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
c) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
f) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan
tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat
kesehatannya secara optimal.
a) Setiap bidan senantiasa pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan masyarakat
sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga
dan masyarakat.
c) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan, keterangan yang didapat atau dipercayakan
kepadanya kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan kepentingan
klien.
a) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan
suasana kerja yang serasi
b) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap
sejawatnya maupun lainnya
a) Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya dengan
menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada
masyarakat.
c) Setiap bidan senantiasa berperans serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan
sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
· Ceroboh
· Lupa
· Gagal mengkomunikasikan
Contoh kasus :
Di sebuah desa terpencil seorang ibu mengalami perdarahan post partum telah
melahirkan bayinya yang pertama di rumah. Ibu tersebut menolak untuk diberikan suntikan
utero tonika, bila ditinjau dari hak pasien atas keputusan yang menyangkut dirinya maka
bidan bisa saja memberikan suntikan jika kemauan pasien tetapi bidan akan berhadapan
dengan masalah yang rumit lagi. Bila terjadi perdarahan hebat dan harus diupayakan
pertolongan untuk merujuk pasien dan yang lebih fatal lagi bila pasien akhirnya meninggal
akibat perdarahan dalam hal ini bidan dikatakan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik,
walaupun bidan harus memaksa pasiennya untuk disuntik mungkin itu keputusan yang
terbaik untuk dilakukan.
Bidan termasuk tenaga kerja yang mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan Mempunyai Hak :
Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan.
Standar V : Tindakan
Standar IX : Dokumentasi
TENTANG KESEHATAN
Menimbang:
a.bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat
Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara;
d.bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti
pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung
jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;
e.bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru;
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
dan
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1.Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2.Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan,
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang
dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3.Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung
obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia.
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan
manusia.
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/ penyakit.
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya.
16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan
obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati,atau walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
BAB II
Pasal 2
Pasal 3
BAB III
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 9
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya
kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan
yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan
memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
(2) Tanggungjawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada
pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik
fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil
dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pasal 18
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang
bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20
(2)Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
Menimbang:
Mengingat:
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 100,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau masyarakat;
Pasal 2
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
e. tenaga gizi;
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis
kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
BAB III
PERSYARATAN
Pasal 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang
bersangkutan
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga
kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga
kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya
kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.
BAB IV
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 6
(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.
(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
nasional tenaga kesehatan.
b. sarana kesehatan;
c. jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan.
(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 8
(2) Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 9
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis
tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di
bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya .
(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian
kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada sarana
kesehatan yang ber-sangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui
pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 11
(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau
tempat pelatihan lainnya.
Pasal 12
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
oleh Menteri.
Pasal 13
b. tenaga kepelatihan;
c. kurikulum;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan
yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Penempatan
Pasal 15
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, Pemerintah
dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk
jangka waktu tertentu.
(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
cara masa bakti.
(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.
Pasal 17
Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan memperhatikan :
b. lamanya penempatan;
Pasal 18
(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada :
(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.
Pasal 19
(1) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari
Menteri.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi
tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana
kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 20
BAB V
PERLINDUNGAN HUKUM
Bagian Kesatu
Standar Profesi
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya ber-kewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 22
(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban
untuk :
c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 23
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya
kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Perlindungan Hukum
Pasal 24
(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
BAB VI
PENGHARGAAN
Pasal 25
(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar prestasi kerja,
pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas
diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat.
(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain.
BAB VII
IKATAN PROFESI
Pasal 26
(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan
dan/atau mengembangkan penge-tahuan dan keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga
kesehatan.
(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar
ijin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri dengan memperhati-kan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang tenaga kerja asing.
BAB IX
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 28
(1) Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi
tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pembinaan karier,
disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.
Pasal 29
(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian
penghargaan.
(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan/atau
pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31
(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui :
a. bimbingan;
b. pelatihan di bidang kesehatan;
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 32
Pasal 33
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga
kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. teguran;
(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
Pasal 35
a. melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1);
c. melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); dipidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
ttd
SOEHARTO
Setiap tenaga kesehatan wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) bukan lagi SIB,
sebelum tenaga kesehatan tersebut melaksanakan tugasnya dalam profesinya
Beberapa point penting yang harus menjadi perhatian bagi kita, perawat adalah sebagai
berikut:
1. Bagi seluruh Lulusan pendidikan keperawatan sebelum tahun 2012, maka pemutihan STR
dapat diperoleh tanpa harus melakukan Uji Kompetensi dan berlaku selama 5 (lima) tahun
sedangkan bagi lulusan minimal tahun 2012, untuk mendapatkan STR harus melalui Uji
kompetensi.
a. Pasal 75
Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik beratdan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4) Tindakan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 76
1) Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis.
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.
5) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
c. Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah).
a. Pasal 229
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan. Maka orang tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian demi mencari keuntungan, menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atrau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.
b. Pasal 346
c. Pasal 347
2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya orang tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
d. Pasal 348
1) Siapa yang dengan sengaja menggugurkan atau menghabisi nyawa kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
e. Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
f. Pasal 535
a. Pasal 127
1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan:
(a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum berasal.
(b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu; dan
2. Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari beberapa
kondisi berikut ini:
a) Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam
rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta
keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).
b) Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak
yang terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki
benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata).
c) Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi
embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir
statusnya sah bagi pasutri tersebut.
d) Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir adalah
anak di luar nikah.
1. Pasangan Suami Istri. Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri
diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun
1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/ pengangkatan anak. Selain itu
Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah
calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan
anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon
anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
2. Orang tua tunggal
a. Staatblaad 1917 No. 129. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi
orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat
perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda
yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak
menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki
dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983, mengatur tentang pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang
langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga
tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang
tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika
Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin
mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi
anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan
permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan
diangkat itu berada.Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke
panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya,
dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.
d. Isi permohonan, adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah motivasi
mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
-penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
e. Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi
yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula
orang yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
f. Yang dilarang dalam permohonan, Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan
dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
2) Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon. Hal ini
disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak
ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat
dari pemohon, atau berisi pengesahan saja. Mengingat bahwa Pengadilan akan
mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan
finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis
hakim tentang kemampuan pemohon dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti
tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
h. Akibat hukum pengangkatan anak, pengangkatan anak berdampak pula pada hal
perwalian dan waris.
1) Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua
angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban
orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan
beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah
orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2) Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya
seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi
anak angkat.
I. Permenkes No 1464 tahun 2010
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Bidan adalah seorang perempuan yg lulus dari pendidkan bidan yang telah teregistrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat
kompetensi
4. Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.
5. Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk mejalankan praktik
bidan mandiri
PERIZINAN
Pasal 2
Pasal 3
1. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
3. SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1
(satu) tempat.
Pasal 4
1. Untuk memperoleh SIKB dan SIPB sebagaimana dimaksud pada pasal 3, Bidan
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
melampirkan :
Pasal 5
3. Permohonan SIB/SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh pemerintah
daerah kabupaten /kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota kpeada pemohon dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima.
Pasal 6
Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan/atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat kerja
dan 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 7
1. SIKB/SIPB berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika
habis masa berlakunya.
b. fotokopi STR
Pasal 8
BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 9
Bidan dalam mejalankan praktik berwenang untuk memberikan Pelayanan yang meliputi :
Pasal 10
1. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a diberikan pada
masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua
kehamilan.
a. Episiotomi
postpartum
Pasal 11
1. Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksd dalam pasal 9 huruf b diberikan pada bayi
baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah
2. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk :
pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi vit K 1, perawatan bayi baru
lahir pada masa neonatal (0-28 hr)
sekolah
Pasal 12
1. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, 11, dan 12, bidan yang
menjalankan program pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi :
a. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kotrasepsi dalam rahim, dan alat kontrasepsi
bawah kulit
c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah, dan anak
sekolah
2. Pelayanan alat kontasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan
anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk dan memberikan peyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan
yang telah dilatih untuk itu.
Pasal 14
1. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
2. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
3. Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter,
kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
Pasal 15
Pasal 16
1. Pada daerah yang belum memiliki dokter, pemerintah dan pemerintah daerah harus
menempatkan bidan dengan pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.
2. Apabila tidak terdapat tenaga bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah dan pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
a. Memiliki tempat praktek, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan
kebidanan, serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan pra
sekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan sehat
yang berlaku
dimaksud pada ayat (1) satu tercantum dalam Lampiran Peraturan ini
Pasal 18
g. Mematuhi standar
3. Bidan dlm menjalankan praktik kebidanan hrs membantu program pemerintah dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 19
2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya
BAB IV
Pasal 20
3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan yang
bekerja di fasilitas pelayan kesehatan.
BAB V
Pasal 21
4. Dalam melaksanakan tugas sebaggimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas
Kab/Kota hraus membuat pemetaan tenaga bidan praktik mandiri dan bidan di desa serta
menetapkan dokter Puskesmas terdekat untuk pelaksanaan tugas supervisi terhadap bidan di
wilayah tersebut.
Pasal 22
Pimpinan fasilitas kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan yang berhenti bekerja
di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi
Pasal 23
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
KETNTUAN PERALIHAN
Pasal 25
2. Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperbaharui SIPB apabila
Surat Izin Bidan yang bersangkutan telah habis jangka waktunya berdasarkan Peraturan ini.
Pasal 26
Apabila Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Kesehatan Provinsi
(MTKP) belum dibentuk dan/atau belum dapat melaksanakan tugasnya maka registrasi bidan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kepmenkes No 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
Registrasi dan Praktik Bidan.
Pasal 27
Bidan yang telah melaksanakan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum ditetapkan
Peraturan ini harus memiliki SIKB berdasarkan Peraturan ini paling selambat-lambatnya 1
(satu) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.
Pasal 28
Bidan yang berpendidikan di bawah Diploma III (D III) Kebidanan yang menjalankan praktik
mandiri hrs menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan ini selambat-lambatnya 5 (lima) tahun
sejak Peraturan ini ditetapkan
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Ditetapkan di Jakarta
Menteri Kesehatan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
50 Tahun Ikatan bidan Indonesia. Sofyan M, Madjid NA, Siahaan R, editors. jakarta: PP IBI;
2009.
Indrayani, Djami MEu. Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: CV Trans Info
Media; 2013.
Mafluha Y, Nurzannah S. Modul Etika dan Hukum Kesehatan Bagi Mahasiswa Diploma III
Kebidanan. Tangerang: Akademi Kebidanan Bina Husada Tangerang; 2016