Sunteți pe pagina 1din 19

MAKALAH

SOSIOLOGI SASTRA

ANALISIS ASPEK STRUKTURALISME GENETIK DALAM CERPEN “DERABAT”


KARYA BUDI DARMA

Dosen Pengampu : Venus Khasanah, S. S, M. Pd

Disusun oleh : Sitti Jamilatulfadhylah – 2 SIS 1 – 2125162277

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga makalah sederhana ini dapat diselesaikan. Sholawat beriring salam semoga selalu

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabat beliau dan

insya Allah juga kepada kita yang selalu berusaha untuk tetap istiqomah menjalankan

sunnah-sunnah beliau, aamiin.

Artikel ilmiah yang diberi judul ANALISIS ASPEK STRUKTURALISME GENETIK

DALAM CERPEN “DERABAT” KARYA BUDI DARMA ini disusun dalam rangka memenuhi

Ujian Tengah Semester mata kuliah Sosiologi Sastra dalam Program Studi Sastra Indonesia

Universitas Negeri Jakarta, dengan dosen pengampu Venus Khasanah, S. S, M. Pd

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................1

1.3 Tujuan Penelitian............................................................................1

BAB II ISI.........................................................................................................2

1.4 Pengertian Strukturalisme Genetik.................................................2

1.5 Konsep Strukturalisme Genetik......................................................2

1.6 Cerpen “Derabat”............................................................................5

1.7 Aspek-Aspek dalam Cerpen “Derabat”...........................................13

BAB III PENUTUP.............................................................................................14

1.8 Kesimpulan......................................................................................16

1.9 Saran................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Strukturalisme Genetik merupakan salah satu teori dalam sosiologi sastra yang umum

digunakan untuk menganalisis karya sastra, entah itu cerpen, novel, puisi, dan

sebagainya. Sebenarnya sosiologi sastra memahami karya sastra melalui perpaduan ilmu

sastra dengan ilmu sosiologi (interdisipliner). Sosiologi sastra, yang memahami fenomena

sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara

membaca dan memahami sastra yang bersifat interdisipliner. (Wiyatmi, 2013: 5).

Strukturalisme Genetik pun mengkaji karya sastra berdasarkan aspek genetik atau asal-

usulnya sebagai ekspresi pandangan dunia kelompok sosial pengarang. Strukturalisme

Genetik lebih menitikberatkan pada pandangang dari sebuah kelompok pengarang yang

bersifat sosial.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari strukturalisme genetik?

2. Aspek strukturalisme genetik apa saja yang terkandung dalam cerpen “Derabat”?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memahami pengertian dari strukturalisme genetik.

2. Memahami aspek strukturalisme genetik yang terkandung dalam cerepen “Derabat”.


BAB II

ISI

1.4 Pengertian Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik dikembangkan oleh Lucien Goldmann seorang filsuf yang

berasal dari Perancis. Teori ini pun menjadi salah satu teori yang populer digunakan

untuk menganalisis karya sastra. Ciri khas strukturalisme genetik adalah memahami dan

mengkaji karya sastra berdasarkan aspek genetik atau asal-usulnya, yaitu dalam

hubungannya dengan pengarang dan pandangan dunia kelompok sosialnya, serta kondisi

sosial historis yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Dalam memahami asal-usul

karya sastra, strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai ekspresi pandangan

dunia kelompok sosial pengarang (Wiyatmi, 2013: 124-125).

Jadi, pengertian strukturalisme genetik itu sendiri ialah teori dalam sosiologi sastra

yang kajiannya berupa hubungan pandangan kelompok sosial pengarang dengan karya

sastra, atau bagaimana sebuah kelompok memandang karya sastra. Hal ini dititikberatkan

pada pengarang beserta lingkungan sosialnya.

1.5 Konsep Strukturalisme Genetik

Ada beberapa konsep yang perlu dipahami lebih lanjut dalam strukturalisme genetik,

yaitu pengarang sebagai subjek transindividual atau subjek kolektif, pandangan dunia

(vision du monde, world view), fakta kemanusiaan, struktur karya sastra, dialektika:

pemahaman –penjelasan (Wiyatmi, 2013: 125).


 Pengarang – Subjek Transindividual

Pada strukturalisme genetik, pengarang diberi sebuah pandangan yang bersifat

khas yang melekat. Biasanya, pengarang dilihat sebagai seorang pencipta dari

karya sastra.

Namun, di dalam strukturalisme genetik pengarang dilihat sebagai penguasa

dalam pembatasan individu. Pengarang bukan hanya individu-individu saja,

tetapi membentuk sebuah kesatuan yang padat.

Kesatuan tersebut membentuk sebuah kelompok sosial yang

mengatasnamakan persamaan ide, aspirasi, serta gagasan. Hal ini pun yang

menjadi pembeda antara kelompok sosial yang satu dengan lainnya.

Persamaan-persamaan tersebut yang dinamakan dan membentuk pandangan

dunia.

 Pandangan Dunia

Pandangan dunia (vision du monde, world view) adalah istilah yang

digunakan untuk menyebut konsep yang menyeluruh dari gagasan-gagasan,

aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara

bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang

membedakannya (mempertentangkannya) dengan kelompok sosial lain.

Karena merupakan gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan

dari suatu kelompok sosial tertentu, maka pandangan dunia dianggap sebagai

kesadaran kolektif (Wiyatmi, 2013: 127).

Kesadaran kolektif atau kesadaran bersama ini mengalami perkembangan

yang dihasilkan dari latar belakang sosial ekonomi yang dimiliki oleh subjek

kolektif.
 Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik

yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan

(Faruk, 2017: 57).

Fakta kemanusiaan muncul diakibatkan oleh segala aktivitas manusia yang

berperilaku sebagai subjek. Fakta kemanusiaan pun muncul di tengah-tengah

masyarakat dan menjadi bagiannya, hal itu pun dikarenakan pengarang

merupakan subjek.

 Struktur Karya Sastra

Menurut Goldmann (dalam Wiyatmi, 2013: 129) Strukturalisme genetik

mempunyai konsep struktur karya sastra yang berbeda dari konsep struktur

yang dikenal umum sebelumnya. Struktur karya sastra merupakan (1) ekspresi

pandangan dunia kelompok sosial pengarang secara imajiner; (2) dalam

usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan

semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secara imajiner

 Dialektika: Pemahaman-penjelasan

Metode dialektika digunakan sebagai pemahaman antara masyarakat dengan

karya sastra yang didasari oleh pandangan dunia dari kelompok sosial.

Teknik pelaksanaan metode dialektik berlangsung sebagai berikut: Goldmann,

1981; Faruk, 1994 (dalam Wiyatmi, 2013: 132)

Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan

tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian.

Kedua, kemudian dilakukan pengecekan terhadap model itu dengan

membandingkan bagian dengan keseluruhan dengan cara menentukan sejauh

mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam hipotesis yang


menyeluruh. Kemudian, menentukan daftar elemen-elemen dan hubungan–

hubungan baru yang tidak dilengkapi dalam model semula. Selanjutnya,

menentukan frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang

dilengkapinya dalam model yang sudah dicek itu.

1.6 Cerpen “Derabat” karya Budi Darma

Di desa saya ada seorang pemburu bernama Matropik. Sebenarnya dia bukan penduduk asli.
Dia pendatang entah dari mana, dan dia masuk karena di tempat-tempat lain dia sudah tidak
mungkin berburu, dan semua sudah mati di tangan dia.Sekarang, di desa saya, dia sudah
mulai gelisah. Segala macam binatang sudah hampir punah.

Dan kami, penduduk asli, dalam hati mengharap ia agar dia segera enyah.
Memang, sebenarnya, semenjak dia datang, kami sudah membenci dia. Kami membenci dia
bukan karena kami adalah orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan
suasana yang tidak enak. Perilaku dia sangat kejam dalam berburu, dia tidak sekadar
berusaha membunuh, namun menyiksa sebelum akhirnya membunuh. Maka, begitu banyak
binatang telah menderita berkepanjangan, sebelum akirnya dia habiskan dengan kejam.

Cara dia makan juga benar-benar rakus. Bukan hanya itu, dia juga suka mabuk-mabukan.
Apabila dia sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar meresahkan dan
memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata kotor, cabul dan menjijikkan. Dalam keadaan
mabuk dia suka telanjang, lari kesana kemari, mengejar-ngejar apa saja, terutama perempuan.

Dengan sadar dan terang-terangan, dia berusaha keras untuk merusak anak-anak muda. Dia
ajak mereka untuk ikut-ikutan minum, dia didik mereka untuk bertutur kata kotor, dan dia
suntikkan kepada mereka jiwa tidak puas terhadap keadaan, berkelahi dengan cara-cara
curang. Karena didikan dia, maka banyak anak-anak muda mulai bertingkah-laku kurang ajar.
Mereka cenderung tidak menghormat siapa pun, tentu saja kecuali terhadap dia (Pemburu
Matropik), suka melawan, dan bernafsu untuk selalu menang.

Dan dengan uang pemberian dia, mereka ikut-ikutan mabuk. Sementara itu saya tahu benar
sebelum dia datang, penduduk sama sekali tidak pernah mengenal minuman haram. Karena
dia tidak selamanya memberi uang, mereka akhirnya cenderung untuk mencuri. Mula-mula
mereka mencuri di rumah sendiri, lalu meloncat ke rumah-rumah tetangga. Dan akhirnya
tentu saja akhirnya mereka menggerayangi desa-desa lain. Memang selama ini, masyarakat
desa-desa lain tidak dapat membuktikan bahwa anak-anak muda dari desa saya mencuri,
tetapi mereka dapat merasa siapa sebenarnya pencuri-pencuri yang menggerogoti harta
mereka. Namun, mereka yang tidak dapat membuktikan tidak berarti tidak dapat membenci.
Terhadap kebencian mereka, dengan sendirinya, kami hanya sanggup menyalahkan diri
sendiri. Sementara itu, hukum alam justru sering bertindak culas. Orang-orang jahat, oleh
alam, justru diberi wibawa besar. Karena itulah, perang sering berkecamuk, orang-orang jujur
sering menjadi korban, dan orang-orang yang semestinya digilas habis oleh alam justru
dipuja-puja.

Maka, barang siapa berani melawan pemburu Matropik, pasti kena sikat. Bahkan setelah dia
berhasil mengganggu istri sekian banyak penduduk, dan memperkosa beberapa gadis, kami
tetap tidak mempunyai pilihan lain kecuali diam. Makin diam dan makin menyerah kami,
makin girang pemburu Matropik. Tindakan-tindakan dia semakin sewenang-wenang, dan
kekejaman dia semakin menjadi-jadi. Dan makin dipujalah dia oleh anak-anak muda.
Sementara itu, saya setiap hari saya tetap melakukan pekerjaan saya. Setiap malam saya
berangkat, membawa pedati. Memang saya adalah anak turun penarik pedati, satu-satunya di
desa saya. Dan karena nenek moyang saya penarik pedati hukum turun-temurun juga
menjadikan saya penarik pedati. Seluk beluk pedati, dengan demikian saya benar-benar tahu.
Bagaimana membongkar dan memasang pedati, merawat kuda, dan menghadapi berbagai
marabahaya di jalan, hukum turun-temurun menjadikan saya penarik pedati yang benar-benar
andal.
Demikianlah, setiap malam saya berangkat. Dalam kegelapan, saya harus bergerak melalui
jalan-jalan buruk untuk menuju ke pelabuhan ikan terdekat. Dan pelabuhan itu tidak dekat,
tapi benar-benar jauh.

Sebelum fajar datang, saya sudah tiba di pasar ikan. Beberapa orang menghampiri saya,
sambil menggotong keranjang, keranjang berisi ikan segar. Setelah semua keranjang tertata
rapi dalam pedati, dan setelah semua perhitungan dan pembayaran beres, saya meloncat ke
pedati, siap menuju kota terdekat yang sebetulnya juga tidak dekat. Begitu pedati berjalan
pasti saya mengambil kendi terbuat dari besi peninggalan nenek-moyang, lalu minum. Kalau
sudah mencapai jalanan sepi saya turun sebentar untuk membuka satu keranjang ikan segar,
agar burung-burung sahabat saya nanti dapat mengambil beberapa ikan segar dengan mudah.
Demikian inilah pekerjaan saya sehari-hari, selama beberapa tahun terakir. Sebelumnya
memang saya pernah bekerja ini dan itu, juga sebagai pengangkut barang dengan pedati.
Semua pekerjaan saya lakukan dengan sukacita.

Dan saya meninggalkan pekerjaan ini itu untuk kemudian menjadi pengangkut ikan segar
tidak lain karena pilihan saya sendiri, tanpa keluhan terhadap pekerjaan-pekerjaan saya
sebelumnya.

Selama bekerja, segala sesuatu selalu saya kerjakan sendiri. Saya memang tidak mempunyai
apa-apa selain pedati dan segala macam perlengkapannya termasuk kuda. Dan saya memang
tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibu saya sudah meninggal, demikian juga saudara-
saudara saya. Semua meninggal, semua saudara saya meninggal ketika mereka masih muda.
Mungkin, karena tidak ada saudara perempuan saya yang berminat untuk menjadi istri
penarik pedati, dan karena tidak ada satu pun saudara laki-laki saya yang berminat untuk
menjadi penarik pedati. Setelah Matropik datang, pekerjaan saya juga sama. Memang secara
tidak langsung saya mendengar, dan kadang-kadang juga menyaksikan, tindakan-tindakan
kurang ajar pemburu Matropik. Namun selama ini, saya tidak pernah terganggu secara
langsung.

Yang mengganggu saya selama beberapa bulan terakhir ini, justru seekor burung. Bukan
burung-burung yang telah sekian lama menjadi sahabat saya, tetapi seekor burung jahanam.
Entah burung apa dia, saya tidak tahu. Dia sangat besar, sangat hitam, dan sangat cekatan.
Matanya menyorotkan sinar jahat, nafsu mencuri, dan dorongan untuk merusak serta
mencelakakan siapapun, karena siapa pun baginya adalah benar-benar musuh.

Sebelum bertemu burung ini, saya tidak pernah membayangkan bahwa di dunia ada burung
sehitam ini, sekuat ini, selincah ini dan sekeji ini. Entah mengapa, begitu saya melihat burung
ini untuk pertama kalinya, saya berteriak, ”Derabat!” Apa makna teriakan ini saya tidak tahu.
Namun, burung ini kemudian melongok ke arah saya. Lalu meluncur dengan cepat, dan
berusaha menyerang wajah saya. Untung, saya sudah siap dengan kelincahan tubuh untuk
berkelit, dan dengan cemeti untuk menghajar, kalau perlu.
Sebagai penarik pedati, tentu saja saya mengenal berbagai macam burung. Sudah begitu
banyak tempat yang saya kunjungi, dan sudah banyak jalan yang saya lalui. Di berbagai
tempat dan di berbagai jalan, entah pagi, entah siang, atau pun malam, begitu banyak burung
yang pernah saya jumpai. Perilaku mereka pun sudah benar-benar saya kenal. Bahkan tanpa
melihat, dan hanya dengan mendengar kepak sayap mereka dari jauh, saya sudah tahu siapa
mereka. Bau tubuh mereka pun, sudah saya kenal dengan baik. Hukum turun-menurun
penarik pedati memang telah melengkapi saya dengan penciuman yang tajam pula.

Sementara itu, sebagai pengangkut ikan segar, apalagi sudah bertahun-tahun, saya hafal benar
sekian banyak macam burung pemakan ikan segar. Bagaimana cara mereka berkelebat untuk
kemudian menukik dan mengambil ikan segar dari pedati, saya tahu benar. Dan memang,
saya bersahabat dengan mereka. Silahkan mereka mengambil ikan segar saya sebab saya tahu
benar mereka sama sekali tidak serakah. Dari gerak-gerik mereka saya juga tahu bahwa
mereka berusaha untuk mengucapkan terima kasih. Dan mereka juga memberi tanda-tanda
bahwa mereka siap menolong saya, manakala saya menghadapi bahaya.

Berhadapan dengan Derabat atau semacam Derabat, sekali lagi, saya benar-benar belum
pernah. Derabat selalu menyerobot ikan sebanyak-banyaknya. Andaikata semua ikan itu dia
makan, atau katakanlah, dibawa terbang jauh untuk diberikan kepada para kerabat, kalau dia
punya, saya tidak berkeberatan. Namun ikan-ikan itu dia buang-buang di berbagai tempat di
jalan yang saya lalui. Dan dia sanggup memilih ikan-ikan yang bagus dan besar. Jadi, mula-
mula dia berkelebat gagah, kemudian menukik tajam. Dengan kecepatan yang sulit
dibayangkan, dia ambil ikan yang paling bagus. Lalu, dia berkelebat menjauh, sekejap
kemudian dia datang lagi, mencuri lagi. Demikianlah seterusnya, sampai berkali-kali. Lalu,
dengan sikap sangat mengejek dia meninggalkan saya, untuk mendatangi saya lagi keeseokan
harinya.

Sebenarnya hukum turun-temurun penarik pedati sudah mengajarkan saya untuk


mempertahankan diri dan untuk mempertahankan harta benda, khususnya dalam perjalanan.
Saya tahu bagaimana saya harus mempertahankan diri, dan bagaimana saya harus
menggempur musuh, baik dengan tangan kosong maupun dengan cemeti, belati, gada, dan
apa pun juga yang dapat saya pergunakan. Semua perlengkapan sudah saya siapkan dengan
baik. Namun, saya percaya, kekerasan adalah jalan terakhir. Saya yakin bahwa dengan kasih
sayang, saya harus mampu membuat siapa pun, termasuk binatang-binatang kurang ajar,
untuk menjadi sabat. Dan selama ini, hanya satu kali saya gagal.

Sudah berpuluh-puluh kali saya dirampok dalam perjalanan. Semua perampok, kecuali satu,
dapat saya buat yakin bahwa merampok sama sekali tidak baik. Saya ajak mereka bicara,
saya jamu mereka dengan bekal makanan saya, dan saya kasih mereka uang dengan tulus.
Akhirnya, mereka tidak pernah mengganggu saya. Beberapa di antara mereka, bahkan,
pernah menolong saya pada saat saya menemui kesulitan. Sekali lagi, hanya satu kali saya
gagal, yaitu ketika saya berhadapan dengan perampok juling.

Sudah berkali-kali saya berusaha untuk mengajak dia berbicara, tapi dia tetap ngotot
melancarkan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Setelah benar-benar saya
yakin bahwa dia memang suka menyakiti, memperkosa, dan membunuh, saya tidak
mempunyai pilihan lain kecuali mengirim dia ke neraka.

Dengan penuh penyesalan karena tidak mempunyai pilihan lain, saya lempar bangkai dia di
tempat yang tidak mungkin dilacak oleh siapa pun kecuali oleh anak-turun penarik pedati
yang benar-benar hormat kepada nenek moyang mereka, bangga akan pekerjaan mereka
sebagai penarik pedati, cerdas, cerdik, terlatih, dan berpengalaman luas.

Berhadapan dengan Derabat, saya juga bersikap sabar. Akan saya anggap dia sebagai
manusia jahil, dan akan saya dekati dia dengan jalan baik-baik. Tidak terlintas di pikiran saya
bahwa saya akan menyakiti dia. Bahkan, setelah dia menyerang wajah saya, dan jelas
mengincar mata saya untuk dicabut oleh cakar dia, saya masih terus bersabar. Saya memang
berkelit dan menghantamkan cemeti bukan untuk melukai dia, tapi untuk memberi tahu agar
dia jangan berbuat kurang ajar lagi. Namun, pada suatu hari dia mulai menghilang. Selama
beberapa hari dia tidak pernah tampak. Kemudian ketika muncul kembali, dia hanya
berkelayapan di atas sana dengan sikap yang sangat manis. Karena dia sangat besar, tubuh dia
juga melempar bayang-bayang yang amat besar dibanding dengan bayang-bayang burung-
burung lain. Tapi karena dia bersikap manis, dengan sikap manis pula saya berteriak,
”Derabat, turunlah! Mengapa kamu tidak mengambil ikan? Silahkan!”.

Dengan sikap sopan dia melesat, kemudian menghilang.Selama beberapa hari, dia tidak
tampak lagi. Namun beberapa hari kemudian, saya merasa ada sebuah suasana yang benar-
benar tidak enak. Tidak seperti biasa, langit sepi tanpa burung, semua sahabat saya tidak ada.
Barulah beberapa saat kemudian, ketika pedati saya sedang melesat dengan kencang, saya
melihat pemandangan yang benar-benar mengharukan. Di tengah jalan, tampak bangkai
seekor burung. Bahkan dari jauh pun saya sudah tahu bahwa bangkai itu tidak lain adalah
burung sahabat saya. Setelah menguburkan bangkai sahabat saya, saya segera melanjutkan
perjalanan. Kuda saya pacu lebih cepat, supaya tidak terlambat

Ternyata, saya menemukan bangkai lain. Demikianlah, pada jarak-jarak tertentu, saya
menemukan bangkai-bangkai burung. Dan semua itu adalah bangkai-bangkai sahabat saya.
Dari semua bangkai itu, saya tahu siapa yang telah berbuat begitu keji. Tidak lain dan tidak
bukan, dialah derabat. Dia bunuh sahabat saya satu per satu, kemudian dia letakkan bangkai-
bangkai sahabat saya di tempat-tempat tertentu yang akan saya lalui. Setelah yakin tidak akan
menemukan bangkai lagi, saya pacu kuda keras-keras. Saya tidak boleh terlambat
menyerahkan ikan segar kepada saudagar ikan langganan saya. Dan setelah menyerahkan
ikan dan meyelesaikan semua perhitungan, saya putuskan untuk tidak pulang.

Malam itu, setelah merawat kuda dan menyembunyikan pedati, saya menginap di sebuah
hutan. Untuk menjaga diri terhadap berbagai bahaya, saya tidur di sebuah pohon tinggi. Dan
agar kuda saya tidak terganggu oleh apa pun, kuda itu itu saya perintah untuk tidur tidak jauh
dari pohon. Kalau ada apa-apa, saya bisa segera meloncat ke bawah. Cemeti dan belati sudah
saya siapkan dengan baik. Dan di tempat tersembunyi dalam pedati, sudah saya siapkan
sebuah gada ampuh peninggalan nenek moyang.

Saya sempat bermimpi. Dalam mimpi saya melihat, bahwa Derabat tidak lain adalah
Matropik, dan Matropik tidak lain adalah Derabat. Kalau saya berhasil melumpuhkan salah
satu di antara mereka, berarti saya dapat melumpuhkan keduanya. Demikianlah, selama
beberapa malam saya tidur di hutan-hutanyang berbeda. Saya berpindah-pindah dengan
alasan yang saya sendiri tidak bisa tahu. Dan saya tidak pulang hanya hanya karena saya
belum tertarik untuk pulang. Tapi kuda dan pedati saya tetap saya rawat dengan baik. Dan
pekerjaan saya sebagai pengangkut ikan segar juga berjalan biasa-biasa saja.

Setelah beberapa hari tidak pulang, pada suatu malam saya merasa tidak enak. Tapi saya
berjalan terus. Dan memang, ternyata tidak ada apa-apa. Tapi, mungkin saya keliru. Mungkin
pemburu Matropik sedang menciptakan kesengsaraan-kesengsaraan baru di desa saya.
Andaikata benar, alangkah terkutuk saya. Seharusnya saya ada di sana, dan menjadikan
pemburu Matropik penghuni kubur.

Saya sadar bahwa ternyata selama ini saya bersikap diam, kendati kalau perlu seharusnya
saya sanggup berhadap-hadapan dengan pemburu Matropik. Andaikata benar-benar terjadi,
alangkah menarik. Maka, saya putuskan untuk kembali, segera setelah pekerjaan saya selesai.
Demikianlah, segera setelah mengambil ikan segar di pelabuhan, seperti biasa saya menuju
kota. Seperti biasa, jalan sepi. Namun, tidak seperti biasa, di langit sama sekali tidak ada
burung. Ternyata, di sebuah ujung jalan ke kota, di sebelah sana tampak ada sebuah sosok
berdiri sambil menenteng senapan. Dan dia tidak lain adalah pemburu Matropik.

”Ke mana kamu minggat selama beberapa hari ini, penarik pedati anjing?” tanya pemburu
Matropik

”Mengapa kamu bertanya, pemburu Matropik?”

”Karena kamu telah berbuat dosa, penarik pedati buduk”

”Apa maksud kamu, pemburu Matropik?”

”Setelah semua burung kamu bunuh, saya tidak mempunyai mangsa untuk saya buru”

”Saya tidak pernah membunuh burung, pemburu Matropik”

”Saya tidak perlu penjelasan kamu, penarik pedati anjing”

”Kalau begitu, pemburu Matropik, minggirlah kamu”

”Saya akan minggir, setelah saya puas menembak kepala kamu”

”Untuk apa, pemburu Matropik?”

”Kamu sudah lama ridak pulang, anjing buduk”


”Lalu?”

”Berarti, semua keuntungan kamu sedang kamu simpan dalam pedati”

”Dan kamu menginginkan semua penghasilan saya, pemburu Matropik?”

”Jangan banyak omong, anjing. Saya memerlukan kedua-duanya. Kepala kamu, lalu harta
kamu”

”Bodoh benar kamu, pemburu Matropik. Kamu pemburu, tapi kamu tidak tahu. Saya hanya
penarik pedati, tapi saya mencium bau sesuatu dan mendengar sesuatu”

Bau inilah yang sebenarnya saya cari. Dan suara ini pulalah, yang sebetulnya juga sudah saya
tunggu-tunggu. Saya tahu bahwa sebetulnya Derabat sedang melayap di atas sana. Benar,
saya kemudian merndengar Derabat menukik ke bawah, namun pemburu Matropik sama
sekali tidak sadar. Seperti biasa, Derabat memang cerdik. Dia berusaha untuk tidak
menimbulkan suara, tapi saya tetap mendengar suara dia menukik. Dan dia juga mengambil
ancang-ancang dari tempat yang tepat sehingga tubuh dia tidak menampakkan bayangan di
tanah.

Ketika pemburu Matropik sadar, sudah terlambat. Derabat sudah berkelebat menuju ke arah
pemburu Matropik, dengan kecepatan yang benar-benar tinggi. Pemburu Matropik, dengan
sendirinya, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat apa pun. Demikianlah dengan
gerak yang sangat jitu, Derabat menghajar wajah pemburu Matropik. Senapan melesat, dan
saya ikut melesat. Senapan segera saya tangkap, saya buang pelurunya, kemudian saya
hantamkan ke sebuah batu besar. Rusak. Derabat segera melesat ke atas, tapi dengan
kecepatan melebihi kilat dia merangsak, kembali menyerang pemburu Matropik. Tampak
pemburu Matropik benar-benar kelabakan. Namun, sama sekali saya tidak mempunyai minat
untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Karena pemburu Matropik tidak lain adalah
Derabat, dan Derabat tidak lain adalah pemburu Matropik, mereka pasti akan saling
memusnahkan. Biarlah iblis bertempur melawan iblis.
(http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/derabat.html)
1.7 Aspek-aspek strukturalisme genetik yang terkandung dalam cerpen Derabat

Aspek-aspek dalam strukturalisme genetik ada tiga, di antaranya ialah:

 Kesadaran Kelompok
 Ideologi
 Partisipasi Individu

a. Kesadaran kelompok yang terdapat pada cerpen Derabat tersebut ialah:


 “Dan kami, penduduk asli, dalam hati mengharap ia agar dia segera enyah.”
 “semenjak dia datang, kami sudah membenci dia. Kami membenci dia bukan
karena kami adalah orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu
menciptakan suasana yang tidak enak.”
 “masyarakat desa-desa lain tidak dapat membuktikan bahwa anak-anak
muda dari desa saya mencuri, tetapi mereka dapat merasa siapa sebenarnya
pencuri-pencuri yang menggerogoti harta mereka.”
 “kami hanya sanggup menyalahkan diri sendiri.”
 “setelah dia berhasil mengganggu istri sekian banyak penduduk, dan
memperkosa beberapa gadis, kami tetap tidak mempunyai pilihan lain kecuali
diam. Makin diam dan makin menyerah kami, makin girang pemburu
Matropik.”

Dari beberapa kutipan cerpen di atas, dapat diketahui bahwa penduduk dari berbagai

desa merasa ada sesuatu hal buruk yang besar menimpa mereka. Namun, mereka tidak

memiliki keberanian untuk melawannya.

Karena, hanya kematian yang akan menemui mereka sebelum waktunya. Mereka

sadar jika mereka terus diam, Matropik akan terus berbuat semena-mena, namun

hanya diam yang selalu mereka ikuti. Dalam diam pun, mereka memiliki harapan ada

seseorang atau entah siapapun untuk membunuh Matropik. Dan diam itu juga adalah

hasil kesepakatan yang tidak pernah ada pertemuannya.


b. Ideologi yang terdapat dalam cerpen Derabat ialah:

 “Karena didikan dia, maka banyak anak-anak muda mulai bertingkah-laku

kurang ajar.”

 “sebelum dia datang, penduduk sama sekali tidak pernah mengenal minuman

haram.”

Dari dua kutipan di atas, dapat diketahui mereka memakai ideologi Islam, di mana di

dalam Islam tidak mengenal adanya minuman memabukkan. Masyarakat di desa

tersebut selalu merasa damai dan tenteram sebelum Matropik datang, dan mereka pun

tipe masyarakat desa yang taat terhadap ideologi yang mereka anut.

c. Partisipasi Individu yang terdapat dalam cerpen Derabat ialah:

 “barang siapa berani melawan pemburu Matropik, pasti kena sikat.”

 “Senapan melesat, dan saya ikut melesat.”

Kutipan di atas menyiratkan bahwa ada sebuah perlawanan untuk melenyapkan si

Matropik, entah apapun itu hasilnya. Keberanian dari perorangan mampu untuk

melenyapkan Matropik, walaupun ternyata Derabat ialah diri Matropik itu sendiri.
BAB III

PENUTUP

1.8 Kesimpulan

Strukturalisme Genetik dikembangkan oleh Lucien Goldmann seorang filsuf asal

Perancis. Strukturalisme Genetik membahas bagaimana pengarang dengan kelompok

sosialnya menjadi tolak ukur dalam karya sastra. Teori ini pun menjadi salah satu teori

yang populer digunakan untuk menganalisis karya sastra. Ciri khas strukturalisme genetik

adalah memahami dan mengkaji karya sastra berdasarkan aspek genetik atau asal-

usulnya, yaitu dalam hubungannya dengan pengarang dan pandangan dunia kelompok

sosialnya, serta kondisi sosial historis yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Di

dalam strukturalisme genetik terdapat beberapa konsep mutlak yang dianut, yaitu:

a. pengarang sebagai subjek transindividual atau subjek kolektif pandangan dunia

b. fakta kemanusiaan

c. struktur yang terkandung dalam karya sastra

d. dialektika: pemahaman-penjelasan

1.9 Saran

Selain menggunakan teori strukturalisme genetik, cerpen ini pun dapat dikaji dengan

penjelasan mazhab Rene Wellek: sastra dan ekstrinsiknya. Penulis menyadari masih

banyak sekali kekurangan dalam kepenulisan makalah ini, oleh karena itu penulis

membutuhkan kritik serta saran yang membangun bagi penulis agar makalah selanjutya

dapat dihasilkan dengan lebih maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

 Wiyatmi. 2008. Sosiologi Sastra: Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia.

Yogyakarta: Kanwa Publisher

 Faruk. 2017. Pengantar Sosiologi Sastra Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/derabat.html

S-ar putea să vă placă și