Sunteți pe pagina 1din 5

SULITNYA MENDAPATKAN PEKERJAAN

Lowongan kerja semakin terbuka lebar, tetapi pada waktu yang bersamaan
banyak anak bangsa yang tidak punya kesempatan untuk bekerja di tempat yang
layak. Mereka terpaksa mengurung niat lantaran terkendala oleh strata
pendidikan yang kian hari semakin tinggi tuntutannya. Di saat yang bersamaan
tenaga-tenaga kerja asing semakin membanjiri dunia kerja Indonesia, mereka
dimudahkan dengan dalih hubungan bilateral dan perdagangan bebas (MEA).
Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan
mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara.

Saya terketuk hati menulis tulisan ini setelah beberapa sahabat bercerita tentang
sulitnya mendapatkan pekerjaan. Rangkuman keluhan mereka bisa dijelaskan ke
dalam beberapa hal. Pertama, terkendala masalah strata pendidikan yang saat ini
menjadi persyaratan wajib untuk melamar sebuah pekerjaan. Dengan kata lain
orang yang tidak memenuhi persyaratan pendidikan yang dimaksud dalam
sebuah lowongan, tidak bisa mendaftar pekerjaan tersebut.

Misalnya, dalam sebuah lowongan pekerjaan sebagai OB (office boy) disyaratkan


harus berpendidikan minimal setingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas).
Berarti tamatan setingkat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), SD (Sekolah
Dasar), atau yang tidak mengenyam pendidikan formal tidak memiliki
kesempatan. Saya juga pernah melihat dalam berita sebuah lowongan di harian
Suara Merdeka, ada perusahaan yang mensyaratkan pada lowongan kerja
satpam harus berpendidikan Sarjana.

Begitu pula, untuk mendaftar sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) persyaratan
yang dibutuhkan adalah lulusan sarjana. Sedikit sekali yang membutuhkan
lulusan diploma, apalagi untuk tingkatan di bawahnya (SMA atau SLTP). Dari
itu dapat disimpulkan bahwa dalam mencari pekerjaan, persaingan bukan lagi
hanya masalah keunggulan kemampuan, tetapi juga persaingan strata
pendidikan yang dibuktikan dengan selembar kertas yang disebut dengan ijazah.
Meskipun pendidikan formal adalah tempat yang paling efektif, namun
pendidikan formal hanyalah salah satu dari sarana-sarana yang ada. Penetapan
strata pendidikan sebagai syarat sebuah pekerjaan memang memudahkan dalam
penjaringan tenaga kerja yang ahli, tetapi di lain sisi mematikan individu-
individu yang memiliki keahlian, namun berada di luar jalur pendidikan
formal. Kenyataannya, kemampuan dan keahlian adalah masalah individual
yang didapatkan melalui ketelatenan berlatih dan belajar. Dengan kata lain, tidak
melulu didapatkan melalui pendidikan formal.

Disamping itu, penetapan strata pendidikan sebagai syarat sebuah pekerjaan


memicu kejahatan intelektual. Hal ini akan menggeser orientasi orang-orang
untuk menempuh pendidikan, yaitu pendidikan bukan lagi sebagai serana untuk
melatih diri dan mendapatkan ilmu, melainkan sebagai tempat untuk mengejar
ijazah. Ijazah itu kemudian menjadi kartu as dalam dunia kerja. Kemunculan jual
beli ijazah yang menjadi lahan bisnis bagi beberapa lembaga pendidikan, calo-
calo tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi adalah gambaran kejahatan
intelektual. Fenomena ini adalah bagian dari efek buruk penetapan strata
pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sebenarnya, tidak ada masalah strata pendidikan menjadi ukuran untuk kualitas
dan prasyarat mendapatkan pekerjaan, asalkan diimbangi oleh kesamaan
peluang/akses bagi seluruh anak bangsa dalam menempuh pendidikan. Tetapi
saat ini pendidikan adalah barang mahal, sedangkan ekonomi masyarakat
Indonesia mayoritas adalah diambang batas kemiskinan. Berdasarkan laporan
dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia per
Maret 2016 adalah sekitar 11 % dari keseluruhan penduduk. Sedangkan 65 %
lainnya adalah penduduk dengan ekonomi rata-rata yang kebanyakan berprofesi
sebagai buruh, dan petani (Tempo, 18 Juli 2016).

Program-program pemerintah seperti wajib sekolah 9 tahun atau 12 tahun harus


dilandasi oleh kebutuhan praktis. Jika saat ini misalnya, dunia kerja (yang
pemerintah ikut andil menentukan) menghendaki strata sarjana sebagai
prasyarat umum untuk sebuah pekerjaan maka wajib sekolah harus diubah
menjadi 16 tahun. Jadi, penetapan 9 tahun atau 12 tahun harus dilandasi oleh
kegunaan praktis atau pemerintah harus menentukan batasan 9 atau 12 tahun
pendidikan sebagai batasan dunia kerja di Indonesia, baik menjadi pegawai
pemerintah atau swasta.

Yang paling utama berhubung negara kita ini adalah negara berkembang yang
tingkat kemiskinannya masih tinggi, maka pendidikan harus lah gratis dan
ditanggung oleh pemerintah sampai batas minimal kewajiban. Dari yang sudah
terlihat pada program wajib 9 tahun atau 12 tahun, dengan indikator biaya
pendidikan yang tinggi, dan tingginya jumlah anak-anak yang putus sekolah,
maka sepertinya pemerintah kita belum bisa dikatakan mampu menggratiskan
biaya pendidikan sampai ke jenjang teratas. Lagipula, dengan hutang negara
yang semakin lama semakin menumpuk apa yang bisa diharapkan. Karena itu
jalan yang paling bijak yang bisa pemerintah lakukan adalah membuka peluang
kepada semua rakyat untuk bekerja dimanapun, berdasarkan keahlian mereka
bukan batasan strata pendidikan.

Kedua, lowongan kerja belum memadai dengan jumlah kebutuhan masyarakat.


Kita dihadapkan dengan tuntutan pekerjaan oleh masyarakat dan harus diakui
belum mencukupi dan merata di seluruh propinsi di Indonesia. Sudah sering
terlihat, saat sebuah lowongan pekerjaan yang hanya merekrut sejumlah orang,
ratusan atau ribuan orang bersaing untuk mencari peruntungan pada pekerjaan
tersebut.

Mereka yang mendaftar tentu saja adalah mereka yang memenuhi kualifikasi
strata pendidikan seperti yang telah dikemukakan di atas. Orang-orang yang
tidak punya peluang pekerjaan di negeri ini, ramai-ramai mengadu nasib
menjadi TKI/TKW di negara-negara tetangga yang persyaratannya lebih mudah,
dan diyakini dengan imbalan gaji yang lebih tinggi.

Dengan kondisi demikian, program mendatangkan tenaga kerja asing untuk


mengisi lowongan-lowongan pekerjaan di Indonesia adalah sangat tidak
manusiawi. Alasan apapun untuk itu tidak bisa diterima. Apalagi jika tenaga
kerja asing tersebut diberikan hak istimewa dari pada pekerja pribumi, contoh
kasus laporan karyawan di PLTU Hamparan Perak, Sumatra Utara (viva.co.id, 9
Agustus 16). Kecuali jika negara ini kelebihan lowongan pekerjaan, di mana
tenaga-tenaga pribumi tidak mencukupi untuk mengisinya, sehingga
mendatangkan tenaga asing menjadi kebutuhan. Namun fakta yang ada
memperlihatkan bahwa banyak dari warga Negara kita yang justru menjadi
TKI/TKW di negeri orang, yang membuktikan bahwa tidak ada lowongan yang
cukup di negara ini.

Masalah lowongan pekerjaan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah,


apalagi dengan berlakunya pasar bebas untuk cakupan asia (MEA). Jika tidak,
maka pemerintah akan kecolongan dengan ekspansi perusahaan-perusahaan
asing dan masuknya tenaga kerja asing secara membludak. Pemerintah memang
tidak bisa membendung masuknya tenaga kerja asing, karena itu bagian dari
kesepakatan MEA (Tempo, 21 Juli 16), akan tetapi pemerintah punya
kewenangan untuk membuat peraturan khusus bagi tenaga kerja asing yang
ingin bekerja di Indonesia. Tentunya, peraturan tersebut haruslah yang utama
menguntungkan tenaga kerja pribumi.

Pasar bebas pada dasarnya menjadikan negara sebagai sebuah korporat dagang,
di mana ia bersaing dengan negara-negara lain dalam hal produksi dan menjual.
Logika keberhasilan negara dalam ajang pasar bebas, yaitu ketika produk-
produk lokal menguasai pasar lokal dan ketika kebutuhan pada produk-produk
luar hanya sebagai tambahan. Tanda-tanda kegagalan korporat dalam pasar
bebas yaitu ketika produk-produk luar mendominasi pasar lokal, dan
produktivitas lokal mandeg, sehingga pemerintah hanya fokus untuk mengajak
korporat asing membangun cabang perusahaan di wilayahnya, dimana warga
negaranya berperan sebagai konsumen.

Untuk itu diperlukan perhatian yang sangat khusus pada bidang perdagangan,
pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan, dan industri. Perhatian khusus
pada bidang-bidang ini karena di bidang itulah senjata kita untuk bersaing
dalam pasar bebas. Indonesia dengan kondisi alamnya mempunyai potensi
untuk menjadi korporat besar dalam pasar bebas ini. Sayangnya selama ini
perhatian pemerintah belum optimal. Maraknya impor ternak, beras, gula, dan
beberapa kebutuhan pokok lainnya adalah indikasi hal tersebut.

Rakyat tidak menuntut banyak hal pada pemerintah. Mereka membutuhkan


pekerjaan dan gaji yang bisa menopang hidup dan pendidikan bagi generasi-
generasi mereka. Hak-hak politik, kebebasan berpendapat, dan hal lainnya yang
berhubungan dengan politik hanyalah hajat minoritas. Pengusaha-pengusaha
yang mempunyai perusahaan multi-nasional sebenarnya adalah masyarakat
yang tidak bernegara, dengan uang dan kuasa mereka bebas untuk melakukan
bisnis di negara mana saja, sehingga tidak perlulah perhatian terlalu tinggi untuk
menjamin kenyamanan manusia-manusia super ini.

Amar Ma’ruf, aktifis Serikat Buruh Sejahtra Indonesia dan pengurus Badko HMI
Sultra

S-ar putea să vă placă și