Sunteți pe pagina 1din 21

1

TUGAS AMDAL DAN ISO

PERANGKAT MANAJEMEN LINGKUNGAN

Disusun Oleh:

Amelia Majid (1606831792)

Dosen:

Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik, DEA

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2019

Universitas Indonesia
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2


BAB 1 – LINGKUP PROYEK ............................................................................. 3
1.1 AMDAL 3
1.2 UKL DAN UPL 4
1.3 PROPER 5
1.4 ISO 14000 6
1.5 CLEANER PRODUCTION 7
1.6 EKOLABEL 8
1.7 AUDIT LINGKUNGAN 8
BAB 2 – LINGKUP EKOSISTEM ...................................................................... 9
2.1 PROKASIH 9
2.2 PROGRAM LANGIT BIRU 10
2.3 ADIPURA 11
2.4 PANTAI DAN LAUT LESTARI 12
2.5 PROGRAM DAS KRITIS 13
2.6 KEANEKARAGAMAN HAYATI 13
BAB 3 – LINGKUP KABUPATEN DAN NASIONAL ................................... 14
3.1 GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE 14
3.2 MARKET-BASED INSTRUMENTS (MBI) 15
3.3 PERATURAN 16
BAB 4 – LINGKUP GLOBAL ........................................................................... 17
4.1 PROTOKOL KYOTO 17
4.2 KONVENSI BAZEL 18
4.3 PROTOKOL MONTREAL 18
4.4 PROTOKOL CARTAGENA 19
BAB 5 – REFERENSI ........................................................................................ 20

Universitas Indonesia
3

Sebagai upaya untuk menjaga agar setiap aktivitas manusia yang bersentuhan dengan
lingkungan hidup tidak membawa dampak negatif yang signifikan, maka dilakukan proses
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009,
kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Kesatuan upaya sistematis dalam mengusahakan
lingkungan yang lestari ini dapat diwujudkan dengan manajemen lingkungan. Manajemen
lingkungan merupakan sekumpulan aktivitas merencanakan, mengorganisasikan, dan menggerakkan
seluruh sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mencapai tujuan kebijakan lingkungan
yang telah ditetapkan (Purwanto, 2006).

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan berbagai perangkat manajemen lingkungan
hidup. Proses pengelolaan dimulai sejak dari lingkup proyek yang dilakukan sampai pada lingkup
internasional. Berikut merupakan penjelasan dari berbagai perangkat manajemen lingkungan hidup
yang digunakan mulai dari lingkup terendah (lingkup proyek) hingga lingkup tertinggi (lingkup
global)..

BAB 1 – LINGKUP PROYEK


1.1 AMDAL
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 PP No. 27 Tahun 1999, AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan) merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan. Pembuatan dokumen AMDAL dilakukan sebagai wujud upaya pre-
emptive, sebuah proyek yang direncanakan untuk dibangun akan dilihat kelayakannya dari segi
dampak positif maupun negatif yang nantinya dihasilkan ketika proyek tersebut dijalankan.
Hal ini dilakukan sehingga tidak terjadi perubahan yang tidak direncanakan dan dapat
meningkatkan dampak positif yang timbul dari adanya kegiatan proyek tersebut (Nusman,
2012).
Bentuk kegiatan yang masuk ke dalam proses verifikasi AMDAL adalah kegiatan
yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap lingkungan, seperti bentuk perubahan
bentuk lahan, eksploitasi sumber daya, dan proses kegiatannya dapat membawa pengaruh
potensial terhadap kerusakan sumber daya alam, konservasi lingkungan, serta keadaan sosial-
budaya. Penentuan jenis kegiatan yang wajib melakukan verifikasi AMDAL didasarkan pada
pembagian per sektor kegiatan, jenis kegiatan, skala besaran kegiatan, dan alasan dilakukannya

Universitas Indonesia
4

kegiatan tersebut. Kegiatan yang wajib melakukan AMDAL adalah apabila kegiatan tersebut
dilakukan di dekat situs konservasi lingkungan. Penilaian AMDAL dimulai sejak tahap pra-
konstruksi kegiatan dilakukan sampai pada tahap pasca operasi kegiatan.
Dokumen AMDAL meliputi:
a. Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL). Merupakan ruang
lingkup studi penilaian dampak penting lingkungan (ANDAL) sebagai hasil dari adanya
pelingkupan hal-hal penting pada proyek tersebut.
b. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL). Merupakan hasil penilaian dampak penting
suatu rencana kegiatan atau kegiatan yang telah berlangsung secara mendetail.
c. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL). Merupakan sebuah dokumen yang memuat
upaya penanganan dampak penting yang dihasilkan dari kegiatan yang telah berlangsung
terhadap lingkungan hidup.
d. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Merupakan sebuah dokumen yang memuat
upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat
adanya rencana usaha/kegiatan yang dilakukan.
e. Surat Pernyataan Penanggungjawab untuk Melaksanakan RKL-UPL.

1.2 UKL dan UPL


UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup) merupakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup bagi rencana kegiatan
atau usaha yang tidak wajib melakukan verifikasi AMDAL (Center for International Forestry
Research (CIFOR), 2010). Keduanya diatur sejak diberlakukannya PP No. 51 Tahun 1993
tentang AMDAL. Kegiatan yang memperoleh UKL dan UPL tidak melalui tahapan penilaian
dan presentasi untuk proses verifikasi, namun diberikan arahan teknis untuk memenuhi
standar-standar pengelolaan lingkungan hidup dalam bentuk isisan form yang diajukan pada
instansi pengelolaan lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota atau provinsi.
Selain karena tidak diberlakukannya verifikasi AMDAL pada kegiatan perusahaan ini,
UPL-UKL juga dilakukan dengan alasan bahwa dampak kegiatan masih dapat dikelola dengan
teknologi sederhana yang tersedia. Apabila rencana kegiatan perusahaan tidak masuk syarat
wajib AMDAL sebagaimana tercantum dalam PERMEN LH No. 11 Tahun 2006, maka hanya
diperlukan pengisian form UKL-UPL. Alasan dari tidak diwajibkannya AMDAL adalah
karena dampak dari rencana usaha dan/kegiatan dapat ditanggulangi berdasarkan kemampuan
ilmu yang dimiliki, dan dalam kenyataannya jenis rencana usaha dan/kegiatan tersebut tidak

Universitas Indonesia
5

menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup (Pasal 7 ayat 1 PERMEN LH No.
11 Tahun 2006).
Formulir isian UKL-UPL secara umum berisi:
a. Identitas pemrakarsa.
b. Rencana usaha dan/atau kegiatan.
c. Dampak lingkungan yang akan terjadi
d. Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan.
e. Tanda tangan dan cap perusahaan.

1.3 PROPER
Berdasarkan PERMEN LH No. 06 Tahun 2013, PROPER (Program Penilaian
Peringkat Kerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) merupakan program
penilaian terhadap upaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun. Perusahaan akan melaporkan kegiatan pengelolaan lingkungan hidupnya secara
berkala ke Kementerian Lingkungan Hidup, Kemen LH di sini berfungsi sebagai pengawas
atas kegiatan pengelolaan hidup lingkungan perusahaan tersebut. Hasil dari mekanisme
pengawasan yang dilakukan oleh Kemen LH dapat berupa pemberian insentif atau disinsentif
kepada penanggub jawab usaha/perusahaan. Pemberian hasil kinerja ini bergantung pada
bagaimana kinerja penanggung jawab usaha/perusahaan dalam mengelola: a) pengendalian
pencemaran lingkungan hidup, b) pengendalian perusakan lingkungan hidup, dan c)
pengelolaan limbah berbahaya dan beracun.
Penilaian kinerja penanggung jawab usaha/perusahaan dilakukan berdasarkan kriteria
Proper yang meliputi kriteria ketaatan (pemeringkatan biru, merah, dan hitam) dan kriteria
penilaian aspek lebih dari yang dipersyaratkan (beyond compliance, pemeringkatan hijau dan
emas). Maksud dari kriteria ketaatan adalah bagaimana perusahaan mampu menaati batas emisi
limbah yang disyaratkan serta menaati aturan pembuangan limbah yang diizinkan, seperti: 1)
persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya; 2) pengendalian pencemaran air; 3)
pengendalian pencemaran udara; 4) peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3); dan 5) potensi kerusakan lahan.. Sedangkan kriteria beyond compliance adalah
bagaimana perusahaan mengatur manajemen pengelolaan lingkungannya, seperti: 1) kriteria
penilaian sistem manajemen lingkungan; 2) kriteria penilaian pemanfaatan sumber daya; dan
3) kriteria penilaian pemberdayaan masyarakat.
Proper dilaksanakan dengan tahapan berikut:

Universitas Indonesia
6

a. Persiapan
b. Penilaian peringkat
c. Penilaian Mandiri, dilakukan oleh perusahaan jika selama penilaian peringkat telah
mendapat hasil yang memuaskan berturut-turut.
d. Penapisan calon kandidat hijau.
e. Penilaian hijau dan emas.
f. Pengumuman
g. Tindak lanjut.

1.4 ISO 14000


Manajemen organisasi yang dilakukan perusahaan banyak macam jenisnya, salah
satunya adalah manajemen aspek lingkungan. ISO 14000 merupakan salah satu alat untuk
memanajemen aspek lingkungan dari suatu organisasi (Sabrina, 2012). ISO 14000 juga
merupakan sebuah sistem internasional untuk memberi sertifikasi bagi para pengguna (re:
usaha/perusahaan), yng terdiri dari: 1) standar sistem manajemen lingkungan; 2) standar proses
audit lingkungan, 3) standar pelabelan lingkungan, 4) standar evaluasi kinerja lingkungan, 5)
standar analisis siklus hidup, 6) standar dan produk; 7) hal dan istilah. Beberapa alasan
perusahaan menerapkan ISO 14000 dalam manajemen lingkungannya adalah:
a. Meningkatkan kinerji kerja dari sisi lingkungan.
b. Meningkatkan kompetisi dengan perusahaan lain, sehingga berefek langsung pada
peningkatan efisiensi.
c. Meningkatkan citra perusahaan di mata publik dan meningkatkan kepercayaan pelanggan
terhadap perusahaan tersebut.

Terdapat macam-macam ragam ISO 14000, sebagai berikut:


 ISO 14001-04: Sistem manajemen lingkungan yang meliputi aturan umum, sistem, dan
teknik pendukung.
 ISO 14010 – 14012: Pedoman dalam melakukan audit lingkungan.
 ISO 14020 – 14024: Label lingkungan dan deklarasi.
 ISO 14031: Pedoman evaluasi kerja lingkungan.
 ISO 14040 – 14043: Life-cycle assesment.

Universitas Indonesia
7

Dalam pelaksanaan ISO 14000, diperlukan dua hal penting: kebijakan lingkungan dan
aspek lingkungan. Kebijakan lingkungan disusun oleh perusahaan sebagai kerangka
perencanaan dan pengambilan tindakan pengelolaan lingkungan. Kebijakan juga disusun
sebagai bukti bahwa perusahaan berkomitmen untuk turut menjaga lingkungan sekitar.
Sedangkan aspek lingkungan merupakan proses mengidentifikasi setiap atribut lingkungan
dari produk, aktivitas, dan jasa yang dilakukan perusahaan. Aspek lingkungan dapat juga
dikatakan sebagai elemen dari tindakan, produk atau jasa yang dilakukan perusahaan adn
dapat berhubungan dengan lingkungan, menghasilkan dampak lingkungan positif dan/atau
negatif. Beberapa hal yang berpotensi sebagai aspek lingkungan dari suatu organisasi adalah:
polusi udara, limbah padat dan berbahaya, kontaminasi tanah, pembuangan air, pemakaian
energi, penggunaan bahan bakar baku dan sumber daya alam lain, penanganan dan
penyimpanan bahan-bahan berbahaya.

1.5 Cleaner Production


Berdasarkan pengertian dari United Nations Environment Programme (UNEP),
Cleaner Production (bahasa: Produksi Bersih) merupakan kesatuan aktivitas perlindungan
lingkungan yang dilakukan perusahaan, yang berlangsung mulai dari proses produksi, hasil
produk itu sendiri, dan layanan yang dilakukan perusahaan. Aktivitas dilakukan secara terus
menerus dan memiliki tujuan untuk mengurangi resiko bahaya terhadap manusia dan
lingkungan sekitarnya, meningkatkan rasa kompetitif perusahaan, dan memastikan
keberlangsungan nilai ekonomi perusahaan tersebut (Regional Activity Centre for Sustainable
Consumption and Production, t.thn.). Dalam mencapai tujuan tersebut, di dalam aktivitasnya
Produk Bersih memanfaatkan segala upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan
baku, bahan penunjang dan energi di seluruh kegiatan produksi. Dari adanya efisiensi yang
dilakukan maka diharapkan bahwa sumber daya alam dapat lebih dilindungi dan digunakan
secara berkelanjutan.
Prinsip-prinsip pokok dalam pengelolaan Produksi Bersih adalah sebagai berikut
(Kementerian Lingkungan Hidup RI, 2015).
a. Mengurangi dan meminimalisir penggunaan bahan baku, air, dan pemakaian bahan
beracun dan berbahaya, serta mereduksi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga
mencegah dan/atau mengurangi timbulnya masalah pencemaran lingkungan.
b. Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi, berlaku dua arah baik dalam proses
produksi maupun dalam produk yang dihasilkan.

Universitas Indonesia
8

c. Upaya produksi bersih perlu diterapkan pada pola manajemen organisasi perusahaan dan
penanaman pada pola pikir dari pihak pemerintah maupun perusahaan yang terkait.
d. Mengaplikasikan teknologi ramah lingkungan, manajemen organisasi dan prosedur
sesuai dengan ketetapan yang telah disyaratkan.
e. Penggunaan prinsip 4R: Reuse, Reduction, Recovery, dan Recycling. Tidak seperti
konsep end-of-pipe treatments, pencegahan pencemaran dapat dilakukan pada berbagai
tahapan produksi yang dilakukan.

1.6 Ekolabel
Pada perkembangan dunia perdagangan internasional, penggunaan produk ramah
lingkungan menjadi semakin marak sebagai bentuk dukungan atas upaya perlindungan
lingkungan. Maka dari itu, penggunaan label ramah lingkungan atau Ekolabel menjadi sangat
penting. Ekolabel merupakan label, tanda, atau sertifikat pada suatu produk yang memberi
informasi kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya memberikan dampak
negatif lebih sedikit dibandingkan produk lainnya yang tidak menggunakan label ini
(HarianBernas.com, 2016). Beberapa landasan hukum pengembangan penggunaan Ekolabel di
Indonesia adalah sebagai berikut:
 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pasal 10 huruf E: mengembangkan perangkat
pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat proaktif.
 ISO 14024, Type 1 – Ecolabelling: panduan sertifikasi ekolabel pada produk.
 Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Produk-produk yang memiliki label Ekolabel adalah mereka yang memiliki dampak
besar terhadap lingkungan serta memiliki tingkat produksi dan konsumsi tinggi, adapun bentuk
produknya adalah: deterjen serbuk, tekstil dan produk tekstil, kertas cetak, produk kulit, sepatu
kasual, kertas tisu dan kertas kemasan. Saat ini, penerapan penggunaan Ekolabel bersifat
proaktif dan sukarela di mana pihak industri yang telah memenuhi kriteria dapat mengajukan
sertifikasi kepada LSE (Lembaga Sertifikasi Ekolabel) untuk memperoleh logo Ekolabel pada
produknya.

1.7 Audit Lingkungan


Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2009, audit lingkungan hidup merupakan
kegiatan evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Audit

Universitas Indonesia
9

merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan


hidup, dan bertujuan untuk meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Kegiatan audit termasuk ke dalam bentuk kegiatan proaktif terhadap operasional
perusahaan, dan dilakukan padat tingkat produksi. Fungsi dari dilakukannya audit adalah
(Syulasmi, 2013):
 Menilai peningkatan ketaatan suatu usaha terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan.
 Jaminan untuk menghindari kerusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan.
 Bukti keabsahan prakiraan dampak kegiatan usaha dan penerapan penerapan
rekomendasi lingkungan yang tercantum dalam Amdal.
 Peningkatan tindakan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dilaksanakan atau yang
perlu dilaksanakan oleh suatu usaha untuk memenuhi kepentingan lingkungan.

Sedangkan ruang lingkup pembahasan audit lingkungan adalah sebagai berikut:


 Histori rangkaian usaha dan kerusakan lingkungan di tempat usaha tersebut dan
lingkungan sekitarnya.
 Perubahan muka lingkungan.
 Penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, proses
penanganan dan pembuangan limbah (termasuk limbah B3).
 Kajian resiko lingkungan.
 Sistem kontrol manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah.
 Efektivitas alat pengendalian pencemaran.

BAB 2 – LINGKUP EKOSISTEM


2.1 Prokasih
Prokasih (Program Kali Bersih) merupakan program kerja pengendalian pencemaran
air sungai yang berasaskan pelestarian fungsi lingkungan sungai sebagai perairan yang
menunjang pembangunan wilayah yang berkelanjutan untuk peningkatan kesejahteraan hidup
manusia dan aktivitas manusia lainnya. Program ini bertujuan untuk meningkatkan dan
menjaga kualitas air sungai agar tetap sesuai dengan peruntukannya (DLH Kota Surakarta,
2017). Program ini memiliki skala nasional yang dimulai pelaksanaannya pada tahun 1989,
dan kegiatannya dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian pada thun
2003, diadakan pembaharuan pelaksanaan program melalui penandatanganan Superkasih

Universitas Indonesia
10

(Surat Pernyataan Program Kali Bersih) yang dilakukan kepada pihak industri untuk bersama-
sama menjaga kualitas air sungai (Kementerian Lingkungan Hidup RI, t.thn.). Dasar hukum
dari pelaksanaan program ini adalah KEPMEN LH No. 35 Tahun 1995 tentang Program Kali
Bersih, dengan tujuan di dalamnya adalah:
 Tercapainya kualitas air sungai yang baik, sehingga dapat meningkatkan fungsi sungai
dalam menunjang pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
 Terbentuknya sistem kelembagaan yang mampu melaksanakan pengendalian pencemaran
sungai.
 Terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengendalian pencemaran
air, khususnya sungai.
Sebagai salah satu contoh, DLH Kota Surakarta, membentuk dua kegiatan:
a. Pembentukan POKJA Sungai, merupakan kelompok kerja yang ditunjuk untuk ikut serta
dalam kebersihan, perlindungan, dan konservasi sungai.
b. Sosialisasi Padat Karya, merupakan kegiatan sosialisasi yang bertujuan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kualitas sungai. Dilakukan dengan
cara melibatkan masyarakat secara langsung terhadap normalisasi perairan sungai.

2.2 Program Langit Biru


Merupakan program yang bertujuan untuk mengendalikan dan mencegah pencemaran
udara, serta mewujudkan perilaku sadar diri baik dari sumber tidak bergerak (pihak industri)
maupun sumber bergerak (kendaraan bermotor). Program ini pertama kali diluncurkan pertama
kali pada tahun 1996 oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui KEPMEN LH No. 15
Tahun 1996. Program Langit Biru dilakukan secara bertahap, terencana, dan terprogram, yang
melibatkan banyak sektor mulai dari pemerintah hingga masyarakat umum. Berdasarkan
KEPMEN LH No. 15 Tahun 1996, tujuan Program Langit Biru adalah: 1) terciptanya
mekanisme kerja dalam pengendalian pencemaran udara yang berdaya guna dan berhasil guna;
2) terkendalinya pencemaran udara; 3) tercapainya kualitas udara ambien yang diperlukan
untuk kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya; dan 4) terwujudnya perilaku manusia
sadar lingkungan.
Program Langit Biru dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kotamadya di tiap provinsi,
di bawah koordinasi

Universitas Indonesia
11

Menteri Dalam Negeri dan di bawah tanggung jawab Kepala Bapedal. Pihak Gubernur
melaksanakan pemantauan dan evaluasi kualitas udara setiap tiga bulan sekali kepada Menteri
Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Bapedal.

2.3 Adipura
Berdasarkan PERMEN LH No. 53 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Program
Adipura, program Adipura merupakan program kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang berlingkup nasional, berupa pemantauan terhadap capaian kinerja pemerintah
kabupaten/kota dalam pengelolaan wilayah kabupaten/kota selama periode pemantauan, dan
bertujuan untuk mewujudkan wilayah yan berwawasa lingkungan menuju pembangunan yang
berkelanjutan. Lalu, berdasarkan PERMEN LH No. 99 Tahun 2018, Adipura diberikan kepada
kabupaten/kota yang memenuhi syarat sebagai kabupaten/kota yang memiliki kinerja
pengelolaan lingkungan yang baik, menggabungkan unsur sosial, ekonomi, dan lingkungan
untuk membentuk wilayah layak huni yang tercermin dari masyarakat kabupaten/kota yang
peduli lingkungan.
Terdapat beberapa tahapan pemantauan lingkungan kota yang dilaksanakan selama
periode penilaian Adipura berlangsung:
a. Pemantauan pertama (P1) dan/atau Pemantauan kedua (P2) merupakan pemantauan
program Adipura yang dilakukan dari bulan Juni tahun berjalan sampai bulan Juni tahun
berikutnya. Dilakukan untuk mengumpulkan data-data awal (P1), dan data-data
tambahan (P2)
b. Pemantauan verifikasi (PV) merupakan pemantauan yang dilakukan untuk mengevaluasi
nilai capaian kinerja periode pemantauan sebelumnya dengan periode pemantauan
berjalan dan kondisi faktual wilayah. Dilakukan jika hasil pelaksanaan P1 dan/atau P2
memenuhi paling sedikit nilai batas bawah pada setiap bidang yang dipantau.

Adapun berbagai jenis penghargaan Adipura yang dapat diperoleh oleh pemerintah kota
dan/atau kabupaten adalah: a) Adipura Kencana, merupakan Adipura diberikan kepada
kabupaten/kota yang memenuhi syarat sebagai wilayah berkelanjutan; b) Adipura; c) Sertifikat
Adipura; dan d) Plakat Adipura. Hal-hal yang dipantau selama proses verifikasi Adipura, dalam
hal capaian kinerja dan sistem manajemennya, adalah sebagai berikut:
 Pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau.
 Pengendalian pencemaran air.

Universitas Indonesia
12

 Pengendalian pencemaran udara.


 Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat pertambangan.
 Pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

2.4 Pantai dan Laut Lestari


Program Pantai dan Laut Lestari merupakan kegiatan aksi pengendalian pencemaran
dan kerusakan terhadap ekosistem pesisir dan lautan (Kementerian Lingkungan Hidup RI,
t.thn.). Dilaksanakan sebagai implementasi dari PP No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut Berskala Nasional, dilaksanakan secara mandiri oleh
masing-masing daerah otonom. Tujuan rinci Program Pantai dan Laut Lestari adalah sebagai
berikut (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS, 2004):
a. Meningkatnya kualitas pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu, sehingga mutu
perairannya dapat terjaga dengan baik serta tidak terjadi pencemaran dan kerusakan
lingkungan.
b. Menurunnya beban pencemaran yang masuk dan mencemari wilayah pesisir,
melestarikan kawasan mangrove, dan mencegah abrasi pantai.
c. Meningkatnya daya guna dan hasil guna wilayah pesisir melalui langkah nyata, serta
terbentuknya kapasitas kelembagaan yang kredibel.

Seluruh kegiatan Pantai dan Laut Lestari dapat dikategorikan menjadi empat kategori
utama: Program Bandar Indah, Program Pantai Wisata Bersih, Program Mangrove Lestari, dan
Program Terumbu Karang Lestari. Keempat komponen kegiatan ini mencakup berbagai
kegiatan yaitu:
 Inventarisasi dan identifikasi  Konservasi biota yang dilindungi.
masalah.  Pemberdayaan masyarakat dan
 Peningkatan daya guna dan hasil stakeholders lainnya.
guna.  Pemantauan dan evaluasi.
 Penurunan beban pencemaran dan
limbah industri.

Universitas Indonesia
13

2.5 Program DAS Kritis


Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan secara umum sebagai suatu bentang
wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara, serta mengalirkannya melalui anak-anak
sungai menuju sungai utama dan pada akhirnya akan mengalir ke laut/danau (Direktorat
Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2008). DAS memiliki posisi penting sebagai unit
perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan keberadaannya harus dijaga agar
keseimbangan sumberdaya air, tanah, dan hutan tetap baik. Pembangunan yang tidak terencana
akan menyebabkan degradasi penurunan kualitas DAS dan mampu menyebabkan dampak
buruk pada aspek lingkungan lainnya. Degradasi DAS yang terjadi terus menerus dapat
menyebabkan kondisi DAS semkain kritis.
Pengelolaan DAS saat ini sudah berdasarkan pendekatan holistik, dengan
diadakannya Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Urutan penanganan dimulai dari 12 DAS
prioritas di Indonesia, yang didasarkan pada: 1) pertimbangan teknik yang lebih maju dan
perkembangan kebijakan di masa depan; 2) penguatan asas legalitas yang kuat dan mengikat;
3) perubahan sistem pemerintahan dan sosial-budaya. Pengelolaan DAS secara terpadu
mengandung arti bahwa aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan kinerja DAS dapat
dikelola secara optimal sehingga menghasilkan peningkatan kinerja DAS. Usaha untuk
mengelola DAS secara terpadu dapat dilakukan dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan
pembangunan baik yang terjadi di dalam DAS maupun di wilayah sekitar DAS.

2.6 Keanekaragaman Hayati


Keanekaragaman hayati merupakan segala bentuk kekayaan kehidupan di bumi, mulai
dari keberagaman hewan, tumbuhan, mikroorganisme, serta genetika yang terkandung pada
setiap makhluk hidup tersebut. Keanekaragaman ini juga dibangun dari kesatuan ekosistem
dan proses ekologi di dalamnya menjadi lingkungan hidup yang utuh (Ardiansyah, 2017).
Pengertian lingkungan hidup menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Istilah biodiversitas juga sering digunakan untuk menggantikan istilah
keanekaragaman hayati.Keanekaragaman hayati memiliki beberapa tingkat, mulai dari tingkat
terendah yaitu keanekaragaman gen sampai tingkat tertinggi yaitu keanekaragaman ekosistem.

Universitas Indonesia
14

Perlindungan terhadap setiap bentuk keanekaragaman hayati ini dilakukan melalui program
perlindungan ekosistem (contoh: Prokasih, Program Langit Biru) maupun program
perlindungan lingkungan proyek (contoh: Amdal, UKL-UPL). Hal ini dilakukan untuk
menjaga keberlangsungan lingkungan hidup sebagai satu-satunya penyedia sumberdaya alam
yang digunakan manusia untuk menunjang proses pembangunan yang berkelanjutan. Secara
garis besar, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: a)
inventarisasi lingkungan hidup; b) penetapan wilayah ekoregion; dan c) penyusunan RPPLH
(rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup), merupakan dokumen perencanaan
tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

BAB 3 – LINGKUP KABUPATEN DAN NASIONAL


3.1 Good Environmental Governance
Konsep good environmental governance terdiri atas dua komponen: good governance
dan environmental governance. Secara umum, good governance dapat dijelaskan sebagai
bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, teratur, tertib, tanpa cacat, dan berwibawa
(Redaksi GRESNews.com, 2015). Bentuk pewujudannya adalah dengan menjalankan secara
efektif setiap asas umum pemerintahan, baik yang berupa hukum tertulis maupun yang berupa
hukum non tertulis. Salah satu komponen nilai yang menjadi prinsip dari good governance
adalah komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup, di mana ditekankan terhadap
keseimbangan antara penggunaan sumberdaya dan perlindungan sumberdaya tersebut,
penegakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, serta rendahnya tingkat pencemaran
dan aktivitas perusakan lingkungan (Dwi, 2017). Atas dasar komitmen ini maka sebuah konsep
baru berupa environmental governance hadir.
Environmental governance merupakan capaian penting good governance di bidang
lingkungan. Pemahaman mengenai environmental governance dapat dilihat dari definisi:
kumpulan nilai dan/atau norma yang mengatur hubungan antara Negara dan masyarakat dalam
hal penggunaan, pengawasan, dan manajemen lingkungan hidup. Dari pemahaman ini dapat
dijelaskan fungsi dari adanya sistem pemerintahan berbasis lingkungan ini:
a. Menjadi sebuah kerangka kerja konseptual di mana segala kegiatan publik dan swasta
diatur dalam sebuah peraturan yang berdasar pada fungsi ekologis. Kerangka kerja ini
membentuk hubungan timbal balik antara masyarakat yang memiliki akses terhadap
barang dan jasa lingkungan dengan etika-etika lingkungan spesifik.

Universitas Indonesia
15

b. Sebagai sebuah sistem, environmental governance terdiri atas aspek sosial-budaya,


interaksi politik, dan sistem ekonomi di antara para pelaku.
c. Memberikan perhatian setiap pelaku ekonomi dan pengguna sumberdaya alam dalam
setiap tingkatan masyarakat untuk membuat dan memperkuat kebijakan berwawasan
lingkungan (pihak pemerintah) serta melakukan pengelolaan dan perlindungan terhadap
lingkungan hidup (semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat).

Dapat disimpulkan bahwa good environmental governance merupakan bentuk


penyelenggaran pemerintahan berwawasan lingkungan yang yang bersih, teratur, tertib, tanpa
cacat, dan berwibawa. Dalam pelaksanaannya, setiap komponen pemerintahan dan masyarakat
perlu menjalankan setiap asas dan peraturan yang telah dibuat, baik berupa hukum tertulis
maupun hukum non tertulis. Setiap asas dan peraturan yang dibuat tentulah bertujuan untuk
melindungi kedua belah pihak, pihak pemakai sumberdaya alam dan lingkungan hidup itu
sendiri. Dengan dijalankannya manajemen lingkungan yang baik, maka konsep good
environmental governance dapat tercapai.
 Revitalisasi dan penguatan komunitas lokal serta meningkatkan pemahaman mereka
mengenai konsep bioregion.
 Pendistribusian kembali sumber-sumber dari sektor industri bagi pengembangan
kawasan dan perkotaan.
 Peningkatan kerjasama sektor publik dan swasta mengenai perencanaan green market
dan dukungan pasar.
 Penggunaan aturan dan hukum lingkungan untuk melindungi ekosistem terbesar dan
keterbatasan sumberdaya alam.

3.2 Market-based Instruments (MBI)


Saat ini banyak pemerintahan nasional mengadopsi Sustainable Development Goals
(SDGs) dalam setiap peraturannya, termasuk Indonesia. Salah satu cara untuk menyusun
peraturan yang mencakup SDGs tersebut adalah dengan menyesuaikan peraturan tersebut
berdasarkan kebutuhan publik atau market-based policy. Secara umum, MBI dapat diklasifikan
menjadi tiga kelompok (University of Waterloo, t.thn.):
a. Price-based instruments. Pemerintah akan mengatur harga bahan-bahan pokok dan
layanan, termasuk juga biaya layanan sosial. Wujud nyata dari peraturan ini dapat berupa
pemberian subsidi maupun pemberlakuan pajak serta harga khusus. Hal ini dilakukan

Universitas Indonesia
16

sebagai gambaran mengenai dampak sosial dan lingkungan yang sedang terjadi dan
gambaran mengenai kejadian di masa mendatang. Contoh: pemberlakuan tarif
transportasi umum, tarif air, dan sebagainya.
b. Right-based instruments. Pemerintah menetapkan batas penggunaan jumlah kualitas
dan/atau kuantitas dari bahan-bahan pokok yang digunakan untuk usaha, pemberlakuan
kebijakan ini bergantung pada jenis barang dan jasa yang akan dihasilkan. Contoh:
larangan penukaran air, program pembatasan lahan parkir.
c. Market friction reduction instruments. Pemberlakuan mekanisme pasar tertentu untuk
meningkatkan efektivitas keberlangsungan pasar dengan cara meningkatkan informasi
dan gambaran menegnai pertumbuhan pasar. Contoh: pemberian label pada produk
ramah lingkungan, lokasi parkir bagi kendaraan elektrik, dan perluasan lahan hijau.

Pada lingkup kelingkungan, pembuatan rencana keberlanjutan didasarkan pada


delapan topik yang paling krusial:
 Transportasi  Penggunaan lahan/tata ruang
 Kualitas air  Perubahan iklim
 Limbah padat  Ketahanan pangan
 Energi dan kualitas udara  Keberagaman ekologi

3.3 Peraturan
Pemerintah telah menyusun berbagai peraturan mengenai perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, di antaranya:
a. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH). Secara garis besar berisi anjuran langkah perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup melalui penyusunan instrumen kebijakan manajemen lingkungan, serta
berisi tentang larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan
beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan
lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.
b. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Secara garis besar
mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu
instrumen kajian lingkungan hidup (Amdal dan UKL-UPL) dan instrumen izin
lingkungan. Keduanya merupakan satu-kesatuan instrumen manajemen lingkungan, dan

Universitas Indonesia
17

berlaku pada saat perencanaan (izin lingkungan) dan saat operasional (izin PPLH). PP
ini juga menggantikan PP 27 tahun 1999 tentang Amdal.
c. PERMEN LH No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
Wajib Memiliki Amdal. Secara garis besar, rencana usaha dan/atau kegiatan yang
dilakukan di dalam kawasan lindung dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan
lindung wajib memiliki Amdal. Di luar kriteria tersebut, maka kegiatan usaha tidak
memerlukan Amdal melainkan hanya perlu mengisi dokumen UKL-UPL saja.
d. PERMEN LH No. 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Lingkungan Hidup.
Secara garis besar berisi tentang pedoman penyusunan dokumen Amdal

Apabila keseluruhan instrumen peraturan, mulai dari penyusunan dan pelaksanaannya


dilaksanakan dengan baik, ditambah dengan penggunaan teknologi yang memadai, kepedulian
konsumen, dan tata ruang yang baik, maka hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungan ekosistem sekitar akan menjadi lebih baik dan ketersediaan sumberdaya alam dapat
terus terjaga dan digunakan dalam program pembangunan berkelanjutan.

BAB 4 – LINGKUP GLOBAL


4.1 Protokol Kyoto
Pembentukan protokol ini berlangsung setelah Konvensi Kerangka Kerjasama
Persatuan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC – United Nations Framework
Convention on Climate Change) pada Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Aturan
ini dibuat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari semua negara-negara yang meratifikasi
peraturan tersebut, secara tegas dan terikat hukum (WWF Indonesia, t.thn.).
Dibuat perjanjian negosiasi antara negara-negara ANNEX 1 yang telah lebih dulu
menghasilkan emisi gas rumah kaca sejak zaman Revolusi Industri dan menggambarkannya
ketergantungannya terhadap aktivitas tersebut, dengan negara-negara Non-ANNEX lainnya.
Disepakati bahwa seluruh negara ANNEX 1 wajib menurunkan emisi gas rumah kaca mereka
rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi semula di tahun 1990, sedangkan untuk negara Non-
ANNEX 1 tidak diberlakukan aturan menurunkan emisi gas rumah kaca. Tetapi, negara Non-
ANNEX 1 berlaku mekanisme partisipasi penurunan gas emisi atau dikenal dengan istilah
‘tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda’.
Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia
18

a. Joint Implementation (JI). Merupakan mekanisme yang memungkinkan negara-negara


maju untuk membuat proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan gas
emisi rumah kaca.
b. Emission Trading (ET). Mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk
menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca kepada negara maju lainnya.
c. Clean Development Mechanism (CDM). Merupakan mekanisme yang dapat dilakukan
oleh negara-negara non-ANNEX 1 untuk turut berperan serta dalam penuruna emisi gas
rumah kaca, dengan cara berperan aktif pada proyek yang diinisiasi oleh negara-negara
ANNEX 1. Kredit penurunan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari proyek tersebut
nantinya akan dimiliki oleh negara ANNEX 1 tersebut.

4.2 Konvensi Bazel


Penerapan hasil Konvensi Bazel di Indonesia dapat dilihat melalui PP No. 47 tahun
2005 mengenai Pengesahan Amandemen atas Konvensi Bazel. Konvensi Bazel mengatur
pengawasan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya, merupakan hasil
sidang ketiga konferensi para pihak pembuat konvensi di Jenewa pada tahun 1995. Secara
umum, konvensi ini mengatur tentang pelarangan penggapaian limbah berbahaya dari suatu
negara industri ke negara berkembang. Perpindahan limbah berbahaya dari negara maju ke
negara berkembang akan menimbulkan efek bahaya yang sangat tinggi jika tidak dilakukan
pengelolaan limbah berbahaya yang ramah lingkungan, maka dari itu setiap negara perlu
melakukan pengelolaan limbah berbahaya yang dimilikinya alih-alih mengirimkannya ke
negara lain.

4.3 Protokol Montreal


Protokol Montreal merupakan sebuah instrumen perjanjian lingkungan tingkat
internasional, dilengkapi dengan sistem ratifikasi yang berlaku secara universal, untuk
melindungi lapisan ozon bumi dengan meniadakan penggunaan bahan-bahan kimia dan
material lainnya yang mampu meningkatkan merusak lapisan ozon (Ozone Depleting
Substances) dan meningkatkan radiasi UV untuk mencapai bumi dan menyebabkan beberapa
pengaruh buruk bagi lingkungan dan kesehatan makhluk hidup (United Nations Development
Programme, 2014).
Sejak diberlakukan pada tahun 1987 dan pengukuran pada tahun 2014 akhir, program
ini telah berhasil menurunkan penggunaan bahan ODS dengan jumlah 98% lebih,
mengembalikan fungsi lapisan ozon seperti semula. Salah satu langkah signifikan yang

Universitas Indonesia
19

dilakukan untuk mengurangi jumlah pemakaian ODS adalah dengan mengganti produk yang
menggunakan CFC dengan produk yang mengandung HSCS (memiliki kandungan ODS lebih
sedikit), namun langkah ini masih belum efektif. Tantangan selanjutnya dalam pelaksanaan
program ini adalah mewujudkan penggunaan program dengan tidak ada kandungan ODS sama
sekali.

4.4 Protokol Cartagena


Protokol Cartagena untuk Keamanan Biologis merupakan trakat internasional yang
mengatur pergerakan dan perkembangan dari rekayasa biogenetika (LMOs/Living Modified
Organisms), sebagai hasil dari perkembangan ilmu bioteknologi modern dari satu negara ke
negara lainnya. Ditetapkan pada tanggal 20 Januari 2000 sebagai persetujuan tambahan dari
Konvensi Keberagaman Biologis yang pada akhirnya mulai digunakan secara universal pada
tanggal 11 September 2003 (UN Environment, t.thn.).
Tujuan dari penetapan Protokol Cartagena ini adalah untuk melindungi keberagaman
biologis dari adanya potensi bahaya yang ditimbulkan oleh keberadaan makhluk hidup genetis
sebagai perkembangan ilmu biogenetika modern. Protokol ini menetapkan prosedur pengajuan
persetujuan pemberian informasi mendetail (AIA/Advanced Informed Agreement) untuk
memastikan bahwa setiap negara diberikan informasi yang diperlukan untuk membuat
persetujuan sebelum yakin bahwa mereka mau menerima organisme genetis ke wilayah
mereka. Protokol ini juga berisi referensi mengenai pendekatan pencegahan dan menegaskan
kembali aturan pencegahan perusakan lingkungan hidup yang telah ditetapkan dalam Pasal 15
dari Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan.
Hasil lain dari ditetapkannya protokol ini adalah pembentukan Biosafety-Clearing
House untuk memfasilitasi pertukaran informasi mengenai organisme hasil modifikasi genetis
dan membantu setiap negara dalam mengimplementasikan peraturan dari Protokol Cartagena.

Universitas Indonesia
20

BAB 5 – REFERENSI
Ardiansyah, T. (2017, Desember 28). Keanekaragaman Hayati: Pengertian, Tingkatan, dan
Klasifikasi. Diambil kembali dari ForesterAct!:
https://foresteract.com/keanekaragaman-hayati/

Center for International Forestry Research (CIFOR). (2010, Juni). UKL - UPL. Diambil
kembali dari ILEA - Integrated Law Enforcement Approach:
https://www.cifor.org/ilea/_ref/ina/indicators/forestbusiness/Permit/UKL-UPL.htm

Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air. (2008). KAJIAN MODEL


PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU. Diambil kembali
dari https://www.bappenas.go.id/files/1213/5053/3289/17kajian-model-pengelolaan-
daerah-aliran-sungai-das-terpadu__20081123002641__16.pdf

DLH Kota Surakarta. (2017). Program Kali Bersih (Prokasih) Tahun 2017. Diambil kembali
dari DLH Kota Surakarta: http://dlh.surakarta.go.id/new/?p=ss&id=165

Dwi, J. M. (2017, Oktober). Apa yang dimaksud dengan Environmental Governance?


Diambil kembali dari Dictio.id: https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-
environmental-governance/12454/2

HarianBernas.com. (2016, Juni 23). Mengenal Perkembangan Ekolabel Indonesia. Diambil


kembali dari BERNAS.id: https://www.bernas.id/16985-mengenal-perkembangan-
ekolabel-indonesia.html

Kementerian Lingkungan Hidup RI. (2015). Kebijaksanaan Produksi Bersih di Indonesia.


Diambil kembali dari Kementerian Lingkungan Hidup RI:
http://www.menlh.go.id/kebijaksanaan-produksi-bersih-di-indonesia/

Kementerian Lingkungan Hidup RI. (t.thn.). Pantai dan Laut Lestari. Diambil kembali dari
Kementerian Lingkungan Hidup RI: http://www.menlh.go.id/pantai-dan-laut-lestari/

Kementerian Lingkungan Hidup RI. (t.thn.). Prokasih. Diambil kembali dari Kementerian
Lingkungan Hidup RI: http://www.menlh.go.id/prokasih/

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS. (2004). Pengelolaan


Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional, BAPPENAS.

Nusman, A. A. (2012). AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Diambil kembali


dari https://www.slideshare.net/NSPmunawi/amdal-13725822

Purwanto, A. T. (2006). Manajemen Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Diambil
kembali dari http://andietri.tripod.com/jurnal/Manajemen_Lingkungan_x.pdf

Redaksi GRESNews.com. (2015, Maret 18). Apa Itu Good Governance? Diambil kembali
dari GRESNews.com: http://www.gresnews.com/berita/tips/96708-apa-itu-good-
governance/

Universitas Indonesia
21

Regional Activity Centre for Sustainable Consumption and Production. (t.thn.). Cleaner
Production: What is it? Diambil kembali dari
http://www.cprac.org/en/sustainable/production/cleaner

Sabrina, N. M. (2012). Manajemen Lingkungan Industri: ISO 14000. Teknik Industri


Pertanian, Universitas Brawijaya.

Syulasmi, A. (2013, Juni 19). Audit Lingkungan. Diambil kembali dari


http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/195408281986122-
AMMI_SYULASMI/PENGANTAR_AMDAL/POWER_POINT_PENGANTAR_A
MDAL/PB_10.AUDIT_LINGKUNGAN.pdf

UN Environment. (t.thn.). The Cartagena Protocol: About the Protocol. Diambil kembali
dari Convention of Biological Diversity: https://bch.cbd.int/protocol/background/

United Nations Development Programme. (2014). Montreal Protocol. Diambil kembali dari
Sustainable Development: Environment and Natural Capital:
http://www.undp.org/content/undp/en/home/sustainable-development/environment-
and-natural-capital/montreal-protocol.html

University of Waterloo. (t.thn.). Market-based Instruments. Diambil kembali dari


Implementing Sustainable Community Plans: https://uwaterloo.ca/implementing-
sustainable-community-plans/dissemination/market-based-instruments

WWF Indonesia. (t.thn.). Sekilas Tentang Protokol Kyoto. Diambil kembali dari Negotiation:
Kyoto Protocol:
https://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/negoti
ation_kyoto_p.cfm

Universitas Indonesia

S-ar putea să vă placă și