Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
OPERASI KATARAK
OLEH :
FISKA ARIESTA
9175312906105036
KENDARI 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan yang sering dialami oleh
lansia, yang biasanya disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih dan
berkurangnya kemampuan tahanan otot lurik pada uretra karena perubahan
fisiologis pada lansia (Darmojo & Soetojo, 2006).
B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi
juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
b. Diet
c. Cairan
d. Latihan fisik
e. Stres psikologi
g. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).
h. Sosiokultural
i. Status volume
j. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan
individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes
melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan
parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter &
Perry,2006).
l. Prosedur bedah
m. Obat-obatan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor
risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan
dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.(Darmojo, 2009)
C. Patofisiologi
1. Fisiologi
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila
otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses
berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas
beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medulla spinalis
dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang
mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan
medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada
ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga
dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.
Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih
disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran
urin.
Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau
penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin.
Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra
dengan kandung kemih dan rongga perut.
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara
urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada
posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan
intraabdomen secara efektif ditrasmisikan ke ureter. Bila uretra pada posisi yang
tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan
tekanan intraabdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang
berpusat di medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih.
Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf
otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih,
relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis
dan mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul.
Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun,
sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot
detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh
sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.
b. Perubahan Fisiologis
1. Kapasitas ↓
2. Kemampuan menahan kemcing ↓
3. Kontraksi involunter ↑
4. Volume residu setelah berkemih ↑
1. Komponen seluler ↓
2. Deposit kolagen ↑
d. Perubahan Fisiologis
1. Tekanan penutupan ↓
2. Prostat Hiperplasia dan membesar
3. Vagina Komponen seluler ↓
4. Mukosa atrofi
5. Dasar Panggul Deposit kolagen ↑
6. Rasio jaringan ikat-otot ↑
7. Otot melemah (Urol, 2013)
Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu
ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan
tipe overflow. Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin
tipe stress dimana inkontinensia urin tipe stres merupakan inkontinensia
urin yang paling banyak dijumai pada perempuan. Ada sebuah penelitian yang
melaporkan bahwa inkontinensia urin stres ternyata tidak hanya disebabkan oleh
kegagalan penyokong ureter tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak
adekuat dan gangguan pada sestem kendali kontinensia urin
(neuromuskular). Pemahaman itu memicu kesimpulan bahwa tatalaksana yang
diberikan pada perempuan dengan inkontinensia urin harus disesuaikan dengan
jenis inkontinensia urin dan penyebab kerusakan; sebaiknya tatalaksana ini tidak
disamaratakan untuk semua kasus inkontinensia urin. Untuk lebih memahami
patofisiologinya, inkontinensia urin akan dibahas dengan pendekatan anatomi dan
fisiologi.
Gambar 1. Tampak lateral mekanisme kontinensia yang memperlihatkan
pendesakan fasia endopelvis menuju fascia arkus tendinosus pelvis dan otot
levator ani.
Salah satu pertanyaan penting ialah bagaimana aparatus itu dapat menjaga
uretra tertutup rapat walaupun tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk
keras tanpa dapat me ndesak urin keluar melalui uretra. Pada
model konseptul dijelaskan bahwa stabilitas lapisan penyokong cenderung
lebih mempengaruhi terjadinya kontinensia dibandingkan dengan tinggi uretra.
Individu dengan lapisan penyokong yang kuat, uretra akan ditekan antara
tekanan abdominal dan fasia pelvis pada arah yang sama. Kondisi tersebut
diibaratkan saaat seseorang dapat menghentikan aliran air yang melalui selang
taman dengan menginjak selang dan menekan ke arah lantai keras yang
mendasari. Jika lapisan dibawah uretra tidak stabil dan tidak memberikan
tahanan yang kokoh terhadap tekanan abdominal yang menekan uretra,
maka tekanan yang berlawanan akan menyebabkan hilangnya penutupan
dan kerja oklusi akan berkurang.
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
B. Klasifikasi
1. Inkontinensia Transien
D : Delirium
I : Infection of urinary tract or other infection
A : Atrophic urethritis and vaginitis
P : Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca
channel blocker)
P : Psychological Problems, especially depression
E : Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)
R : Restricted mobility
S : Stool impaction
D. Pathways Keperawatan
E. Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.
Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling
populer, selain itu juga dipakai obat obatan, stimulasi dan pemakaian alat
mekanis. Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan.
1. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula
darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari.
b. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya.
c. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
d. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
e. Promoted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada
lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
f. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan
otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara:
1. Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10
kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar
dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul
menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
2. Terapi farmakologi
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan
saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan
berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa
ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaanumum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b. Pemeriksaan Sistem
1. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
2. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3. B3(brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4. B4(bladder)
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
1. B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
2. B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti
hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik
lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes
lanjutan tersebut adalah:
2. Laboratorium tambahan
Kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
3. Tes urodinamik
Untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
4. Tes tekanan urethra
Mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
5. Radiologi
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah
B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin fungsional b/d gangguan pelvis, kerusakan
neuromuscular
2. Inkontinensia urin overflow b/d obstruksi kandung kemih,
ketidaksinergian otor detrusor eksternal
3. Inkontinensia urin refleks b/d kerusakan jaringan
4. Inkontinensia urin stress b/d peningkatan tekanan intra abdomen,
defisiensi spingter uterthra instrinsik
5. Inkontinensia urin urgen b/d atrofi urethritis, konsumsi alcohol, infeksi
kandung kemih, konsumsi kafein
6. Risiko inkontinensia urin urgen b/d atrofi urethritis, konsumsi alcohol,
infeksi kandung kemih, konsumsi kafein
7. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
8. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan
keterlibatan sosial.
9. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.
10. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
11. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
12. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
13. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik berhubungan
dengan deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan,
progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi,
serta sumbe komonitas.
C. Perencanaan Keperawatan
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik
yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis
gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia stres,
urgensi, luapan dan fungsional. Inkontinensia pada usia lanjut bukan
merupakan kondisi normal , namun merupakan faktor predisposisi
terjadinya inkontinensia urin. Berbagai perubahan anatomis dan fisiologis
terjadi pada orang tua. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan penurunan
kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada lak-laki. Pada
dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan
kolagen, sehingga mneyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan
mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi
atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot
uretra, sehingga terjadi penurunan tekanan penutupan uretra. Penatalaksanaan
konservatif dilakukan pada kasus inkompeten sfingter uretra sebelum terapi
bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan
disesuaikan dengan faktor penyebab.
B. Saran
Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan
tindakan perawatan dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada
pembentukan tingkat kenyamanan pasien, manajemen rasa sakit dan keamanan.
Perawat harus mampu mamahami faktor psikologis dan emosional yang
berhubungan dengan diagnosa penyakit, dan perawat juga harus terus mendukung
pasien dan keluarga dalam menjalani proses penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Setiati S dan Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Sudoyo AW et al.
editor. Jakarta : Interna Pulishing ;2009 : 865-875
Urol IJ. Prevalence and risk factors of urinary incontinence in Indian women: A
hospital-based survey. Indian Journal of Urology. 2013; 29(1): 31–36
Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. 2008 Juli; vol 58(no.7):
258-64
Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing;
2009: hal 865—75.
O’callaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: erlangga; 2006.
Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan
keperawatan. Jakarta: EGC; 2005.
Kong TK. Clinical Guidelines on Geriatric Urinary Incontinence. Desember
2003.
Abrams P, et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of
Urology. 2006.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK
Padjajaran Bandung.
Baradero, Marry, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol.2. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction
Publishing.
Download