Sunteți pe pagina 1din 50

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa Kami panjatkan puja dan puji syukur
atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Aspek Hukum Dalam Praktik
Kebidanan Dan Kode Etik Kebidanan.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal munkin sehingga dapat dimengerti
oleh pembaca. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Pasuruan,30 Januari 2019

Penulis
Daftar Isi

Halaman Judul...............................................................................................................i

Kata Pengantar............................................................................................................. ii

Daftar Isi....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Aspek hukum dalam praktek kebidanan ................................................................ 2

1. Aspek hukum dan keterkaitannya dengan pelayanan kebidanan atau praktek bidan
atau kode etik

2. Hak hak klien dan persetujuannya untuk bertindak

3. Tanggung jawab dan tanggung gugat bidan dalam praktek kebidanan

4. Standart praktek kebidanan

5. UU Kesehatan No.36 tahun 2009

6. PP No 32 tahun 1996,tentang tenaga kesehatan

7. Permenkes 1796 tahun 2011,tentang registrasi tenaga kesehatan.

8. PP/UU tentang :

 Aborsi

 Bayi tabung

 Adopsi

9. .Permenkes No 1464 tahun 2010

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................... 6

Daftar Pustaka.............................................................................................................. 7
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang serta
meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap meningkatnya tuntutan
masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan. Hal ini
merupakan tantangan bagi profesi kebidanan dalam mengembangkan profesionalisme selama
memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan
komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi.

Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap bidan akan tercermin dalam setiap
langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi
yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta
penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan
keperawatan atau kebidanan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan
dihormati.

B. Rumusan Masalah

1. Untuk mengetahui aspek hukum dan keterkaitannya dengan pelayanan atau praktek
bidan dalam kode etik

2. Untuk mengetahui hak-hak klien dan persetujuannya untuk bertindak

3. Untuk mengetahui tanggung jawab dan tanggung gugat bidan dalam praktek
kebidanan

4. Untuk mengetahui standar praktek kebidanan

5. Untuk mengetaahui UU kesehatan No 36 tahun 2009

6. Untuk mengetahui PP No 32 tahun 1996,tentang tenaga kesehatan.

7. Untuk mengetahui permenkes 1796 tahun 2011,tentang registrasitenaga kesehatan.

8. Untuk mengetahui PP/UU tentang:

 Aborsi

 Bayi tabung

 Adopsi

9. Permenkes No 1464 tahun 2010


BAB II

PEMBAHASAN

A. Aspek hukum dan keterkaitan dengan pelayanan/praktek bidan dan kode etik

Bidan merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau standar profesi.
Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam KEPMENKES RI No.
369/MENKES/SK/III/2007 yang berisi mengenai latar belakang kebidanan. Berbagai defenisi
dalam pelayanan kebidanan. Berbagai defenisi dalam pelayanan kebidanan, falsafah
kebidanan, paradigma kebidanan, ruang lingkup kebidanan, standar praktek kebidanan.

PelayananKebidanan

Adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktek profesi bidan dalam sistem
pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka
mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.

Falsafah Kebidanan

a. Sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai pandangan hidup pancasila,


seorang bidan menganut filosofi yang mempunyai keyakinan di dalam
dirinya bahwa semua manusia adalah makhluk bio psiko sosio kultural dan
spiritual yang unik

b. Manusia terdiri dari pria dan wanita yang kemudian kedua jenis individu
itu berpasangan menikah membentuk keluarga yang mempunyai anak

c. Bidan berkeyakinan bahwa setiap individu berhak memperoleh pelayanan


kesehatan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan manusia
dan perbedaan budaya

d. Persalinan adalah satu proses yang alami, peristiwa normal, namun apabila
tidak dikelolah dengan tepat dapat berubah menjadi abnormal

e. Setiap individu berhak untuk dilahirkan secara sehat untuk itu maka setiap
wanita usia subur, ibu hamil, melahirkan dan bayinya behak mendapatkan
pelayanan yang berkualitas

f. Pengalaman melahirkan anak merupakan tugas perkembangan keluarga,


yang membutuhkan persiapan

g. Kesehatan ibu periode reproduksi dipengaruhi oleh perilaku ibu,


lingkungan dan pelayanan kesehatan

Paradigma Kebidanan
Kebidanan dalam bekerja memberikan pelayanan keprofesiannya berpegang pada
paradigma berupa pandangan terhadap manusia/wanita, lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan keturunan.

a. Wanita

Wanita/ manusia adalah makhluk biopsiko sosial kultural dan spiritual yang utuh dan
unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bemacam-macam sesual dengan tingkat
perkembangannya.

b. Lingkungan

Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi
individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya.

c. Perilaku ‘

Perilaku merupakan hasil dari berbagai pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan sikap dan tindakan.

d. Pelayanan kebidanan

Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diarahkan
untuk mewujudkan kesehatan keluarga dalam rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan
sejahtera.

e. Keturunan

Kualitas manusia diantaranya ditentukan oleh keturunan. Manusia yang sehat dilahirkan
oleh ibu yang sehat. Hal ini menyangkut penyiapan wanita sebelum perkawinan, masa
kehamilan, masa kelahiran dan masa nifas.

Lingkup Praktek Kebidanan

Lingkup prakek kebidanan yang digunakan meliputi asuhan mandiri/ otonomi pada anak-
anak perem, remaja putri dan wanita desa sebelum, selama kehamilan dan selanjutnya. Hal
ini berarti bidan membeirkan pengawasan yang diperlukan asuhan serta nasehat bagi wanita
selama masa hamil, bersalin dan nifas.

Standar Praktek Kebidanan

Standar I : Metode asuhan

Metode asuhan meliputi : pengumpulan data, penentuan diagnosa perencanan


pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.

Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan.

Standar III : Diagnosa kebidanan

Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan.

Standar IV : Rencana asuhan

Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan.

Standar V : Tindakan

Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien.

Standar VI : Partisipasi klien

Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/ partisipasi klien dan keluarga dalam


rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.

Standar VII : PengawasanMonitor/pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus


menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.

Standar VII : Evaluasi

Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring dengan tindakan


kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang tidak dirumuskan.

Standar IX : Dokumentasi

Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan


kebidanan yang diberikan.

Aspek-aspek hukum Praktek Kebidanan

Pada Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996:

1. Tenaga kesehatan sarjana yaitu dokter, dokter gigi, apoteker,sarjana lain dalam bidang
kesehatan

2. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah misalo asisten apoteker, perawat,
bidan

Pelayanan bidan yang terkait dengan aspek hukum :

 Tindakan kesehatan Administrasi meliputi : pendidikan formal,SIB.SIPB Inform


consent

 Tindakan kesehatan diagnostik meliputi : jaminan kerahasiaan,mutu pelayanan


 Tindakan kesehatan terapi meliputi : SPK, Standar profesi

Dasar hukum yang terkait dengan profesi bidan :

 Undang-undang no 23 tahun 1992 tentang kesehatan

 SK Menkes no 125/IV/Kab/ BU/ 75 tentang susunan organisasi dan tata kerja


DepKes

 Peraturan Pemerintah no 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

 Kepmenkes RI no 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek


Bidan

 Permenkes RI no 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin dan


penyelengaraan praktek.

Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pelayanan dan Wewenang Bidan

 KEPMENKES No 5380/1963,tentang wewenang terbatas bagi Bidan

 KEPMENKES No 363 /MENKES/PER/IX/1980 TENTANG WEWENANG Bidan

 KEPMENKES No 572 /MENKES /PER/VI/1996 tentang registrasi dan Praktik Bidan

 KEPMENKES No 900/MENKES/sk/ VII/2002 tentang registrasi dan Praktik Bidan

 KEPMENKES NO.369/MENKES/ SK/III/2007

b. Hak-hak klien dan persetujuannya untuk bertindak

Hak pasien :

• Hak mendapatkan informasi secukupnya

• Hak memberi persetujuan (informed Consent)

• Hak atas rahasia Medis

• Hak atas pendapat kedua ( second opinion )

• Hak untuk menolak pemeriksaan dan pengobatan

• Hak untuk memperoleh perlindungan hukum

• Hak untuk mengetahui biaya pemeriksaan


Kewajiban pasien

• Memberikan informasi yang lengkap & tepat

• Menghormati Profesi Bidan

• Mentaati nasehat & petunjuk pelayanan

• Menghormati aturan dan pengaturan

• Memenuhi semua kewajiban membayar biaya pelayanan

• Menghormati dan memperhatikan kepentingan milik pasien lain dan petugas kesehatan

• Bertanggung jawab sendiri atas penolakan pengobatan

INFORMED CONSENT

Kata concent berasal dari bahasa latin, consentio yang artinya persetujuan izin,
menyetujui ; atau pengertian yang lebih luas adalah memberi izin atau wewenang kepada
seseorang untuk melakukan suatu informed consent (IC), dengan demikian suatu penyataan
setuju atau izin oleh pasien secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi
yang dipahaminya darri tenaga kesehatan/dokter tentang penyakitnya. Harus diingat bahwa
yang terpenting adalah pemahaman oleh pasien.

Pengertian lain yaitu Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
(orang tua/wali/suami/istri/orang yang berhak mewakilinya) kepada tenahga kesehatan/dokter
untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang
dideritanya. Informed Consent berarti pernyataan kesediaan atau penolakan setelah mendapat
informasi secukupnya.

Jay katz mengemukakan falsafah dasar informed consent yaitu pada hakikatnya suatu
keputusan pemberian pengobatan atas pasien harus terjadi secara kolaboratif (kerjasama)
antara tenaga kesehatan/dokter dan pasien serta bukan semata-mata keputusan sepihak.
Dengan demikian, informed consent mengandung 2 unsur utama, yakni sukarela
(voluntariness) dan memahami (understanding).

Ada 2 bentuk informed consent yaitu :

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied consent)

a. Keadaan normal

b. Keadaan darurat

2. Dinyatakan (expressed consent)

a. Lisan
b. Tulisan

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.
Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui
umum.

Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat
(emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan
tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat maka dokter dapat
melakukan tindakan medic terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal
11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed Consent, artinya bila pasien dalam
keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

Exressed Consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila
yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam
keadaan demikian sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang
akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian.

1. Informasi

Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang informed consent dinyatakan bahwa
dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau
tidak diminta, jadi indormasi harus disampaikan. Informasi tersebut meliputi informasi
mengenai apa (what) yang perlu disampaikan, kapan disampaikan (when), siapa yang harus
menyampaikan (Who), dan informasi yang mana (Which) yang perlu disampaikan.

2. Persetujuan

The Medical Denfence Union dalam bukunya Medicolegal Issues in Clinical


Practice,menyatakan bahwa ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya Informed Consent
yaitu :

a. Diberikan secara bebas

b. Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian

c. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat
memahami tindakan itu perlu dilakukan

d. Mengenai sesuatu hal yang khas

e. Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama


3. Penolakan

Seperti dikemukakan pada bagian awal, Tidak selamanya pasien atau keluarga setuju
dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian kalangan dokter
maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga
mempunyai hak menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai informed
Refusal.

Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjuran, walaupun
dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien. Bila dokter
gagal dalam meyakinkan pasien pada alternative tindakan yang diperlukan, maka untuk
keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga
menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan.

C. Tanggung jawab dan tanggung gugat bidan dalam praktek kebidanan

TANGGUNG JAWAB BIDAN

Sebagai tenaga professional, bidan memikul tanggung jawab dalam melaksanakan


tugasnya. Seorang bidan harus dapat mempertahankan tanggung jawabnya bila terjadi
gugatan terhadap tindakan yang dilakukannya.

1. Tanggung Jawab Terhadap Peraturan Perundang-Undangan

Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di
dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta
ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur didalam peraturan atau
kepuasan menteri kesehatan.

Kegiatan praktik bidan dikontrak oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Tanggung jawab terhadap pengembangan kompetensi

Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemempuan profesionalnya. Oleh


karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan
mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, serta pertemuan ilmiah lainnya.

3. Tanggung jawab terhadap penyimpanan catatan kebidanan

Setiap bidan diharuskan mendokumentasikan kegiatan dalam bentuk catatan tertulis.


Catatan bidan mengenai pasien yang dilayaninya dapat dipertanggungjawabkan bila terjadi
gugatan.catatan yang dilakukan bidan dapat digunakan sebagai bahan lporan untuk
disampaikan kepada atasannya.
4. Tanggung jawab terhadap keluarga yang dilayani

Bidan memiliki kewajiban memberi asuhan kepada ibu dan anak yang meminta
pertolongan kepadanya. Ibu dan anak merupakan bagian dari keluarga. Oleh karena itu,
kegiatan bidan sangat erat kegiatannya dengan keluarga.tanggung jawab bidan tidak hanya
pada kesehatan ibu dan anak, tetapi juga menyangkut kesehatan keluarga.

Dalam menjalankan kewenangan yang sesuai dengan Landasan Hukum maka Bidan
bertanggung jawab atas pelayanan mandiri yang diberikan dan berupaya secara optimal
dengan mengutamakan keselamatan ibu dan bayi atau janin.

Tuntutan Hukum atau tanggung gugat bisa berupa:

1. Tuntutan pidana

Tuntutan Pidana terjadi karena dakwaan dilakukan kejahatan atau pelanggaran seperti
yang diatur dalam KUH Pidana

2. Tuntutan Perdata

Tuntutan Perdata dapat terjadi karen gugatan telah dilakukan :

a. Tindakan melawan hukum

b. Tindakan ingkar janji

3. Tuntutan Administrasi

Tuntutan administratif dapat terjadi :

a. Pelanggaran disiplin atau tata tertib yang tidak dapat dipidana atau dituntut perdata Yang
Melandasi Tugas,Fungsi dan Praktek Bidan

A. Tanggung Jawab Dalam Praktek Kebidanan

1. Tanggung jawab bidan terhadap klien dan masyarakat

a) Setiap bidan senantiasa menjungjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah


jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.

b) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan
martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.

c) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

d) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien,


menghormati hak-hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
e) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien,
keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
kemampuan yang dimilikinya.

f) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan
tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat
kesehatannya secara optimal.

2. Tanggung jawab bidan terhadap tugasnya

a) Setiap bidan senantiasa pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan masyarakat
sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga
dan masyarakat.

b) Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam


mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi atau
rujukan.

c) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan, keterangan yang didapat atau dipercayakan
kepadanya kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan kepentingan
klien.

3. Tanggung jawab bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya

a) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan
suasana kerja yang serasi

b) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap
sejawatnya maupun lainnya

4. Tanggung jawab bidan terhadap profesinya

a) Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya dengan
menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada
masyarakat.

b) Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan


profesinya sesuai dengan IPTEK.

c) Setiap bidan senantiasa berperans serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan
sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.

5. Tanggung jawab bidan terhadap pemerintah

a) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan


pemerintah dalam bidang kesehatan khususnya dalam KIA/KB dan kesehatan keluarga dan
masyarakat
b) Setiap bidan melalui profesinya berpatisipasi dan menyumbangkan pemikirannya
kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan pelayanan kesehatan, terutama
KIA/KB dan keluarga

B. Tanggung Gugat Dalam Praktek Kebidanan

Tanggung gugat terjadi karena beberapa hal :

1. Mal episiensi, keputusan yang diambil merugikan pasien

2. Mal praktek/ lalai :

· Gagal melakukan tugas

· Tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar

· Melakukan kegiatan yang mencederai klien

· Klien cedera karena kegagalan melaksanakan tugas

3. Mal praktek terjadi karena :

· Ceroboh

· Lupa

· Gagal mengkomunikasikan

Contoh kasus :

Di sebuah desa terpencil seorang ibu mengalami perdarahan post partum telah
melahirkan bayinya yang pertama di rumah. Ibu tersebut menolak untuk diberikan suntikan
utero tonika, bila ditinjau dari hak pasien atas keputusan yang menyangkut dirinya maka
bidan bisa saja memberikan suntikan jika kemauan pasien tetapi bidan akan berhadapan
dengan masalah yang rumit lagi. Bila terjadi perdarahan hebat dan harus diupayakan
pertolongan untuk merujuk pasien dan yang lebih fatal lagi bila pasien akhirnya meninggal
akibat perdarahan dalam hal ini bidan dikatakan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik,
walaupun bidan harus memaksa pasiennya untuk disuntik mungkin itu keputusan yang
terbaik untuk dilakukan.

UU ttg ketenaga-kerjaan No.13 tahun 2003

Bidan termasuk tenaga kerja yang mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan Mempunyai Hak :

• Memperoleh perlindungan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan

• Perlindungan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja


• Menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi

D. Standar Praktek Kebidanan

Standar I : Metode asuhan

Metode asuhan meliputi : pengumpulan data, penentuan diagnosa perencanan


pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.

Standar II : Pengkajian

Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan.

Standar III : Diagnosa kebidanan

Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan.

Standar IV : Rencana asuhan

Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan.

Standar V : Tindakan

Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien.

Standar VI : Partisipasi klien

Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/ partisipasi klien dan keluarga dalam


rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.

Standar VII : PengawasanMonitor/pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus


menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.

Standar VII : Evaluasi

Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring dengan tindakan


kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang tidak dirumuskan.

Standar IX : Dokumentasi

Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan


kebidanan yang diberikan.
E. UU Kesehatan No.36 tahun 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a.bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;

c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat
Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara;

d.bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti
pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung
jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;

e.bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru;

f.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,


huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;

Mengingat:

Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

2.Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan,
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang
dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

3.Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.

4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung
obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia.

9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.

10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan
manusia.

11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.

12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/ penyakit.

14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
terjaga seoptimal mungkin.

15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya.

16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan
obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.

17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati,atau walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanuaiaan,


keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan,
gender dan nondiskriminatil dan norma-norma agama.

Pasal 3

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setingi-tinginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sasial dan ekonomis.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak

Pasal 4

Setiap orang berhak atas kesehatan.

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang kesehatan.

(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.

(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 6

Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.

Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.

Pasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Bagian Kedua

Kewajiban

Pasal 9

(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan


derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya
kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan.

Pasal 10

Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan
yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.

Pasal 11

Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan
memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 12

Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.

Pasal 13

(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.

(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH


Pasal 14

(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina,


dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat.

(2) Tanggungjawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada
pelayanan publik.

Pasal 15

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik
fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.

Pasal 16

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil
dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.

Pasal 17

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.

Pasal 18

Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat


dalam segala bentuk upaya kesehatan.

Pasal 19

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang
bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

Pasal 20

(1)Pemerintah bertanggungjawab atas Pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui


sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.

(2)Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

F. PP No 32 tahun 1996,tentang tenaga kesehatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 32 TAHUN 1996

TENTANG

TENAGA KESEHATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang


Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kesehatan;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 100,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;

2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya


kesehatan;

3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau masyarakat;

4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.


BAB II

JENIS TENAGA KESEHATAN

Pasal 2

(1) Tenaga kesehatan terdiri dari :

a. tenaga medis;

b. tenaga keperawatan;

c. tenaga kefarmasian;

d. tenaga kesehatan masyarakat;

e. tenaga gizi;

f. tenaga keterapian fisik;

g. tenaga keteknisian medis.

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,


mikrobiolog kesehatan,

penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.

(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.

(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.

(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis

kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

BAB III

PERSYARATAN

Pasal 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

Pasal 4

(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang
bersangkutan

memiliki ijin dari Menteri.

(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga
kesehatan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.

Pasal 5

(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga
kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya
kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.

BAB IV

PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN

Bagian Kesatu

Perencanaan

Pasal 6

(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.

(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
nasional tenaga kesehatan.

(3) Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memper-hatikan faktor :

a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;

b. sarana kesehatan;

c. jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan.
(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua

Pengadaan

Pasal 7

Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 8

(1) Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pen-didikan yang


diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.

(2) Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 9

(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau


penguasaan pengetahuan dibidang teknis kesehatan.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis
tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 10

(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di
bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya .

(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian
kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada sarana
kesehatan yang ber-sangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui
pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 11

(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau
tempat pelatihan lainnya.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Peme-rintah dan/atau


masyarakat.

Pasal 12

(1) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilaksanakan


dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan atas
dasar ijin Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
oleh Menteri.

Pasal 13

(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya :

a. calon peserta pelatihan;

b. tenaga kepelatihan;

c. kurikulum;

d. sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan;

e. sarana dan prasarana.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 14

(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan
yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata :

a. tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);

(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga

Penempatan

Pasal 15

(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, Pemerintah
dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk
jangka waktu tertentu.
(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
cara masa bakti.

(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 16

Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.

Pasal 17

Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan memperhatikan :

a. kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;

b. lamanya penempatan;

c. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;

d. prioritas sarana kesehatan.

Pasal 18

(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada :

a. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;

b. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh


Pemerintah;

c. lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;

d. lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.

Pasal 19

(1) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari
Menteri.

(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi
tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana
kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 20

Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa :

a. pegawai negeri; atau

b. pegawai tidak tetap.

BAB V

STANDAR PROFESI DAN

PERLINDUNGAN HUKUM

Bagian Kesatu

Standar Profesi

Pasal 21

(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya ber-kewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.

(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 22

(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban
untuk :

a. menghormati hak pasien;

b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;

c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;

d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;

e. membuat dan memelihara rekam medis.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

Pasal 23
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya
kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua

Perlindungan Hukum

Pasal 24

(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

BAB VI

PENGHARGAAN

Pasal 25

(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar prestasi kerja,
pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas
diberikan penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat.

(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain.

BAB VII

IKATAN PROFESI

Pasal 26

(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan
dan/atau mengembangkan penge-tahuan dan keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga
kesehatan.

(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING

Pasal 27

(1) Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar
ijin dari Menteri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri dengan memperhati-kan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang tenaga kerja asing.

BAB IX

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu

Pembinaan

Pasal 28

(1) Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi
tenaga kesehatan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pembinaan karier,
disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.

Pasal 29

(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian
penghargaan.

(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

(1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan/atau
pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.

(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31

(1) Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.

(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui :

a. bimbingan;
b. pelatihan di bidang kesehatan;

c. penetapan standar profesi tenaga kesehatan.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 32

Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas


profesinya.

Pasal 33

(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga
kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
yang bersangkutan.

(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :

a. teguran;

b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.

(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB X

KETENTUAN PIDANA

Pasal 34

Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Pasal 35

Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,


barangsiapa dengan sengaja :

a. melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1);

c. melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);

d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); dipidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 37

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Mei 1996

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

G. Permenkes 1796 tahun 2011,tengtang

Registrasi Tenaga Kesehatan dalam PERMENKES RI Nomor


1796/Menkes/PER/VIII/2011

PERMENKES RI NOMOR 1796/MENKES/PER/VIII/2011

TENTANG REGISTRASI TENAGA KESEHATAN

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 161/Menkes/Per/I/2010


Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan telah diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1796/Menkes/Per/VIII/2011 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan

Setiap tenaga kesehatan wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) bukan lagi SIB,
sebelum tenaga kesehatan tersebut melaksanakan tugasnya dalam profesinya

Beberapa point penting yang harus menjadi perhatian bagi kita, perawat adalah sebagai
berikut:

1. Bagi seluruh Lulusan pendidikan keperawatan sebelum tahun 2012, maka pemutihan STR
dapat diperoleh tanpa harus melakukan Uji Kompetensi dan berlaku selama 5 (lima) tahun
sedangkan bagi lulusan minimal tahun 2012, untuk mendapatkan STR harus melalui Uji
kompetensi.

2. Untuk mendapatkan pemutihan STR tersebut,setiap tenaga kesehatan mengusulkan


permohonan kepada Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dengan melampirkan hal-
hal sebagai berikut :

1. Ijasah terakhir yang dilegalisir (SPK, D3, Ners, Ners Spesialis)

2. Pas Foto ukuran 4×6 latar belakang merah,sebanyak 3 lembar

Bagi Perawat di masing-masing Provinsi, silahkan berkoordinasi dengan PPNI, baik di


komisariat maupun di kabupaten kota untuk melakukan pengajuan STR secara kolektif

3. Pengurusan STR tidak dipungut biaya sepeserpun

Sebagaimana tercantum dalam BAB II pasal 5 bahwa partisipasi tenaga kesehatan


tersebut dapat digunakan sepanjang telah memenuhi Persyaratan perolehan Satuan Kridit
Profesi. Perolehan Satuan Kridit Profesi harus mencapai minimal 25 (dua Puluh Lima)
Satuan Kredit Profesi Profesi) selama 5 (lima tahun).

H. PP/UU tengtang: Aborsi,Bayi tabung,Adopsi

A. Peraturan Perundang-Undangan tentang Aborsi

1. Abortus atas indikasi medik diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia, No 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan.

a. Pasal 75

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

2) larangan pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik beratdan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

4) Tindakan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:

1) Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis.

2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.

3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.

4) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

5) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.

c. Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Pasal 194 (ketentuan pidana)

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah).

2. Beberapa pasal dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur


aborsi buatan/disengaja :

a. Pasal 229

1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan. Maka orang tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.

2) Jika yang bersalah berbuat demikian demi mencari keuntungan, menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atrau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.

b. Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan, menghabisi nyawa kandungannya atau


menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

c. Pasal 347

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungan


seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.

2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya orang tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.

d. Pasal 348

1) Siapa yang dengan sengaja menggugurkan atau menghabisi nyawa kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.

2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana


penjara paling lama tujuh tahun.

e. Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

f. Pasal 535

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan


kandungan, maupun secara terang-terangan atau diminta menawarkan, ataupun secara terang-
terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat,
sarana atau perantara yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

B. Peraturan Perundang-Undangan tentang Bayi Tabung

1. Dasar Hukum Pelaksanaan Bayi Tabung di Indonesia Undang-Undang RI No


36/2009.

a. Pasal 127

1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan:
(a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum berasal.

(b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu; dan

(c) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan diluar cara alamiah sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari beberapa
kondisi berikut ini:

a) Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam
rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta
keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).

b) Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak
yang terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki
benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata).

c) Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi
embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir
statusnya sah bagi pasutri tersebut.

d) Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir adalah
anak di luar nikah.

C. Peraturan Perundang-Undangan tentang Adopsi

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :

1. Pasangan Suami Istri. Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri
diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun
1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/ pengangkatan anak. Selain itu
Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah
calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan
anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon
anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
2. Orang tua tunggal

a. Staatblaad 1917 No. 129. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi
orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat
perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda
yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak
menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.

Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki
dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan.

b. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983, mengatur tentang pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang
langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga
tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang
tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika
Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin
mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.

c. Tata cara mengadopsi.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi
anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan
permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan
diangkat itu berada.Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke
panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya,
dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.

d. Isi permohonan, adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah motivasi
mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
-penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.

e. Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi
yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula
orang yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.

f. Yang dilarang dalam permohonan, Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan
dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:

1) Menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.

2) Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon. Hal ini
disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak
ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat
dari pemohon, atau berisi pengesahan saja. Mengingat bahwa Pengadilan akan
mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan
finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis
hakim tentang kemampuan pemohon dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti
tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.

g. Pencatatan di kantor Catatan Sipil, Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan,


Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan
yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan
keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut
telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua
angkatnya.

h. Akibat hukum pengangkatan anak, pengangkatan anak berdampak pula pada hal
perwalian dan waris.

1) Perwalian

Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua
angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban
orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan
beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah
orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.

2) Waris

Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya
seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi
anak angkat.
I. Permenkes No 1464 tahun 2010

PERMENKES RI NO 1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN


PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN

BAB 1

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Bidan adalah seorang perempuan yg lulus dari pendidkan bidan yang telah teregistrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yg digunakan untuk menyelenggarakan


upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif,
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

3. Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat
kompetensi

4. Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.

5. Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk mejalankan praktik
bidan mandiri

6. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam


menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar
operasional prosedur.

7. Praktik mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.

8. Organisasi profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI).


BAB 11

PERIZINAN

Pasal 2

1. Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan


kesehatan.

2. Bidan yg menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III (D


III) Kebidanan.

Pasal 3

1. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.

2. Setiap bidan yg menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.

3. SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1
(satu) tempat.

Pasal 4

1. Untuk memperoleh SIKB dan SIPB sebagaimana dimaksud pada pasal 3, Bidan
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
melampirkan :

a. Fotokopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir

b. Surat ket sehat fisik dari dokter yangg memiliki SIP

c. Surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan

d. Kesehatan atau tempat praktik

e. Pasfoto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar

f. Rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang


ditunjuk

g. Rekomendasi dari organisasi profesi.

2. Kewajiban memiliki STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,


dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), Majelis


Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan, Surat
Izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR.
4. Contoh surat permohonan memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Formulir I terlampir

5. Contoh SIKB sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir

6. Contoh SIPB sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir

Pasal 5

1. SIKB / SIPB dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten / kota

2. Dalam hal SIKB/SIPB dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota maka


persyaratan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) huruf e tidak diperlukan.

3. Permohonan SIB/SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh pemerintah
daerah kabupaten /kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota kpeada pemohon dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima.

Pasal 6

Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan/atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat kerja
dan 1 (satu) tempat praktik.

Pasal 7

1. SIKB/SIPB berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika
habis masa berlakunya.

2. Pembaharuan SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada


pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dengan melampirkan :

a. fotokopi SIKB/SIB yg lama

b. fotokopi STR

c. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki SIP

d. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 sebanyak 3 (tiga) lembar

e. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang


ditunjuk sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e

f. rekomendasi dari oranisasi profesi

Pasal 8

SIKB/SIPB dinyatakan tdk berlaku bila :

a. Tempat kerja/praktik tidak sesuai lagi dengan SIKB/SIPB

b. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang


c. Dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin

BAB III

PENYELENGGARAAN PRAKTIK

Pasal 9

Bidan dalam mejalankan praktik berwenang untuk memberikan Pelayanan yang meliputi :

1. Pelayanan kesehatan ibu

2. Pelayanan kesehatan anak

3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana

Pasal 10

1. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a diberikan pada
masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua
kehamilan.

2. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Pelayanan konseling pada masa pra hamil

b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

c. Pelayanan persalinan normal

d. Pelayanan ibu nifas normal

e. Pelayanan ibu menyusui

f. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan

3. Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berwenang


untuk :

a. Episiotomi

b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II

c. Penanganan kegawat-daruratan, dlanjutkan dengan perujukan

d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil

e. Pemberian Vit A dosis tinggi pada ibu nifas

f. Bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi ASI ekslusif


g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan

postpartum

h. Penyuluhan dan konseling

i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil

j. Pemberian surat keterangan kematian

k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin

Pasal 11

1. Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksd dalam pasal 9 huruf b diberikan pada bayi
baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah

2. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk :

a. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,

pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi vit K 1, perawatan bayi baru
lahir pada masa neonatal (0-28 hr)

perawatan tali pusat

b. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk

c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan rujukan

d. Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah

e. Pemantauan tubuh kembang bayi, anak balita dan anak pra

sekolah

f. Pemberian konseling dan penyuluhan

g. Pemberian surat keterangan kelahiran

h. Pemberian surat keterangan kematian

Pasal 12

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga


berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c berwenang untuk

a. Memberikan penyuluhan dan konseling; kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga


berencana

b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom


Pasal 13

1. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, 11, dan 12, bidan yang
menjalankan program pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi :

a. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kotrasepsi dalam rahim, dan alat kontrasepsi
bawah kulit

b. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu


dilakukan dibawah supervisi dokter

c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan

d. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan


anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan

e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah, dan anak
sekolah

f. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas

g. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan

tehadap Infeksi Menular Seksual ( IMS ) termasuk pemberian

kondom, dan penyakit lainnya

h. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi

i. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah

2. Pelayanan alat kontasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan
anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk dan memberikan peyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan
yang telah dilatih untuk itu.

Pasal 14

1. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
2. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

3. Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter,
kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.

Pasal 15

Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktek mandiri tertentu untuk


melaksanakan program pemerintah

1. Bidan praktek mandiri yang ditugaskan sebagai pelaksana program pemerintah


berhak atas pelatihan dan pembinaan dari pemeritah daerah provinsi/kabupaten/kota.

Pasal 16

1. Pada daerah yang belum memiliki dokter, pemerintah dan pemerintah daerah harus
menempatkan bidan dengan pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.

2. Apabila tidak terdapat tenaga bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah dan pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.

3. Pemerintah daerah propinsi/kabupaten/kota bertanggung jawab menyelenggarakan


pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memilki dokter.

Pasal 17

1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi :

a. Memiliki tempat praktek, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan
kebidanan, serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan pra
sekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan sehat

b. menyediakan maksimal 2 ( dua ) tempat tidur untuk persalinan

c. memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan

yang berlaku

2. Ketentuan persyaratan tempat praktik dan peralatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) satu tercantum dalam Lampiran Peraturan ini

Pasal 18

1. Dalam melaksanakan praktek/kerja, bidan berkewajiban untuk :

a. Menghormati hak pasien

b. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan


yang dibutuhkan
c. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan
tepat waktu

d. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan

e. Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan

f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelyanan lainnya secara sistematis

g. Mematuhi standar

h. Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk


pelaporan kelahiran dan kematian

2. Bidan dalam menjalankan praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan


profesinya, dengan mengikuti perkembangan iptek melalui pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan bidang tugasnya.

3. Bidan dlm menjalankan praktik kebidanan hrs membantu program pemerintah dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Pasal 19

Dalam melaksanakan praktek bidan mempunyai hak :

1. Memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan praktik/kerja sepanjang


sesuai dengan standar

2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya

3. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar

4. Menerima imbalan jasa profesi.

BAB IV

PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pasal 20

1. Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan


sesuai dg pelayanan yg diberikan.

2. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke Puskesmas wilayah


tempat praktik.

3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan yang
bekerja di fasilitas pelayan kesehatan.
BAB V

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 21

1. Menteri, Pemerintah daerah Provinsi, Pemda kabupaten/kota melakukan pembinaan


dan pengawasan dengan mengikutsertakan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, Majelis
Tenaga Kesehatan Provinsi, organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan yang
bersangkutan.

2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pd ayat (1) diarahkan untuk


meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap
segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan

3. Kepala Dinas Kesehatan Kab/kota hraus melaksanakan pembinaan dan pengawasan


penyelenggaraan praktik bidan.

4. Dalam melaksanakan tugas sebaggimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas
Kab/Kota hraus membuat pemetaan tenaga bidan praktik mandiri dan bidan di desa serta
menetapkan dokter Puskesmas terdekat untuk pelaksanaan tugas supervisi terhadap bidan di
wilayah tersebut.

Pasal 22

Pimpinan fasilitas kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan yang berhenti bekerja
di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi

Pasal 23

1. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21,


Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/kota dapat memberikan tindakan
administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan
praktik dalam Peraturan ini.

2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :

a. Teguran lisan

b. Teguran tertulis

c. Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun

d. Pencabutan SKIB/SIPB selamanya


BAB VI

KETNTUAN PERALIHAN

Pasal 25

1. Bidan yang telah mempunyai SIPB berdasarkan Kepmenkes No


900/Menkes/SK/VI/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan dan Permenkes No
HK.02.02/Menkes/149/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dinyatakan
telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan ini s.d. masa berlakunya berakhir.

2. Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperbaharui SIPB apabila
Surat Izin Bidan yang bersangkutan telah habis jangka waktunya berdasarkan Peraturan ini.

Pasal 26

Apabila Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Kesehatan Provinsi
(MTKP) belum dibentuk dan/atau belum dapat melaksanakan tugasnya maka registrasi bidan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kepmenkes No 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
Registrasi dan Praktik Bidan.

Pasal 27

Bidan yang telah melaksanakan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum ditetapkan
Peraturan ini harus memiliki SIKB berdasarkan Peraturan ini paling selambat-lambatnya 1
(satu) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.

Pasal 28

Bidan yang berpendidikan di bawah Diploma III (D III) Kebidanan yang menjalankan praktik
mandiri hrs menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan ini selambat-lambatnya 5 (lima) tahun
sejak Peraturan ini ditetapkan

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

Pada saat peraturan ini mulai berlaku :

a. Kepmenkes No 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan


sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dan praktik bidan

b. Permenkes No HK.02.02/Menkes/149/I/2010 tentang Izin dan penyelenggaraan


Praktik Bidan; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30

Peraturan ini berlaku pada tgl diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 4 Oktober 2010

Menteri Kesehatan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

• Bidan adalah seorang yang telahmenyelesaikan Program Pendidikan Bidanyang diakui


Negara serta memperolehkualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan
di Negara itu. Dia harus mampu memberikan supervise, asuhan dan memberikan nasehat
yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hmil , persalinan dan masa pasca persalinan,
memimpin persalianan atas tanggung jawab sendiri serta asuhan padabayi baru lahir dan
anak.

• Pekerjaan itu termaksud pendidikanantenatal, dan persiapan untuk menjadiorangtua dan


meluas kedaerah tertentu dariginekologi, KB dan Asuhan anak, RumahPerawatan, dan
tempat – tempat pelayananlainnya (ICM 1990)
DAFTAR PUSTAKA

50 Tahun Ikatan bidan Indonesia. Sofyan M, Madjid NA, Siahaan R, editors. jakarta: PP IBI;
2009.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG


KESEHATAN. 1992.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 Tentang


Registrasi Dan Praktik Bidan. 2002.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/Sk/III/2007 Tentang


Standar Profesi Bidan. 2007.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/149/2010


Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 2010.

Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek


Bidan. 2010.

Indrayani, Djami MEu. Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: CV Trans Info
Media; 2013.

Mafluha Y, Nurzannah S. Modul Etika dan Hukum Kesehatan Bagi Mahasiswa Diploma III
Kebidanan. Tangerang: Akademi Kebidanan Bina Husada Tangerang; 2016

S-ar putea să vă placă și