Sunteți pe pagina 1din 106

PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST

SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK


MENGHASILKAN ANTIBODI
PADA MENCIT

SLAMET RIYADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Produksi


Protein HBsAg Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan
Antibodi pada Mencit” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2012

Slamet Riyadi
NIM D061030061
ABSTRACT

SLAMET RIYADI. Production of HBsAg100-GST Recombinant Protein as an


Immunogen Model for Generating Antibody in Mice. Under direction of RARAH
R.A. MAHESWARI, MIRNAWATI SUDARWANTO, FRANSISKA R.
ZAKARIA, and MUHAMAD ALI.

Since years ago, a new paradigm of vaccine design is emerging. Instead of


attenuated virulent microorganisms or killed virulent microorganisms, effective
subunit vaccines were developed using recombinant DNA technology.
Biosynthesis of recombinant protein in Escherichia coli may offer an alternative
procedure to generate therapeutic protein free from human protein. In this
research, hydrophilic domain of S protein (aa 100-164)-encoding gene of hepatitis
B surface antigen was cloned for vaccine candidate production. The gene was
ligated with pGEX-4T-2 vector and sequenced. Sequences alignment of the
amplified fragment with genome of hepatitis B virus indicated that the sequences
were identical. In this research, cloned DNA fragment of Hepatitis B surface
antigen was placed downstream from the gluthatione S-transferase (GST) protein-
encoding gene in expression plasmid pGEX-4T-2 and expressed in Escherichia
coli cells. A polypeptide of 34.8 kDa molecular weight was synthesized and
identified as HBsAg100-GST fusion proteins. The recombinant proteins were then
purified using GSTrap and HiTrap column and could be used for vaccine
candidate or for antibody generation. The purified protein was tried to trigger cell
immune to produce antibody in mice. Results indicated that the immunogenicity
of HBsAg100-GST was higher than GST protein in elicit the levels of HBsAg100-
specific IgG antibody in mice. These results suggest that the HBsAg100 produced
in E. coli has immunogenicity. A major result achieved from this research was
clones carrying S antigens-encoding gene that could be used further for
production of recombinant hepatitis B vaccine candidates.

Keywords: pGEX-4T-2, recombinant, antigen, vaccine, antibodi, HBsAg100-GST.


RINGKASAN

SLAMET RIYADI. Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model


Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit. Dibimbing oleh RARAH
R.A. MAHESWARI, MIRNAWATI SUDARWANTO, FRANSISKA R.
ZAKARIA, dan MUHAMAD ALI.

Kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa dekade terakhir, terutama


sejak ditemukannya sekuen genom lengkap dari mikroba-mikroba patogen, telah
menemukan jalan baru bagi dihasilkannya berbagai jenis protein rekombinan, baik
vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu. Pada
saat ini, vaksin telah dihasilkan dengan teknologi DNA rekombinan, yaitu melalui
kloning gen penyandi protein tertentu pada mikroorganisme patogen yang
dilanjutkan dengan ekspresi gen tersebut pada sel hewan, sel tanaman, ataupun
pada bakteri.
Penggunaan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun yang
dimatikan telah diganti dengan penggunaan vaksin sub unit yang lebih efektif
dengan teknologi DNA rekombinan. Melalui penggunaan teknologi tersebut, gen
tertentu dari mikroorganisme virulen dapat dikloning, diekspresi dan dievaluasi
penggunaannya sebagai vaksin. Tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang
dilahirkan pada tahun 1973, telah memungkinkan manusia untuk mengisolasi gen
(serangkaian molekul DNA) serta memanipulasinya, kemudian memindahkan gen
tersebut dari satu organisme ke organisme lain. Peranan bioteknologi dirasakan
semakin bertambah besar dalam menunjang kegiatan pembangunan industri di
berbagai sektor, terutama sektor kesehatan dan pertanian termasuk sub sektor
peternakan.
Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α
(transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli
DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEXSR100 hasil transformasi
ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung X-
gal dan IPTG. Penentuan bahwa bakteri-bakteri berwarna putih adalah pembawa
gen SR100, dilakukan melalui skrining dengan PCR menggunakan koloni bakteri
tersebut sebagai cetakan (PCR Koloni). Primer yang digunakan untuk PCR koloni
tersebut harus dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’-insert dari
plasmid, sehingga dipastikan tidak terjadi kesalahan arah insert. Amplifikasi
hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak tersambung secara terbalik.
Adanya pita tunggal DNA dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi
bahwa klon yang diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan.
Koloni yang mengandung plasmid rekombinan dengan hasil PCR koloni
pita tunggal kemudian dikultur dari replika pada media LB pada suhu 37 oC
selama 12 jam dengan shaker untuk isolasi plasmid rekombinan. Plasmid hasil
isolasi tersebut kemudian disekuensing. Hasil pensejajaran (alignment)
sekuensing plasmid rekombinan yang diisolasi dari koloni bakteri rekombinan
menunjukkan kesamaan dengan sekuen dari bagian genom virus hepatitis B. Hal
ini menunjukkan bahwa gen hasil amplifikasi tersebut tidak mengalami mutasi
dan dapat digunakan untuk produksi antigen hepatitis B bagian S pada bakteri.
Plasmid rekombinan yang tidak memiliki mutasi pada sekuen insert selanjutnya
disimpan untuk ditransformasikan pada E. coli BL21 dan produksi protein
HBsAg100-GST.
Pemisahan terhadap hasil sonikasi untuk mengetahui bahwa protein
rekombinan dalam bentuk terlarut (soluble) menggunakan sentrifugasi dan
filterisasi (filter ukuran 0.22 µm). Kelarutan protein rekombinan sangat penting
untuk mempermudah proses pemurnian. Hasil yang diperoleh baik larutan
maupun pelet dimasukkan ke dalam gel akrilamid. Kelarutan dari protein
rekombinan diperlihatkan oleh adanya pita-pita protein target pada bagian
supernatan. Sebaliknya hasil SDS-PAGE dari pelet bakteri yang tidak
memperlihatkan adanya pita-pita dari protein target menjadi indikator bahwa
protein rekombinan tersebut berada dalam bentuk tak larut (insoluble). E. coli
BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 memiliki protein dengan
ukuran sekitar 34.8 kDa karena merupakan gabungan antara GST yang memiliki
berat 28 kDa dengan antigen S dengan ukuran 6.8 kDa.
Penelitian ini menggabungkan fragmen DNA dari antigen permukaan virus
Hepatitis B dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) di dalam
plasmid pGEX-4T-2 yang diekspresikan di dalam sel-sel E.coli. Polipeptida
dengan berat molekul sekitar 34.8 kDa telah diproduksi dan diidentifikasi sebagai
protein gabungan HBsAg100-GST. Protein gabungan tersebut kemudian
dimurnikan menggunakan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap.
Hasil pemurnian fusi HBsAg100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan
dalam jumlah yang cukup untuk digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya.
Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat meningkatnya kelarutan protein
rekombinan karena fusi dengan GST. Berdasarkan uji antigenisitas pada mencit
BALB/c, protein HBsAg100-GST hasil purifikasi dapat menghasilkan antibodi
anti HBsAg100-GST yang berpotensi sebagai vaksin.
Nilai optikal densiti (OD) dari serum mencit yang diperoleh dari darah
mencit sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi dengan HBsAg100-GST pada
kelompok A dan dengan GST pada kelompok B menunjukkan, bahwa rerata
respon humoral mencit yang diimunisasi dengan fusi protein meningkat setelah
dilakukan imunisasi maupun setelah dilakukan booster. Namun, seiring dengan
penambahan waktu pemeliharaan, respon humoral mencit tersebut menurun
sedikit demi sedikit sampai akhir minggu ke 12.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen SR100
berhasil diamplifikasi, kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2, dan
ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan
tidak terdapat mutasi pada gen hasil kloning. Uji lanjut untuk konfirmasi
imunogenisitas protein antigen HBsAg100-GST masih perlu dilakukan pada
hewan lain seperti kelinci, kambing dan kuda.

Kata kunci: pGEX-4T-2, rekombinan, HBsAg100-GST, vaksin, antibodi.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST
SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK
MENGHASILKAN ANTIBODI
PADA MENCIT

SLAMET RIYADI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing

Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup (25 Januari 2012)


1. Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soeyoedono, MS
2. Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si

Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Terbuka (30 Januari 2012)


1. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
2. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.
Judul Disertasi : Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model
Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit

Nama : Slamet Riyadi


NRP : D061030061
Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto
Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Muhamad Ali, S.Pt., M.Si., Ph.D
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Ternak

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 30 Januari 2012 Lulus Tanggal:


PRAKATA

Atas tersusunnya disertasi ini dengan judul “Produksi Protein Rekombinan


HBsAg100-GST sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada
Mencit”, Penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT., Tuhan yang maha
mengetahui dan maha menolong sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Disertasi ini memuat tiga bab yang merupakan pengembangan dari naskah
artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 1 berjudul Kloning Gen SR100 dalam
rangka Produksi Protein Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk
Menghasilkan Antibodi sedang menunggu penerbitan di Jurnal Peternakan
Indonesia Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Bab 2 berjudul
Biosintesis Antigen Permukaan HBsAg100 pada E. coli dalam rangka Produksi
Protein Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi juga
sedang menunggu penerbitan di Jurnal Kedokteran YARSI Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI, Jakarta. Bab 3 berjudul Imunogenisitas Protein Rekombinan
HBsAg100-GST dalam Memicu Sel Imun untuk Menghasilkan Antibodi pada
Mencit sedang disiapkan untuk dikirim ke penerbit Jurnal Ilmiah.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Rarah Ratih Adji Maheswari, DEA (Ketua); Prof. Dr.
drh. Mirnawati Sudarwanto (Anggota); Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc.
(Anggota), dan Dr. Muhamad Ali, M.Si. (Anggota). Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta atas segala do’a dan kasih
sayangnya. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan
disertasi ini.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan disertasi
ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat mendukung pengembangan
bioteknologi di Indonesia pada khususnya dan bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Pebruari 2012

Slamet Riyadi
RIWAYAT HIDUP
Dilahirkan di Pemalang pada tanggal 29 Maret 1960 sebagai anak kedua
dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Kampyun (alm) dan Ibu Maryati
(alm). Menikah dengan Rahma Jan dikaruniai seorang putri, Lisantiyas Nurani
mahasiswi semester lima Fakultas Kedokteran UNRAM, dan dua orang putra,
Abdillah Rahmadiputra mahasiswa semester tiga jurusan Teknik Mesin Fakultas
Teknik UNRAM dan Abdul Ghoffar Triatmojo mahasiswa semester tiga Fakultas
Kedokteran UNRAM. Pada saat ini, bertugas sebagai Staf Pengajar di Fakultas
Peternakan Universitas Mataram di Mataram.
Riwayat pendidikan dimulai dengan menyelesaikan pendidikan SDN 2
Kendalsari, kecamatan Petarukan, kabupaten Pemalang, tahun 1972. SMPN
Petarukan, kabupaten Pemalang, tahun 1975. SMAN Pemalang tahun 1979, dan
S1 Fakultas Peternakan UNDIP tahun 1986. Selanjutnya menempuh pendidikan
program S2 Ilmu Peternakan UGM, lulus 2001. Tahun 2003 melanjutkan
pendidikan Program S3 pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana
IPB. Pada tanggal 1 Maret 1987 diangkat sebagai CPNS di Fakultas Peternakan
Universitas Mataram, kemudian ditetapkan sebagai PNS sejak 1 Oktober 1988
pada instansi yang sama.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .............................................................................................. xxi


DAFTAR TABEL ....................................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xxv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xxvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................. 1
Perumusan Masalah ......................................................................... 4
Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 5
Kerangka Pemikiran ......................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Hepatitis B dan Antigen Permukaan ....................................... 9
Struktur DNA dan Genome Virus Hepatitis B ................................. 13
DNA Rekombinan dan Kloning DNA .............................................. 19
Vaksin Hepatitis B ............................................................................ 21
Aplikasi Rekayasa Genetik di Bidang Peternakan.............................. 23
KLONING GEN SR100 DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN
REKOMBINAN SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK
MENGHASILKAN ANTIBODI
Abstrak ............................................................................................. 25
Abstract ............................................................................................ 25
Pendahuluan ..................................................................................... 26
Bahan dan Metode ............................................................................ 27
Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 30
Simpulan .......................................................................................... 36
Daftar Pustaka .................................................................................. 36
BIOSINTESIS ANTIGEN PERMUKAAN HEPATITIS B HBsAg100
PADA E. COLI DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN
REKOMBINAN SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK
MENGHASILKAN ANTIBODI
Abstrak ............................................................................................. 39
Abstract ............................................................................................ 39
Pendahuluan ..................................................................................... 40
Bahan dan Metode ............................................................................ 42
Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 44
Simpulan .......................................................................................... 47
Daftar Pustaka .................................................................................. 48
IMUNOGENISITAS PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST
DALAM MEMICU SEL IMUN UNTUK MENGHASILKAN
ANTIBODI PADA MENCIT
Abstrak ............................................................................................... 49
Abstract ............................................................................................... 49
Pendahuluan ....................................................................................... 49
Bahan dan Metode .............................................................................. 51
Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 54
Simpulan ............................................................................................. 57
Daftar Pustaka .................................................................................... 57
PEMBAHASAN UMUM .......................................................................... 59
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 67
LAMPIRAN .............................................................................................. 71
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Ukuran genome dari beberapa makhluk hidup dalam bentuk haploid ......... 16
2 Daftar primer yang digunakan dalam penelitian .......................................... 30
3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit
setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST
pada beberapa tingkat pengenceran .............................................................. 56
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sekelompok virus Hepatitis B (Sumber: Stannard 1995) ................. 10


2 Pembesaran dari dua buah core yang ditunjuk dengan tanda panah
(Sumber: Stannard 1995) .................................................................. 10
3 Representasi diagram dari virus Hepatitis B dan komponen antigen
permukaan (Sumber: Stannard 1995) ............................................... 10
4 Ilustrasi virus Hepatitis B dengan capsid dan internal density yang
tampak pada irisan melintang (Sumber: Dryden et al. 2006) ........... 11
5 Diagram struktur dari bagian DNA heliks ganda (Sumber: Andre
2006) ................................................................................................. 14
6 Diagram organisasi genome virus hepatitis B (Sumber: Wagner
2004) ................................................................................................. 18
7 Koloni E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 hasil
transformasi yang ditumbuhkan pada media seleksi
(ampisilin). Koloni berwarna putih merupakan koloni bakteri
pembawa plasmid rekombinan, sedangkan koloni berwarna
biru tidak membawa plasmid rekombinan .............................. 33
8 Hasil elektrophoresis dari PCR koloni. M = Marker (1000 pb), 1
dan 2 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 sebagai
cetakan .............................................................................................. 34
9 Pita DNA plasmid pGEX-4T-2 rekombinan hasil elektroforesis
dalam 1% agrosa M : marker DNA λ. Lajur 1: Pita DNA plasmid
utuh pGEX-4T-2 rekombinan. Lajur 2, 3, 4, 5, 6, 7 : pita DNA
plasmid pGEX-4T-2 rekombinan yang dipotong dengan enzim
HindIII .............................................................................................. 34
10 Alignment sekuen gen insert (penyandi antigen HBsAg100) dengan
bagian genom virus Hepatitis B (Geneious Basics 5.4.3) .................. 35
11 Hasil ekspresi plasmid rekombinan. Kolom 1 = E.coli BL21 (tanpa
membawa plasmid rekombinan), Kolom 2 = E.coli BL21 pembawa
plasmid pGEX-4T-2, Kolom 3 = E. coli BL21 pembawa plasmid
pGEX-SR100 terlarut, Kolom 4 = E. coli BL21 pembawa plasmid
pGEX-SR100 terlarut dengan pengenceran 10x, Kolom 5 = E. coli
BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 (pelet), Kolom 6 = E. coli
BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 pellet dengan pengenceran
10x, Kolom 7 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100
terlarut, Kolom 8 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100
terlarut dengan 10 x pengenceran. M = Marker. Tanda panah pada
Kolom nomor 2 menunjukkan enzim GST, sedangkan tanda panah
pada Kolom nomor 4 menunjukkan protein fusi antara GST dan
HBsAg100 ......................................................................................... 44
12 Protein rekombinan hasil pemurnian. M = marker (ukuran berat
molekul pada masing-masing pita dari atas ke bawah: 116 kDa, 66
kDa, 45 kDa, 31 kDa, 21,5 kDa, 14,4 kDa, 6,5 kDa), Kolom 1 =
protein bakteri (unbound protein), Kolom 2 = protein bakteri
(unbound protein) diencerkan 10x, Kolom 3 = protein bakteri
(unbound protein) 2, Kolom 4 = protein bakteri (unbound protein) 2
yang diencerkan 10x, Kolom 5 = protein rekombinan (bound protein),
Kolom 6 = protein rekombinan (bound protein) dengan pengenceran
10x, Kolom 7 = protein rekombinan (bound protein) 2, Kolom 8 =
protein rekombinan (bound protein) 2 dengan pengenceran 10x ....... 46
13 Imunisasi terhadap mencit dilakukan dengan penyuntikan secara
subcutaneus ......................................................................................... 52
14 Respon humoral mencit terhadap vaksinasi HBsAg100-GST
(kelompok A) dan GST (kelompok B) berdasarkan nilai optikal
densiti (OD) yang diukur setiap minggu setelah dilakukan vaksinasi... 56
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Topologi dan peta fisik plasmid pGEM-T Easy .................................... 73


2 Genom lengkap dari isolat virus hepatitis B “2059 Java” .................. 74
3 Program PCR yang berhasil digunakan untuk amplifikasi gen SR100.. 77
4 Topologi dan peta fisik plasmid pGEX-4T-2 ...................................... 78
5 Situs-situs pemotongan dan sekuen lengkap pGEX-4T-2 ................... 79
6 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-5’... 83
7 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-3’... 85
8 Mesin Thermal Cycler untuk mengamplifikasi segmen DNA 87
9 Alat elektroforesis untuk memisahkan segmen DNA ......................... 87
10 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein
berdasarkan berat molekulnya (tampak depan) .................................. 88
11 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein
berdasarkan berat molekulnya (tampak atas) ...................................... 88
12 Kelompok kandang mencit dalam penelitian ...................................... 89
13 Keadaan mencit di dalam kandang percobaan .................................... 89
14 Proses mencampur HBsAg100-GST dengan Freund’s Adjuvant
sebagai bahan vaksin ........................................................................... 90
15 Menyiapkan mencit untuk vaksinasi ................................................... 90
16 Proses vaksinasi terhadap mencit sedang berlangsung ....................... 91
17 Pengambilan darah mencit melalui ujung ekor ................................... 91
18 Hasil elisa dalam penentuan konsentrasi serum mencit untuk menguji 92
19 Mesin Elisa Photoreader yang digunakan untuk membaca hasil elisa.. 92
20 Printer yang terhubung dengan Mesin Elisa ....................................... 93
21 Data hasil pembacaan optikal densiti (OD) terhadap serum mencit
yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan
vaksinasi .............................................................................................. 93
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak tahun 1972 telah berkembang usaha rekayasa genetika yang


memberikan harapan bagi industri peternakan, baik yang berkaitan dengan
masalah reproduksi, pakan maupun kesehatan hewan. Old dan Primrose (1989)
menjelaskan, bahwa teknik rekayasa genetika telah ditemukan pada waktu yang
hampir bersamaan, yaitu pertama kali dilaporkan pada tahun 1972 oleh Jackson et
al. Selanjutnya dilaporkan pula oleh Lobban dan Kaiser pada tahun 1973 dengan
melakukan pengklonan suatu fragmen DNA asing, atau DNA penumpang, atau
DNA sasaran dalam suatu vektor. Winarno dan Agustinah (2007), menegaskan
bahwa dengan adanya penemuan tersebut menunjukkan awal dimulainya revolusi
bioteknologi modern.
Bioteknologi baru atau bioteknologi modern juga disebut sebagai rekayasa
genetika atau modifikasi genetika. Pada umumnya bioteknologi diasosiasikan
sebagai rekayasa genetik dan biologi molekuler, namun sebenarnya lebih luas dari
itu, yaitu meliputi mikrobiologi, biokimia dan pengetahuan reproduksi
(Wiryosuhanto dan Sudradjat 1992). Menurut Winarno (2004), The European
Federation of Biotechnology pada tahun 1982 telah memberikan definisi bahwa
bioteknologi adalah aplikasi terpadu dari biokimia, mikrobiologi, ilmu teknik atau
rekayasa (engineering) bagi pemanfaatan mikroba, kultur jaringan serta
komponen-komponennya dalam skala industri. Wiryosuhanto dan Sudradjat
(1992) mendefinisikan bioteknologi sebagai serangkaian teknik yang
berhubungan dengan biokimia dan kemampuan genetik dari mahluk hidup untuk
tujuan praktis. Muladno (2002) menyatakan, bahwa semua teknologi yang
memanfaatkan mahluk hidup sebagai salah satu komponen utamanya sering
disebut sebagai bioteknologi, namun dalam arti sempit, bioteknologi diartikan
sebagai teknologi rekayasa genetika yang bekerja pada level molekuler khususnya
DNA.
Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992) menjelaskan, beberapa hasil penelitian
bioteknologi peternakan saat ini sudah dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan
untuk meningkatkan reproduksi ternak, pakan ternak serta untuk memperbaiki
2

status kesehatan hewan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bioteknologi reproduksi


meliputi inseminasi buatan, embryo transfer dan pemuliabiakan ternak dan dalam
upaya peningkatan reproduksi ternak telah dikembangkan penelitian dan aplikasi
bioteknologi sampai dengan generasi keempat, yaitu hewan transgenik. Sebagai
generasi pertama adalah inseminasi buatan dan embryo transfer merupakan
generasi kedua, sedangkan generasi adalah kloning. Bioteknologi di bidang pakan
merupakan teknologi biokimia dan mikrobiologi yang telah diaplikasikan untuk
perbaikan mutu pakan, seperti manipulasi mikroba rumen maupun dengan
perlakuan kimiawi dan mikrobiologi.untuk meningkatkan daya cerna dari hijauan
makanan ternak, jerami dan limbah pertanian yang tinggi kadar selulosanya.
Bioteknologi kesehatan hewan meliputi: (1) produksi komersial berbagai macam
zat penggertak pertumbuhan (growth promotors), seperti produksi hormone
dengan DNA rekombinan memanfaatkan bakteri tertentu. (2) produksi komersial
substansi imunogenik untuk memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang
lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang
berasal dari bakteri atau mikroorganisme lain yang patogen. Selanjutnya Muladno
(2002) menjelaskan, bahwa dengan tersedianya bioteknologi rekayasa genetika
yang dilahirkan pada tahun 1973, telah memungkinkan manusia untuk
mengisolasi gen (serangkaian molekul DNA) serta memanipulasinya dan
kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lain.
Perbedaan teknologi ini dibanding dengan teknologi lainnya adalah bahwa
teknologi ini memanfaatkan mahluk hidup sebagai komponen utamanya. Mahluk
hidup yang digunakan bisa berasal dari mikroorganisme, tanaman atau hewan.
Peranan bioteknologi dirasakan semakin bertambah besar dalam menunjang
kegiatan pembangunan industri di berbagai sektor, terutama sektor kesehatan dan
pertanian termasuk sub sektor peternakan. Cakupan bioteknologi ini sangat luas
baik yang baru dalam tahap penelitian maupun yang sudah dapat diaplikasikan. Di
bidang kesehatan dan kedokteran, telah ditemukan berbagai jenis obat-obatan
baru hasil pengembangan bioteknologi modern, antara lain insulin bagi pasien
diabetes yang kini dapat diperoleh lebih mudah dan lebih murah harganya,
hormon pertumbuhan manusia dan vaksin Hepatitis B (Winarno dan Agustinah
2007). Hepatitis B ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-negara
3

berkembang. Virus Hepatitis B merupakan penyebab utama hepatitis akut yang


dapat berlanjut menjadi kronis, sirosis dan kanker hati. Komplikasi akibat virus
ini telah mengakibatkan sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahun (Kimura et al.
2005).
Selubung virus hepatitis B (hepatitis B virus envelope) terdiri dari membran
glikoprotein dimana terdapat 3 bagian protein permukaan yaitu antigen pre-S1
(119 asam amino), pre-S2 (55 asam aminio) dan S (226 asam amino) (Yamada et
al. 2001; Jaoude dan Sureau 2005, Barrera et al. 2005). Beberapa ahli
menggolongkan ketiga protein tersebut sebagai protein kecil (small), sedang
(middle) dan besar (large). Antigen S telah digunakan secara luas sampai saat ini
sebagai vaksin konvensional. Menurut Hu et al. (2004a), asam amino ke 139-147
pada bagian S merupakan epitop utama pada protein S tersebut dan asam amino
Pre-S1 dan Pre-S2 masih dikaji tingkat immunogenisitasnya melalui serangkaian
diagnosa (Maruyama et al. 2000).
Proyek immunisasi massal di Lombok menunjukkan penggunaan vaksin
konvensional mampu menurunkan prevalensi Hepatitis B hanya sampai 70%
(Mulyanto et al. 2002). Hasil immunisasi Hepatitis B tersebut belum optimal,
kemungkinan hal ini disebabkan oleh vaksin konvensional tersebut (Korean
Green Cross) berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak mampu
menstimulasi munculnya antibodi spesifik yang mampu melawan virus Hepatitis
B yang terdapat di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk
melakukan rekayasa terhadap gen penyandi antigen permukaan Hepatitis B untuk
menghasilkan antigen rekombinan Hepatitis B bagian S (HBsAg100) pada E. coli.
Bagian gen penyandi epitop yang bersifat hidrophilik (dari asam amino nomor
100-164) dilaporkan dapat meningkatkan ekspresi pada E. coli. Selain itu, gen
penyandi HBsAg100 digabung dengan gen penyandi enzim gluthation-S-
transferase (GST) dapat meningkatkan ekspresi maupun solubilitas antigen yang
sangat penting untuk aktivitas maupun proses purifikasi. Gen penyandi HBsAg100
adalah gen yang diisolasi dari virus Hepatitis B sub tipe adw sebagai sub tipe
utama di Indonesia yang digunakan untuk membuat model dalam memproduksi
antigen rekombinan. Selanjutnya model tersebut digunakan untuk menghasilkan
4

protein antibodi yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai kandidat vaksin galur
lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan
genetik virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia.
Protein HBsAg100 rekombinan yang dihasilkan dengan teknologi rekayasa
DNA menggunakan bakteri ini diharapkan dapat menggantikan metode produksi
vaksin konvensional dari plasma yang banyak memiliki kelemahan, diantaranya,
rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah
penderita penyakit Hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program
vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain (terutama HIV)
pada serum donor. Antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin
rekombinan Hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia,
karena gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus HB yang terdapat di
Indonesia.

Perumusan Masalah

Perlunya dikembangkan bioteknologi dalam memenuhi kebutuhan manusia


dalam perkembangan dunia global dapat dipertimbangkan berdasarkan
permasalahan sebagai berikut:
1 Bioteknologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia.
2 Perkembangan bioteknologi yang sangat pesat perlu dimanfaatkan secara
maksimal.
3 Aplikasi bioteknologi di Indonesia masih terbatas, sehingga perlu untuk digali
dan dikembangkan, khususnya di bidang peternakan yang meliputi
bioteknologi reproduksi, pakan ternak dan bioteknologi molekuler di bidang
produksi ternak dan kesehatan hewan seperti pembuatan bahan obat dan bahan
vaksin.
4 Di bidang kesehatan hewan, penggunaan vaksin konvensional yang
mempunyai banyak kelemahan bisa diatasi dengan pembuatan bahan vaksin
dari protein imunogenik rekombinan.
5

Tujuan Penelitian

1 Membuat model plasmid rekombinan untuk memproduksi protein HBsAg100


rekombinan.
2 Menghasilkan klon pembawa gen penyandi HBsAg100 yang telah dikloning
dengan plasmid yang khusus digunakan untuk ekspresi (pGEX-4T-2).
3 Produksi dan isolasi protein HBsAg100-GST rekombinan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk produksi substansi antigenik dalam rangka


memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang lebih baik dan lebih aman
dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau
mikroorganisme lain yang patogen.

Ruang Lingkup

1 Mengisolasi gen penyandi HBsAg100 dari virus Hepatitis B sub tipe adw yang
merupakan sub tipe utama di Indonesia.
2 Memperbanyak HBsAg100 dengan PCR.
3 Membuat plasmid rekombinan melalui ligasi HBsAg100 dengan plasmid
pGEX-4T-2.
4 Melakukan transformasi plasmid rekombinan terhadap E. coli DH5α untuk
kloning, dilanjutkan dengan skrining klon yang membawa plasmid
rekombinan. Sekuensing dilakukan untuk memastikan tidak terdapat mutasi
pada gen target, kemudian dilanjutkan lagi dengan transformasi ke dalam E.
coli BL21 untuk menghasilkan protein HBsAg100-GST rekombinan.
5 Melakukan pengujian antigenisitas protein antigen S rekombinan pada mencit
BALB/c dengan teknik ELISA. Melakukan pengujian imunogenisitas protein
HBsAg100-GST rekombinan melalui respon mencit BALB/c yang diimunisasi
dengan HBsAg100-GST, kemudian melakukan pengambilan serum dan
menganalisa kandungan antibodi yang terbentuk dengan teknik ELISA.
6

Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan daerah hiperendemik penyakit Hepatitis B. Harga obat


yang digunakan untuk mengatasi penyakit tersebut sangat mahal, sehingga
vaksinasi merupakan metode yang lebih murah dan efektif. Vaksin konvensional
yang digunakan di Indonesia saat ini (Korean Green Cross) merupakan vaksin
yang dihasilkan dari plasma darah orang asing. Virus Hepatitis B merupakan virus
DNA yang memiliki enzim polymerase dengan kecermatan rendah, maka
frekuensi terjadinya mutasi cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya
perbedaan sekuen dari gen virus Hepatitis B yang ada di luar negeri dengan virus
Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Penggunaan vaksin galur luar negeri akan
menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik terhadap virus
Hepatitis B yang ada di luar negeri. Sebaliknya, vaksin tersebut kemungkinan
kurang efektif untuk menghasilkan antibodi yang spesifik untuk melawan virus
Hepatitis B yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, produksi protein HBsAg100
rekombinan sebagai kandidat vaksin Hepatitis B yang terdapat di Indonesia sangat
mendesak untuk dilakukan sehingga dihasilkan respon antibodi yang mampu
melawan virus tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka sangat perlu dilakukan
penelitian tentang “Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model
Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit”.
Masalah utama untuk menghasilkan antigen permukaan Hepatitis B
menggunakan bakteri E. coli adalah rendahnya tingkat ekspresi. Hal ini
disebabkan karena ekspresi gen penyandi antigen permukaan Hepatitis B
terhambat oleh adanya bagian gen up-stream yang menghasilkan protein bagian
dari antigen yang bersifat hidrophobik (Sheu dan Lo 1995). Selain itu, hasil
penelitian pendahuluan dalam rangkaian penelitian ini menunjukkan bahwa
antigen permukaan Hepatitis B bersifat toksik bagi inang (E. coli). Oleh karena
itu, penelitian yang mengarah pada optimalisasi ekspresi antigen pada E. coli
sangat perlu dilakukan. Pada penelitian ini, optimalisasi ekspresi dilakukan
dengan melakukan kloning dan ekspresi gen yang menghasilkan antigen
hidrophilik yang tetap mempertimbangkan utuhnya bagian-bagian epitop dari
antigen tersebut. Disamping itu, sifat toksik antigen tersebut akan diatasi dengan
mencegah terjadinya ekspresi dini (leacky expression) sebelum populasi bakteri
7

mencukupi untuk menghasilkan antigen yang memadai. Pencegahan ekspresi dini


tersebut akan dilakukan dengan pengayaan media melalui penambahan glukosa
untuk mencegah bakteri E. coli mengalami kekurangan nutrisi yang merupakan
penyebab bakteri tersebut mengekspresikan berbagai jenis enzim (termasuk
protein rekombinan) untuk melakukan metabolisme terhadap media.
Tidak adanya protein disulfide isomerase pada bakteri E. coli menyebabkan
protein rekombinan yang diekspresi menggunakan bakteri ini tidak mampu
mengalami folding secara sempurna. Hal ini berdampak pada rendahnya kelarutan
serta aktifitas dari protein yang dihasilkan. Strategi yang banyak dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah melakukan penggabungan dengan gluthatione-
S-transferase (GST) (Vikis dan Guan 2000; Koschorreck et al. 2005). Oleh karena
itu, penggabungan antigen permukaan Hepatitis B yang akan diproduksi dengan
GST sangat perlu dilakukan. Disamping itu, penggabungan dengan GST juga
akan sangat mempermudah proses pemurnian. Adanya kolum GSTrap yang
tersedia secara komersial merupakan tindak lanjut dihasilkannya plasmid pGEX-
4T-2 yang akhir-akhir ini sangat popular digunakan untuk produksi protein
rekombinan pada bakteri E. coli. Hal ini disebabkan karena plasmid tersebut
merupakan plasmid yang mampu menghasilkan protein rekombinan dalam jumlah
banyak (Ali et al. 2005).
TINJAUAN PUSTAKA

Virus Hepatitis B dan Antigen Permukaan

Menurut Dayal dan Maldonado (1998), Virus Hepatitis B masuk dalam


famili virus Hepadna dan mempunyai ukuran genome yang terkecil diantara
semua virus DNA hewan, yaitu dengan ukuran panjang 3,2 kb. Menurut Stannard
(1995), virus Hepatitis B menyebabkan infeksi kronis dan akut pada hati manusia.
Infeksi akut biasanya sampai beberapa bulan saja, sedangkan infeksi kronis bisa
mencapai bertahun-tahun bahkan bisa sampai selama hidupnya. Diameter total
dari virus Hepatitis B adalah 42 nm, sedangkan diameter core atau
nucleocapsidnya adalah 27 nm. Core dilapisi oleh mantel (outer coat) yang
tebalnya sekitar 4 nm. Protein yang terdapat pada mantel disebut surface antigen
atau HBsAg. HBsAg ini kadang-kadang berkembang memanjang membentuk
ekor (tubular) pada salah satu sisi dari partikel virus tersebut. Gambaran virus
Hepatitis B yang lebih jelas, diilustrasikan pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3
dan Gambar 4.
Virus Hepatitis B (VHB) telah menginfeksi sampai ratusan juta orang di
seluruh dunia dan sekitar 20 juta orang terinfeksi setiap tahun, dan sekitar 78%
penderita berdomisili di Asia (Joshi dan Kumar 2001). Di Indonesia, jumlah
penderita penyakit tersebut mencapai sekitar 15 juta orang. VHB merupakan
penyebab utama sirosis (pengerasan hati) dan kanker hepatoseluler (Human
Hepatocellular Carcinoma) yang merupakan salah satu penyakit terganas
penyebab kematian di seluruh dunia. Jenis kanker ini telah menyebabkan
kematian lebih dari 1 juta orang setiap tahun (Ji et al. 2005).
10

Gambar 1. Sekelompok virus Hepatitis B (Sumber: Stannard 1995).

Gambar 2 Pembesaran dari dua buah core yang ditunjuk dengan tanda panah
(Sumber: Stannard 1995).

Gambar 3 Representasi diagram dari virus Hepatitis B dan komponen antigen


permukaan (Sumber: Stannard 1995).
11

Gambar 4 Ilustrasi virus Hepatitis B dengan capsid dan internal density yang
tampak pada irisan melintang (Sumber: Dryden et al. 2006).

Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi


virus Hepatitis B yang bersifat menetap, timbul sebagai akibat infeksi pada waktu
bayi dan anak-anak. Makin muda usia seseorang terkena infeksi virus tersebut,
maka akan lebih besar kemungkinannya untuk menderita infeksi virus Hepatitis B
yang menetap, sehingga lebih besar jumlah resiko untuk menjadi sirosis hati dan
kanker hati primer dikemudian hari (Mulyanto et al. 2002).
Penelitian tentang sebaran geografis virus ini menunjukkan bahwa virus
tersebut tersebar di seluruh dunia. Namun, prevalensi tertinggi ditemukan di Asia
Tenggara dan Sub-sahara Afrika. Mulyanto et al. (1997) membagi zona distribusi
sub tipe virus Hepatitis B di Indonesia berdasarkan perbedaan epitope pada
HBsAg menjadi 4 bagian: (1) zona adw yang merupakan sub tipe utama di
Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan bagian Selatan, Bali, Lombok,
Ternate dan Morotai, (2) zona ayw yang meliputi bagian barat dari Nusa Tenggara
dan Maluku, (3) zona adr meliputi Papua, dan (4) campuran antara berbagai sub
tipe yang terdapat di Kalimantan Selatan dan Sumbawa.
12

Virus Hepatitis B merupakan virus DNA untai ganda dengan panjang


genome mencapai 3.2-3.3 kilo pasangan basa (kpb). Virus yang termasuk famili
hepadnaviridae tersebut memiliki genome yang terbungkus oleh glycoprotein.
Siklus replikasi virus ini dimulai dengan melekatnya protein selubung tersebut
pada hepatosit. Di dalam inti sel hati, sintesis DNA virus disempurnakan dimana
genome virus tersebut diubah menjadi cccDNA (covalently closed circular DNA).
cccDNA inilah yang akan menjadi template untuk sintesis RNA yang kemudian
akan diubah menjadi DNA virus (Lok dan McMahon 2001).
Selubung virus Hepatitis B (Hepatitis B virus envelope) terdiri dari
membran glikoprotein dimana terdapat 3 bagian protein permukaan yaitu antigen
pre-S1 (119 asam amino), pre-S2 (55 asam aminio) dan S (226 asam amino)
(Jaoude dan Sureau 2005; Barrera et al. 2005). Beberapa ahli menggolongkan
ketiga protein tersebut sebagai protein kecil (small), sedang (middle) dan besar
(large). Antigen pre-S1 memiliki beberapa epitop yang memiliki daya
immunogenik (Hu et al. 2004). Antigen bagian pre-S1 ini dibutuhkan oleh virus
Hepatitis B untuk melakukan infeksi pada korban (Barrera et al. 2005). Menurut
Deng et al (2005), asam-asam amino Pre-S1 pada nomor 21-47 merupakan epitop
yang berfungsi untuk melekatnya virus pada jaringan hati. Oleh karena itu, protein
bagian ini memiliki peranan yang sangat penting untuk siklus virus Hepatitis B.
Antigen pre-S2 diduga mempunyai tingkat imunogenisitas lebih tinggi
dibandingkan HBsAg (Ji et al. 2005) terutama 26 asam amino pada ujung N
(Joung et al. 2004). Antigen pre-S2 mempunyai peranan sangat penting, hal ini
telah dibuktikan secara nyata melalui serangkaian diagnosa (Maruyama et al.
2000). Menurut Hu et al. (2004a), HBsAg telah digunakan secara luas sampai saat
ini sebagai vaksin konvensional, asam-asam amino ke 139-147 pada bagian S
merupakan epitop utama pada protein S (HBsAg). Namun demikian, penghilangan
epitop ini masih tetap dapat memberikan reaksi antigenisitas yang menunjukkan
bahwa masih terdapat epitop lain selain epitop yang terletak pada asam-asam
amino nomor 139-147 tersebut.
13

Struktur DNA dan Genome Virus Hepatitis B

Menurut Winarno dan Agustinah (2007), DNA adalah deoxyribo nucleic


acid, yaitu sebuah asam nukleat yang terdiri atas sejumlah nukleotida yang diatur
sedemikian rupa sehingga berbentuk single strand. Biasanya dua buah utas DNA
saling melingkar satu sama lain untuk membentuk sebuah double helix (heliks
ganda), seperti ditunjukkan oleh Andre (2006) pada Gambar 5. Muladno (2002)
menegaskan bahwa untuk membentuk rangkaian molekul DNA heliks ganda, basa
nitrogen dari setiap nukleotida dalam satu rangkaian akan berpasangan dengan
basa nitrogen dari setiap nukleotida pada rangkaian lainnya melalui ikatan
hidrogen. Pengikatan basa nitrogen dari masing-masing nukleotida tersebut sangat
spesifik. Basa A (Adenine) dari satu nukleotida selalu berikatan dengan basa T
(Thymine) dari nukleotida lainnya, sedangkan basa G (Guanine) selalu
berpasangan dengan basa C (Cytosine). Pasangan A dan T terbentuk dengan dua
ikatan hidrogen, sedangkan pasangan G dan C terbentuk dengan tiga ikatan
hidrogen. Oleh karena itu, pasangan G-C lebih stabil daripada pasangan A-T.
Winarno dan Agustinah (2007) menjelaskan, bahwa gugus basa DNA terdiri
atas empat senyawa berikut: sitosin, adenin, guanin atau timin. Gugus gulanya
adalah deoksiribosa. DNA terdapat di dalam kromosom prokariot dan eukariot
dan di dalam mitokondria eukariot. DNA merupakan materi kebakaan atau
keturunan di hampir semua organisme hidup yang mampu memperbanyak dirinya
sendiri dalam pembelahan inti. Winarno dan Agustinah (2007) menjelaskan
bahwa hipotesa Watson dan Crick merupakan hipotesa berdasarkan X-ray
crystallography yang mengusulkan bahwa DNA merupakan suatu heliks ganda
dari dua uliran rantai fosfat dan gula yang saling bergantian, dengan gula yang
terkait oleh sepasang basa. Selanjutnya Muladno (2002) menjelaskan, bahwa
Watson dan Crick akhirnya memperoleh Nobel dalam bidang biologi modern pada
tahun 1953 setelah menemukan bukti bahwa struktur DNA adalah heliks ganda.
Penemuan ini merupakan tonggak sejarah yang penting terhadap munculnya
teknologi rekayasa genetika yang lahir 20 tahun kemudian, yaitu tahun 1973.
DNA bersama-sama protein (histone) dan molekul ribo nucleic acid (RNA),
terdapat di dalam inti sel. Ketiga materi tersebut saling kait mengkait dalam suatu
14

susunan yang sangat rumit membentuk kromosom yang merupakan komponen


penting dalam semua sel mahluk hidup.

Gambar 5 Diagram struktur dari bagian DNA heliks ganda (Sumber: Andre 2006).

Melalui suatu proses kimia, kromosom dapat dikeluarkan dari inti sel.
Selanjutnya, protein yang berikatan dengan DNA dilisiskan dengan enzim
proteinase, sedangkan RNA yang masih berada di sekitar DNA dikatalisis atau
diurai dengan enzim RNAse. Selanjutnya, DNA yang telah terbebas dari protein
(histone) dan RNA siap direkayasa atau dimanipulasi dalam teknologi rekayasa
genetika (Muladno 2002). Old dan Primrose (1989) menjelaskan, bahwa istilah
manipulasi gen dapat diterapkan pada beberapa macam teknik genetika in-vivo
maupun in-vitro yang canggih. Di negara-negara Barat terdapat definisi resmi
15

yang tepat untuk istilah manipulasi gen sebagai akibat adanya peraturan
Pemerintah untuk mengendalikannya. Di Inggris, manipulasi gen didefinisikan
sebagai pembentukan kombinasi baru materi yang dapat diturunkan dengan
melakukan penyisipan (insertion) molekul-molekul asam nukleat, yang dihasilkan
dengan cara apapun di luar sel, ke dalam suatu virus, plasmid bakteri atau sistem
pembawa lainnya yang memungkinkan terjadinya penggabungan ke dalam
organisme inang secara tidak alami tetapi selanjutnya mampu melakukan
penggandaan lagi. Definisi resmi ini menekankan penggandaan molekul asam
nukleat asing (asam nukleat ini hampir selalu DNA) di dalam tubuh organisme
inang yang berbeda. Kemampuan untuk melintasi penghalang spesies alami dan
memasukkan gen-gen dari organisme apapun ke dalam suatu organisme inang
yang tidak berhubungan merupakan satu ciri penting manipulasi gen. Ciri penting
kedua berupa kenyataan bahwa relatif sepotong kecil DNA tertentu digandakan
dalam tubuh organisme inang.
Setiap organisme mempunyai sebuah genome yang mengandung semua
informasi biologik yang diperlukan untuk membangun dan memelihara kehidupan
organisme tersebut. Informasi biologik yang terkandung di dalam genome dikode
oleh DNA yang terkandung di dalam genome yang dibagi ke dalam unit-unit
khusus yang disebut gen (Barnum 2005). Menurut Winarno dan Agustinah (2007),
genome dalam arti sederhana berarti satu set lengkap mengandung informasi
genetika yang dimiliki oleh suatu organisme. Selanjutnya dijelaskan oleh
Muladno (2002), bahwa setiap mahluk hidup mempunyai sel yang di dalam inti
selnya terdapat kromosom dengan jumlah berbeda-beda untuk setiap mahluk
hidup. Manusia mempunyai 23 pasang kromosom dalam setiap intinya. Sapi
mempunyai 30 pasang kromosom, lalat buah Drosophila mempunyai empat
pasang kromosom, bakteri E. coli mempunyai satu kromosom. Beberapa peneliti
lain menambahkan, bahwa virus hepatitis B mempunyai 1 kromosom (Dayal dan
Maldonado 1998; Mason et al. 1998; Burda et al. 2001; Muljono dan
Soemohardjo 2003; Anzola 2004; Wagner et al. 2004; Beck dan Nassal 2007;
GenBank 2008; Nurainy et al. 2008).
Menurut Muladno (2002), total kromosom dalam inti sel dinamakan
genome atau lebih tepatnya disebut genome inti karena berasal dari inti sel. Jadi
16

bisa dikatakan bahwa genom manusia terdiri atas 23 pasang kromosom, genom
sapi terdiri atas 30 pasang kromosom, dan seterusnya. Apabila DNA dari genom
tersebut direntang secara linear, maka ukuran panjang rentangan DNA pada
genom tersebut berbeda-beda pada setiap organisme seperti dijelaskan pada Tabel
1. Rentangan DNA dari genom tersebut disebut genomic DNA.
Berdasarkan data pada Tabel 1, maka dapat dijelaskan bahwa besarnya
ukuran genom tidak mencerminkan besarnya ukuran makhluk hidup, seperti
apabila membandingkan ukuran tubuh manusia dengan ukuran tubuh tikus yang
sangat jauh berbeda, tetapi keduanya mempunyai ukuran genom yang hampir
sama. Demikian pula, ukuran tubuh cacing yang jauh lebih besar dari ukuran
tubuh lalat buah Drosophila, tetapi ukuran genome cacing lebih sedikit daripada
ukuran genome lalat buah Drosophila.

Tabel 1 Ukuran genome dari beberapa makhluk hidup dalam bentuk haploid

Jenis mahluk hidup Ukuran genome


(dalam pb)
Virus Hepatitis B 3 215*
Virus T4 160 000**
Bakteri E.coli 4 200 000**
Jamur 20 000 000**
Cacing 80 000 000**
Lalat buah Drosophila 140 000 000**
Tikus 3 000 000 000**
Manusia 3 300 000 000**
Sumber: *Nurainy et al. 2008, **Lewin 1990.

Muladno (2002) menyatakan, bahwa virus dan bakteri merupakan makhluk


hidup yang sederhana dan mempunyai ukuran genome yang kecil sehingga
organisasi genomenya juga sederhana. Oleh karena itu, kedua makhluk hidup ini
menjadi “bahan utama” untuk penelitian-penelitian dalam bidang genetika
molekuler. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa virus Hepatitis B mempunyai
ukuran genome yang terkecil diantara semua virus DNA, yang menurut beberapa
peneliti (Dayal dan Maldonado 1998; Burda et al. 2001; Muljono dan
Soemohardjo 2003; Anzola 2004; Wagner et al. 2004; Beck dan Nassal 2007;
Nurainy et al. 2008), virus Hepatitis B mempunyai ukuran panjang genom sekitar
17

3.2 kb. Dayal dan Maldonado (1998) menjelaskan bahwa virus hepatitis B
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1 Genome virus hepatitis B yang menurut mereka ditemukan oleh William S.
Robinson dari Stanford University School of Medicine merupakan genome
yang terkecil dengan ukuran panjang 3,2 kb. Diagram organisasi genome
virus Hepatitis B diilustrasikan pada Gambar 7.

2 Informasi genetik dibawa melalui DNA rantai ganda.


3 DNA penyusun genome terdiri atas rantai yang lebih panjang yang disebut
rantai negatif (-) lengkap, dan rantai positif (+) tidak lengkap, terdapat sekitar
15-50% merupakan rantai tunggal.
4 Genome sirkuler dipertahankan dalam bentuk longgar oleh pasangan basa
dari sekuen overlap 240 nukleotida dan Direct Repeats (DR) pendek antara
kedua rantai pada ujung 5’.
5 Ujung 5’ dari rantai negatif (-) mengikat protein secara kovalen, sedangkan
ujung 5’ dari rantai positif (+) mengikat oligoribonukleotida sebagai RNA
primer.
6 Nukleokapsid berbentuk icosahedral.
7 Nukleokapsid dikelilingi oleh amplop lipid.
8 Diameter Nukleokapsid 27 nm.
9 Melalui gambar mikrograf elektron, virus tampak spherical (bentuk bola)
dengan diameter total 42 nm.
10 Mengandung 4 Overlapping Open Reading Frames (ORF): S, C, P, dan X
yang disandi pada rantai DNA (-).
11 Nomer Triangulasi=3 (T=3).
12 Gen S terdiri atas 3 bagian: yaitu pre-S1, pre-S2, dan S. Tiga macam protein
yang berbeda diproduksi oleh kombinasi dari ke tiga gen tersebut dalam
kombinasi yang berbeda: protein L (large protein), yaitu protein pada amplop
yang dibuat berdasarkan pengkodean dari gen-gen pre-S1, pre-S2, dan S;
protein M (middle-sized proteins/medium surface protein) pada amplop yang
dikode oleh gen pre-S2 dan gen S; dan protein S yang merupakan komponen
mayor (major component) dari HBsAg.
18

Gambar 6 Diagram organisasi genome virus hepatitis B (Sumber: Wagner 2004).

Nurainy et al. (2008) melalui risetnya yang berjudul Genetic Study of


Hepatitis B Virus in Indonesia Reveals a New Subgenotype of Genotype B in East
Nusa Tenggara dengan menggunakan isolat Virus Hepatitis B 2059Java, berhasil
menemukan sekuen genom lengkap Virus Hepatitis B (Lampiran 2). Selanjutnya
dijelaskan, bahwa sekuen genome lengkap tersebut tersusun atas 4 overlapping
open reading frames yang masing-masing mempunyai sekuen sebagai berikut:
1 Gen P (sekuen:2307-3215, 1-1623); yang menyandi pembentukan enzim-enzim
DNA polymerase, reverse trancriptase, dan RNAse.
2 Gen S yang terdiri atas 3 bagian, yaitu: gen pre-S1, gen pre-S2, dan gen S. Tiga
jenis protein amplop VHB yang berbeda diproduksi berdasarkan pengkodean
dari kombinasi tiga gen-gen ini dalam kombinasi yang berbeda. (1) Protein L
(large protein) dikode oleh kombinasi dari gen-gen pre-S1, pre-S2, dan S
(sekuen: 2848-3215, 1-835). (2) Protein M (medium protein) dikode oleh
kombinasi dari gen pre-S2 dan gen S (sekuen: 3205-3215, 1-835). (3) Protein S
(HBsAg) dikode oleh gen S (155-835).
3 Gen X (sekuen: 1374-1838); yang menyandi pembentukan protein X yang
peranannya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan dalam aktivasi
transkripsi.
19

4 Gen C (sekuen: 1814-2452); yang berperan mengkode pembentukan HBcAg


(antigen core).

DNA Rekombinan dan Kloning DNA

DNA rekombinan adalah suatu DNA buatan atau hasil rekayasa yang
berasal dari satu sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul
rekombinan (Barnum 2005). Selanjutnya, Winarno dan Agustinah (2007)
menjelaskan, bahwa teknologi rekayasa genetika merupakan kegiatan
bioteknologi modern dengan teknologi DNA rekombinan (rDNA) untuk
melakukan pemindahan atau transfer suatu sifat tertentu yang dibawa gen, yang
tersusun dalam DNA, dari suatu spesies yang sama atau berbeda untuk
menghasilkan spesies baru yang lebih unggul. Muladno (2002) juga menyatakan,
seiring dengan kemajuan teknologi molekuler, perpindahan gen dapat terjadi antar
organisme yang sama sekali tidak berkerabat dekat, misalnya gen manusia
dipindahkan ke bakteri atau gen manusia dipindahkan ke hewan ternak.
Perpindahan gen tersebut mengakibatkan terbentuknya molekul DNA yang
berasal dari sumber yang berbeda dapat digabungkan menjadi DNA rekombinan.
Teknik menggabungkan molekul DNA tersebut dikenal sebagai Teknik DNA
Rekombinan.
Biasanya DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang
merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang
biasanya berupa gen dari suatu mahluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai
pembawa DNA asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke
dalam organisme lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam
organisme resipien diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein
(Muladno 2002). Menurut Glick dan Pasternak (1994), teknologi DNA
rekombinan, juga disebut kloning gen atau kloning molekuler, adalah suatu istilah
yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan untuk transfer
informasi genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Percobaan
DNA rekombinan biasanya mengikuti prosedur sebagai berikut:
1 DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA klon) dari organisme donor
diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian disambung dengan plasmid
20

atau DNA vektor (vektor kloning) untuk membentuk suatu bentuk baru yang
disebut molekul DNA rekombinan (rDNA).
2 DNA rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi
DNA rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi.
3 Selanjutnya sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan,
kemudian diisolasi.
4 Sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau
dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA
klon yang terkandung dalam DNA rekombinan.
Pembuatan DNA rekombinan memerlukan bantuan dua macam enzim.
Pertama, enzim endonuclease (restriction enzyme) berperan sebagai pemotong
molekul DNA. Kedua, enzim ligase berfungsi untuk menggabungkan molekul-
molekul DNA yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2002; Barnum
2005).
Ilustrasi tahapan pembuatan DNA rekombinan pada Gambar 8 menunjukkan
bahwa enzim endonuclease yang digunakan untuk memotong kedua sumber DNA
adalah BamHI. Enzim restriksi ini memotong kedua molekul DNA tersebut pada
lokasi yang sama dengan membentuk potongan sticky end atau kohesif.
Selanjutnya enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut
dengan ikatan kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan.
Muladno (2002) menegaskan bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah
proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses perkembangbiakan
sel bakteri (biasanya E. coli). Hal ini dilakukan dengan memasukkan DNA
rekombinan yang dihasilkan dari proses penggabungan tersebut di atas ke dalam
sel E. coli. Selanjutnya sel ini diinkubasi pada suhu optimal sehingga sel dapat
berkembangbiak secara eksponensial. Masuknya molekul DNA rekombinan ke
dalam sel akan mengubah fenotip sel tersebut, sehingga proses pemasukan
molekul DNA ke dalam sel juga disebut transformasi. Sel yang digunakan dalam
proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten. Plasmid
merupakan molekul kecil yang berukuran sekitar lima ribu pasang basa yang
terdapat di dalam sel bakteri Escherichia coli, posisinya terpisah dengan
kromosom dan mampu mereplikasi sendiri tanpa harus bergantung kepada
21

kromosom, kebanyakan berupa rangkaian molekul DNA untai ganda dan biasanya
berbentuk bulat. Selanjutnya Glick dan Pasternak (1994) menerangkan, bahwa ori
adalah sekuen nukleotida yang merupakan tempat diawalinya atau dimulainya
sintesis DNA pada saat replikasi.
Barnum (2005) menjelaskan, ada beberapa cara dalam melakukan kloning
DNA, dan metode yang digunakan bervariasi tergantung pada tipe DNA, tipe sel
inang, dan tujuan akhir dari kloning DNA. Contohnya, tipe vektor yang
digunakan untuk kloning akan tergantung kepada apakah DNA klon akan tetap
berada di dalam vektor atau akan disisipkan ke dalam kromosom sel inang.

Vaksin Hepatitis B

Menurut Dayal dan Maldonado (1998), vaksin hepatitis B yang pertama kali
mendapat lisensi (pada tahun 1981) adalah Heptavax-B dan telah dipasarkan oleh
Merck Sharp dan Dhome. Vaksin tersebut diperoleh dari hasil ekstraksi dan
pemurnian antigen HBsAG dari serum penderita hepatitis B kronis. Selanjutnya
dijelaskan bahwa vaksin rekombinan atau sebagai hasil rekayasa genetika yang
telah berhasil diproduksi secara komersial adalah Recombivax HB Chiron Corp
dan Merck serta Engerix-B oleh SmithKline Biologicals. Vaksin rekombinan
tersebut diproduksi dari hasil kloning gen HBsAg yang terdapat di dalam yeast.
Joung et al. (2004) menyatakan, hampir semua vaksin hepatitis B konvensional
yang sudah mendapat lisensi saat ini adalah vaksin yang dihasilkan dari plasma.
Namun, keberhasilan program imunisasi menyebabkan pasien hepatitis B yang
akan menjadi sumber vaksin tersebut semakin berkurang yang berakibat pada
semakin terbatasnya darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin. Oleh
sebab itu produksi vaksin hepatitis B dengan menggunakan plasma semakin sulit
dilakukan. Kekhawatiran terhadap adanya kontaminan pada darah terutama oleh
virus berbahaya seperti HIV, menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk
menggunakan vaksin yang bersumber dari plasma tersebut.
Menurut Mulyanto et al. (1997), Indonesia merupakan daerah endemik
sedang sampai tinggi untuk penyakit hepatitis B, sehingga WHO menghimbau
untuk segera melaksanakan usaha pencegahan. Pengobatan terhadap penderita
penyakit hepatitis B yang sangat mahal menyebabkan tindakan preventif melalui
22

vaksinasi merupakan tindakan yang lebih tepat. Vaksinasi secara besar-besaran


dinilai efektif untuk mencegah terjadinya penyakit ini. Selanjutnya Mulyanto et
al. (2002) menyatakan, bahwa pada tahun 1987, Pemerintah Indonesia
menjadikan Pulau Lombok sebagai model immunisasi massal Hepatitis B pertama
di dunia. Hal ini disebabkan karena tingkat endemik penyakit tersebut di Pulau
Lombok sangat tinggi. Hasil proyek percontohan tersebut cukup menggembirakan
sehingga pemerintah mulai memperluas program immunisasi ke 4 propinsi yang
lain di tahun 1991 dan kemudian ke 6 propinsi lainnya pada tahun 1992. Saat ini
pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan vaksinasi Hepatitis B untuk balita
ke dalam Program Pengembangan Imunisasi (Extended Program of
Immunization).
Berbagai upaya untuk menghasilkan vaksin yang mengandung antigen
rekombinan telah dilakukan, diantaranya dengan memproduksi antigen
menggunakan sel tanaman maupun ragi. Keberhasilan ekspresi antigen tersebut
telah dilaporkan melalui kultur sel tembakau (Kumar et al. 2003), maupun ragi
(Maruyama et al. 2000; Lu et al. 2002; Ddeman & Zyl 2003; Hu et al. 2004).
Meskipun vaksin tersebut memberikan hasil yang sangat memuaskan, sistem
produksi menggunakan hewan maupun tanaman terhambat oleh lamanya waktu
yang diperlukan, terjadi variasi pada produk akhir, terkontaminasi oleh bahan-
bahan kimia pertanian serta kesulitan dalam meningkatkan hasil produk akibat
rumitnya faktor-faktor regulasi. Penggunaan bakteri E. coli menjadi pilihan
terakhir karena waktu yang lebih singkat, harga media lebih murah serta teknologi
pembiakan maupun komponen-komponen yang dibutuhkan untuk optimalisasi
transkripsi maupun translasi telah dikuasai (Ali 2006).
Produksi bagian yang sederhana dari antigen permukaan Hepatitis B dengan
menggunakan bakteri E. coli bisa dilakukan, namun demikian berbeda dengan
hasil ekspresi yang dilakukan dengan induk semang hewan maupun tumbuhan
yang dapat menghasilkan produksi yang tinggi, ekspresi menggunakan E. coli
menghasilkan produk yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh sifat antigen
permukaan Hepatitis B yang toksik bagi E. coli. Maeng et al. (2001) melakukan
percobaan ekspresi gen virus Hepatitis B secara parsial yang diikuti dengan
menggabungkan gen tersebut dengan gen penyandi enzim gluthathion-S-
23

transferase (GST), dengan demikian ekspresi gen dan kelarutan antigen


permukaan Hepatitis B pada E. coli tersebut bisa ditingkatkan. Ekspresi gen
tersebut dilakukan dibawah kontrol promoter tac. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen pre-S1 yang
digabung dengan GST. Koschorreck et al. (2005) juga melaporkan terjadi
peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST.
Terjadinya peningkatan kelarutan ini sangat penting untuk proses pemurnian
antigen rekombinan dengan menggunakan kolum yang telah tersedia secara
komersial.

Aplikasi Rekayasa Genetik di Bidang Peternakan

Menurut Winarno dan Agustinah (2007), WHO telah meramalkan bahwa


populasi dunia akan berlipat dua pada tahun 2020 sehingga jumlahnya akan lebih
dari 10 milyar. Oleh karena itu, produksi pangan juga harus ditingkatkan.
Kendalanya adalah jumlah sisa lahan dunia yang belum termanfaatkan saat ini
sangat kecil dan terbatas. Teknologi rekayasa genetika atau GMO akan
memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatasi kendala tersebut.
Teknologi rekayasa genetika dapat menjadi strategi yang sangat bagus untuk
meningkatkan produksi pangan. Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992) menjelaskan,
bahwa teknologi rekayasa genetika merupakan alat yang dapat membantu
pengusaha industri peternakan untuk meningkatkan status kesehatan ternaknya,
meningkatkan feed convertion, dan memperpendek waktu pemeliharaan sampai
mencapai berat badan yang sesuai dengan permintaan pasar. Teknologi rekayasa
genetik memberi harapan untuk diaplikasikan di dalam pembangunan peternakan
di masa datang, yaitu bioteknologi molekuler yang berkaitan dengan keberhasilan
teknologi kloning, ternak transgenik, dan vaksin. Winarno (2004) menyatakan,
bahwa teknologi rekayasa genetika juga mampu membantu masalah yang
dihadapi oleh industri susu dalam mengatasi masalah turunnya suplai renin.
Renin, yang sekarang lebih dikenal dengan nama chymosin, adalah enzim
proteolitik yang digunakan dalam pembuatan keju oleh industri susu. Secara
konvensional, renin diproduksi dari abomasum (lambung ke-4) anak sapi.
Timbulnya kekurangan renin menyebabkan para industri keju mencari alternatif
24

lain dengan memproduksi renin mikroba yang diekstraksi dari fungi, namun sifat
biokimianya tidak sama dengan renin dari abomasum anak sapi. Hal ini bisa
diatasi dengan cara mentransfer gen dari anak sapi yang mengkode pembentukan
renin ke dalam bakteri, selanjutnya bakteri tersebut digunakan sebagai mesin
pembentuk renin yang sifat biokimianya sama dengan renin dari abomasum anak
sapi.
KLONING GEN SR100 DALAM RANGKA PRODUKSI
PROTEIN REKOMBINAN SEBAGAI MODEL
IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN
ANTIBODI

Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3,


Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB,
3
Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
5
Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM
@
E-mail: riyadi_unram@yahoo.com, phone: 085217886729

Abstrak
Sejak satu dekade yang lalu, muncul paradigma baru dalam teknik
pembuatan vaksin. Penggunaan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun
yang dibunuh telah diganti dengan penggunaan vaksin sub unit yang lebih efektif
dengan teknologi DNA rekombinan. Melalui penggunaan teknologi tersebut, gen
tertentu dari mikroorganisme virulen dapat dikloning, diekspresi dan dievaluasi
penggunaannya sebagai vaksin. Pada penelitian ini, telah dikloning bagian gen
penyandi protein hidrofilik dari protein S (aa 100-164) dari antigen permukaan
virus hepatitis B untuk digunakan sebagai penghasil kandidat vaksin rekombinan.
Gen tersebut kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2 dan disekuensing.
Pensejajaran hasil sequensing tersebut dengan sekuen asli virus hepatitis B
menunjukkan kesamaan. Hasil utama dari penelitian ini adalah klon pembawa gen
penyandi protein S yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan
kandidat vaksin rekombinan hepatitis B.

Kata kunci: DNA rekombinan, vaksin, pGEX-4T-2, Hepatitis B.

Abstract
Since one decade ago, a new paradigm of vaccine design is emerging.
Instead of attenuated virulent microorganisms or killed virulent microorganisms,
effective subunit vaccines were developed using recombinant DNA technology. By
using the technology, selected genes of the virulent microorganisms can be
cloned, expressed, and evaluated as vaccine components. In this research,
hydrophilic domain of S protein (aa 100-164)-encoding gene of hepatitis B
surface antigen was cloned for vaccine candidate production. The gene was
ligated with pGEX-4T-2 vector and sequenced. Sequences alignment of the
amplified fragment with genome of hepatitis B virus indicated that the sequences
were identical. A major result achieved from this research was clones carrying S
antigens-encoding gene that could be used further for production of recombinant
hepatitis B vaccine candidates.

Keywords: recombinant DNA, vaccine, pGEX-4T-2, hepatitis B.


26

Pendahuluan

Teknologi kloning merupakan terobosan baru di bidang rekayasa genetika.


Menurut Winarno dan Agustinah (2007), kloning adalah pengembangbiakan suatu
mahluk hidup yang persis sama dengan induknya tanpa melalui pembuahan,
seperti stek pada tanaman, tetapi kloning melalui rekayasa genetika jauh lebih
rumit. Muladno (2002) menjelaskan, bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah
proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses perkembangbiakan
sel bakteri (biasanya E. coli). Proses penggandaan tersebut dilakukan dengan
memasukkan DNA rekombinan ke dalam E.coli, diikuti dengan inkubasi sel E.coli
pada suhu optimal sehingga sel berkembangbiak secara eksponensial. Selanjutnya
dijelaskan pula, bahwa menggandakan jumlah molekul DNA tidak hanya dapat
dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme kehidupan mikroorganisma, tetapi
dapat juga dilakukan melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction).
Perkembangan teknologi molekuler (seperti kloning) yang sangat pesat telah
membuka era baru dalam menghasilkan berbagai jenis vaksin maupun obat yang
dibutuhkan oleh hewan, ternak maupun manusia. Penggunaan teknologi tersebut
telah memudahkan dihasilkannya berbagai sub unit vaksin yang jauh lebih efektif
jika dibandingkan dengan vaksin yang dihasilkan dengan teknologi konvensional
menggunakan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun telah dibunuh.
Indonesia merupakan daerah endemis sedang sampai tinggi untuk penyakit
hepatitis B, oleh karena itu pada tahun 1987, WHO menetapkan Pulau Lombok
sebagai model imunisasi masal hepatitis B pertama di dunia. Hasil proyek tersebut
menunjukkan penggunaan vaksin konvensional mampu menurunkan prevalensi
hepatitis B hanya sampai 70% (Mulyanto et al. 2002). Hasil imunisasi tersebut
dinyatakan belum optimal, hal ini antara lain disebabkan vaksin konvensional
yang digunakan (Korean Green Cross) berasal dari plasma darah orang asing
sehingga tidak mampu menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik
yang mampu melawan virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia (Joung et al.,
2004).
Berdasarkan permasalahan di atas, pada penelitian ini dilakukan rekayasa
terhadap gen penyandi antigen permukaan hepatitis B untuk menghasilkan antigen
HBsAg100 pada E. coli dengan menggunakan teknologi rekombinan. Kendala
27

utama produksi antigen tersebut pada bakteri E. coli adalah tingkat ekspresinya
sangat rendah (Maruyama et al. 2000). Rendahnya tingkat ekspresi yang
disebabkan oleh bagian hidrofobik (Lu et al. 2002; Kumar et al. 2005). Oleh
karena itu, pada penelitian ini bagian yang dikloning adalah bagian penyandi
epitop yang bersifat hidrofilik (dari asam amino 100-164). Selain itu, gen
penyandi antigen permukaan hepatitis B di atas akan digabung (fusi) dengan gen
penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi
maupun solubilitas antigen yang sangat penting untuk aktivitas maupun proses
purifikasi (Sheu dan Lo 1995; Vikis dan Guan 2000; Koschoreck et al. 2005). Gen
penyandi antigen permukaan hepatitis B yang digunakan pada penelitian ini
adalah gen yang diisolasi dari virus hepatitis B sub tipe adw sebagai sub tipe
utama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk membuat kandidat vaksin galur
lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan
genetik virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia.
Dihasilkannya kandidat vaksin hepatitis B rekombinan dengan teknologi
rekayasa DNA menggunakan bakteri diharapkan dapat menggantikan metode
produksi vaksin konvensional dari plasma yang memiliki kelemahan seperti
rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah
penderita penyakit hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program
vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain pada serum
donor. Gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus hepatitis B yang terdapat
di Indonesia, sehingga antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin
rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia.

Bahan dan Metode

Bahan Penelitian

Amplifikasi fragmen S (asam amino nomor 100-164) dari gen penyandi


antigen permukaan virus hepatitis B, digunakan plasmid pGET-HB (disediakan
oleh Prof.Mulyanto, Laboratorum Hepatitis Mataram) yang membawa gen-gen
permukaan virus hepatitis B sebagai cetakan. Amplifikasi tersebut menggunakan
primer HBVS.100(f) (5’-TATCAAGGTATGTTGCCCGTTTG -3’) dan HBV-
ADWS (r) (5’-AAGCTTCATTACTCCCATAGGTATTTTGCGAAAG-3’). Enzim
28

DNA polimerase yang digunakan adalah enzim pyrobest (Takara Bioinc., Otsu,
Japan). Fragmen tersebut kemudian diligasi dengan teknik Kloning TA
menggunakan vektor pGEX-4T-2 (Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA).
Plasmid rekombinan tersebut selanjutnya ditransformasi ke bakteri E. coli DH5α.
Kultur bakteri dilakukan pada media Luria Bertani, sedangkan isolasi plasmid
untuk sekuensing digunakan Kit Nucleospin (Macherey, Nalgen, Germany).

Metode Penelitian

Amplifikasi Gen SR100. Campuran PCR yang digunakan adalah 0.1 unit
enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan) dengan bufernya;
0.5 μM primer forward (f) dan reverse (r); 0.2 mM dNTP; 1 ng/ml plasmid
pGEMT-HB sebagai cetakan. Program PCR yang digunakan adalah denaturasi
awal pada suhu 94oC selama 5 menit; siklus yang terdiri atas denaturasi pada 94oC
selama 30 detik, annealing pada suhu 54oC selama 30 detik dan elongasi
(ekstensi) pada suhu 72oC selama 30 detik; diakhiri dengan 72oC selama 5 menit
dan 10o C sampai sampel diangkat untuk dilakukan elektroforesis.

Konstruksi Plasmid Rekombinan dan Transformasi. Hasil PCR


kemudian dimurnikan dengan DNA Gel extraction kit dan diligasi dengan plasmid
pGEX-4T-2 (Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA) yang telah dipotong
dengan enzim Sma1. Campuran reaksi dari ligasi tersebut adalah produk PCR 2
μl, 25 ng/μl pGEX-4T-2, 1 μl kit ligasi, dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu
12oC selama 18 jam. Setelah itu, transformasi dilakukan dengan E. coli DH5
yang sudah dikondisikan sebagai sel kompeten.
Sel kompeten disiapkan dengan cara sebagai berikut: 1 ml starter E. coli
DH5α dimasukkan ke dalam 100 ml LB cair dan diinkubasikan semalam pada
temperatur 18oC, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm
selama 10 menit dalam temperatur 4oC. Supernatan dibuang dan pelet dicuci
dengan bufer transfer dengan cara menambah 27 ml transfer bufer, kemudian
dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit di dalam serbuk es batu.
Selanjutnya dilakukan sentrifugasi lagi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10
menit dalam temperatur 4oC dan supernatannya dibuang. Peletnya ditambah 6.4
ml transfer bufer dan dihomogenkan, kemudian didiamkan lagi 10 menit di dalam
29

es. Selanjutnya ditambah 480 µl dimethyl sulfoxide (DMSO), homogenkan lagi


dan didiamkam 10 menit di dalam es. Selanjutnya didistribusikan ke tabung
eppendorf dingin masing-masing 100 µl, kemudian disimpan di dalam freezer
yang bersuhu -80oC sebagai sel kompeten siap digunakan untuk proses
transformasi.
Transformasi dilakukan dengan metode hit shock dengan cara sebagai
berikut: sebanyak 50 µl sel kompeten dimasukkan ke dalam tabung eppendorf,
kemudian ditambah dengan 1 µl plasmid rekombinan, kemudian didinginkan di
dalam es selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan hit shock dengan cara tabung
eppendorf yang berisi sel kompeten dan plasmid rekombinan dimasukkan ke
dalam waterbath dengan temperatur stabil pada 42oC selama 30 detik, kemudian
dipindahkan lagi ke dalam bok es selama satu menit, selanjutnya dimasukkan ke
dalam falkon yang berisi 800 µl LB cair yang tidak mengandung ampisilin,
dihomogenkan, kemudian dikultur selama 90 menit dalam shaker dengan
kecepatan 120 rpm. Selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung eppendorf
berukuran 1.5 ml, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm
selama lima menit. Supernatan selanjutnya dibuang sampai tersisa sekitar 25 µl
dan siap dikultur pada media seleksi (ampisilin50 µl/ml) yang mengandung X-gal
dan IPTG untuk dilakukan skrining koloni yang mengandung plasmid
rekombinan.

Skrining dan Sekuensing. Setelah proses transformasi selesai, kemudian


bakteri rekombinan yang dihasilkan ditumbuhkan pada media LB yang
mengandung ampisilin pada suhu 37oC selama 14 jam. Skrining koloni dilakukan
untuk penentuan koloni bakteri yang membawa plasmid rekombinan dengan
teknik PCR koloni. Skrining terhadap koloni E. coli DH5α yang membawa
plasmid rekombinan dilakukan dengan PCR koloni dengan campuran reaksi
sebagai berikut: 0,2 mM dNTP; 0,5 U Ex Taq dan bufernya; 0,5 mM primer
pGEX-5’ dan pGEX-3’, 1 μl sampel (koloni yang telah diencerkan dalam 20 μl
aquadest). Replika dibuat untuk keperluan lebih lanjut, dari koloni bakteri yang
diskrining pada media LB yang mengandung ampisilin dan ditumbuhkan pada
suhu 37oC. Program PCR yang digunakan adalah 5 menit pada 94oC, 25 siklus
untuk suhu 94oC selama 30 detik, 60oC selama 30 detik dan selama 30 detik pada
30

suhu 72oC, diakhiri dengan 72 oC selama 5 menit, kemudian didiamkan sampai


temperatur 20oC dan sampel diangkat untuk dielektroforesis. Adanya pita DNA
dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi bahwa klon yang
diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan. Koloni yang mengandung
plasmid rekombinan tersebut pada replika kemudian dikultur pada media LB pada
suhu 37oC selama 12 jam dengan goyangan untuk isolasi plasmid rekombinan.
Isolasi plasmid dilakukan dengan teknik standar (Sambrook et al. 1989).
Sekuensing dilakukan setelah amplifikasi dengan Kit Bigdye menurut prosedur
Ali (2006) dengan menggunakan primer pGEX-5’. Sekuensing tersebut
dimaksudkan untuk memastikan bahwa pada gen target tidak terdapat mutasi.

Tabel 2 Daftar primer yang digunakan dalam penelitian

Deskripsi Nama Sekuen


Amplifikasi HBV.ADWS100 (f) 5’-
segmen SR100 TATCAAGGTATGTTGCCCGTTTG-
3’
HBV.ADWS.164 (r) 5’-
AAGCTTCATTACTCCCATAGGTAT
TTTGCGAAAG-3’
Skrining koloni pGEX-5’ 5’-
CAGGGCTGGCAAGCCACGTTTG-
3’
pGEX-3’ 5’-
CCGGGAGCTGCATGTGTCAGAG
G-3’
Sekuensing pGEX-5’ 5’-
CAGGGCTGGCAAGCCACGTTTG-
3’
pGEX-3’ 5’-
CCGGGAGCTGCATGTGTCAGAG
G-3’

Hasil dan Pembahasan

Mengacu kepada Hu et al. (2004) yang menyatakan bahwa asam amino ke


139-147 pada protein bagian S merupakan epitop utama pada protein, maka pada
31

penelitian ini dilakukan amplifikasi terhadap DNA yang hanya menyandi asam-
asam amino ke-100 sampai 164. Adapun jumlah nukleotidanya mencapai 195
pasang basa, namun dengan penambahan adaptor yang sengaja dibuat
menyebabkan total produk PCR target mencapai 206 pasang basa. Selain itu,
bagian asam amino tersebut dipilih karena merupakan protein yang bersifat
hidrophilik, sehingga dapat memudahkan ekspresi pada bakteri.
Amplifikasi DNA melalui PCR untuk mendapatkan gen penyandi asam-
asam amino tersebut, berbagai upaya optimalisasi terhadap kondisi reaksi
amplifikasi telah dilakukan. Langkah-langkah optimalisasi tersebut diantaranya
mengatur suhu dan waktu annealing, mengatur konsentrasi DNA sebagai cetakan
dan primer, serta mengatur konsentrasi enzim polimerase DNA.
Campuran PCR yang berhasil digunakan untuk mendapatkan hasil PCR
yang optimal adalah 0.1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc.,
Otsu, Japan) dengan bufernya; 0,5 μM primer forward (f) dan reverse (r); 0.2 mM
dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Penggunaan DNA dengan
konsentrasi kurang dari 1 ng/ml menghasilkan pita gen target yang tidak terlalu
jelas. Penggunaan DNA melebihi 1 ng/ml menyebabkan munculnya beberapa pita
produk PCR yang tidak sesuai dengan ukuran pita target. Program PCR yang
berhasil digunakan adalah 94oC selama 5 menit, 25 siklus pada 94oC selama 30
detik, 54oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik, diakhiri dengan 72oC
selama 5 menit dan suhu 10oC sampai sampel diangkat untuk dielektroforesis.
Penentuan suhu annealing yang ideal (54oC), telah dilakukan PCR dengan
menggunakan beberapa suhu annealing mulai dari 50oC, 52oC, 54oC, dan 56oC.
Pita gen target terjelas diperoleh pada saat menggunakan suhu 54 oC.
Ketepatan suhu dan waktu annealing, konsentrasi DNA dan primer, serta
konsentrasi enzim polymerase DNA yang digunakan sangat menentukan
keberhasilan amplifikasi. Penggunaan suhu annealing 54oC selama 30 detik telah
menyebabkan primer-primer yang digunakan dapat menempel pada daerah
spesifik dari DNA cetakan. Waktu yang diperlukan untuk tahap extention selama
30 detik pada suhu 72oC karena enzim polymerase Pyrobest yang dipergunakan
memerlukan waktu 1 menit per 1 kilo pasang basa. Berbeda dengan enzim
polymerase Ex Taq yang biasanya memiliki kemampuan lebih cepat, yaitu 40
32

detik per 1 kilo pasang basa. Hal ini dikarenakan enzim polymerase Pyrobest
merupakan enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity) yang memiliki
kemampuan proof-reading.
Produk PCR dimurnikan kemudian diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2
(Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA) yang telah dipotong dengan enzim
Sma1. Enzim yang digunakan untuk proses amplifikasi di atas adalah enzim
Pyrobest yang tergolong enzim yang mempunyai tingkat kecermatan tinggi (high
fidelity), sehingga produk PCR yang dihasilkan berbentuk blunt-end. Teknik ligasi
yang sesuai dengan demikian adalah teknik blunt-end.
Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α
(transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli
DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 hasil transformasi
ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung X-
gal dan IPTG. Hasil kultur dari bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Koloni bakteri yang berwarna putih diduga membawa plasmid rekombinan
pGEX-SR100, sedangkan koloni bakteri yang berwarna biru tidak membawa
plasmid rekombinan.
Penentuan bahwa bakteri-bakteri berwarna putih pembawa gen SR100, maka
dilakukan skrining dengan PCR menggunakan koloni bakteri tersebut sebagai
cetakan (PCR Koloni). Primer yang digunakan untuk PCR koloni tersebut harus
dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’-dari plasmid. Hal ini
dilakukan untuk memastikan tidak terjadi kesalahan arah insert. Amplifikasi
hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak tersambung secara terbalik.
Adanya pita tunggal DNA dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi
bahwa klon yang diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan. Hasil PCR
koloni tersebut ditampilkan pada Gambar 8.
Hasil amplifikasi yang kedua ujungnya berbentuk tumpul (blunt end)
memiliki keunggulan sekaligus kelemahan untuk ligasi. Produk PCR yang
berujung tumpul akan memudahkan dalam melakukan proses ligasi, yaitu hanya
dibutuhkan satu jenis enzim restriksi dengan karakteristik memotong secara
langsung untuk menghasilkan ujung tumpul juga. Enzim restriksi yang memiliki
kemampuan tersebut diantaranya adalah enzim SmaI. Hal ini akan mengurangi
33

biaya penggunaan untuk pembelian enzim restriksi. Kelemahan dari cara


amplifikasi tersebut adalah peluang dihasilkannya gen rekombinan yang benar
dan yang salah adalah 50%. Dengan kata lain, peluang ligasi ujung tumpul pada
salah satu ujung produk PCR dengan ujung hasil pemotongan vektor akan sama
dengan peluang ligasi dengan arah yang berlawanan.
Kelemahan akibat kedua ujung tumpul produk PCR tersebut dapat diatasi
melalui skrining dengan teknik PCR koloni. Primer-primer yang digunakan untuk
PCR koloni tersebut harus dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’-
dari plasmid. Amplifikasi hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak
tersambung secara terbalik. Jika gen target tersambung secara terbalik, maka PCR
koloni tidak akan menghasilkan pita setelah elektrophoresis.

Gambar 7 Koloni E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 hasil


transformasi yang ditumbuhkan pada media seleksi
(ampisilin). Koloni berwarna putih merupakan koloni bakteri
pembawa plasmid rekombinan, sedangkan koloni berwarna
biru tidak membawa plasmid rekombinan.
34

Gambar 8 Hasil elektrophoresis dari PCR koloni. M = Marker (1000 pb), 1 dan 2
= E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 sebagai cetakan.

Koloni yang mengandung plasmid rekombinan dengan hasil PCR koloni


pita tunggal kemudian dikultur dari replika pada media LB pada suhu 37oC
selama 12 jam dengan shaker untuk isolasi plasmid rekombinan. Hasil
elektroforesis dari hasil isolasi plasmid rekombinan ditampilkan pada Gambar 9.
Pada gambar tersebut terlihat hasil isolasi plasmid rekombinan dengan ukuran
sekitar 5.106 pasang basa, yang terdiri atas vektor pGEX-4T-2 mencapai 4.900
pasang basa dan gen target 206 pasang basa.

Gambar 9 Pita DNA plasmid pGEX-4T-2 rekombinan hasil elektroforesis dalam


1% agarosa M : marker DNA λ. Lajur 1: Pita DNA plasmid utuh
pGEX-4T-2 rekombinan. Lajur 2, 3, 4, 5, 6, 7 : pita DNA plasmid
pGEX-4T-2 rekombinan yang dipotong dengan enzim Hind III.
35

Plasmid hasil isolasi tersebut kemudian disekuensing. Hasil sekuensing


nukleotida disejajarkan dengan sekuen asli virus hepatitis B. Pensejajaran
(alignment) gen insert dengan bagian genom virus Hepatitis B dapat dilihat pada
Gambar 10. Hasil pensejajaran (alignment) sekuensing plasmid rekombinan yang
diisolasi dari koloni bakteri rekombinan menunjukkan kesamaan dengan sekuen
dari bagian genom virus hepatitis B. Hal ini menunjukkan bahwa gen hasil
amplifikasi tersebut tidak mengalami mutasi dan dapat digunakan untuk
menghasilkan antigen hepatitis B bagian S pada bakteri. Plasmid rekombinan
yang tidak memiliki mutasi pada sekuen gen SR100 selanjutnya disimpan untuk
ditransformasikan pada E. coli BL21 untuk memproduksi protein HBsAg100.

Gambar 10 Alignment sekuen gen SR100 (penyandi antigen HBsAg100) dengan


bagian genom virus Hepatitis B (Geneious Basic 5.4.3).
36

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen SR100


berhasil diamplifikasi, kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2, dan
ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan
tidak terdapat mutasi pada gen hasil kloning. Penelitian lanjutan yang perlu
dilakukan adalah uji ekspresi untuk menghasilkan protein rekombinan sebagai
kandidat vaksin.

Datar Pustaka

Ali, M. 2006. High-throughput monoclonal antibody production using cell-free


protein synthesis system. Ph.D thesis. Nagoya University, Japan.
Hu H et al. 2004. Yeast expression and DNA immunization of hepatitis B virus
gene wiyh second-loop deletion of α determinant region. Word J Gastroenterol
10:2989-2993.
Joung, YH et al. 2004. Expression of the hepatitis B surface S and preS2 antigens
in tubulers of Solanum tuberosum. Plant Cell Rep 22:925-930.
Koschorreck M, Fischer M, Barth S, Pleiss J. 2005. How to find soluble proteins:
a comprehensive analysis of alfa/beta hydrolases for recombinant expression in
E. coli. BMC Genom 6:1-10.
Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi L, Srinivas VA, Bapat. 2005. Expression of
hepatitis B surface antigen in transgenic pitaana plants. Planta 222:484-493.
Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of hepatitis B virus
in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242.
Maruyama J et al. 2000. Production and product quality assessment of human
hepatitis B virus pre-S2 antigen in submerged and solid-state culture of
Aspergillus oryzae. J Biosci Bioengineer 90:118-120.
Muladno. 2002. Tekonologi Rekayasa genetikaa. Bogor Baru: Pustaka Wirausaha
Muda. Bogor.
Mulyanto et al. 2002. Hepatitis B seroprevalence among children in Mataram,
Indonesia: following a seven-year mass immunization program. Report
meeting of the US-Japan cooperative medical science program asian region
collaboration research project 2001, Shanghai.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.
Sheu SY, Lo SJ. 1995. Deletion or alteration of hydrophobic amino acids at the
firs and third transmembrane domains of hepatitis B surface antigen enhances
its production in Escherichia coli. Gene 160:179-184.
37

Vikis HG, Guan KL. 2000. Glutathione-S-Transferase-Fusion Based Assays for


Studying Protein-Protein Interaction. In: Methods in Molecular Biology, vol.
261. Humana Press Inc., Totowa, NJ.
Winarno FG, Agustinah W. 2007. Pengantar Bioteknologi. Ed Revisi. Bogor: M-
Brio Press.
BIOSINTESIS ANTIGEN PERMUKAAN HBsAg100 PADA E. COLI
DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN
SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK
MENGHASILKAN ANTIBODI

Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3,


Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB,
3
Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
5
Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM
@
E-mail: riyadi_unram@yahoo.com, phone: 085217886729

Abstrak

Biosintesis protein rekombinan melalui Escherichia coli memberikan


alternatif untuk menghasilkan protein antigen yang bermanfaat bagi kepentingan
kesehatan yang bebas dari protein manusia. Penelitian ini menggabungkan
fragmen DNA dari antigen permukaan virus Hepatitis B dengan gen penyandi
enzim gluthation-S-transferase (GST) di dalam plasmid p GEX-4T-2 yang di
ekspresikan di dalam sel-sel Escherichia coli. Polipeptida dengan berat molekul
sekitar 34.8 kDa telah diproduksi dan diidentifikasi sebagai protein gabungan
GST-SR100. Protein gabungan tersebut kemudian dimurnikan dengan kolum
GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap. Protein hasil pemurnian tersebut
diharapkan bisa digunakan sebagai bahan vaksin atau untuk menghasilkan
antibodi.

Kata kunci: Escherichia coli, GST, pGEX-4T-2, GST-SR100, antibodi.

Abstract
Biosynthesis of recombinant protein in Escherichia coli may offer an
alternative procedure to generate therapeutic protein free from human protein. In
this research, cloned DNA fragment of Hepatitis B surface antigen was placed
downstream from the gluthatione S-tranferase (GST) protein-encoding gene in
expression plasmid pGEX-4T-2 and expressed in Escherichia coli cells. A
polypeptide of 34.8 kDa molecular weight was synthesized and identified as GST-
SR100 fusion proteins. The recombinant proteins were then purified using GSTrap
and HiTrap column and could be used for vaccine candidate or for antibody
generation.

Keywords: Escherichia coli, GST, pGEX-4T-2, GST-SR100, antibody.


40

Pendahuluan

Virus hepatitis B merupakan penyebab utama hepatitis akut yang dapat


berlanjut menjadi kronis, sirosis dan kanker hati. Hepatitis B ditemukan di seluruh
dunia, terutama di negara-negara berkembang. Saat ini terdapat sekitar 400 juta
orang terinfeksi kronis dan memiliki resiko untuk berlanjut menjadi sirosis dan
kanker hati. Komplikasi akibat virus ini telah mengakibatkan sekitar 1 juta orang
meninggal setiap tahun (Joshi dan Kumar 2001; Kimura et al. 2005).
Prevalensi infeksi Virus Hepatitis B di Indonesia, seperti halnya negara-
negara berkembang pada umumnya, adalah termasuk sedang sampai tinggi
(Soewignjo dan Mulyanto 1984), sehingga WHO menghimbau untuk segera
melaksanakan usaha pencegahan. Pengobatan terhadap penderita penyakit
hepatitis B yang sangat mahal, menyebabkan tindakan pencegahan melalui
vaksinasi merupakan tindakan yang paling tepat. Program vaksinasi secara luas
dinilai efektif untuk mencegah terjadinya penyakit ini. Tahun 1987 pemerintah
Indonesia menjadikan Pulau Lombok sebagai model immunisasi massal hepatitis
B pertama di dunia. Hal ini disebabkan tingkat endemik penyakit hepatitis di
Pulau Lombok paling tinggi. Hasil proyek percontohan tersebut cukup
menggembirakan sehingga di tahun 1991 pemerintah mulai memperluas program
immunisasi ke empat propinsi lain dan di tahun 1992, diikuti enam propinsi
lainnya lagi pada tahun 1992. Saat ini pemerintah Indonesia telah
mengintegrasikan vaksinasi hepatitis B untuk balita ke dalam Program
Pengembangan Imunisasi (Extended Program of Immunization).
Proyek immunisasi massal di Lombok menunjukkan penggunaan vaksin
konvensional mampu menurunkan prevalensi hepatitis B sampai 70% (Mulyanto
et al. 2002). Belum optimalnya hasil immunisasi hepatitis B ini antara lain
disebabkan oleh masih rendahnya antigenisitas dan immunogenisitas vaksin
konvensional (Korean Green Cross) yang digunakan. Vaksin konvensional
tersebut berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak mampu
menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik yang mampu melawan
virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia (Joung et al. 2004). Keberhasilan
program imunisasi menyebabkan pasien hepatitis B yang akan menjadi sumber
vaksin tersebut semakin berkurang yang berakibat pada semakin terbatasnya
41

darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin, sehingga produksi vaksin
hepatitis B dengan menggunakan plasma semakin sulit dilakukan. Kekhawatiran
terhadap adanya kontaminan pada darah terutama oleh virus berbahaya seperti
HIV, menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk menggunakan vaksin yang
bersumber dari plasma tersebut (Joung et al. 2004).
Teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan untuk menghasilkan
protein rekombinan pada bakteri sangat penting untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Produksi vaksin dengan menggunakan bakteri akan dapat memenuhi
semakin tingginya permintaan vaksin dengan membutuhkan waktu yang relatif
singkat dan biaya yang lebih murah. Selain itu, teknologi DNA rekombinan dan
teknologi produksi pada bakteri memungkinkan dilakukan berbagai upaya
rekayasa epitop dalam rangka meningkatkan kualitas vaksin yang akan dihasilkan.
Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama diantara
aneka bakteri yang telah digunakan sebagai inang dalam menghasilkan protein
rekombinan, baik di bidang riset maupun industri. Hal ini disebabkan bakteri
Escherichia coli membutuhkan biaya media yang murah, cepat berkembang biak,
serta teknologinya sudah berkembang paling luas (Hu et al. 2004; Kristensen et
al. 2005; Lombardi et al. 2005). Berbagai protein rekombinan dari bakteri,
archaeabacteria, maupun dari eukariotik dapat diproduksi secara efisien pada E.
coli (Kristensen et al. 2005).
Pada penelitian ini, biosintesis bagian fragmen dari antigen permukaan
hepatitis B “HBsAg100” telah dilakukan dengan Escherichia coli sebagai inang.
Selain itu, gen penyandi antigen permukaan hepatitis B digabung (fusi) dengan
gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi
maupun kelarutan antigen yang sangat penting untuk aktifitas maupun proses
pemurnian. Antigen ini diharapkan dapat digunakan sebagai kandidat vaksin
rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus di Indonesia. Gen
penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus hepatitis B lokal yang terdapat di
Indonesia. Antibodi yang dihasilkan juga diharapkan akan lebih efektif dalam
melakukan proteksi terhadap virus hepatitis B asal Indonesia.
42

Bahan dan Metode

Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis bakteri E. coli sebagai inang, yaitu E.
coli DH5α dan BL21. Media tumbuh menggunakan media Luria Bertani yang
mengandung 50 mg/ml ampisilin. Marker protein yang digunakan adalah Marker
Nakalai (Nacalai TecQue., Inc., Kyoto, Japan) dengan berat molekul 6 500 sampai
200 000 Dalton. Pemurnian protein rekombinan menggunakan kolum GSTrap
yang disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) 1 ml. Bufer PBS
(Phosphate Buffer Saline) pengikatan digunakan 140 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 10
mM Na2HPO4, dan 1.8 mM KH2PO4 pH 7.3. Bufer elusi menggunakan 50 mM
Tris-Hcl, 10 mM reduced Gluthatione, pH 8,0. Enzim protease inhibitor yaitu
phenylmethyl sulfonil floride digunakan untuk pencegahan degradasi protein
rekombinan yang dihasilkan oleh protease.

Metode Penelitian

Ekspresi Protein Rekombinan. E. coli DH5α dan BL21 yang membawa


plasmid-plasmid rekombinan pengkode antigen dikultur pada media LB (4 ml)
yang mengandung 50 mg/ml ampisilin. Kultur bakteri dieramkan pada suhu 37oC
selama 14 jam dalam shaker. Setelah OD mencapai 0.3, IPTG (iso-
propylthiogalactoside) (0.1mM) ditambahkan pada biakan untuk merangsang
produksi antigen. Setelah proses kultur selama 18 jam, biakan disentrifuse pada
kecepatan 8.000 rpm selama 10 menit. Buffer PBS (1 ml) ditambahkan pada pelet
untuk selanjutnya dilakukan pengujian kuantitas antigen yang dihasilkan dengan
teknik SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel
Electrophoresis).

Uji Kuantitas Protein Rekombinan yang Dihasilkan dengan SDS-


PAGE. Pelet biakan yang sudah diencerkan dengan buffer PBS tersebut ditambah
dengan 1 mg lysozyme dan 0.1 mg phenylmethyl sulfonil floride (PMSF),
dilanjutkan dengan pemecahan dinding bakteri dengan teknik sonikasi berulang
berdurasi satu menit. Sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm suhu 4oC selama 10
menit dilakukan untuk pemisahan protein rekombinan dan dinding sel bakteri.
43

Supernatan yang diperoleh (5 μl) ditambahkan dengan 5 μl sampel buffer untuk


SDS-PAGE (0.5mM Tris-HCl; 10% glycerol; 1.6% SDS; 0.1% bromophenol
blue), dilanjutkan dengan proses denaturasi protein dengan pemanasan pada suhu
80o-90oC selama 2-3 menit. Setelah itu, sampel siap di loading ke dalam agar
acrylamide (37.82% larutan acrylamide; 22.6% separation buffer; 18.15%
glycerol; 9.08% ammonium persulfate/APS dan 0.91% tetra methyl ethylene
diamine/TEMED) untuk selanjutnya dilakukan elektroforesis selama 45 menit.
Setelah melakukan pewarnaan dengan commassie brilliant blue dan pencucian
dengan larutan asam asetat dan metanol, pita antigen yang dihasilkan dapat
dilihat langsung.

Pemurnian Protein Rekombinan. Pemurnian protein rekombinan


merupakan pemisahan protein rekombinan (antigen permukaan virus hepatitis B-
GST) dengan protein-protein yang secara alami diproduksi di dalam tubuh
bakteri. Pemurnian antigen rekombinan dilakukan dengan kolum GSTrap yang
disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) 1 ml. Kolum tersebut dibilas
5 kali dengan binding buffer (140 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 10 mM Na2HPO4, dan
1.8 mM KH2PO4 pH 7.3). Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam kolum dan
kolum tersebut ditempatkan di tempat yang lebih tinggi pada suhu 4oC, sehingga
memungkinkan menetesnya buffer maupun protein rekombinan dari dalam kolum.
Kolum dibilas dengan elution buffer (50 mM Tris-HCl, 10 mM reduced
gluthatione, pH 8.0) untuk melepas protein rekombinan. Protein rekombinan akan
terlepas dari kolum dan terlarut bersama elution buffer. Pengecekan terhadap
supernatan yang keluar dari kolum dengan SDS-PAGE bertujuan untuk
memastikan bahwa hanya protein rekombinan tersebut yang berhasil diikat oleh
kolum. Adanya pita tunggal menunjukkan bahwa antigen yang dihasilkan adalah
protein rekombinan (antigen permukaan hepatitis B-GST).
44

Hasil dan Pembahasan

Hasil ekspresi protein dari E. coli inang dapat dilihat pada Gambar 11.
Penampakan pita protein target diperjelas dengan melakukan pengenceran sampel
10 kali. Hasil SDS-PAGE mendapatkan bahwa protein rekombinan diproduksi
paling banyak oleh E. coli BL21. Hal ini ditunjukkan oleh pita protein target pada
penggunaan inang tersebut paling tebal.

Gambar 11. Hasil ekspresi plasmid rekombinan. Kolom 1 = E.coli BL21 (tanpa
membawa plasmid rekombinan), Kolom 2 = E.coli BL21 pembawa
plasmid pGEX-4T-2, Kolom 3 = E. coli BL21 pembawa plasmid
pGEX-SR100 terlarut, Kolom 4 = E. coli BL21 pembawa plasmid
pGEX-SR100 terlarut dengan pengenceran 10x, Kolom 5 = E. coli
BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 (pelet), Kolom 6 = E. coli
BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 pellet dengan pengenceran
10x, Kolom 7 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100
terlarut, Kolom 8 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100
terlarut dengan 10 x pengenceran. M = Marker. Tanda panah pada
Kolom nomor 2 menunjukkan enzim GST, sedangkan tanda panah
pada Kolom nomor 4 menunjukkan protein fusi antara GST dan
HBsAg100.
45

Gambar 11 juga memperlihatkan bahwa E. coli BL21 yang tidak membawa


plasmid rekombinan (sampel nomor 1) memiliki pola penampakan pita yang
berbeda dengan E. coli BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-4T-2
(sampel nomor 2) maupun pGEX-SR100 (sampel nomor 3-4). E. coli BL21 yang
membawa plasmid rekombinan pGEX-4T-2 menunjukkan pita yang tebal dengan
ukuran protein sekitar 28 kDa sesuai dengan ukuran enzym GST yang dihasilkan.
E. coli BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 (sampel nomor
3-4) memiliki protein dengan ukuran sekitar 34.8 kDa karena merupakan
gabungan antara GST yang memiliki berat 28 kDa dengan antigen S dengan
ukuran 6.8 kDa.
Pemisahan terhadap hasil sonikasi untuk mengetahui bahwa protein
rekombinan yang dihasilkan dalam bentuk terlarut (soluble) digunakan
sentrifugasi dan filterisasi (filter ukuran 0.22 µm). Kelarutan protein rekombinan
ini sangat penting untuk mempermudah proses pemurnian. Hasil yang diperoleh
baik larutan maupun pelet dimasukkan ke dalam gel akrilamid. Kelarutan dari
protein rekombinan yang dihasilkan diperlihatkan oleh adanya pita-pita protein
target pada bagian supernatan. Sebaliknya hasil SDS-PAGE dari pelet bakteri
yang tidak memperlihatkan adanya pita-pita dari protein target menjadi indikator
bahwa protein rekombinan tersebut berada dalam bentuk tak larut (insoluble).
Pre-pemurnian antigen rekombinan dilakukan dengan menggunakan kolum
GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) volume 1 ml.
Fraksi-fraksi hasil pemurnian kemudian dielektroforesis (SDS-PAGE) untuk
memastikan ada tidaknya protein target dan kemurnian protein rekombinan yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil di atas, maka untuk produksi antigen permukaan
virus Hepatitis B digunakan strain E. coli BL21 dengan konsentrasi IPTG 0.1
mM.
Hasil SDS-PAGE dari protein rekombinan hasil pemurnian ditampilkan
pada Gambar 12. Pita pada kolom nomor 1 merupakan pita dari protein bakteri
hasil pencucian dengan PBS. Demikian pula dengan sampel nomor 2-4 yang
merupakan pengenceran, namun pitanya tidak terlihat. Fraksi ini merupakan
protein yang tidak dapat berikatan dengan dinding kolum karena tidak
mengandung protein rekombinan. Pita pada kolom nomor 5 merupakan protein
46

rekombinan fusi HBsAg100-GST, sedangkan pita pada kolom nomor 6 merupakan


hasil pengenceran (10x) protein rekombinan HBsAg100-GST. Demikian pula
dengan pita pada kolom nomor 7 yang merupakan cairan hasil penampungan dari
protein rekombinan yang diperoleh melalui pemecahan bakteri dengan sonikasi.

Gambar 12 Protein rekombinan hasil pemurnian. M = marker. Kolom 1 = protein


bakteri (unbound protein), Kolom 2 = protein bakteri (unbound
protein) yang diencerkan 10x, Kolom 3 = protein bakteri (unbound
protein) yang diencerkan 10x, Kolom 4 = protein bakteri (unbound
protein) yang diencerkan 10x, Kolom 5 = protein rekombinan (bound
protein), Kolom 6 = protein rekombinan (bound protein) dengan
pengenceran 10x, Kolom 7 = protein rekombinan (bound protein)
dengan pengenceran 10x, Kolom 8 = protein rekombinan (bound
protein) dengan pengenceran 10x.

Virus hepatitis B merupakan virus DNA untai ganda dengan panjang genom
mencapai 3,2-3,3 kpb. Virus yang termasuk famili hepadnaviridae tersebut
memiliki genom yang terbungkus oleh glycoprotein. Siklus replikasi virus dimulai
dengan melekatnya protein selubung tersebut pada sel hati. Di dalam inti sel hati.
sintesis DNA virus disempurnakan, genom virus tersebut diubah menjadi cccDNA
(covalently closed circular DNA). cccDNA akan menjadi cetakan untuk sintesis
RNA yang akan kemudian diubah menjadi DNA virus (Lok dan McMahon, 2001).
Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan dengan
menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri
inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak
47

plasmid, sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum digunakan untuk
tujuan ekspresi. Perbedaan kedua strain bakteri E. coli tersebut adalah E. coli
DH5α memiliki banyak enzim protease baik di periplasma maupun sitoplasma,
yang dapat mendegradasi protein rekombinan yang dihasilkan pada bakteri
tersebut. Gen-gen penyandi enzim protease pada E. coli BL21 sudah dimutasi
sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang
intensif. Hal ini terlihat pada hasil SDS-PAGE pada Gambar 11 yang
menunjukkan hal tersebut, dimana intensitas pita protein rekombinan ketika
menggunakan E. coli BL21 sebagai inang lebih tebal dibandingkan dengan ketika
menggunakan E. coli DH5α. Tebalnya pita protein target masih terlihat walaupun
dilakukan pengenceran sampai 10x. Pengenceran 10 x pada protein yang
diekspresi pada E. coli DH5α sudah tidak terlihat.
Eskpresi protein rekombinan pada E. coli BL21 lebih tinggi dibandingkan
pada E. coli DH5α. Hal ini dapat disebabkan oleh fusi dengan GST. Maeng et al.
(2001) melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara parsial yang diikuti
dengan menggabungkan gen tersebut (fusi) dengan gen penyandi enzim GST
untuk meningkatkan ekspresi dan kelarutan antigen permukaan hepatitis B pre-S2
pada E. coli menunjukkan terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen yang
digabung dengan GST.
Berbagai macam affinity tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan
untuk meningkatkan ekspresi dan memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan.
Hasil pemurnian fusi HB-100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan dalam
jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya
(Gambar 2 pita nomor 5-7). Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat
meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST. Hal ini
sesuai dengan pendapat Koschorreck et al. (2005) yang melaporkan terjadi
peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Plasmid pGEX-


SR100 berhasil diekspresi baik pada bakteri E. coli BL21 maupun E. coli DH5α.
48

Namun ekspresi pada bakteri E. coli BL21 menghasilkan protein rekombinan


lebih tinggi. Protein rekombinan HBsAg100-GST yang telah diekspresikan oleh E.
coli tersebut berhasil dipurifikasi. Selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan
untuk mengetahui tingkat imunogenisitas antigen yang dihasilkan. Oleh karena
itu, penelitian in vivo dengan menggunakan mencit sebagai hewan percobaan
perlu dilakukan untuk melanjutkan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Hu WG et al. 2004. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant


Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1
region. Acta Biochimic et Biophysic Sinic 36(6):397-404.
Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of hepatitis B virus infection. Ind J
Med Microbiol 19:172-183.
Joung YH et al. 2004. Expression of the hepatitis B surface S and preS2 antigens
in tubulers of Solanum tuberosum. Plant Cell Rep 22:925-930.
Kimura T et al. 2005. Hepatitis B virus DNA-negative Dane particles lack core
protein but contain a 22-kDa precore protein without C-terminal arginine-rich
domain. J Biol Biochem 280:21713-21719.
Koschorreck M, Fischer M, Barth S, Pleiss J. 2005. How to find soluble proteins:
a comprehensive analysis of alfa/beta hydrolases for recombinant expression in
E. coli. BMC Genomic 6:1-10.
Kristensen J, Petersen HUS, Mortensen KK, Sorensen HP. 2005. Generation of
monoclonal antibodies for the assesment of protein purification by recombinant
ribosomal coupling. Int. J Biol Macromol 37:212-217.
Lok ASF, McMahon BJ. 2001. Chronic hepatitis B. Hepatology 34:1225-1241.
Lombardi A, Sperandei M, Cantale C, Giacomini P, Galeffi P. 2005. Fungtional
expression of a single-chain antibody specific or the HER2 human oncogene in
a bacterial reducing environment. Protein Expr Purif 44:10-15.
Maeng CY, Oh MS, Park IH, Hong HJ. 2001. Purification and structural analysis
of the hepatitis B virus preS1 expressed from Escherichia coli. Biochem
Biophys Res Com 282:787-792.
Mulyanto et al. 2002. Hepatitis B seroprevalence among children in Mataram,
Indonesia: following a seven-year mass immunization program. Report
meeting of the US-Japan cooperative medical science program asian region
collaboration research project 2001, Shanghai.
Soewignjo S, Mulyanto. 1984. Epidemiologi infeksi virus Hepatitis B di
Indonesia. Acta Medic Indones 15:215-230.
IMUNOGENISITAS PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST DALAM
MEMICU SEL IMUN UNTUK MENGHASILKAN
ANTIBODI PADA MENCIT

Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3,


Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB,
3
Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
5
Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM
@
E-mail: riyadi_unram@yahoo.com, phone: 085217886729

Abstrak
Gen SR100 yang difusikan dengan gen penyandi gluthatione S-transferase
(GST) pada diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 berhasil mengekspresikan fusi
protein antigen HBsAg100-GST melalui inang E. coli BL21. Fusi protein antigen
HBsAg100-GST berhasil dimurnikan dengan kolum GST, kemudian diuji
antigenisitasnya melalui respon humoral mencit dalam membentuk antibodi
dengan cara melakukan imunisasi terhadap mencit BALB/c dengan fusi protein
antigen tersebut. Respon mencit menunjukkan bahwa protein antigen HBsAg100
yang dihasilkan dalam penelitian ini bersifat antigenik.

Kata kunci: Gen SR100, pGEX-4T-2, HBsAg100-GST, kolum GST, antibodi.

Abstract
The expression vector pGEX-SR100, which the HBsAg100 peptide fused to
gluthatione S-transferase (GST), was constructed. The fusion protein, named
GST-HBsAg100, was highly expressed in E. coli and purified using GST column.
The purified protein was tried to trigger cell immune to produce antibody in mice.
Results indicated that the immunogenicity of GST-HBsAg100 was higher than
GST protein in elicit the levels of HBsAg100-specific IgG antibody in mice. These
results suggest that the HBsAg100 produced in E. coli has immunogenicity.

Keywords: pGEX-SR100, GST-HBsAg100, GST column, immunogenicity.

Pendahuluan

Sejak Edward Jenner menemukan vaksin pada tahun 1778, vaksinasi


merupakan pilihan terbaik untuk menanggulangi berbagai jenis penyakit baik
pada hewan maupun manusia. Hal ini disebabkan vaksin dapat mencegah
timbulnya penyakit dibandingkan dengan penggunaan obat yang ditujukan bagi
penyembuhan (curative) dengan memerlukan biaya yang lebih mahal. Menurut
50

Groot dan Rappuoli (2004), vaksinasi merupakan cara yang paling murah dan
paling aman untuk menurunkan angka kematian akibat infeksi beberapa jenis
penyakit.
Keberhasilan vaksinasi dalam memberantas berbagai jenis penyakit telah
dibuktikan dengan tuntasnya pemberantasan beberapa jenis penyakit yang sangat
mengkhawatirkan, seperti diantaranya cacar air maupun polio. Demikian pula
dengan keberhasilan menekan beberapa penyakit seperti tetanus, rabies, tetelo,
penyakit mulut dan kuku, hepatitis B, maupun tuberkulosis. Penggunaan vaksin
saat ini lebih banyak dipilih dibandingkan dengan penggunaan obat.
Di awal perkembangan teknologi produksi vaksin, penggunaan mikroba
virulen yang telah dilemahkan (attenuating virulent microorganism) ataupun
mikroorganisme virulen yang dibunuh (killing virulent microorganism) dengan
bahan kimia tertentu merupakan pilihan untuk menghasilkan berbagai jenis vaksin
yang dibutuhkan. Teknik tersebut memiliki banyak kelemahan terutama terhadap
spesifikasi vaksin yang dihasilkan, sehingga menyebabkan para ahli terus
berupaya untuk menemukan teknik baru.
Penggunaan vaksin sub-unit yang dihasilkan dari molekul protein yang
dimurnikan dari mikroorganisme patogen telah dapat meningkatkan kualitas
vaksin yang dihasilkan. Vaksin tersebut memiliki spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan vaksin era sebelumnya. Oleh karena itu penggunaan vaksin
tersebut lebih efektif untuk menangkal berbagai jenis penyakit dengan
menggunakan jumlah yang lebih sedikit (Joshi dan Kumar 2001).
Kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa dekade ini, terutama sejak
ditemukannya sekuen genom lengkap dari mikroba-mikroba pathogen, telah
membuka jalan baru bagi dihasilkannya berbagai jenis protein rekombinan, baik
vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu
(Thanavala 1995; Groot dan Rappuoli 2004). Pada saat ini, vaksin telah dihasilkan
dengan teknologi rekombinan DNA, yaitu melalui kloning gen penyandi protein-
protein tertentu pada mikroorganisme patogen yang dilanjutkan dengan ekspresi
gen tersebut pada sel hewan, sel tanaman, ataupun pada bakteri. Penggunaan
teknologi tersebut telah menjembatani tingginya kebutuhan terhadap vaksin untuk
menanggulangi munculnya berbagai jenis penyakit seperti pada saat ini.
51

Pada rangkaian penelitian ini, telah dikloning dan diekspresikan gen


penyandi protein permukaan virus hepatitis B dari protein nomor 100 sampai
protein 162 (HBsAg100) sebagai model antigen rekombinan. Langkah selanjutnya
yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas protein rekombinan
yang telah dihasilkan dengan teknologi rekombinan DNA tersebut adalah menguji
imunogenisitasnya pada mencit. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji
immunogenisitas protein rekombinan HBsAg100 dalam memicu sel imun untuk
menghasilkan antibodi pada mencit.

Bahan dan Metode

Bahan Penelitian

Hewan percobaan menggunakan mencit BALB/c umur 6 minggu


sebanyak 8 ekor dengan berat badan rata-rata 21,58 gram. Hewan percobaan
tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang
divaksin dengan protein rekombinan HBsAg-GST dan kelompok hewan percobaan
yang hanya divaksin dengan GST saja sebagai kontrol. Imunogenisitas protein
HBsAg100 rekombinan akan diukur melalui respon mencit (BALB/c) yang
diimunisasi dengan antigen yang diperoleh terhadap timbulnya antibodi.

Metode Penelitian

Antigenisitas antigen diuji dengan ELISA menurut Chen et al (2004) dengan


menggunakan kit komersial (Shanghai alfa bio-technique company, China). Plate
ELISA dilapisi dengan antibodi (anti-HBsAg adw), dilanjutkan dengan
penambahan antigen pada beberapa konsentrasi dan dibiarkan selama semalam
pada suhu 4oC. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali menggunakan washing
buffer (10% block ace dan 0.05% tween 20). Setelah itu ditambahkan anti-mouse
IgG (L+H) yang berkonyugasi dengan horseradish peroxidase. Setelah inkubasi
selama 2 jam, ditambahkan O-phenylenediamine (0.1%, Gibco) dan H2O2
(0.05%) untuk pewarnaan. Proses reaksi dihentikan dengan cara ditambahkan 2 M
H2SO4 sebanyak 50 l, dilanjutkan dengan membaca absorban pada gelombang
492 nm menggunakan elisa photoreader. Absorban yang terbaca menggambarkan
tingkat antigenisitas antigen.
52

Persiapan Hewan Coba. Hewan percobaan menggunakan mencit BALB/c


umur 6 minggu sebanyak 8 ekor dengan berat badan rata-rata 21,58 gram dari
kisaran berat individu 18.97 gram sampai 25.79 gram. Hewan percobaan tersebut
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan A yang
divaksin dengan protein rekombinan HBsAg-GST dan kelompok hewan percobaan
B yang hanya divaksin dengan GST saja sebagai kontrol.

Immunisasi Hewan Coba. Imunogenisitas protein HBsAg100 rekombinan


diukur melalui respon mencit (BALB/c) yang diimmunisasi dengan antigen yang
diperoleh terhadap timbulnya antibodi. Protein HBsAg100 rekombinan (100g)
dicampur dengan Adjuvan Freund lengkap, selanjutnya disuntikkan secara
subcutaneus (Gambar 13). Booster dilakukan setelah 5 minggu dengan antigen
yang sama (50 g) yang dicampur dengan adjuvan Freund tak lengkap (Chen et
al. 2004).

Gambar 13 Imunisasi terhadap mencit dilakukan dengan penyuntikan secara


subcutaneus.
53

Koleksi Serum. Spesimen darah diambil melalui ekor. Serum darah dapat
diperoleh melalui sentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit (Lippi
2007). Kandungan antibodi serum dianalisis dengan Elisa (Camargo et al. 1987).

Elisa. Coating (pelapisan plate Elisa dengan antigen HBsAg100-GST)


dilakukan dengan menghaluskan masing-masing gel yang mengandung pita
(antigen) dari hasil elektroforesis, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam
tabung eppendorf dan diencerkan dengan dua kali tingkat pengenceran (5 kali dan
50 kali pengenceran) dengan cara sebagai berikut: (a) Pengenceran 5 kali: 100µl
gel yang mengandung antigen diencerkan dengan 400 µl coating buffer, kemudian
dihomogenkan, (b) Pengenceran 50 kali: 10µl gel yang mengandung antigen
diencerkan dengan 490 µl coating buffer, kemudian dihomogenkan. Selanjutnya
campuran di atas didistribusikan ke dalam microplate (sumuran) pada plate Elisa
dengan masing-masing sumuran diisi 100 µl, kemudian plate Elisa dibungkus
dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan aluminium foil, lalu diinkubasikan
selama 1 jam pada temperatur 4oC. Larutan pencuci microplate disiapkan yaitu
berupa larutan 0.05% tween 20 dalam PBS (25 µl tween 20 dilarutkan ke dalam
50 µl PBS). Pencucian hasil coating (dilakukan 4 kali pencucian), caranya dengan
memasukkan 400 µl larutan pencuci (larutan 0.05% twenn 20) ke dalam masing
sumuran pada microplate, kemudian dibuang sampai bersih larutan pencuci
tersebut. Pencucian diulangi sebanyak empat kali dengan cara yang sama seperti
tersebut di atas.

Blocking. Tahapan ini bertujuan membuat larutan untuk blocking yaitu


mengeblok sumuran-sumuran tersebut di atas. Tiap sumuran diblok dengan 300 µl
larutan blocking. Larutan blocking sebanyak 20 ml dibuat dengan cara
mencampur 1 ml skim milk ke dalam 19 ml PBS yang mengandung 0.05% tween
20 dan pH diatur menjadi 7.4. Selanjutnya larutan blocking dimasukkan ke dalam
sumuran microplate yang telah di coating yaitu masing-masing sebanyak 300 µl,
kemudian microplate dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan
aluminium foil, kemudian diinkubasikan pada temperatur 37oC selama 1 jam.
Pencucian sumuran setelah blocking dilakukan dua kali terhadap masing-masing
sumuran yang telah diblok. Cara pencucian adalah mencampurkan 400 µl larutan
54

pencuci 0.05% tween 20 dalam PBS (pH 7.4) ke dalam masing-masing sumuran
yang akan dicuci. Selanjutnya larutan pencuci dibuang sampai bersih.

Penambahan Serum Antibodi (Antibodi Primer). Larutan pengencer


antibodi disiapkan dengan cara pencampuran 20 ml PBS dengan 200 mg blocking
solution (BS), kemudian dihomogenkan. Selanjutnya serum antibodi diencerkan
dua kali tingkat pengenceran (satu bagian serum antibodi ditambah satu bagian
larutan pengencer). Serum antibodi yang sudah diencerkan dimasukkan ke dalam
sumuran microplate Elisa masing-masing 50 µl, kemudian dibungkus dengan
plastik cling wrap dan ditutup dengan kertas aluminium foil. Selanjutnya
diinkubasikan pada temperatur 37oC selama 1 jam, kemudian dicuci empat kali
seperti cara di atas dengan larutan pencuci.

Penambahan Antibodi Sekunder yang Mengikat HRP (Horseradish


Peroxidase). Antibodi yang digunakan adalah IgG kambing anti IgG tikus.
Pengenceran antibodi sekunder pengikat enzim HRP adalah 8.000 kali
menggunakan pengencer buffer conjugate. Penambahan antibodi sekunder
pengikat enzim HRP, pada tiap-tiap sumuran diisi 50 µl Ab sekunder yang
mengikat HRP, kemudian dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup
dengan kertas aluminium foil. Inkubasi dilakukan pada temperatur 37oC selama 1
jam, lalu dilakukan pencucian empat kali dengan larutan 0.05% tween 20 dalam
PBS seperti cara di atas, kemudian dikeringkan.

Penambahan Substrat. Substrat yang digunakan adalah TMB (Tetra


Methyl Benzidine). Proses reaksi dihentikan dengan cara ditambahkan 2 M H2SO4
sebanyak 50 l, dilanjutkan dengan membaca absorban pada gelombang 450 nm
menggunakan elisa photoreader. Optical Density (OD) yang terbaca
menggambarkan tingkat imunogenisitas antigen yang dihasilkan.

Hasil dan Pembahasan

Imunogenisitas sebuah antigen merupakan kemampuan yang dimiliki oleh


antigen untuk merangsang munculnya respon imun pada mahluk hidup yang
divaksin dengan antigen tersebut. Menurut Tizard (1988), imunogenisitas
menunjukkan kualitas sebuah materi untuk menstimulasi respon imun.
55

Selanjutnya Plotkin (2005) menyatakan bahwa imunogensitas sebuah antigen


menjadi perhatian utama industri bioteknologi dalam menghasilkan berbagai
protein rekombinan, karena imunogenisitas menjadi penentu kualitas protein
antigen yang dihasilkan.
Imunogenisitas protein permukaan virus hepatitis B yang diperoleh secara
alami dari darah telah diuji baik pada hewan maupun manusia (Yamamoto et al.
1997; Milich dan Roels 2003). Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa
protein tersebut memberikan respon imunogenik yang sangat tinggi sehingga
disepakati penggunaannya sebagai vaksin. Upaya produksi protein permukaan
virus hepatitis B pada ragi maupun tanaman juga telah melewati uji
imunogenisitas yang memadai (Ritchter et al. 2000; Lu et al. 2002; Ddemann dan
Zyl 2003; Kumar et al. 2005). Beberapa perbaikan terhadap kualitas protein
tersebut telah dilakukan dan diuji imunogenisitasnya (Yamada et al. 2000; Kim et
al. 2003; Hu et al. 2003; Hu et al. 2004; Deng et al. 2005).
Penentuan konsentrasi protein rekombinan (antigen) yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan melalui percobaan vaksinasi pendahuluan dengan
menggunakan beberapa konsentrasi antigen yaitu dengan tingkat pengenceran
50x, 100x, 200x, 500x, dan 1000x (Tabel 3). Nilai OD yang menunjukkan sifat
antigenik dari suatu antigen diuji menurut Locarnini et al. (1979) yang
merumuskan bahwa nilai rerata OD dari suatu antigen yang antigenik harus lebih
besar dari nilai rerata OD kontrol negatif (serum negatif) yang telah dikalikan
dengan konstanta (2,5). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka antigen yang
bersifat antigenik dalam penelitian ini adalah yang mempunyai nilai OD lebih
besar dari 0,551. Tabel 3 menunjukkan bahwa HBsAg100-GST yang diencerkan
sampai 1000 kali masih bersifat antigenik, oleh karena itu vaksinasi yang
dilakukan pada penelitian ini menggunakan tingkat pengenceran HBsAg100-GST
1000 kali.
Rerata respon humoral mencit yang diimunisasi dengan fusi protein
(HBsAg100-GST) dan GST dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil pembacaan
optikal densiti (OD) dari serum mencit yang diperoleh dari darah mencit sebelum
dan setelah dilakukan vaksinasi dengan HBsAg100-GST pada kelompok A dan
dengan GST pada kelompok B (Lampiran 8) menunjukkan bahwa rerata respon
56

humoral mencit yang diimunisasi dgn fusi protein meningkat setelah dilakukkan
imunisasi, kemudian sekitar seminggu mulai stabil dan setelah dilakukan booster
meningkat lagi, tetapi seiring dengan penambahan waktu pemeliharaan maka
respon humoral mencit tersebut menurun sedikit demi sedikit sampai akhir
minggu ke 12. Perkembangan respon humoral mencit terhadap vaksinasi yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14. Hal ini
menunjukkan bahwa fusi protein rekombinan HBsAg100-GST bersifat antigenik.

Tabel 3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit
setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST
pada beberapa tingkat pengenceran

Tingkat pengenceran HBsAg100-GST


Mencit
Kontrol
50x 100x 200x 500x 1000x
Negatif
A1 0,205 1,887 1,696 1,325 1,305 1,131
A2 0,237 1.946 1,702 1,391 1,390 1,254
Rerata 0,221 1,917 1,699 1,358 1,348 1,193

2,000

1,800

1,600
1,400
OD (450 nm)

1,200

1,000
HBsAg100-GST
0,800
GST
0,600

0,400

0,200
0,000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lama pengamatan (Minggu)

Gambar 14 Respon humoral mencit terhadap vaksinasi HBsAg100-GST


(kelompok A) dan GST (kelompok B) berdasarkan nilai optikal
densiti (OD) yang diukur setiap minggu setelah dilakukan
vaksinansi.
57

Simpulan

Protein antigen rekombinan HBsAg100 yang berhasil dikloning bersifat


antigenik. Respon humoral mencit dalam pembentukan antibodi meningkat cepat
setelah dilakukan imunisasi dan booster, kemudian akan menurun secara
perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya waktu. Pembentukan protein antigen
dalam penelitian ini dapat dijadikan model imunogen untuk menghasilkan
antibodi pada mahluk hidup yang lain seperti pada ternak, tanaman dan manusia
untuk mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu seperti tetelo pada unggas,
penyakit mulut dan kuku pada ternak besar, rabies pada anjing dan penyakit-
penyakit lainnya pada tanaman dan manusia. Selanjutnya disarankan kepada para
peneliti yang menekuni bidang kesehatan hewan pada khususnya dan bidang
DNA rekombinan pada umumnya agar meningkatkan motivasinya untuk
mengembangkan teknologi ini demi kepentingan dunia kesehatan khususnya di
bidang pencegahan penyakit pada ternak.

Daftar Pustaka

Camargo, I.F., A.M.C. Gaspar, and C.F.T. Yoshida. 1987. Comparative ELISA
Reagents for Detection of Hepatitis B Surface Antigens (HBsAg). Mem Inst
Oswaldo Cruz 82(2):181-187.
Chen X, Li M, Le X, Ma W, and Zhou B. 2004. Recombinant hepatitis B core
antigen carrying preS1 epitopes induce immune response against chronic HBV
infection. Vaccine 22:439-446.
Ddemann AP, Zyl WH. 2003. Evaluation of Aspergillus niger as host for virus-
like particle production, using the Hepatitis B surface antigen as a model.
Springer-Verlag. Word J Gastroenterol 12:244-247
Deng Q, Kong YY, Xie YH, and Wang Y. 2005. Expression and purification of the
complete PreS region of hepatitis B virus. World J Gastroenterol 11:3060-
3064.
Groot ASD, Rappuoli R. 2004. Genome-derived vaccines. Expert Rev Vacc 3:59-
76.
Hu W et al. 2003. A flexible peptide linker enhances the immunoreactivity of two
copies HBsAg preS1 (21-47) fusion protein. J Biotechnol 107:83-90.
Hu WG et al. 2004. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant
Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1
region. Acta Biochim Biophys Sin 36 (6):397-404.
58

Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of hepatitis B virus infection. Ind J


Med Microbiol 19:172-183.
Kim SJ et al. 2003. Enhanced immunogenicity of DNA fusion vaccine encoding
secreted hepatitis B surface antigen and chemokine RANTES. Virology
314:84-91.
Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi L, Srinivas VA, Bapat. 2005. Expression of
hepatitis B surface antigen in transgenic banana plants. Planta 222:484-493.
Lippi G, Salvagno GL, Montagnana M, Guidi GC. 2007. Preparation of a Quality
Sample: Effect of Centrifugation Time on Stat Clinical Chemistry Testing. Lab
Med 38(3): 172-176.
Locarnini SA, Coulepis AG, Stratton AM, Kaldor J, Gust ID. 1979. Solid-phase
enzyme-linked immunosorbent assay for detection of hepatitis A specific
immunoglobulin M. J Clin microbiol 9:459-465.
Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of hepatitis B virus
in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242.
Milich DR, Roels GGL. 2003. Immunogenetics of the response to HBsAg
vaccination. Autoimmun Rev 2:248-257.
Plotkin SA. 2005. Six revolution in vaccinology. Ped Infect Dis J 24:1-9.
Richter LJ, Thanavala Y, Arntzen CJ, Mason HS. 2000. Production of hepatitis B
surface antigen in transgenic plants for oral immunization. Nature 18:1167-
1171.
Thanavala Y. 1995. Novel approaches to development against HBV. J Biotechnol
44:67-73.
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press.
Surabaya
Yamada T et al. 2000. Physicochemical and immunological characterization of
hepatitis B virus envelope particles exclusively consisting of the entire L (pre-
S1 + pre-S2 + S) protein. Vaccine 19:3154-3163.
Yamamoto H, Satoh T, Kiyohara T, Totsuka A, Moritsugu Y. 1997. Quantitation of
group-specific a antigen in Hepatitis B vaccines by anti-HBs/a monoclonal
antibody. Biologicals 25:373-380.
PEMBAHASAN UMUM

Beberapa hasil penelitian bioteknologi peternakan saat ini sudah dapat


diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk peningkatan reproduksi ternak, pakan
ternak serta untuk memperbaiki status kesehatan hewan. Selanjutnya dijelaskan,
bahwa bioteknologi reproduksi meliputi inseminasi buatan (Generasi ke I),
embryo transfer (Generasi ke II) dan pemuliabiakan ternak melalui kloning
(Generasi ke III), dalam upaya peningkatan reproduksi ternak telah dikembangkan
penelitian dan aplikasi bioteknologi sampai dengan generasi keempat, yaitu
hewan transgenik. Bioteknologi di bidang pakan merupakan teknologi biokimia
dan mikrobiologi yang telah diaplikasikan untuk perbaikan mutu pakan, seperti
manipulasi mikroba rumen maupun dengan perlakuan kimiawi dan mikrobiologi.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya cerna dari hijauan pakan ternak,
jerami dan limbah pertanian yang tinggi kadar selulosanya. Bioteknologi
kesehatan hewan meliputi: (1) Produksi komersial berbagai macam zat penggertak
pertumbuhan (growth promotors), seperti produksi hormone dengan DNA
rekombinan memanfaatkan bakteri tertentu. (2) Produksi komersial substansi
antigenik untuk memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang relatif lebih
baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari
bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain. Selanjutnya Muladno (2002)
menjelaskan, bahwa dengan tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang
dilahirkan pada tahun 1973, manusia telah dapat mengisolasi gen (molekul DNA)
serta memanipulasinya, kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme
ke organisme lain.
Teknologi kloning merupakan terobosan baru di bidang rekayasa genetika.
Menurut Winarno dan Agustinah (2007), kloning adalah pengembangbiakan suatu
mahluk hidup yang persis sama dengan induknya tanpa melalui pembuahan,
seperti stek pada tanaman, tetapi kloning melalui rekayasa genetika adalah jauh
lebih rumit. Muladno (2002) menjelaskan, bahwa pada prinsipnya kloning DNA
adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses
perkembangbiakan sel bakteri. Proses penggandaan tersebut dilakukan dengan
memasukkan DNA rekombinan ke dalam E.coli, diikuti dengan inkubasi sel E.coli
60

pada suhu optimal sehingga sel berkembangbiak secara eksponensial. Selanjutnya


dijelaskan pula, bahwa menggandakan jumlah molekul DNA tidak hanya dapat
dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme kehidupan mikroorganisma, tetapi
dapat juga dilakukan melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction).
Teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan digunakan untuk
menghasilkan protein rekombinan pada bakteri sangat penting untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Produksi vaksin dengan menggunakan bakteri akan dapat
memenuhi permintaan vaksin yang semakin tinggi dengan waktu yang relatif
singkat serta biaya yang relatif lebih murah. Selain itu, teknologi DNA
rekombinan dan teknologi produksi pada bakteri memungkinkan dilakukan
berbagai upaya rekayasa epitop dalam rangka meningkatkan kualitas vaksin yang
akan dihasilkan.
Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama diantara
aneka bakteri yang telah digunakan sebagai inang dalam menghasilkan protein
rekombinan, baik di bidang riset maupun industri. Hal ini disebabkan bakteri
Escherichia coli membutuhkan biaya media yang relatif murah, cepat
berkembang biak, serta teknologinya sudah berkembang luas (Hu et al. 2004;
Kristensen et al. 2005; Lombardi et al. 2005). Berbagai protein rekombinan dari
bakteri, archaeabacteria, maupun dari eukariotik dapat diproduksi secara efisien
pada E. coli (Kristensen et al. 2005).
Biosintesis antigen HBsAg100-GST telah dilakukan dalam penelitian ini
dengan menggunakan Escherichia coli sebagai inang. Selain itu, gen penyandi
antigen permukaan hepatitis B tersebut digabung (fusi) dengan gen penyandi
enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi maupun
kelarutan antigen untuk aktifitas maupun proses pemurnian. Antigen ini
diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin rekombinan hepatitis B yang
sesuai dengan genetik virus lokal di Indonesia, dan antibodi yang dihasilkan juga
diharapkan akan lebih efektif dalam melakukan proteksi terhadap virus hepatitis B
lokal.
Campuran yang berhasil digunakan untuk mendapatkan hasil PCR yang
optimal adalah 0,1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu,
Japan) dengan bufernya; 0,5 μM primer forward (f) dan backward (b); 0,2 mM
61

dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Penggunaan DNA dengan


konsentrasi kurang dari 1 ng/ml menghasilkan pita gen target yang kurang jelas,
dan penggunaan DNA melebihi 1 ng/ml menyebabkan munculnya beberapa pita
produk PCR yang tidak sesuai dengan ukuran pita target. Program PCR yang
berhasil digunakan adalah 94oC selama 5 menit, 25 siklus pada 94oC selama 30
detik, 54oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik, diakhiri dengan 72oC
selama 5 menit dan 20oC sampai sampel diangkat untuk elektroforesis. Penemuan
suhu annealing yang ideal (54oC ), setelah dilakukan PCR menggunakan beberapa
suhu annealing mulai dari 50oC, 52oC, 54oC dan 56oC. Pita gen target yang paling
tampak jelas diperoleh pada suhu annealing 54oC.
Ketepatan suhu dan waktu annealing, konsentrasi DNA dan primer, serta
konsentrasi enzim polimerase DNA yang digunakan sangat menentukan
keberhasilan amplifikasi. Penggunaan suhu annealing 54oC selama 30 detik telah
menyebabkan primer-primer yang digunakan dapat menempel pada daerah
spesifik dari DNA cetakan. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk tahap
extention adalah selama 30 detik pada suhu 72oC, karena enzim polymerase
Pyrobest yang dipergunakan memerlukan waktu 1 menit per 1 kilo pasang basa.
Berbeda dengan enzim polymerase Ex Taq yang biasanya memiliki kemampuan
lebih cepat, yaitu 40 detik per 1 kilo pasang basa. Hal ini dikarenakan enzim
polymerase Pyrobest merupakan enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high
fidelity) yang memiliki kemampuan proof-reading.
Produk PCR selanjutnya perlu dimurnikan karena ada kelebihan primer-
primer maupun substrat dan enzim yang digunakan pada campuran PCR dengan
teknik pemotongan gel menggunakan DNA Gel extraction kit. Hasil pemurnian
digunakan pada tahap ligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 yang telah dipotong
dengan enzim Sma1. Enzim Pyrobest yang digunakan untuk proses amplifikasi di
atas termasuk enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity).
Campuran reaksi dari reaksi ligasi tersebut adalah produk PCR yang telah
diphosphorilasi 2 μl, 25 ng/μl plasmid pGEX-4T-2 yang telah diphosphorilasi, 1
μl kit ligasi, kemudian diinkubasi pada suhu 12oC selama 18 jam. Selanjutnya,
dilakukan transformasi dengan E. coli DH5, kemudian ditumbuhkan pada media
LB yang mengandung ampisilin pada suhu 37oC selama 14 jam. Koloni bakteri
62

yang tumbuh diduga memiliki plasmid rekombinan. Skrining koloni pembawa


plasmid rekombinan dengan teknik PCR koloni dilakukan untuk memastikan hal
tersebut.
Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α
(transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli
DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 hasil transformasi
ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung X-
gal dan IPTG. Hasil kultur dari bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Koloni bakteri yang berwarna putih diduga pembawa plasmid rekombinan pGEX-
SR100, sebaliknya koloni bakteri berwarna biru tidak membawa plasmid
rekombinan.
Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan dengan
menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri
inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak
plasmid, sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum digunakan untuk
tujuan ekspresi. Perbedaan kedua strain bakteri E. coli tersebut adalah E. coli
DH5α memiliki banyak enzim protease baik di periplasma maupun sitoplasma,
yang dapat mendegradasi protein rekombinan yang dihasilkan pada bakteri
tersebut. Gen-gen penyandi enzim protease pada E. coli BL21 sudah dimutasi
sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang
intensif. Hal ini terlihat pada hasil SDS-PAGE pada Gambar 11 yang
menunjukkan hal tersebut, yaitu intensitas pita protein rekombinan ketika
menggunakan E. coli BL21 sebagai inang lebih tebal dibandingkan dengan ketika
menggunakan E. coli DH5α. Tebalnya pita protein target masih terlihat walaupun
dilakukan pengenceran sampai 10x, sedangkan pengenceran 10 x pada protein
yang diekspresi pada E. coli DH5α sudah tidak terlihat.
Secara umum terlihat intensitas pita protein cukup tinggi, walaupun jumlah
ekspresi protein rekombinan pada E. coli BL21 lebih tinggi dibandingkan pada E.
coli DH5α. Hal ini disebabkan antara lain oleh fusi dengan GST. Maeng et al.
(2001) melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara parsial diikuti dengan
penggabungan atau fusi gen dengan gen penyandi enzim GST untuk peningkatan
ekspresi dan kelarutan antigen permukaan hepatitis B pre-S2 pada E. coli.
63

Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen pre-S1 yang


digabung dengan GST.
Berbagai macam affinity tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan
untuk meningkatkan ekspresi dan memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan.
Hasil pemurnian fusi HBsAg100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan
dalam jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam aplikasi (assay)
selanjutnya (Gambar 15 pita nomor 5-7). Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas
dari sifat meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST.
Hal ini sesuai dengan pendapat Koschorreck et al. (2005) yang melaporkan terjadi
peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen SR100


berhasil diamplifikasi, kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2, dan
ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan
tidak terdapat mutasi pada gen hasil kloning. Plasmid pGEX-SR100 berhasil
diekspresikan baik pada bakteri E. coli BL21 maupun E. coli DH5α. Ekspresi
pada bakteri E. coli BL21 menghasilkan protein rekombinan lebih tinggi. Protein
rekombinan HBsAg100-GST yang telah diekspresikan oleh E. coli tersebut
berhasil dipurifikasi.

Saran

Penelitian dengan teknologi DNA rekombinan perlu digali dan


dikembangkan terus dalam rangka pengembangan usaha industri peternakan
khususnya di bidang penyediaan bahan vaksin. Pemanfaatan E. coli sebagai inang
produksi protein rekombinan lebih tepat menggunakan E. coli BL21.
DAFTAR PUSTAKA

Ali M et al. 2005. Improvements in the cell-free production of functional


antibodies using cell extract from protease-deficient Escherichia coli. J Biosci
Bioengin 99:181-186.
Ali M. 2006. High-throughput monoclonal antibody production using cell-free
protein synthesis system [Ph.D thesis]. Nagoya University, Japan.
Andre, S. 2006. File: DNA Overview.png. Wikimedia Commons. Retrieved on
January 17, 2009 from http://en.wikipedia.org/wiki/File:DNA_Overview.png
[9 Februari 2012].
Anzola M. 2004. Hepatocellular carcinoma: Role of hepatitis B and hepatitis C
viruses proteins in hepatocarcinogenesis. J Viral Hepat 11(5):383-393.
Barnum SR. 2005. Biotechnology an Introduction. International Student Edition.
Ed ke-2. Belmont: Thmpson Brooks/Cole.
Barrera A, Guerra B, Notvall L, Landford RE. 2005. Mapping of the Hepatitis B
virus Pre-S1 domain involved in receptor recognition. J Virol 79:9786-9798.
Beck J, Nassal M. 2007. Hepatitis B virus replication. World J Gastroenterol
13(1):48-64.
Burda MR, Gunther S, Dandri M, Will H, Petersen J. 2001. Structural and
functional heterogeneity of naturally occuring hepatitis B virus variants.
Antiviral Res 52:125-138.
Camargo, I.F., A.M.C. Gaspar, and C.F.T. Yoshida. 1987. Comparative ELISA
Reagents for Detection of Hepatitis B Surface Antigens (HBsAg). Mem Inst
Oswaldo Cruz 82(2):181-187.
Chen X, Li M, Le X, Ma W, Zhou B. 2004. Recombinant hepatitis B core antigen
carrying preS1 epitopes induce immune response against chronic HBV
infection. Vaccine Word J Gastroenterol 22:439-446.
Dayal M, Maldonado D. 1998. The Hepadna Virus Family. An Exclusive
Interview with Baruch Blumberg, Winner of the 1976 Nobel Prize in Medicine.
http://www.stanford.edu/group/virus/hepadna/Blumberg.html. [1 Februari
1998].
Ddemann AP, Zyl WH. 2003. Evaluation of Aspergillus niger as host for virus-like
particle production, using the Hepatitis B surface antigen as a model. Springer-
Verlag. Word J Gastroenterol 12:244-247
Deng Q, Kong YY, Xie YH, Wang Y. 2005. Expression and purification of the
complete PreS region of Hepatitis B virus. World J Gastroenterol 11:3060-
3064.
Dryden KA et al. 2006. Native hepatitis B virions and capsids visualized by
electron cryomicroscopy. Molecul Cell 22:843-850.
GenBank. 2008. Hepatitis B Virus Isolate 2059Java, Complete Genome.
GenBank: EF473971.1
68

Glick BR, Pasternak JJ. 1994. Molecular Biotechnology. Principles and


Applications of Recombinant DNA. Washington DC: ASM Press.
Hu H et al. 2004a. Yeast expression and DNA immunization of Hepatitis B virus
gene with second-loop deletion of α determinant region. Word J Gastroenterol
10:2989-2993.
Hu WG. Et al. 2004b. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant
Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1
region. Acta Biochim Biophys Sin 36(6): 397-404.
Jaoude AG., Sureau C. 2005. Role of the antigenic loop of the Hepatitis B virus
envelope proteins in infectivity of Hepatitis B delta virus. J Virol 79:10460-
10466.
Ji D et al. 2005. Study of transactivating effect of pre-S2 protein of Hepatitis B
virus and cloning of genes transactivated by pre-S2 protein with suppression
subtractive hybridization. World J Gastroenterol 11:5438-5443.
Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of Hepatitis B virus infection.
Indian J Med Microbiol 19:172-183.
Joung YH et al. 2004. Expression of the Hepatitis B surface S and preS2 antigens
in tubulers of Solanum tuberosum. Plant Cell Rep 22:925-930.
Kim SJ et al. 2003. Enhanced immunogenicity of DNA fusion vaccine encoding
secreted hepatitis B surface antigen and chemokine RANTES. Virology
314:84-91.
Kimura T et al. 2005. Hepatitis B virus DNA-negative Dane particles lack core
protein but contain a 22-kDa precore protein without C-terminal arginine-rich
domain. J Biol Biochem 280:21713-21719.
Koschorreck M, Fischer M, Barth S, Pleiss J. 2005. How to find soluble proteins:
a comprehensive analysis of alfa/beta hydrolases for recombinant expression in
E. coli. BMC Genom 6:1-10.
Kristensen J, Petersen HUS, Mortensen KK, Sorensen HP. 2005. Generation of
monoclonal antibodies for the assesment of protein purification by recombinant
ribosomal coupling. Int. J Biol Macromol 37:212-217.
Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi, Srinivas VA. Bapat. 2005. Expression of
Hepatitis B surface antigen in transgenic banana plants. Planta 222: 484-493.
Lewin B. 1990. Genes IV. Cell Press, Cambridge, Mass. Oxford University Press,
Walton Street, Oxford OX2 6DP.
Lippi G, Salvagno GL, Montagnana M, Guidi GC. 2007. Preparation of a quality
sample: Effect of centrifugation time on stat clinical chemistry testing. Lab
Med 38(3): 172-176.
Locarnini SA, Coulepis AG, Stratton AM, Kaldor J, Gust ID. 1979. Solid-phase
enzyme-linked immunosorbent assay for detection of hepatitis A specific
immunoglobulin M. J Clinic Microbiol 9:459-465.
Lok ASF, McMahon BJ. 2001. Chronic hepatitis B. Hepatology 34:1225-1241.
69

Lombardi A, Sperandei M, Cantale C, Giacomini P, Galeffi P. 2005. Functional


expression of a single-chain antibody specific or the HER2 human oncogene in
a bacterial reducing environment. Protein Expr Purif 44:10-15.
Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of Hepatitis B virus
in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242.
Maeng CY, Oh MS, Park IH, Hong HJ. 2001. Purification and structural analysis
of the Hepatitis B virus preS1 expressed from Escherichia coli. Biochem
Biophys Res Com 282:787-792.
Maruyama J et al. 2000. Production and product quality assessment of human
Hepatitis B virus pre-S2 antigen in submerged and solid-state culture of
Aspergillus oryzae. J Biosci Bioengineer 90:118-120.
Mason AL, Xu L, Guo L, Kuhns M, Perrillo RP. 1998. Molecular basis for
persistent hepatitis B virus infection in the liver after clearance of serum
hepatitis B surface antigen. Hepatology 27(6):1736-1742.
Milich DR, Roels GGL. 2003. Immunogenetics of the response to HBsAg
vaccination. Autoimmun Rev 2:248-257.
Muladno. 2002. Teknonologi Rekayasa Genetika. Bogor Baru: Pustaka Wirausaha
Muda. Bogor.
Muljono DH, Soemohardjo S. 2003. Hepatitis B Virus Molecular Diversity in
Indonesia. Di dalam: Marzuki S, Verhoef J, Snippe H, editor. Tropical
Deseases: From Molecule to Bedside.. London: Kluwer Academic/Plenum
Publisher. Hlm 163-176.
Mulyanto et al. 1997. Distribution of the Hepatitis B surface HBsAg100 subtypes
in Indonesia: Implications for ethic heterogeneity and infection control
measures. Arch Virol 142:2121-2129.
Mulyanto et al. 2002. Hepatitis B seroprevalence among children in Mataram,
Indonesia: following a seven-year mass immunization program. Report
meeting of the US-Japan cooperative medical science program asian region
collaboration research project 2001, Sanghai.
Nurainy N, Muljono DH, Sudoyo H, Marzuki S. 2008. Genetic study of hepatitis
B virus in Indonesia reveals a new subgenotype of genotype B in East Nusa
Tenggara. J Arch Virol 153(6): 1057-1065.
Old RW, Primrose SB. 1989. Prinsip-prinsip Manipulasi Gen Pengantar
Rekayasa genetika. Edisi ke-4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penerjemah; Jakarta: UIP.
Terjemahan dari: Principles of Gen Manipulation.
Plotkin SA. 2005. Six revolution in vaccinology. Pediatric Infect Dis J 24:1-9.
Richter LJ, Thanavala Y, Arntzen CJ, Mason HS. 2000. Production of hepatitis B
surface antigen in transgenic plants for oral immunization. Nature 18:1167-
1171.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.
70

Sheu SY, Lo SJ. 1995. Deletion or alteration of hidrofobik amino acids at the first
and third transmembrane domains of Hepatitis B surface antigen enhances its
production in Escherichia coli. Gene 160:179-184.
Stannard LM. 1995. Hepatitis B Virus. http://web.uct.ac.za/depts/mmi/stannard/
emimages. html.
Soewignjo S, Mulyanto. 1984. Epidemiologi infeksi virus Hepatitis B di
Indonesia. Acta Medica Indones 15:215-230.
Thanavala Y. 1995. Novel approaches to development against HBV. J Biotechnol
44:67-73.
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press.
Surabaya
Vikis HG, Guan KL. 2000. Glutathione-S-Transferase-Fusion Based Assays for
Studying Protein-Protein Interaction. Di dalam: Methods in Molecular
Biology, vol. 261. Humana Press Inc. Totowa, NJ.
Wagner A, Denis F, Roges SR, Ratti VL, Alain S. 2004. Hepatitis B Virus
Genotypes. Immuno-anal Biol Special 19:330-342.
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Jilid 3, Cetakan 1. Bogor: M-Brio Press.
Winarno FG, Agustinah W. 2007. Pengantar Bioteknologi. Ed Revisi. Bogor: M-
Brio Press.
Wiryosuhanto SD, Sudradjat SD, editor. 1992. Aplikasi Bioteknologi Kesehatan
Hewan. Hasil Semiloka Bioteknologi Kesehatan Hewan di Bogor, 20-21
Oktober 1992. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.
Worman HJ. 2002. Hepatitis B. Columbia University Medical Center. Deseases of
the Liver/Howard J. Worman, M.D./hjw14@columbia.edu
Yamada T et al. 2001. Physicochemical and immunological characterization of
Hepatitis B virus envelope particles exclusively consisting of the entire L (pre-
S1+pre-S2+S) protein. Vaccine. J Virol 19:3154-3163.
Yamamoto H, Satoh T, Kiyohara T, Totsuka A, Moritsugu Y. 1997. Quantitation of
group-specific a antigen in Hepatitis B vaccines by anti-HBs/a monoclonal
antibody. Biologicals 25:373-380.
LAMPIRAN
73

Lampiran 1 Topologi dan peta fisik plasmid pGEM-T Easy

Sumber:

Diakses pada tanggal 13 Februari 2012 melalui:


http://www.promega.com/~/media/Files/Resources/Protocols/Technical%20Manu
als/0/pGEM-T%20and%20pGEM-
T%20Easy%20Vector%20Systems%20Protocol.ashx
74

Lampiran 2 Genom lengkap dari isolat virus hepatitis B”2059 Java”


75

Lampiran 2 (lanjutan)
76

Lampiran 2 (lanjutan)
77

Lampiran 2 (lanjutan)

Diterima melalui email dari Fak. Kedokteran UNRAM pada tanggal 2 April 2009

Lampiran 3 Program PCR yang berhasil digunakan untuk amplifikasi gen SR100
78

Lampiran 4 Topologi dan peta fisik plasmid pGEX-4T-2

Lampiran 4 (lanjutan)
79

Lampiran 5 Situs-situs pemotongan dan sekuen lengkap pGEX-4T-2


80

Lampiran 5 (lanjutan)
81

Lampiran 5 (lanjutan)
82

Lampiran 5 (lanjutan)

Diakses pada tanggal 12 Juni 2011 melalui:


http://www.gelifesciences.com/aptrix/upp00919.nsf/Content/2CA907CE4753D32
BC1257628001D394F/$file/28918445AB.pdf
83

Lampiran 6 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-5’

Lampiran 6 (lanjutan)
84

Lampiran 6 (lanjutan)

Lampiran 6 (lanjutan)
85

Lampiran 7 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-3’

Lampiran 7 (lanjutan)
86

Lampiran 7 (lanjutan)

Lampiran 7 (lanjutan)
87

Lampiran 8 Mesin Thermal Cycler untuk mengamplifikasi segmen DNA

Lampiran 9 Alat elektroforesis untuk memisahkan segmen DNA


88

Lampiran 10 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein


berdasarkan berat molekulnya (tampak depan)

Lampiran 11 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein


berdasarkan berat molekulya (tampak atas)
89

Lampiran 12 Kelompok kandang mencit dalam penelitian

Lampiran 13 Keadaan mencit di dalam kandang percobaan


90

Lampiran 14 Proses mencampur HBsAg100-GST dengan Freund’s Adjuvant


sebagai bahan vaksin

Lampiran 15 Menyiapkan mencit untuk vaksinasi


91

Lampiran 16 Proses vaksinasi terhadap mencit sedang berlangsung

Lampiran 17 Pengambilan darah mencit melalui ujung ekor


92

Lampiran 18 Hasil elisa dalam penentuan konsentrasi serum mencit untuk


menguji antigenisitas protein rekombinan HBsAg100-GST

Lampiran 19 Mesin Elisa Photoreader yang digunakan untuk membaca hasil elisa
93

Lampiran 20 Printer yang terhubung dengan Mesin Elisa

Lampiran 21 Data hasil pembacaan optikal densiti (OD) terhadap serum mencit
yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan
vaksinasi HBsAg100-GST (kelompok A) dan GST (kelompok B)

S-ar putea să vă placă și