Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Oleh:
ARIKA FIRDAUS
(14401.15.16004)
1
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN HALUSINASI
A. DEFINISI
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu objek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensorik ini meliputi seluruh panca indra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan
sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.
Halusinasi adalah penginderaan tanpa rangsangan eksternal yang berhubungan
dengan salah satu jenis indera tertentu yang khas. (Kaplan dan Saddock, 1998). Halusinasi
adalah gangguan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem panca indera di mana terjadi pada saat kesadaran
individu itu penuh/baik.
B. JENIS HALUSINASI
1. Halusinasi non patologis
Menurut NAMI (National Alliance for Mentally Ill). Halusinasi dapat terjadi pada
seseorang yang bukan penderita gangguan jiwa, pada umumnya terjadi pada klien
yang mengalami stress yang berlebihan atau kelelahan bisa juga karena pengaruh obat-
obatan (halosinogenik) halusinasi ini antara lain:
Halusinasi hipnogonik : persepsi sensori yang palsu yang terjadi sesaat sebelum
seseorang jatuh tertidur.
Halusinasi hipnopomik : persepsi sensori yang palsu yang terjadi pada saat
seseorang terjatuh bangun.
2. Halusinasi patologis
a. Halusinasi pendengaran (Auditory)
Klien mendengar suara dan bunyi yang tidak berbeda dengan stimulus nyata dan
orang lain tidak mendengarnya.
b. Halusinasi penglihatan (Visual)
Klien melihat gambar yang jelas atau samar-samar tanpa stimulus yang nyata dan
orang lain tidak melihatnya.
c. Halusinasi penciuman (Olfactory)
Klien mencium bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata
dan orang lain tidak menciumnya.
d. Halusinasi pengecap (Gustatory)
Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan makanan yang
tidak enak.
e. Halusinasi peradaban (Taktil)
Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa stimulus yang nyata.
2
C. ETIOLOGI
Menurut Rawlin, et all, (1998) etiologi halusinasi dilihat dari 5 (lima) dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Halusinasi dapat meliputi kelima indera, tapi yang paling sering ditemukan adalah
halusinasi pendengaran, halusinasi dapat ditimbulkan dari beberapa kondisi seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan sehingga terjadi delirium
intoksikasi, alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam jangka waktu yang lama.
2. Dimensi intelektual
Halusinasi terjadi sebagai usaha untuk merubah realita yang ada, yang bertujuan untuk
melindungi integritas dirinya dan adanya fungsi ego untuk mengadakan kontak yang
realita.
3. Dimensi emosional
Terjadinya halusinasi karena adanya perasaaan cemas yang berlebihan yang tidak
dapat diatasi dan sebagai hal yang menakutkan sehingga menyebabkan klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan,
4. Dimensi social
Halusinasi dapat terjadi disebabkan oleh hubungan interpersonal yang tidak
memuaskan sehingga koping yang digunakan untuk menurunkan kecemasan akibat
hilangnya control terhadap diri, harga diri maupun interaksi social dalam dunia nyata,
sehingga klien cenderung menarik diri dan hanya tertuju pada dirinya sendiri.
5. Dimensi spiritual
Klien yang mengalami halusinasi yang merupakan makhluk social, mengalami ketidak
harmonisan berinteraksi, penurunan kemampuan untuk menghadapi stress dan
kecemasan serta menurunnya kualitas untuk menghadapi keadaan sekitarnya.
Akibatnya saat halusinasi menguasai dirinya, klien akan kehilangan control terhadap
kehidupannya.
Menurut Stuart dan Sudden, 1998, terjadinya halusinasi dapat disebabkan sebagai
berikut:
1. Teori psikoanalisa
Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangasangan dari luar yang
mengancam, ditekan untuk muncul dalam alam sadar.
2. Teori biokimia
Halusinasi terjadi karena respon metabolisme terhadap stress yang mengakibatkan
terlepasnya zat halusinogenik neuro kimia cepat bufatamin dan dimetyl
tramsferasia.
3
D. MANIFESTASI KLINIK
Tahap I
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3. Gerakan mata yang cepat
4. Respon verbal yang lambat
5. Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
Tahap II
1. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan
nadi, pernafasan dan tekanan darah
2. Penyempitan kemampuan konsenstrasi
3. Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Tahap III
1. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
3. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
4. Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor,ketidakmampuan untuk
mengikuti petunjuk
Tahap IV
1. Prilaku menyerang teror seperti panic
2. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
3. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,menarik diri atau
katatonik
4. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
5. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
4
E. PATHWAY
F. TAHAP-TAHAP HALUSINASI
Menurut kusumawati, farida , 2011
1. Fase pertama disebut juga fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien mengalami stres, cemas,
perasaan perpisaan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan yang tidak dapat
diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara
ini hanya menolong sementara. Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon ferbal yang
lambat jika sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
2. Fase kedua disebut juga dengan fase condemning atau ansietas berat yaitu halusinasi
menjadi menjijikkan. Termasuk kedalam psikotik ringan. Karakteristik : pengalaman
sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berpikir
sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin
orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengiontrolnya. Perilaku klien : meningkatnya
tanda-tanda system saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Klien asik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas.
3. Fase ketiga adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori
menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik : bisikan, suara,
isi halusinasi, semakin meninjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi
terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku klien : kemauan
dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-
tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase ke empat adalah fase conquering atau panic yaitu klien lebur dengan
halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik: halusinasinya berubah
menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak
5
berdaya, hilang control dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di
lingkungan. Perilaku klien : perilaku terror akibat panic, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap
perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien halusinasi resiko menciderai diri sendiri, orang
lain dan lingkungan.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien
jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau
mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
2. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan
mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar
atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
3. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif.
Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat
yang di berikan.
4. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah
pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi
masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga
pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
5. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah
raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan
pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak
menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
6. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari
percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-
6
laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya
di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien
sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
I. MASALAH KEPERAWATAN
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan b.d halusinasi
2. Perubahan persepsi sensor halusinasi b.d menarik diri
7
7. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman /
tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang
lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu
lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi
adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik.
8. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak
nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah
halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai
mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal
yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-
obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur
dalam waktu yang lama.
Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebu
Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan,
namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua
prilaku klien.
Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi
8
sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi
yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut
cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar
dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu
tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol
kehidupan dirinya.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan b.d halusinasi
2. Perubahan persepsi sensor halusinasi b.d menarik diri
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan untuk pasien
1. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi hal berikut
a. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
b. Pasien dapat mengontrol halusinasinya
c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan keperawatan
a. Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdiskusi dengan pasien
tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi,
frekuensi terjadi halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan
respon pasien saat halusinasi muncul
b. Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar mampu
mengontrol halusinasi, anda dapat melatih pasien 4 cara yang sudah terbukti
dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai berikut.
1) Menghardik halusinasi
2) Bercakap cakap dengan orang lain
3) Melakukan aktifitas yang terjadwal
4) Menggunakan obat secara teratur
9
Tindakan keperawatan untuk keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik dirumah sakit maupun
di rumah.
b. Keluarga dapat menjadi system pendukung yang efektif untuk pasien.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusi masalah yang di hadaapi keluarga dalam merawat pasien.
b. Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi,jenis
halusinasi yang dialami pasien,tanda dan gejala halusinasi ,proses
terjadinya halusinasi,serta cara merawat pasien halusinasi.
c. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat
pasien halusinasi langsung di hadapan pasien.
d. Buat perencanaan pulang dengan keluarga.
D. EVALUASI
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah anda lakukan untuk pasien
halusinasi adalah sebagai berikut.
1. Pasien mempercayai kepada perawat
2. Pasien menyadari bahwa yang dialami nya tidak ada objeknya dan merupakan
masalah yang di atasi
3. Pasien dapat mengontrol halusinasi
4. Keluarga mampu merawat pasien di rumah,ditandai dengan hal berikut:
a. Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami oleh pasien.
b. Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien dirumah.
c. Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien.
d. Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat di gunakan untuk
mengatasi masalah pasien.
e. Keluarga melaporkan keberhasilannya merawat pasien
10
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf A.H, Fitryasari R.P.K, Nihayati H.E, 2015.’Kesehatan Jiwa’. Salemba Medika
Lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-gangguan-persepsi.html//
http://ahlinyajiwa.blogspot.com/2013/02/strategi-pelaksanaan-halusinasi.html
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=8211
11
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN HALUSINASI
12
SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua: bercakap-
cakap dengan orang lain
Orientasi:
“Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara
suaranya masih muncul ? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita
latih?Berkurangkan suara-suaranya Bagus ! Sesuai janji kita tadi saya akan
latih cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan
orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau di mana? Di sini saja?
Kerja:
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi yang lain adalah dengan
bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau bapak mulai mendengar
suara-suara, langsung saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta teman
untuk ngobrol dengan bapak Contohnya begini; … tolong, saya mulai dengar
suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada orang dirumah
misalnya istri,anak bapak katakan: bu, ayo ngobrol dengan bapak sedang
dengar suara-suara. Begitu bapak Coba bapak lakukan seperti saya tadi
lakukan. Ya, begitu. Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah, latih terus ya
bapak!”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan ini? Jadi sudah ada berapa cara
yang bapak pelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, cobalah kedua
cara ini kalau bapak mengalami halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita
masukkan dalam jadwal kegiatan harian bapak. Mau jam berapa latihan
bercakap-cakap? Nah nanti lakukan secara teratur serta sewaktu-waktu suara
itu muncul! Besok pagi saya akan ke mari lagi. Bagaimana kalau kita latih
cara yang ketiga yaitu melakukan aktivitas terjadwal? Mau jam berapa?
Bagaimana kalau jam 10.00? Mau di mana/Di sini lagi? Sampai besok ya.
Selamat pagi”
16