Sunteți pe pagina 1din 9

SEMINAR NASIONAL CITIES 2014

<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

KUALITAS LAYANAN SANITASI DAN PEMBENTUKAN CITRA KOTA


Yudha Pracastino HESTON; Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang
Permukiman; Indonesia

ABSTRAK

Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor pembentukan citra kota dari layanan
sanitasi yang disiapkan untuk warga kota. Metode penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian yang mengedepankan kajian literatur dari dokumen resmi terkait sanitasi, seperti
Buku Putih Sanitasi dan Strategi Sanitasi Kota. Kasus kota dipilih sebagai lokasi studi kasus,
dengan pertimbangan bahawa kota tersebut berada di wilayah rawan sanitasi. Berdasarkan
hasil penelitian, peneliti memiliki kesimpulan bahwa pembentukan citra kota selama ini
belum banyak mengukap keberhasilan pelayanan sanitasi wilayah. Keberhasilan layanan
sanitasi selain berasal dari dukungan Pemerintah Kota lebih banyak ditentukan oleh perilaku
higienis pribadi warga. Pengembangan layanan sanitasi dapat dilakukan dengan terlebih
dahulu melihat kepada kondisi kota yang telah diukur, intrepetasi hasil, dan penentuan
desain program. Pada skala yang lebih besar citra kota dapat sebagai perwujudan kumpulan
rumah sehat, lingkungan sehat dan kota sehat.

Kata kunci : layanan, sanitasi, wilayah, kota

PENDAHULUAN
latar Belakang
Kota sebagi sebuah tempat pertemuan manusia dengan bermacam kepentingan,
perlu meningkatkan kualitas pelayanannya. Adanya kecenderungan peningkatan jumlah
populasi manusia yang berada di kota, misalnya di Indonesia 36 % penduduk tinggal di
perkotaan (Effendi, 2012)i, data lain (Kompas, 2012) bahkan memberikan angka yang lebih
besar yaitu 54% ii .Kondisi ini menunjukkan adanya potensi permasalahan yang perlu
diselesaikan oleh pemangku kepentingan di kota. Masalah yang berhasil diidentifikasi
(Weishaguna & Saodih E.) iii terkait dengan pengendalian pengembangan fisik, fungsi
kawasan dan pola penggunaan lahan, pengendalian tata bangunan, perkembangan
bangunan multifungsi dan superblok, ruang terbuka hijau, estetika kota, dan ketidakjelasan
karakter kota.
Secara khusus, permasalahan terkait karakter kota, menurut Astutiiv diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan dalam menghadapi persaingan terkait globalisasi.
Pengembangan karakter dapat dilakukan dengan penyediaan alat, strategi, dan menyiapkan
proses yang dikembangkan, terutama berbasis budaya dan tradisi. Karakter yang terbangun
akan membangkitkan citra sebuah wilayah. Citra (Mangunwijaya dalam Aryanto, 2005) v
menunjukkan gambaran/kesan penghayatan dalam menangkap arti bagi seseorang.
Salah satu upaya mengembangkan citra kota adalah terkait dengan kebersihan. Di
Indonesia upaya mengelola kota pada aspek kebersihan, dikompetisikan dan dinilai dengan
penyelenggaraan penghargaan Adipura. Penghargaan Adipura menunjukkan adanya
kesadaran hubungan antara citra kota yang positif ditunjukkan dari komitmen kota menjaga
kondisi kebersihannya. Kebersihan didukung oleh pengelolaan sarana, prasarana dan
perilaku sanitasi dapat mewujudkan kota yang sehat. Karya Tulis Ilmiah ini mencoba untuk
menjawab pertanyaan, faktor-faktor pembentukan citra kota apa yang muncul dari layanan
sanitasi untuk warga kota?

1
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

Kajian Pustaka
Citra kota
Citra kota (Tohjiwa, 2011)vi dapat dilihat sebagai hasil adaptasi kognitif terkait kondisi
potensial akibat stimulus bagian kota yang dikenali dan digunakan, dalam proses reduksi
dan simplifikasi. Stimulus dalam bentuk hal-hal yang unik dan menjadi ikon kota merupakan
elemen yang banyak dikenali. Elemen yang dimaksud di sini berupa tempat perbelanjaan,
sedangkan elemen yang kurang diketahui adalah perkantoran dan hotel.
Penilaian citra (Aryanto, 2005) sebuah kawasan dapat dinyatakan oleh pengamat.
Sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan fisik bangunan diperkotaan,
membentuk pengalaman yang akan mempengaruhi perilaku. Citra sebuah kotavii merupakan
gambaran/impresi pertama yang ditangkap visual, dan mempunyai kesan kuat terhadap
tempat (sense of place). Proses ini juga membentuk peta mental yaitu serangkaian tindakan
dalam mengumpulkan, menata, mengingat, mengulang, dan menggunakan informasi. Peta
mental sesuai dengan yang disampaikan Kevin Lynch merupakan perwujudan dari citra kota
sesuai dengan pandangan masyarakat, yang kemudian dibagi dalam lima kategori yaitu
paths, edges, district, node, landmark.
Pembentuk elemen fisik: terkait dengan karakter fisik alamiah, pengelompokan zona
fungsi kota, keberadaan street furniture, konsentrasi aktivitas dan karakter jalur sirkulasi.
Pembentuk citra dilihat dari aspek psikologis terkait dengan gaya hidup, keakraban,
keterlibatan sosial, kelas sosial dan perbedaan gender. Komponen Citra secara garis besar
dibagi menjadi identitas – jati diri, struktur – hubungan obyek/elemen dengan obyek/elemen
lainnya dan makna-arti. Nilai estetika, kemampuan visual dan fisik lingkungan memiliki peran
yang besar dalam membentuk citra suatu kawasan. Selain itu citra dapat juga dibentuk
melalui riwayat sejarah dengan elemennya.
Sanitasi
Sanitasi viii memiliki keterkaitan yang besar dalam pengelolaan kota di Indonesia,
terutama pada aspek sosial yaiti pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesehatan,
serta pada aspek lingkungan untuk mewujudkan keberlanjutan kelestariannya. Kelemahan
pembangunan sanitasi yang berhasil diidentifikasi terkait dengan lemahnya perencanaan
lemahnya perencanaan pembangunan, sehingga hasilnya adalah sarana-prasarana yang
tidak terpadu, salah sasaran, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak berkelanjutan. Selain itu
faktor determinan dalam pembangunan sanitasi adalah perlunya kesadaran masyarakat
pada perilaku hidup bersih dan sehat.
Upaya perbaikan kondisi sanitasi dilaksanakan dengan menyusun dokumen
perencanaan yang komprehensif, responsif dan berkelanjutan. Pemerintah ix melalui
program nasional yang diberi nama Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman
(PPSP) mempromosikan Strategi Sanitasi Kota (SSK). Program ini secara resmi dimulai
pada tahun 2009 oleh Wakil Presiden Budiono pada Konferensi Sanitasi Nasional II. PPSP
diarahkan pada 3 sasaran, yakni: menghentikan perilaku buang air besar sembarangan
(BABS) pada tahun 2014, di perkotaan dan pedesaan, pengurangan timbunan sampah dari
sumbernya dan penanganan sampah yang ramah lingkungan dan pengurangan genangan
di 100 kabupaten/kota seluas 22.500 hektar. Capaian target program sampai dengan tahun
2014, yaitu 446 dari target 330 kota/kabupaten terlibat sebagai peserta program PPSP.
SSK dihasilkan dengan masing-masing kabupaten/kota melakukan pemetaan situasi
sanitasi wilayahnya. Pemetaan situasi sanitasi diaktualisasikan dengan menyusun Buku
Putih Sanitasi yang menyediakan informasi lengkap, akurat, dan mutakhir tentang kondisi
sanitasi, terkait aspek teknis mapun non teknis. Pembangunan sanitasi secara umum
dilakukan dengan target sasaran yaitu:
1. Meningkatkan cakupan layanan air limbah
2. Meningkatkan cakupan layanan pengelolaan sampah
3. Meningkatkan cakupan layanan drainase
4. Meningkatkan cakupan layanan air minum

2
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

METODOLOGI
Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dilakukan dengan metode analisis isi
(content analysis) terhadap dokumen perencanaan sanitasi yaitu Buku Putih Sanitasi dan
Strategi Sanitasi Kota. Analisis berdasarkan sintesa teori citra kota, untuk melihat dan
mencari faktor-faktor pembentukan citra kota yang memeliki keterkaitan dengan layanan
sanitasi. Dokumen perencanaan sanitasi kota Banjarmasin dipilih sebagai lokasi studi kasus,
dengan pertimbangan bahwa kota tersebut berada di wilayah rawan sanitasi, yaitu memiliki
muka air tanah tinggi, berawa dan berada di tepi aliran sungai.
Metodologi diambil dari teori yang dibangun oleh Simon Anholt, 2007 x dalam
bukunya Competitive Identity, The New Brand Management for Nations Cities and Regions.
Pembahasan difokuskan pada dua hal terkait bagaimana citra kota dapat dibangun dan
kemudian identifikasi dari komponen yang dapat muncul.
Persepsi masyarakat terhadap sebuah wilayah dibangun dengan langkah awal utama
yaitu dengan hal yang dikerjakan di wilayah tersebut, dan cara menyelesaikannya; hal yang
dibuat di wilayah tersebut, dan cara mereka membuat; dengan apa yang dibicarakan orang
luar mengenai/terkait wilayah tersebut; dengan apa yang dibicarakan wilayah tersebut
mengenai kondisi daerahnya.
Cara membangun citra sebuah wilayah (gambar 1) dapat dilakukan dengan langkah
upaya promosi wisata, seperti halnya pengalaman pertama datang ke sebuah tempat,
sebagai wisatawan atau tugas kedinasan. Selanjutnya terkait dengan merek eksport, yang
berperan dengan kuat sebagai duta dari setiap citra secara luas dari sebuah negeri.
Kebijakan politis dari sebuah pemerintahan menjadi cara selanjutnya. Untuk pelaku bisnis,
terkait dengan upaya menarik investasi ke dalam, perekrutan tenaga kerja dan pelajar.
Dapat juga dilakukan dengan melalui pertukaran budaya dan aktivitas budaya serta melalui
masyarakat di dalam wilayah.
pariwisata merek

orang Identitas
kebijakan
kompetitif

budaya investasi

Gambar 1. Cara membangun citra


Sumber: anholt, 2007

Wilayah dengan identitas citra kompetitif, akan menemukan keuntungan terkait:


kejelasan persetujuan identitas domestik dan tujuan bersama, penghargaan dan penerapan
suasana inovasi, efektifitas yang lebih untuk kesempatan acara internasional, efektifitas
yang lebih pada promosi investasi, efektifitas yang lebih pada promosi pariwisata dan
perjalanan dinas, dampak baik untuk eksportir barang dan jasa, profil lebih di media
internasional, kemudahan akses ke lembaga dan asosiasi regional dan global serta
produktifitas kemitraan budaya dengan wilayah lain.
Enam komponen citra kota (Simon Anholt, 2007) dapat dijelaskan sebagai berikut:
keterkinian berbicara seberapa kenal dan paham orang dengan sebuah kota; tempat, terkait
dengan aspek fisik dari sebuah kota; potensi, terkait dengan kesempatan ekonomi dan
pendidikan; denyut kota, terkait dengan gaya hidup perkotaan sebagai bagian penting dari
kota; manusia sebagai pembuat kota dan seberapa hangat dan bersahaba; dan prasyarat
terkait penerimaan kualitas dasar dari kota.

3
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

kekinian

Tempat potensi
Identitas
kompetitif

Denyut kota Manusia

Prasyarat

Gambar 2. Citra kota


Sumber: anholt, 2007

TEMUAN
Penelitian terkait dilakukan dengan memahami terlebih dahulu dokumen strategi
sanitasi kota (SSK), dalam hal ini peneliti mengambil kasus kota Banjaramasin. Penyusunan
SSK merujuk ke outline yang disiapkan Bappenas. SSK terdiri dari 6 bab yaitu:
Pendahuluan, yang mengkritisi latar belakang permasalahan (sanitasi), metodologi
penulisan, dasar hukum terkait dengan strategi sanitasi kota Banjarmasin (yang sudah
berjalan dan direncanakan). Bab berikutnya diberi judul kemajuan pelaksanaan
pembangunan sanitasi, berisi profil wilayah Kota Banjarmasin, kemajuan pelaksanaan
strategi sanitasi kota sebelumnya, keberhasilan, kelemahan dan catatan pembelajaran,
serta posisi area berisiko sanitasi. Bab ketiga adalah kerangka pengembangan sanitasi,
membahas Visi dan Misi sanitasi dan tahapan pengembangan sanitasi. Bab IV mengulas
strategi pengembangan sanitasi, terkait strategi 3 komponen utama yaitu: Air Limbah
Domestik, Persampahan dan Drainase. Bab selanjutnya yaitu program dan kegiatan, yang
memperlihatkan program dan kegiatan dengan komprehensif dan lintas sektor. Bab terakhir
terkait strategi monitoring dan evaluasi, yang dilakukan oleh kelompok kerja dan pelaku
(lembaga/perorangan) sebagai penanggungjawab tahapan pelaksanaan kegiatan.
Penelitian juga mempertimbangkan dokumen Buku Putih Sanitasi, buku ini
merupakan dokumen pemetaan situasi sanitasi kabupaten/kota, dengan data berdasarkan
kondisi aktual atau kondisi sebenarnya. Lingkup bahasan mencakup aspek teknis dan aspek
non-teknis yaitu: keuangan, kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, perilaku hidup bersih
dan sehat. Buku Putih Sanitasi mencakup substansi sebagai berikut: status (potret) terkini
situasi sanitasi pada aspek teknis dan non-teknis, kebutuhan layanan sanitasi dan peluang
pengembangan, rekomendasi awal layanan sanitasi termasuk “area berisiko.” Tujuan
penyusunan Buku Putih Sanitasi adalah sebagai langkah pemetaan situasi sanitasi yang
komprehensif untuk penyusunan strategi sanitasi perkotaan (SSK).
Buku yang dikaji terkait dengan sanitasi yaitu Pemutakhiran SSK Banjarmasin 2014-
2018, beberapa bagian yang menjadi temuan dirangkum dalam beberapa analisis kualitatif
berikut. Kota Banjarmasin 1 terletak di tepian sungai Barito dan dibelah oleh Sungai
Martapura, kondisi morfologi kota relatif datar. Kota Banjarmasin merupakan kawasan rawa
dan dipengaruhi pasang surut, datarannya pada musim hujan tergenang. Ketinggian
permukaan dataran berada pada ketinggian 16 m dpl, berair payau, beriklim panas (28-
35°C), bercurah hujan tinggi (2.400-3.500 mm/tahun), dan didominasi oleh tanah alluvial.
Ditemukan 32 satuan 2 genangan air yang menjadi persoalan saat air pasang
ataupun hujan. Ke tiga puluh dua daerah genangan inilah yang menjadi daerah potensi
banjir. Kondisi yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, terkait dengan
munculnya penyakit akibat kondisi lingkungan dan citra kumuh pada wilayah.

1 Halaman II-1 Pemutakhiran SSK Banjarmasin 2014-2018


2 Halaman II-2

4
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

Gambar 3. Pola ruang Kota Banjarmasin


Sumber: Pemutakhiran SSK Banjarmasin 2014-2018

Kota Banjarmasin3 dikelilingi sungai besar dan anak sungainya, arah alirannya dari
utara dan timur laut, menuju ke arah barat daya dan selatan, dengan aliran yang
membentuk pola mendaun (dendritic drainage patern), hal ini memunculkan citra kota
sebagai Kota Seribu Sungai. Sungai 4 menjadi media transportasi baik untuk barang dan
penumpang, hal yang sudah dilakukan sejak lama dan menjadi tradisi terutama bagi
penduduk yang tinggal sekitar sungai di Kalimantan. Perdagangan melalui air antar pulau
dari Kalimantan ke Pulau Jawa dan Sulawesi, juga telah terjadi sejak lama dan dengan cara
insentif.
Kegiatan fungsional pusat pelayanan kota 5 yang dapat memicu perkembangan
ekonomi pada skala kota, juga menunjang skala regional dan nasional, permukiman skala
kota, pasar modern, sarana pendidikan tinggi, sarana kesehatan, sarana keamanan, kantor
pemerintahan, sarana sosial budaya, ruang terbuka hijau, sarana peribadatan, sirkulasi
jaringan jalan dan infrastruktur. Lokasi pusat pelayanan kota terdapat di kelurahan Kertak
Baru Ulu. Sedangkan kegiatan fungsional sub pusat pelayanan kota terdapat di beberapa
kelurahan yaitu di Kuin Utara, Kuripan, Tanjung Pagar, Teluk Dalam dan Kuin Cerucuk.
Rencana penyediaan air minum Kota Banjarmasin6 adalah dengan membangun IPA
A. Yani di Kelurahan Kuripan (500 liter/detik) dan IPA Pengambangan (1.000 liter/detik),
penambahan kapasitas di dua tempat tersebut menjadi 3.500 liter/detik. Untuk daerah yang
belum terlayani sistem perpipaan direncanakan upaya swadaya murni dari masyarakat.
Sambungan langsung bagi kawasan perumahan, kegiatan komersil, industri dan pusat
pemerintahan. Rencana pengembangan SPAM regional mengacu pada SPAM regional
Banjar Bakula (Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Barito Kuala, dan
Tanah Laut).
Pengelolaan sanitasi terkait pengolahan air limbah, memiliki masalah pada dua
sumber yaitu permukiman dan industri. Sebagian besar limbah cair domestik dibuang
langsung ke genangan air di dasar rumah, kendati juga sudah tersedia tanki septik, namun
konstruksi baknya tidak kedap. Limbah dari industri yang berada di sempadan sungai
mempunyai pengaruh besar terkait penurunan kualitas air sungai. Solusi yang disiapkan
adalah dengan membangun IPAL di lingkungan permukiman, dan juga menyiapkan tempat
untuk industri di luar kota.

3 Halaman II-3
4 Halaman II-4
5 Halaman II-7,8
6 Halaman II-12

5
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

Pengolahan air limbah yang ada di Banjarmasin meliputi: IPAL Lambung Mangkurat
(1.000 m3/ hari), IPAL Pekapuran Raya (2.500 m3/hari) IPAL Hasan Basri (5.100 m3/ hari)
dan pengolahan lumpur tinja dan lindi sampah Basirih (2.000 m3/hari). Pengelolaan tangki
septik diprioritaskan di tujuh kelurahan yaitu Mantuil, Kelayan Selatan, Tanjung Pagar,
Pemurus Dalam, Sungai Lulut dan Banua Anyar, dengan jumlah kurang lebih 901 unit.
Untuk pengembangan IPAL direncanakan di kelurahan Antasan Besar, Teluk Dalam,
Kelayan Tengah, Karang Mekar, Melayu, Kuripan, Antasan Kecil Timur, Belitung Laut,
Pemurus Laut, Pemurus Baru, Pemurus Luar dan Telaga Biru. Pengembangan air limbah
terpusat ada di sungai Andai untuk Banjarmasin Utara, Barat, Tengah dan TPA Basirih
untuk Banjarmasin Timur, Selatan dan Tengah.

Gambar 4. Lokasi Jaringan IPAL


Sumber: Pemutakhiran SSK Banjarmasin 2014-2018

Pengembangan sistem pengolahan sampah Kota Banjarmasin7, sementara ini masih


mengandalkan TPA Banjarmasin Selatan. TPA rencana akan dikembangkan menjadi
stasiun peralihan antara. TPS yang ada direncanakan menjadi pengolahan sampah terpadu
3R. Pengembangan jaringan persampahan kota disinergikan dengan persampahan regional
Banjar Bakula.
Perencanaan drainase kota8 dilakukan secara teknis pada sisi jalan, dengan sodetan
dan membangun saluran air penghubung antar kawasan perumahan, integrasi drainase
kota dengan pengelolaan genangan air. Normalisasi sungai yang ada direncanakan dengan
sistem polder atau pompa.
Penemukenalan Masalah dalam Dokumen SSK
Permasalahan air limbah domestik 9 yang berhasil ditemukenali, terjadi sebagian
besar karena kurangnya pemahaman masyarakat akan aturan-aturan yang sudah ada
namun belum dipahami. Sebagai contoh adanya Perda no.2/2007 tentang Pengelolaan
Sungai, belum ada hasil dari sosialisasi yang dilakukan. Pengaturan terkait ijin mendirikan
bangunan (IMB), yang mewajibkan warga untuk menggunakan tangki septik sesuai standar,
dan sosialisasi yang perlu dilakukan, belum juga dapat sepenuhnya dilaksanakan.
Kondisi permukiman kota Banjarmasin dengan muka air tanah yang tinggi,
menjadikan perlunya lahan kering peresapan air untuk tangki septik, sedangkan lahan
kering sulit ditemukan di Banjarmasin. Hal ini menunjukkan bahwa tangki septik dengan
peresapan dan cubluk tidak sesuai untuk digunakan. Secara umum kondisi septik tank yang
digunakan masyarakat, belum memadai dan dibuat seadanya, hal ini berdampak pada
kontaminasi bakteri E-Coli ke air tanah.

7 Halaman II-13
8 Halaman II-14
9 Halaman II-22,23

6
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

Dalam dokumen SSK dicatat bahwa masih ditemui perilaku tidak peduli masyarakat
terhadap pentingnya pengelolaan air limbah rumah tangga. Selain itu terdapat perilaku
bermukim di bantaran sungai, yang menjadi budaya, memiliki potensi negatif terhadap
sungai dan lingkungan. Perilaku ini salah satunya diakibatkan oleh tingkat ekonomi
masyarakat yang masih rendah, sehingga pengelolaan air limbah terkesan sembarangan.
Kondisi ini juga menyebabkan tindakan warga menyalurkan limbah langsung ke badan air
atau sungai tanpa diolah, dan menganggap hal tersebut bukan sebuah kekeliruan.
Pengelolaan sampah padat 10 juga menjadi perhatian di dalam dokumen SSK,
volume sampah perkotaan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk.
Sampah basah mempunyai kecenderungan berkurang, sebaliknya sampah kering memiliki
kecenderungan bertambah. Di Kota Banjarmasin masih dijumpai pembuangan sampah
terbuka, yang mengeluarkan bau tidak sedap, mengganggu estetika, menyebabkan potensi
banjir, dan menjadi tempat vektor penyakit. Beberapa kasus dijumpai, warga yang
membuang sampah sembarangan, salah satunya juga dengan membuang ke saluran air,
yang mengalir, kemudian mengendap dan menyumbat saluran drainase dan mengganggu
aliran sungai.
Dari segi ketersediaan prasarana kebersihan, yaitu alat angkut sampah secara
kuantitas dan kualitas belum cukup memadahi. Jumlah TPSxidi Banjarmasin 76 unit, 17 unit
TPS kontiner, dan 24 unit TPS liar, dengan produksi sampah rata –rata 500 ton/hari. Sarana
TPS yang ada belum memenuhi standar lokasi penempatannya. Pengelolaan TPA masih
belum optimal untuk lindi dan gas yang dihasilkan, upaya pengurangan timbulan sampah,
pengelolaan limbah B3 dari batu baterai bekas dan obat kadaluwarsa. Pembayaran retribusi
sampah belum dikelola dengan baik, termasuk penerapan Peraturan Daerah 21/2011
tentang Pengelolaan Sampah belum berjalan optimal. Partisipasi pihak swasta dalam
pengelolaan sampah masih perlu dikembangkan lagi.
Pengelolaan drainase11 sangat terkait dengan topografi kota, Kota Banjarmasin yang
ada di -0,16 dpl, mengalami genangan air ketika hujan dan air pasang. Perkembangan kota
juga menyebabkan beberapa daerah dengan fungsi peresapan terganggu, padahal jumlah
volume air limpasan bertambah.
Perkembangan kota yang pesat dan dinamis (pembangunan perumahan, pasar,
pertokoan serta ruko-ruko) yang tidak lagi memperhatikan keberlangsungan fungsi daerah
resapan. Dengan berubahnya fungsi kawasan/ daerah resapan (retarding) atau kantong-
kantong air menjadi kawasan perumahan, pertokoan/ ruko serta kawasan komersil lainnya
mengakibatkan bertambahnya volume air limpasan. Prasarana drainase secara umum
belum dapat optimal karena struktur (primer, sekunder, terseir) belum baik, termasuk
keluaran outlet yang belum berfungsi baik. Hal ini juga ditambah adanya masyarakat yang
membuang sampah ke saluran drainase.

Gambar 4. Jaringan Drainase


Sumber: Pemutakhiran SSK Banjarmasin 2014-2018

10 Halaman II-25,26
11 Halaman II-28,29

7
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

DISKUSI
Pembangunan persepsi masyarakat terkait sanitasi, di wilayah Kota Banjarmasin
dilaksanakan dengan melihat kepada sub sektor terkait sanitasi yaitu pada pengembangan
penyediaan air minum, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan dan drainase.
Terkait penyediaan air minum, hal yang dapat mempengaruhi citra kawasan adalah adanya
rencana pengembangan penambahan kapasitas IPA, pengelolaan swadaya masyarakat,
dan SPAM Banjar Bakula, karena akan meningkatkan derajat perilaku higienis masyarakat.
Untuk pengelolaan air limbah, pengembangan IPAL dan tangki septik milik masyarakat, jika
penerapannya optimal akan dapat menciptakan lingkungan yang asri dan bersih.
Pengelolaan sampah dengan pengurangan timbulan sampah dari sumbernya, dan
pengelolaan drainase dengan sodetan, saluran air, dan normalisasi sungai sistem polder
dan pompa, dapat mengurangi kesan kotor di sungai.
Citra kota Banjarmasin yang terbentuk oleh banyaknya sungai yang mengalir di
antara dan di tengah kota, sehingga disebut sebagai kota seribu sungai, menunjukkan
bahwa berbagai upaya membangun citra kota, perlu difokuskan pada pengelolaan sungai.
Tindakan ini dapat berbentuk pengelolaan aspek non teknis / soft (meningkatkan
pemahaman peraturan terkait pengelolaan sungai, kelembagaan masyarakat, pengaturan
sedot tinja, dll) dan teknis / hard (pengelolaan sarana prasarana untuk sanitasi).
Kebijakan Pemerintah Kota Banjarmasin untuk mengoptimalkan fungsi Pokja
Sanitasi merupakan langkah yang benar untuk meningkatkan citra kota yang baik, terutama
dengan adanya integrasi program dari institusi yang terlibat di dalamnya. Kelompok Kerja
Sanitasi Banjarmasin yang paling tidak terdiri dari instansi BAPPEDA, Dinas Cipta Karya
dan Tata Ruang, BLH, PDAM, PDPAL, dan Dinas Kesehatan. Kesadaran masyarkat untuk
menjaga kebersihan wilayah baik yang tinggal sekitar sungai maupun daratan, dapat
mempengaruhi citra sanitasi di Kota Banjarmasin.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan ditemukan bahwa aspek fisik kawasan yaitu paths dan edges
yang berupa aliran sungai berkaitan dengan “tempat” pada teori Anholt, memerlukan
“prasyarat“ kebersihan dan aspek sanitasi untuk dapat memberikan citra baik bagi kota
Banjarmasin. Keberhasilan layanan sanitasi selain berasal dari dukungan Pemerintah Kota
lebih banyak ditentukan oleh perilaku higienis pribadi warga. Pengembangan layanan
sanitasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melihat kepada kondisi kota yang telah
diukur, intrepretasi hasil, dan penentuan desain program. Dengan adanya ciri unik dan
kompetitif terutama terkait dengan pengelolaan citra sungai yang bersih, akan dapat menarik
investasi dan kunjungan ke Kota Banjarmasin, sehingga dapat memberikan daya tarik ke
obyek lain yang terkait dengan pengelolaan kota.

REFERENSI
i Effendi Jauhari & S. Sudirman, 2012, Analisis Kesesuaian Prasyarat Kampung Sasaran dengan
Kampung Terapan terhadap Program Pola Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan di Indonesia,
Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No 2, Agustus 2012
ii http://nasional.kompas.com/read/2012/08/23/21232065/%20Hampir.54. Persen. Penduduk.
Indonesia. Tinggal.di.Kota
iii Weishaguna dan Saodih Ernady, Morfologi Sebagai Pendekatan Memahami Kota, Jurnal PWK

Unisba, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota – UNISBA


iv Astuti, Nanda Ratna, Identifikasi Peran Pustaka Perkotaan dalam Pembentukan Citra Kota
Surakarta, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK, Program Sarjana Perencanaan Wilayah
dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB
v Aryanto A. dkk, 2005, Kajian Pembentuk Citra Kawasan Perumahan, Studi Kasus: Perumahan

Taman Setiabudi Indah, Medan, Jurnal Arsitektur “Atrium” Vol.02 no.02, Universitas Sumatera Utara
vi Tohjiwa Agus Dharma, 2011, Citra Pusat Kota Depok Berdasarkan Kognisi Pengamat, Proceeding

PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil) Universitas Gunadarma, Depok

8
SEMINAR NASIONAL CITIES 2014
<Yudha P. Heston>; <Kualitas Layanan Sanitasi Dan Pembentukan Citra Kota>

vii Egam Pingkan Egam, Pengembangan Wisata Kota untuk Memperkuat Citra Kota Wisata, Kasus:
Permukiman Bantik di Malalayang, Jurusan Arsitektur Universitas Sam Ratulangi, Manado
viii Pokja Sanitasi Kota Banjarmasin, 2013, Pemutakhiran SSK (Strategi Sanitasi Kota) Banjarmasin

2014-2018, Banjarmasin
ix http://www.ampl.or.id/program/program-percepatan-pembangunan-sanitasi-permukiman-ppsp-/1
x Anholt Simon, 2007, Competitive Identity, The New Brand Management for Nations, Cities and

Regions, Palgrave Macmillan, New York


xi http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=16935

S-ar putea să vă placă și