Sunteți pe pagina 1din 27

ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING DENGAN MATERIAL FLOW

COST ACCOUNTING: STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM


AKTIVITAS PRODUKSI UMKM

Disusun oleh:
Ahmad Maulana Syarif
Novita

UNIVERSITAS TRILOGI
JAKARTA
2017

1 | Page
Environmental Management Accounting dengan Material Flow
Cost Accounting: Strategi Pengelolaan Lingkungan dalam
Aktivitas Produksi UMKM
Ahmad Maulana Syarif1
ahmadms1003@gmail.com
Novita2
novita_1210@trilogi.ac.id
1
Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Humaniora, Universitas Trilogi, Jakarta
2
Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Humaniora, Universitas Trilogi, Jakarta

ABSTRACT

One form of SMEs existing in Indonesia is SMEs tofu. The existence of SMEs tofu is
economically very beneficial. On the other side SMEs tofu produce waste production which negatively
affect environment. Waste production is not just happening at end of production process, but it can
begin in use of raw materials and energy during production process. The efforts that can be used by
applying Environmental Management Accounting (EMA) with Material Flow Cost Accounting
(MFCA). EMA provides overview about information related activities of environmental management
quality, while MFCA provides overview about information related use of raw materials and energy
either physical units or monetary units. Secondly such information useful for management decision-
making process. How to implement EMA with MFCA that is by identifying the costs associated with
environmental activities and management in use of raw materials and energy. The purpose of this
research is to analyze activities of related environmental costs that occur and how to manage use of
raw materials and energy in production process. Research methods used are observation, interview
and documentation. While methods of analysis research data using qualitative descriptive analysis i.e.
describing object examined through data collected to produce a generally accepted conclusion. Based
on data retrieved explains that activities related to environmental management in tofu production
process has not been made optimally. This impact on cost of environmental management has not been
presented in environmental quality cost report which is divided into four types, namely prevention cost,
detection cost, internal failure cost, and external failure cost. The results of analysis in this research is
environmental quality cost report that are used as consideration in management decisions related to
waste management as well as increased production practices related use of raw materials and energy
in production process as an effort to reduce material loss and minimize negative impact to environment.

KEYWORDS – waste production, Environmental Management Accounting, Material Flow Cost


Accounting, raw materials and energy, environmental management

1. PENDAHULUAN
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor usaha yang
memberikan kontribusi signifikan dalam aktivitas ekonomi di Indonesia. Hal ini dibuktikan
berdasarkan data dari Kementerian Koperasi & UKM tahun 2013 bahwa pelaku usaha di
Indonesia masih didominasi oleh UMKM yakni sebesar 99,99% dari keseluruhan unit usaha
atau sebesar 57.895.721 unit usaha yang terdiri dari 57.189.393 unit usaha mikro, 654.222 unit
usaha kecil dan 52.106 unit usaha menengah. Dalam menjalankan kegiatan usaha, baik pelaku
usaha berskala besar maupun UMKM tanpa disadari menghasilkan limbah produksi yang

2 | Page
berdampak negatif bagi lingkungan. Limbah produksi tersebut tidak hanya terjadi pada akhir
proses produksi, namun dapat juga bermula dari penggunaan bahan baku dan energi selama
proses produksi berlangsung. Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah
melalui kementerian, dinas terkait, maupun pemerhati lingkungan baik lembaga maupun
individu agaknya belum menghasilkan sesuatu yang sangat signifikan untuk mengurangi
permasalahan lingkungan ini.
Dalam melakukan aktivitas produksinya, pelaku usaha seringkali mengabaikan setiap
tahapan dari proses produksi sehingga tanpa disadari terjadi ketidakefisienan dan material loss
(kerugian material) seperti terbuangnya bahan baku pada saat proses input dan pemborosan
energi yang menjadi limbah perusahaan. Hal tersebut dikarenakan mereka menganggap
aktivitas yang terjadi ini bukan merupakan biaya yang signifikan dan mempengaruhi biaya atas
produk yang dihasilkan. Pada kenyataannya ketidakefisienan ini membuat perusahaan
menanggung biaya-biaya yang seharusnya tidak mereka keluarkan dan membebankannya ke
dalam biaya atas produk yang dihasilkan sehingga dapat menurunkan income yang seharusnya
mereka dapatkan.
Indonesia memiliki beragam bentuk pelaku usaha yang tergolong dalam sektor
UMKM, salah satunya adalah UMKM tahu. Saat ini industri tahu tidak hanya berbentuk
industri rumah tangga (home industry) yang dilakukan oleh perorangan, namun sudah
berkembang menjadi besar sehingga menjadi perusahaan yang cukup terkenal di Indonesia.
Keberadaan industri ini secara ekonomi cukup menguntungkan khususnya bagi pengrajin dan
pedagang tahu. Demikian pula ditinjau dari segi gizi masyarakat, industri tahu turut menunjang
ketersediaan pangan nabati yang dibutuhkan untuk kesehatan masyarakat. Di sisi lain
pencemaran pun dapat terjadi karena pembuangan limbah dari industri tahu tersebut yang
belum mempunyai unit pemanfaatan dan pengolahan lebih lanjut. Pemanfaatan dan pengolahan
lebih lanjut limbah tersebut dapat melibatkan tiga unsur yang dikenal dengan 3R yaitu reuse,
reduce, dan recycle serta berpotensi meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Menurut Haryanto (2010) perusahaan memerlukan sistem akuntansi lingkungan
sebagai kontrol terhadap tanggung jawab perusahaan, sebab pengelolaan limbah yang
dilakukan oleh perusahaan memerlukan pengukuran, penilaian, pengungkapan dan pelaporan
biaya pengelolaan limbah dari hasil kegiatan operasional perusahaan. Sistem Environmental
Management Accounting (EMA) dengan Material Flow Cost Accounting (MFCA) merupakan
sistem yang dibutuhkan perusahaan atau industri dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam sistem EMA dengan MFCA, perusahaan harus mempertimbangkan masalah yang
berfokus pada kurang efisiennya proses produksi serta menggambarkan input dan output
3 | Page
penggunaan bahan baku dan energi dalam satuan fisik dan moneter sehingga memberikan
pandangan pada perusahaan akan material loss yang terjadi pada arus bahan baku dan
penggunaan energi dalam produk serta menyajikan aktivitas-aktivitas terkait pengelolaan
lingkungan dalam aktivitas produksi sebagai bahan pertimbangan manajemen dalam proses
pengambilan keputusan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis aktivitas-aktivitas terkait biaya
pengelolaan lingkungan yang terjadi dan cara mengelola penggunaan bahan baku dan energi
dalam proses produksi tahu yang dihasilkan melalui perancangan dan penerapan
Environmental Management Accounting dengan Material Flow Cost Accounting. Dengan
demikian penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi pabrik tahu Sungkono sebagai objek
penelitian serta setiap pelaku usaha baik pelaku usaha UMKM atau usaha besar untuk
menggunakan bahan baku dan energi secara optimal sehingga tidak terjadi kerugian material
dan memberikan informasi terkait aktivitas-aktivitas yang dilakukan perusahaan terkait
pengelolaan lingkungan dalam aktivitas produksi dalam upaya meminimalisir dampak negatif
bagi lingkungan.
2. TINJAUAN LITERATUR
2.1 Definisi Environmental Management Accounting
Environmental Management Accounting (EMA) merupakan salah satu sub sistem
dari akuntansi lingkungan yang menjelaskan sejumlah persoalan mengenai persoalan
penguantifikasian dampak-dampak bisnis perusahaan ke dalam sejumlah unit moneter dan
non moneter (Rustika dan Pratiwi, 2011). Sementara Ikhsan (2009) mengemukakan bahwa
konsep EMA digunakan untuk melakukan pemonitoran dan pengevaluasian informasi yang
terukur dari keuangan maupun akuntansi manajemen (dalam unit moneter) serta arus data
tentang bahan baku dan energi yang saling berhubungan secara timbal balik guna
meningkatkan efisiensi pemanfaatan bahan-bahan baku maupun energi, mengurangi
dampak lingkungan dari operasi perusahaan, produk-produk dan jasa, mengurangi risiko-
risiko lingkungan dan memperbaiki hasil-hasil dari manajemen perusahaan.
2.2 Manfaat dan Keuntungan Environmental Management Accounting
Menurut Guide to Corporate Environmental Cost Management (2003) dalam IFAC
(2005), manfaat dan keuntungan EMA terdiri atas:
a. Kepatuhan (Compliance)
Pada bagian compliance atau kepatuhan, EMA bermanfaat untuk mendukung
perlindungan lingkungan melalui kepatuhan terhadap regulasi lingkungan secara
internal.
4 | Page
b. Eco-Efficiency
Pada bagian eco-efficiency, manfaat yang diberikan adalah berupa dukungan
secara simultan terhadap pengurangan biaya dan dampak lingkungan melalui
penggunaan energi, air, dan bahan material yang lebih efisien dalam proses dan
produk perusahaan.
c. Posisi Stratejik (Strategic Position)
Pada bagian posisi stratejik, manfaatnya adalah berupa dukungan dalam evaluasi
dan implementasi program yang ramah lingkungan dan efektif dalam hal biaya
untuk menjamin posisi strategis perusahaan pada jangka panjang.
2.3 Definisi Material Flow Cost Accounting
Material Flow Cost Accounting (MFCA) adalah alat manajemen yang dirancang
untuk mendukung pengelolaan lingkungan yang lebih baik, meningkatkan daya saing
perusahaan, dan mengembangkan teknik manufaktur yang lebih canggih. MFCA mengukur
limbah atau emisi dari setiap proses dan mengevaluasi mereka dalam hal pengurangan
biaya. MFCA akan menjadi alat yang mampu memecahkan masalah terkait dengan biaya
limbah industri dalam hal usaha pemotongan biaya produksi (Furukawa, 2008).
MFCA membuat kerugian material yang terlihat dengan mengidentifikasi limbah
dan hilangnya bahan, baik secara moneter dan fisik maupun hasil konversi mereka ke dalam
biaya produk positif dan biaya produk negatif (emisi). Menerapkan MFCA ke jalur
produksi memberikan gambaran yang jelas tentang masalah di pabrik. Perusahaan dapat
mengurangi limbah dan meningkatkan produktivitas material. Dengan demikian, MFCA
adalah alat manajemen yang mendukung hubungan antara lingkungan dan ekonomi.
2.4 Fungsi dan Manfaat Material Flow Cost Accounting
MFCA berfungsi sebagai alat yang membantu perusahaan menggambarkan secara
jelas aliran material bersamaan dengan penyajian alokasi biaya. Hasil dari MFCA
diharapkan dapat membantu organisasi membuat keputusan yang lebih komprehensif
dalam upaya optimalisasi proses produksi.
2.5 Perbedaan antara MFCA dan Conventional Cost Accounting
Dalam akuntansi biaya konvensional, biaya untuk menghasilkan “kerugian material”
dimasukkan sebagai bagian dari total biaya produksi. Di sisi lain pada penjelasan
sebelumnya, MFCA berfokus pada identifikasi dan membedakan antara biaya yang
berkaitan dengan “produk” dan “kerugian material”. Dengan cara ini, kerugian material
dievaluasi sebagai kerugian ekonomi yang mendorong manajemen mencari cara untuk
mengurangi kerugian material dan meningkatkan efisiensi usaha (APO, 2014).
5 | Page
Alhasil dalam MFCA, biaya produksi akan dipisahkan antara biaya produk dan biaya
kerugian material. Sedangkan dalam akuntansi biaya konvensional, yang menggabungkan
biaya produk dengan biaya kerugian material menjadi satu kesatuan, sehingga tidak
terdapat informasi mengenai alokasi biaya produksi yang sesungguhnya. Tabel 1 akan
menjelaskan perbedaan penyajian informasi tentang alokasi biaya produksi dalam MFCA
dan akuntansi biaya konvensional (satuan: USD).
2.6 Langkah-Langkah Implementasi Material Flow Cost Accounting
Asian Productivity Organization (APO) dalam Manual on Material Flow Cost
Accounting: ISO 14051 (2014), telah memfasilitasi lima langkah implementasi MFCA
yaitu sebagai berikut.
Langkah 1: Engaging Management and Determining Roles and Responsibilities
Proyek yang sukses biasanya diawali dari dukungan manajemen perusahaan,
tidak terkecuali dalam MFCA. Apabila manajemen perusahaan mengerti manfaat dari
MFCA dan kegunaannya dalam mencapai target lingkungan dan keuangan organisasi,
akan memudahkan komitmen dari seluruh bagian organisasi. Secara umum, manajemen
harus terlibat dalam semua tahap pelaksanaan MFCA dan dianjurkan agar proyek MFCA
dimulai dari dukungan agresif manajemen dan diikuti bottom-up approach on-site. Selain
itu, keberhasilan pelaksanaan MFCA membutuhkan kolaborasi di antara departemen
yang berbeda dalam perusahaan. Kolaborasi dibutuhkan karena berbagai sumber
informasi diperlukan untuk menyelesaikan analisis MFCA.
Langkah 2: Scope and Boundary of the Process and Establishing a Material Flow Model
Langkah berikutnya adalah penentuan batasan MFCA untuk memahami dengan
jelas skala aktivitas MFCA. Biasanya dianjurkan untuk berfokus pada produk tertentu
atau proses di awal, kemudian memperluas implementasi untuk produk lain. Batasan
dapat terbatas pada proses tunggal, beberapa proses, seluruh fasilitas, atau rantai pasokan.
Disarankan agar proses yang dipilih untuk pelaksanaan awal menjadi proses yang
memiliki dampak lingkungan dan ekonomi yang berpotensi signifikan. Setelah batasan
proses ditentukan, kemudian diklasifikasikan dalam pusat kuantitas menggunakan
informasi proses dan catatan pengadaan. Dalam MFCA, pusat kuantitas adalah bagian
dari proses ketika input dan output diukur dan pusat kuantitas mewakili bagian dari
proses ketika bahan baku diubah. Setelah menentukan batasan dan pusat kuantitas,
jangka waktu untuk pengumpulan data MFCA perlu ditentukan. MFCA tidak
menunjukkan berapa lama periode data harus dikumpulkan untuk dianalisis. Periode
analisis harus memungkinkan data yang akurat dikumpulkan serta meminimalkan
6 | Page
dampak setiap variasi proses yang signifikan yang dapat mempengaruhi keandalan dan
kegunaan data, seperti fluktuasi musiman.
Dalam MFCA, produksi, daur ulang, dan sistem lain diwakili model visual atau
model arus material yang menggambarkan batas MFCA dan beberapa pusat kuantitas,
tempat bahan baku digunakan atau diubah, serta pergerakan bahan baku di antara pusat-
pusat kuantitas. Model aliran material berguna untuk memberikan gambaran tentang
seluruh proses dan mengidentifikasi titik-titik tempat kerugian material terjadi.
Langkah 3: Cost Allocation
MFCA membagi biaya ke dalam kategori berikut ini.
a) Biaya bahan baku, yakni biaya untuk seluruh input bahan baku material yang masuk
ke pusat kuantitas.
b) Biaya energi, yakni biaya untuk listrik, bahan bakar, uap, panas, dan udara
terkompresi.
c) Biaya sistem, yakni biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan pemeliharaan, serta
biaya transportasi.
d) Biaya pengelolaan limbah, yakni biaya limbah penanganan yang dihasilkan di pusat
kuantitas.
Biaya bahan baku, biaya energi, dan biaya sistem dialokasikan untuk produk
ataupun kerugian material pada setiap pusat kuantitas berdasarkan proporsi input bahan
baku yang mengalir ke dalam produk dan kerugian material. Biaya bahan baku untuk
setiap input dan output aliran yang diukur dan dihitung dengan mengalikan jumlah fisik
dari aliran material dengan biaya unit material selama periode waktu yang dipilih untuk
dianalisis.
Berbeda dengan alokasi biaya output positif dan output negatif, bahan baku,
alokasi biaya energi, dan biaya sistem untuk output positif dan output negatif secara
proporsional ditentukan mengikuti persentase output positif dan output negatif pada
penggunaan bahan baku karena sulit menentukan secara pasti biaya yang teralokasikan
pada output positif dan output negatif dalam penggunaan energi dan sistem. Berikut ini
disajikan rumus perhitungan persentase output positif dan output negatif bahan baku.
Persentase output positif bahan baku:
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢
𝑥 100%
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢+𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢

Persentase output negatif bahan baku:


𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢
𝑥 100%
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢+𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢

7 | Page
Sedangkan untuk biaya pengelolaan limbah, 100% berasal dari biaya yang
berkaitan dengan kerugian material.
Langkah 4: Interpreting and Communicating MFCA Results
Pelaksanaan MFCA memberikan informasi, seperti kerugian material selama
proses berlangsung, penggunaan bahan baku yang tidak menjadi produk, biaya energi,
dan biaya sistem yang terkait dengan kerugian material. Informasi ini membawa
beberapa dampak dengan meningkatkan kesadaran operasional perusahaan. Manajer
yang sadar akan biaya yang berkaitan dengan kerugian material dapat mengidentifikasi
peluang meningkatkan efisiensi dalam penggunaan material serta meningkatkan kinerja
bisnis.
Melalui identifikasi masalah MFCA yang menyebabkan kerugian material,
perusahaan memiliki kesempatan mengidentifikasi kerugian ekonomi yang dihasilkan,
yang biasanya diabaikan ketika hanya mengandalkan akuntansi biaya konvensional.
Kuantifikasi fisik dan moneter dari aliran material bisa diringkas dalam format yang
sesuai untuk interpretasi lebih lanjut, misalnya dalam aliran matriks biaya. Tabel 2
menggambarkan format matriks biaya arus material.
Secara umum, review dan interpretasi data diringkas akan memungkinkan
perusahaan mengidentifikasi pusat-pusat kuantitas dengan kerugian material yang
memiliki dampak lingkungan atau keuangan yang signifikan. Pusat kuantitas tersebut
bisa dianalisis secara lebih rinci (yaitu akar penyebab kerugian material).
Setelah analisis MFCA selesai, hasilnya harus dikomunikasikan kepada semua
pihak terkait. Selain itu, manajemen dapat menggunakan informasi MFCA untuk
mendukung berbagai jenis keputusan yang bertujuan meningkatkan kinerja lingkungan
dan keuangan. Mengkomunikasikan hasil kepada karyawan perusahaan dapat berguna
dalam menjelaskan proses atau perubahan bahan baku perusahaan dan mendapatkan
komitmen penuh dari seluruh organ perusahaan.
Langkah 5: Improving Production Practices and Reducing Material Loss Through
MFCA Results
Setelah analisis MFCA membantu perusahaan memahami biaya yang terkait
dengan kerugian material, organisasi dapat meninjau data MFCA dan mencari peluang
meningkatkan kinerja lingkungan dan keuangan. Langkah-langkah yang diambil untuk
mencapai perbaikan ini dapat mencakup substitusi bahan; modifikasi proses, lini
produksi, atau produk; serta kegiatan penelitian dan pengembangan yang berkaitan
dengan efisiensi bahan material dan energi. MFCA menyajikan target akhir untuk
8 | Page
manajer perusahaan yaitu “biaya kerugian material bernilai nol” atau zero waste, yang
dapat mendorong perusahaan membuat terobosan dalam pengakuan perlunya perbaikan
berkelanjutan.
2.7 Definisi Environmental Cost Accounting
Akuntansi lingkungan dalam Environmental Accounting Guidelines yang
dikeluarkan oleh menteri lingkungan Jepang dalam Meilanawati (2005) dinyatakan bahwa
akuntansi lingkungan mencakup tentang pengidentifikasian biaya dan manfaat dari
aktivitas konservasi lingkungan, penyediaan sarana atau cara terbaik melalui pengukuran
kuantitatif, serta untuk mendukung proses komunikasi yang bertujuan untuk mencapai
pembangunan yang berkelanjutan, memelihara hubungan yang menguntungkan dengan
komunitas dan meraih efektivitas dan efisiensi dari aktivitas konservasi lingkungan.
Dengan kata lain akuntansi biaya lingkungan merupakan proses mengidentifikasi, menilai
dan mengukur aspek penting dari kegiatan sosial ekonomi perusahaan dalam rangka
memelihara kualitas lingkungan hidup sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Sehingga perusahaan tidak bisa seenaknya untuk mengolah sumber daya tanpa
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.
2.8 Klasifikasi Biaya Lingkungan
Menurut Hansen & Mowen (2007), biaya lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi
empat kategori, yaitu:
a. Biaya pencegahan lingkungan (environmental prevention costs) adalah biaya-biaya
untuk aktivitas yang dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah dan/atau
sampah yang merusak lingkungan.
b. Biaya deteksi lingkungan (environmental detection costs) adalah biaya- biaya untuk
aktivitas yang dilakukan untuk menentukan bahwa produk, proses, dan aktivitas lain
di perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak.
c. Biaya kegagalan internal lingkungan (environmental internal failure costs) adalah
biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah dan
sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar. Jadi, biaya kegagalan internal
terjadi untuk menghilangkan dan mengolah limbah dan sampah ketika diproduksi.
Aktivitas kegagalan internal memiliki salah satu dari dua tujuan berikut :
1. Untuk memastikan limbah dan sampah yang diproduksi tidak dibuang ke
lingkungan luar.
2. Untuk mengurangi tingkat limbah yang dibuat sehingga jumlahnya tidak
melewati standar lingkungan.
9 | Page
d. Biaya kegagalan eksternal lingkungan (environmental external failure costs) adalah
biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan setelah melepas limbah atau sampah ke
dalam lingkungan. Biaya kegagalan eksternal dibagi menjadi dua, yakni biaya
kegagalan eksternal yang direalisasi (realized external failure costs) dan biaya
kegagalan eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external failure costs).
3. METODOLOGI PENELITIAN
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pabrik tahu Sungkono yang
merupakan salah satu industri rumah tangga di Sentra Produksi Tempe Tahu PRIMKOPTI,
Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2016. Sampel penelitian yang
digunakan adalah proses produksi tahu pada pabrik tahu Sungkono. Adapun metode
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1) Wawancara
Wawancara adalah cara atau teknik untuk mendapatkan informasi atau data dari
interviewee atau responden dengan wawancara secara langsung face to face antara
interviewer dan interviewee (Soewadji, 2012). Wawancara dilakukan dengan pemilik dan
karyawan pabrik yang terkait.
2) Pengamatan Langsung
Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dengan observasi. Alat
pengumpulan datanya adalah panduan observasi, sedangkan sumber data bisa berupa
benda, kondisi, situasi, proses tertentu bahkan perilaku orang tertentu (Soewadji, 2012).
Pengamatan dilakukan pada proses produksi untuk mengetahui input dan output pada
arus material bahan baku dan energi yang digunakan.
3) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
dokumen-dokumen sumber terpercaya yang mengetahui tentang narasumber.
Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari
seseorang (Sugiyono, 2013). Dokumentasi yang dilakukan peneliti merupakan
pengumpulan data dari dokumentasi terkait dengan proses produksi tahu.
Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Berikut adalah tahapan analisis data terkait permasalahan dalam penelitian ini, yakni
sebagai berikut.
1) Tahap Pertama: Perancangan dan Penerapan Material Flow Cost Accounting (MFCA)
a. Langkah 1: Menentukan peran serta tanggung jawab pemilik dan karyawan pabrik
dalam implementasi MFCA
10 | Page
b. Langkah 2: Menentukan ruang lingkup dan batasan dari proses produksi serta
membangun model arus material
c. Langkah 3: Menentukan alokasi biaya
d. Langkah 4: Menafsirkan dan menginterpretasikan hasil MFCA
e. Langkah 5: Memberikan alternatif optimalisasi proses produksi dalam penggunaan
bahan baku dan energi melalui hasil MFCA
2) Tahap Kedua: Perancangan dan Penerapan Environmental Cost Accounting (ECA)
a. Langkah 1: Mengidentifikasi Aktivitas dan Biaya-Biaya Lingkungan
b. Langkah 2: Mengklasifikasi dan Mengukur Biaya-Biaya Lingkungan
c. Langkah 3: Menyajikan dan Mengungkapkan Biaya-Biaya Lingkungan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam hasil dan pembahasan ini menyajikan tahapan implementasi dalam perancangan
dan penerapan Environmental Management Accounting dengan Material Flow Cost
Accounting pada proses produksi pabrik tahu Sungkono yang dilakukan dengan dua tahap,
yakni sebagai berikut.
Tahap Pertama: Material Flow Cost Accounting
Langkah 1: Menentukan Peran serta Tanggung Jawab Pemilik dan Karyawan Pabrik dalam
Implementasi MFCA
Langkah awal dalam mengimplementasi MFCA pada pabrik tahu Sungkono adalah
melakukan koordinasi dan komunikasi kepada pemilik atau pengrajin beserta para karyawan
pabrik yang terlibat dalam proses produksi untuk membangun pemahaman atas manfaat dan
kegunaan dari penerapan MFCA dalam optimalisasi proses produksi sebagai upaya
meminimalisir dampak negatif produksi yang dihasilkan terhadap pencemaran lingkungan
sekitar pabrik. Hal ini bertujuan juga untuk membangun komitmen serta tanggung jawab
antara pemilik dan karyawan pabrik yang terlibat.
Setelah itu, hal yang dilakukan selanjutnya adalah memberikan peran dan membentuk
tim implementasi MFCA. Dalam pembentukan tim ini, pemilik pabrik yaitu bapak Sungkono
akan berperan sebagai pemimpin tim implementasi MFCA. Pemilihan pemilik pabrik sebagai
pemimpin tim bertujuan agar anggota tim merasa termotivasi karena tidak hanya karyawan
yang terlibat namun pemilik pun ikut andil dalam implementasi MFCA ini sehingga dalam
menjalankan perannya para anggota akan lebih maksimal. Tugas dan tanggung jawab dari
pemimpin tim implementasi MFCA adalah memberikan informasi dan pelatihan dasar kepada
karyawan pabrik serta membimbing dalam pelaksanaan MFCA. Langkah berikutnya adalah
menentukan peran bagi setiap karyawan pabrik untuk berperan sebagai koordinator yang
11 | Page
terlibat sesuai dengan keahlian yang diperlukan. Namun pabrik tahu Sungkono hanya
memiliki karyawan sebanyak 3 orang, sehingga dalam implementasi ini memiliki
keterbatasan sumber daya manusia yang diperlukan dalam mendukung keberhasilan MFCA.
Pada Tabel 3 akan menjelaskan peran serta tanggung jawab dari koordinator yang dibutuhkan
oleh pabrik tahu Sungkono untuk keberhasilan pelaksanaan MFCA.
Langkah 2: Menentukan Ruang Lingkup dan Batasan dari Proses Produksi serta Membangun
Model Arus Material
Langkah kedua dalam implementasi MFCA adalah menentukan ruang lingkup dan
batasan dari proses produksi serta membangun model arus material. Ruang lingkup dan
batasan MFCA perlu ditentukan untuk memahami skala aktivitas pada tahap perancangan
MFCA. Untuk tahap perancangan MFCA kali ini, pabrik tahu Sungkono di Sentra Produksi
Tempe Tahu PRIMKOPTI Jakarta Selatan menentukan ruang lingkup pembahasan pada
produk tahu goreng yang dihasilkan serta batasan prosesnya hanya pada proses produksi tahu
goreng itu sendiri.
Setelah menentukan ruang lingkup dan batasan proses produksi dalam tahap
perancangan implementasi MFCA, tahap berikutnya adalah membangun atau membuat
model arus material. Dalam pembuatan model arus material, pusat kuantitas harus lebih dulu
ditentukan. Pusat kuantitas merupakan bagian dari proses ketika input dan output diukur
secara fisik. Pusat kuantitas mewakili bagian dari proses ketika bahan baku diubah. Maka dari
itu terdapat delapan pusat kuantitas yang terjadi pada proses produksi tahu ini, yaitu
perendaman, pencucian, penggilingan, perebusan, penyaringan, pengentalan, pencetakan dan
pemotongan, serta penggorengan. Berikut merupakan gambaran keseluruhan tahapan proses
produksi tahu beserta model arus materialnya yang akan digambarkan pada Gambar 1.
a) Proses perendaman kedelai. Pada proses ini, kedelai yang dibeli dari pihak supplier
yaitu PRIMKOPTI Jakarta Selatan direndam dengan air di dalam wadah besar khusus
perendaman kedelai yang terbuat dari besi dan plastik. Hal ini bertujuan untuk membuat
kedelai tersebut menjadi lunak dan mempermudah proses penggilingan kedelai
sehingga menghasilkan bubur kedelai yang kental. Selain itu, tahap perendaman ini
juga dapat membantu mengurangi jumlah zat antigizi (Antitripsin) yang ada pada
kedelai dimana zat antigizi tersebut dapat mengurangi daya cerna protein pada produk
tahu sehingga perlu diturunkan kadarnya.
b) Proses pencucian kedelai. Pada proses ini kedelai yang sudah direndam akan
dikeluarkan dan dipindahkan ke wadah plastik berukuran besar kemudian dicuci dengan
air mengalir. Hal ini bertujuan untuk membersihkan biji-biji kedelai dari kotoran-
12 | Page
kotoran agar tidak mengganggu proses penggilingan dan tercampur ke dalam adonan
tahu. Setelah selesai dicuci, kedelai ditiriskan dengan menggunakan saringan bambu
berukuran besar.
c) Proses penggilingan kedelai. Pada proses ini, kedelai mulai diolah menggunakan mesin
penggiling biji kedelai dengan tenaga penggerak mesin dari motor listrik. Tahap ini
bertujuan untuk memperoleh bubur kedelai yang kemudian akan diproses pada tahap
selanjutnya. Saat proses penggilingan sebaiknya dialiri air untuk mendapatkan
kekentalan bubur kedelai yang diinginkan.
d) Proses perebusan bubur kedelai. Setelah diperoleh hasil bubur kedelai maka proses
selanjutnya adalah perebusan bubur kedelai tersebut yang dilakukan di dalam wadah
besar yang terbuat dari besi dengan saluran pipa pemanas uap yang terdapat di bagian
atas wadah menjulur hingga ke dalam wadah. Uap pemanas tersebut berasal dari ketel
uap (boiler) yang ada pada bagian belakang lokasi proses pembuatan tahu dan dialirkan
melalui saluran pipa besi. Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber panas ketel uap
adalah bahan bakar gas. Proses ini bertujuan untuk mendenaturasi protein dari kedelai
sehingga protein mudah terkoagulasi saat penambahan air asam. Titik akhir proses
perebusan bubur kedelai ini ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung panas di
dalam wadah.
e) Proses penyaringan sari kedelai. Tahapan selanjutnya setelah bubur kedelai direbus,
maka dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Penyaringan
dilakukan secara terus-menerus dengan air yang ditambahkan di bagian tepi saringan
agar tidak ada padatan yang tersisa di saringan. Penambahan air diakhiri ketika sari
kedelai (filtrate) yang dihasilkan sudah mencukupi kemudian saringan yang berisi
ampas diperas hingga benar-benar kering. Proses ini bertujuan untuk memisahkan
antara ampas atau limbah padat dari bubur kedelai dengan sari (filtrate) kedelai.
f) Proses pengentalan sari kedelai. Pada proses ini, sari putih kedelai (filtrate) seperti susu
yang dihasilkan dari proses penyaringan akan ditambahkan bahan pembantu yaitu air
asam serta bahan pengeras tahu (cioko) dalam jumlah tertentu. Fungsi penambahan ini
untuk mengendapkan dan menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi pemisahan
antara whey (lapisan atas) dengan endapan tahu (lapisan bawah). Endapan tahu tersebut
merupakan bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu.
g) Proses pencetakan dan pemotongan tahu. Setelah didapatkan endapan tahu dari proses
pengentalan sari kedelai, maka endapan tahu mulai dicetak sekaligus dipotong

13 | Page
menggunakan alat khusus cetakan tahu yang terbuat dari kayu dengan wadah terbuat
dari kayu juga.
h) Proses penggorengan tahu. Pada proses ini, tahu yang sudah dicetak dan dipotong akan
digoreng di wajan besar dengan minyak sehingga menghasilkan tahu dengan kulit
berwarna cokelat.
Pada setiap pusat kuantitas dalam proses produksi tahu yang ditunjukkan dalam
Gambar 1 ternyata memiliki output positif yang berupa produk akhir atau bagian dari produk
dan output negatif berupa limbah atau kerugian material yang dihasilkan dari penggunaan
bahan baku, energi dan sistem. Namun, karena perhitungan fisik output positif dan output
negatif dari beberapa penggunaan energi dan sistem mengalami beberapa kesulitan dalam
menentukannya secara jelas. Maka dari itu, penentuannya akan proporsional sesuai dengan
persentase output positif dan output negatif bahan baku produk yang akan dijelaskan pada
penentuan alokasi biaya.
Langkah 3: Menentukan Alokasi Biaya
Langkah ketiga dalam implementasi MFCA adalah menentukan alokasi biaya untuk
mendapatkan perhitungan secara moneter mengenai arus material yang menjadi produk dan
kerugian material. Dalam konsep MFCA, proses alokasi biaya diklasifikasikan menjadi
empat elemen, yaitu biaya bahan baku, biaya energi, biaya sistem, dan biaya pengolahan
limbah/disposal.
1. Proses alokasi biaya bahan baku
Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan produk tahu goreng
adalah kedelai. Sedangkan bahan baku tambahan dari produk tahu goreng ini adalah
air, air asam, bahan pengeras tahu (cioko) serta minyak goreng. Dalam perhitungan
alokasi biaya bahan baku, pabrik tahu mengukur alokasi biaya dengan mengalikan
jumlah fisik dari input material yang digunakan dengan biaya material per unit selama
periode waktu yang dipilih yaitu bulan November 2016.
Bahan baku yang diproses dalam tahapan produksi akan menghasilkan output
positif yang berupa produk akhir atau bagian dari produk. Dari bahan baku yang
diproses tersebut terdapat juga limbah produksi yang dihasilkan pada setiap tahapan
produksi yang dianggap sebagai output negatif atau kerugian material. Perhitungan
alokasi biaya untuk output positif dan output negatif yang dihasilkan adalah dengan
cara menghitung alokasi berdasarkan proporsional penggunaan bahan baku terhadap
keseluruhan input bahan baku yang digunakan. Pada Tabel 4 menyajikan ringkasan

14 | Page
perhitungan alokasi biaya input, output positif, dan output negatif dari penggunaan
bahan baku dalam setiap tahapan produksi.
2. Proses alokasi biaya energi
Dalam proses produksi tahu juga terdapat pemakaian energi dalam setiap
tahapan produksi, seperti kebutuhan energi untuk menggunakan mesin produksi,
sehingga alokasi biaya energi juga harus dilakukan guna mengetahui penggunaan dan
kerugian energi yang dihasilkan. Perhitungan alokasi untuk input energi dilakukan
dengan cara menghitung kebutuhan energi dan kebutuhan waktu yang digunakan pada
setiap tahapan produksi dikalikan biaya setiap energi.
Berbeda dengan proses alokasi biaya output positif dan output negatif bahan
baku, proses alokasi biaya energi untuk output positif dan output negatif secara
proporsional ditentukan mengikuti persentase output positif dan output negatif pada
penggunaan bahan baku. Hal ini terjadi karena sulit menentukan secara pasti biaya yang
teralokasikan pada output positif dan output negatif dalam penggunaan energi.
Perhitungan alokasi biaya untuk output positif dan output negatif dari energi yang
dihasilkan adalah dengan cara menghitung alokasi berdasarkan persentase penggunaan
bahan baku terhadap keseluruhan input bahan baku yang digunakan lalu dikalikan
dengan alokasi biaya input energi. Pada Tabel 5 akan menjelaskan ringkasan
perhitungan alokasi biaya input, output positif, dan output negatif dari penggunaan
energi dalam setiap tahapan produksi.
3. Proses alokasi biaya sistem
Setiap tahapan produksi tidak akan berjalan apabila tidak terdapat sistem yang
menjalankan proses produksi tersebut, seperti operator atau tenaga kerja. Karena itu,
alokasi biaya sistem dalam proses produksi juga perlu dilakukan guna mengetahui
penggunaan dan kerugian yang dihasilkan dari biaya sistem. Perhitungan alokasi untuk
input sistem dilakukan dengan cara menghitung kebutuhan kebutuhan waktu dan
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap tahapan produksi dikalikan upah
tenaga kerja sesuai dengan waktu jam kerjanya, yaitu dalam satu hari mencapai delapan
jam kerja.
Perhitungan alokasi biaya output positif dan output negatif pada sistem secara
proporsional ditentukan mengikuti persentase output positif dan output negatif pada
penggunaan bahan baku terhadap keseluruhan input bahan baku yang digunakan lalu
dikalikan dengan alokasi biaya input sistem, yang sama dengan perhitungan alokasi
biaya output positif dan negatif pada energi. Pada Tabel 6 akan menjelaskan ringkasan
15 | Page
perhitungan alokasi biaya input, output positif, dan output negatif dari penggunaan
sistem dalam setiap tahapan produksi.
4. Proses alokasi biaya pengolahan limbah/disposal
Berdasarkan hasil wawancara dengan pabrik tahu Sungkono, diketahui
pengolahan limbah yang dikeluarkan pabrik sebesar Rp500.000 per hari untuk
keseluruhan produksi tahu. Pengolahan limbah yang dimaksud seperti tempat
pembuangan dan penyimpanan limbah padat tahu yakni kedelai yang rusak dan ampas
tahu. Biaya pengolahan limbah ini keseluruhannya dialokasikan 100% sebagai output
negatif.
Langkah 4: Menafsirkan dan Menginterpretasikan Hasil MFCA
Setelah menentukan alokasi seluruh biaya yang terkait dengan proses produksi tahu,
langkah keempat adalah menafsirkan dan menginterpretasikan hasil MFCA dengan
menyiapkan matriks aliran biaya. Semua biaya diklasifikasikan sebagai bagian dari produk
atau kerugian material. Adapun tujuan utama dari matriks aliran biaya ini adalah memberikan
hasil analisis MFCA dalam format tabel yang mudah untuk dipahami dan dimengerti seluruh
pihak dan organisasi. Pada Tabel 7 menyajikan matriks aliran biaya yang terjadi pada proses
produksi pabrik tahu Sungkono.
Berdasarkan analisis yang telah dibuat, persentase output positif dan output negatif
yang terjadi dalam penggunaan bahan baku selama proses produksi tahu adalah 89,09% dan
10,91%, sedangkan persentase output positif dan output negatif yang terjadi dalam
penggunaan energi selama proses produksi adalah 86,48% dan 13,52%. Lalu persentase
output positif dan output negatif yang terjadi dalam penggunaan sistem selama proses
produksi adalah 91,33% dan 8,67%, sedangkan dalam pengolahan limbah dialokasikan
seluruhnya atau 100% ke dalam output negatif sehingga tidak terdapat output positif yang
dihasilkan dari pengolahan limbah ini.
Pada matriks aliran biaya, terlihat kerugian material yang masih dihasilkan pabrik tahu
Sungkono terkait dengan proses produksi tahu sebesar 15,01% atau senilai Rp1.679.980.
Kerugian material tersebut menunjukkan bahwa dalam setiap tahapan produksi yang
dilakukan pabrik masih kurang efisien dan masih perlu diadakannya perbaikan berkelanjutan
sebagai upaya optimalisasi proses produksi. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk
mencapai perbaikan berkelanjutan ini mencakup subtitusi penggunaan bahan baku dan energi,
modifikasi atau rekayasa nilai proses, serta kegiatan penelitian dan pengembangan yang
berkaitan dengan efisiensi bahan baku dan energi.

16 | Page
Langkah 5: Alternatif Optimalisasi Proses Produksi dalam Penggunaan Bahan Baku dan
Energi
Pada langkah kelima ini, peneliti melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak
pabrik tahu terutama pemilik pabrik yaitu bapak Sungkono untuk memberikan beberapa
alternatif sebagai upaya optimalisasi proses produksi tahu dalam hal biaya bahan baku dan
energi serta biaya produksi. Berdasarkan wawancara dengan pihak pabrik, pabrik tahu
Sungkono sudah melakukan pengolahan limbahnya seperti menjual limbah padat tahu yaitu
ampas tahu ke pihak ketiga yang digunakan sebagai pakan ternak dan menyediakan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cair tahu agar air yang dibuang oleh
pabrik tidak tercemar sehingga mampu mengurangi biaya output negatif pabrik tersebut.
Namun pengolahan tersebut belum dilakukan secara maksimal karena masih memiliki output
negatif lainnya yang belum dimanfaatkan dan dioptimalkan agar biaya produksi pabrik
berkurang. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan beberapa rekomendasi dan
solusi yang dapat diterapkan oleh pabrik tahu Sungkono sehingga biaya output negatif dapat
diminimalisir, antara lain:
a. Waste Water Treatment (Penyaringan Air Limbah Tahu), dimana hal ini bertujuan
untuk mengoptimalisasi air limbah tahu yang berasal dari proses perendaman dan
pencucian kedelai sehingga mengurangi biaya produksi terkait energi air yang
digunakan.
b. Pemanfaatan Ampas Tahu menjadi Kerupuk, dimana hal ini bertujuan untuk mengolah
kembali limbah padat tahu yakni ampas tahu melalui proses pengeringan dan
penjemuran menjadi produk olahan sampingan yang baru sehingga mampu
meningkatkan pendapatan perusahaan dibandingkan langsung dijual ke pihak ketiga.
Tahap Kedua: Environmental Cost Accounting
Langkah 1: Mengidentifikasi Aktivitas dan Biaya-Biaya Lingkungan
Langkah pertama dalam menentukan Environmental Cost Accounting (ECA) pada
pabrik tahu Sungkono adalah mengidentifikasi aktivitas-aktivitas pengelolaan lingkungan
yang muncul dalam proses produksi tahu dan mengidentifikasi biaya-biaya yang timbul dari
aktivitas-aktivitas tersebut. Berikut ini merupakan aktivitas-aktivitas pengelolaan lingkungan
yang muncul selama proses produksi tahu dalam pabrik tahu Sungkono.
1. Pengelolaan Limbah Cair Tahu
Limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik tahu Sungkono adalah cairan sisa hasil
perendaman kedelai, pencucian kedelai, perebusan bubur kedelai, pengentalan sari
kedelai dan cairan sisa tahu yang tidak terjual. Dari limbah cair yang dihasilkan tersebut,
17 | Page
terdapat limbah cair yang sudah dikelola dengan baik dengan adanya sistem filterisasi
IPAL yang dimiliki pabrik sehingga air yang keluar dan mengalir ke sungai bahkan ke
luar pabrik menjadi steril dan bersih serta tidak menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan khususnya masyarakat. Selain itu cairan sisa tahu yang tidak terjual pada hari
sebelumnya mampu menghasilkan air asam dan digunakan kembali (reuse) oleh pabrik
tersebut menjadi bahan baku tambahan bagi produk tahu yang dihasilkan sehingga pabrik
tidak perlu membeli air asam untuk keperluan produksi dan menambah biaya produksi.
Aset tetap yang digunakan dalam mendukung aktivitas ini adalah pipa sanitasi air serta
bak fiber dan drum plastik/tong untuk kebutuhan alat penyaringan air bersih (waste water
treatment).
2. Pengelolaan Limbah Padat Tahu
Sedangkan limbah padat yang dihasilkan oleh pabrik tahu Sungkono adalah hasil
sisa perasan bubur kedelai dalam proses penyaringan yang biasa disebut ampas tahu.
Ampas tahu ini mempunyai sifat cepat basi dan berbau tidak sedap kalau tidak segera
ditangani dengan cepat. Dari limbah padat yang dihasilkan tersebut, pabrik sudah
melakukan pengelolaan dengan menjualnya ke pihak ketiga untuk dijadikan sebagai
pakan ternak. Namun terdapat pengelolaan lainnya yang dapat dilakukan oleh pabrik
untuk meningkatkan pendapatan pabrik, antara lain mengolah ampas tahu tersebut untuk
dijadikan berbagai produk olahan makanan seperti kerupuk ampas tahu, tempe gembus,
tempe bongkrek, tepung ampas tahu, nugget tahu, kecap ampas tahu, dan masih banyak
yang lainnya. Aset tetap yang digunakan dalam mendukung aktivitas ini adalah gudang
untuk kebutuhan penyimpanan limbah padat tahu.
3. Pengelolaan Limbah Gas Pabrik
Selain itu, terdapat limbah gas yang dihasilkan oleh pabrik tahu Sungkono adalah
asap dan uap dari proses perebusan bubur kedelai dan mesin produksi tahu. Untuk
mengurangi limbah gas tersebut, pabrik tahu Sungkono dapat melakukan filterisasi
sebelum gas tersebut dilepaskan ke luar pabrik. Hal ini dilakukan agar udara di luar
pabrik menjadi steril dan tidak tercemar. Aset tetap yang digunakan dalam mendukung
aktivitas ini adalah alat filterisasi udara.
4. Sertifikasi dan Pemeliharaan Peralatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Kegiatan selanjutnya yang dilakukan oleh pabrik tahu Sungkono ini adalah
melakukan sertifikasi dan pemeliharan peralatan IPAL, dan kegiatan ini dilakukan oleh
Pengelola Sentra Produksi Tempe Tahu PRIMKOPTI Jakarta Selatan. Namun, kegiatan
pemeliharaan seperti pengecekan sampah yang menumpuk di pipa saluran air limbah
18 | Page
tidak dilakukan secara rutin oleh pihak pengelola pabrik. Pihak pengelola hanya
bertindak ketika terdapat kerusakan pada pipa saluran dan mesin IPAL yang digunakan
dalam pengelolaan lingkungan tersebut. Aset tetap yang digunakan dalam mendukung
aktivitas ini adalah peralatan IPAL.
Setelah mengidentifikasi aktivitas-aktivitas lingkungan yang muncul dalam proses
produksi pabrik tahu Sungkono dan menentukan aset tetap yang dibutuhkan dalam
mendukung setiap aktivitas tersebut, tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi biaya-biaya
lingkungan yang timbul dari aktivitas tersebut. Pada Tabel 8 akan menunjukkan biaya-biaya
yang timbul dari aktivitas-aktivitas lingkungan selama proses produksi tahu dalam pabrik
tahu Sungkono.
Tabel 8. Rincian Biaya-Biaya dari Aktivitas Lingkungan
Item Biaya Lingkungan
- Biaya zat kimia
- Biaya depresiasi pipa sanitasi air
- Biaya pemeliharaan pipa sanitasi air
1. Pengelolaan limbah cair tahu
- Biaya depresiasi bak fiber
- Biaya depresiasi drum plastik/tong
- Biaya pemeliharaan alat penyaringan air bersih
- Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah cair tahu
- Biaya penampungan dan penyimpanan limbah padat
tahu
2. Pengelolaan limbah padat tahu
- Biaya depresiasi gudang
- Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah padat
tahu
- Biaya depresiasi alat filterisasi udara
- Biaya pemeliharaan alat filterisasi udara
3. Pengelolaan limbah gas pabrik - Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah gas
pabrik
- Biaya listrik alat filterisasi udara
- Biaya depresiasi peralatan IPAL
4. Sertifikasi dan Pemeliharaan - Biaya pemeliharaan peralatan IPAL
Peralatan IPAL - Biaya upah tenaga kerja pemeliharaan IPAL
- Biaya sertifikasi lingkungan
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungkono PRIMKOPTI Jak-Sel, November 2016 (diolah)

Langkah 2: Mengklasifikasi dan Mengukur Biaya-Biaya Lingkungan


Langkah selanjutnya adalah melakukan pengklasifikasian dan pengukuran biaya-biaya
lingkungan ke dalam empat kategori biaya kualitas lingkungan, yaitu biaya pencegahan, biaya
deteksi, biaya kegagalan internal, dan biaya kegagalan eksternal. Pada Tabel 9 akan
menyajikan perhitungan aset tetap dalam mendukung pengelolaan lingkungan dalam aktivitas
produksi tahu. Sedangkan dalam Tabel 10 akan menyajikan klasifikasi dan pengukuran biaya
lingkungan pabrik tahu Sungkono ke dalam empat kategori biaya kualitas lingkungan.

19 | Page
Tabel 9. Perhitungan Aset Tetap Pendukung Pengelolaan Lingkungan

Tabel 10. Klasifikasi dan Pengukuran Biaya Lingkungan (November 2016)


Komponen Jumlah Keterangan
Biaya Pencegahan Lingkungan
Dilakukan hanya dalam
- Biaya sertifikasi lingkungan Rp3.500.000,-
satu kali pembayaran
- Biaya listrik alat filterisasi udara Rp150.000,- Rp1.800.000 per tahun
- Biaya depresiasi pipa sanitasi air Rp102.400,-
- Biaya depresiasi alat filterisasi udara Rp200.000,-
- Biaya depresiasi gudang Rp62.500,-
- Biaya depresiasi bak fiber Rp41.667,-
- Biaya depresiasi drum plastik/tong Rp18.333,-
- Biaya depresiasi Peralatan IPAL Rp72.000,-
- Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah cair tahu Rp250.000,-
- Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah gas pabrik Rp250.000,-
- Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah padat tahu Rp250.000,-
- Biaya upah tenaga kerja pemeliharaan peralatan IPAL Rp300.000,-
Total Biaya Pencegahan Lingkungan Rp5.196.900,-
Biaya Deteksi Lingkungan
- -
Total Biaya Deteksi Lingkungan -
Biaya Kegagalan Internal Lingkungan
- Biaya zat kimia Rp2.500.000,- Karena air limbah tahu
yang dihasilkan dalam
jumlah banyak
- Biaya pemeliharaan pipa sanitasi air Rp125.000,-

- Biaya penampungan dan penyimpanan limbah padat Rp100.000,-


tahu
- Biaya pemeliharaan alat filterisasi udara Rp125.000,-
- Biaya pemeliharaan alat penyaringan air bersih Rp75.000,-
- Biaya pemeliharaan peralatan IPAL Rp150.000,-
Total Biaya Kegagalan Internal Lingkungan Rp3.075.000,-
Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan
- -
Total Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan -
Total Biaya Lingkungan Rp8.271.900,-
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungkono PRIMKOPTI Jak-Sel, November 2016 (diolah)
20 | Page
Langkah 3: Menyajikan dan Mengungkapkan Biaya-Biaya Lingkungan
Setelah melakukan pengidentifikasian aktivitas dan biaya serta mengklasifikasi dan
mengukur biaya lingkungan ke dalam biaya kualitas lingkungan, maka langkah ketiga adalah
melalukan penyajian dan pengungkapan biaya-biaya kualitas lingkungan tersebut ke dalam
laporan biaya lingkungan seperti yang disajikan pada Gambar 2.
Pabrik tahu Sungkono dapat melakukan penyajian dan pengungkapan alokasi biaya
lingkungan tersebut secara bersama-sama dengan biaya unit-unit lain yang serumpun.
Penyajian dan pengungkapan tersebut dilakukan bersama sebagai sub-sub biaya dalam akun
biaya pemeliharaan dan perawatan. Hal ini dilakukan karena biaya pengelolaan lingkungan
tersebut dianggap sebagai bagian dari sarana penunjang proses produksi tahu sehingga tidak
perlu melakukan penyajian secara khusus. Sehingga alokasi biaya lingkungan yang dijadikan
sebagai biaya pemeliharaan dan perawatan dihitung dalam laporan laba rugi (income
statement) dan dapat mengurangi pendapatan operasional pabrik.

UMKM Tahu Sungkono


Laporan Biaya Lingkungan
Untuk Bulan yang Berakhir pada 30 November 2016

Biaya Lingkungan Persentase


Biaya Pencegahan Lingkungan
Biaya sertifikasi lingkungan Rp 3,500,000
Biaya listrik alat filterisasi udara Rp 150,000
Biaya depresiasi pipa sanitasi air Rp 102,400
Biaya depresiasi alat filterisasi udara Rp 200,000
Biaya depresiasi gudang Rp 62,500
Biaya depresiasi bak fiber Rp 41,667
Biaya depresiasi drum plastik/tong Rp 18,333
Biaya depresiasi peralatan IPAL Rp 72,000
Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah cair tahu Rp 250,000
Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah padat tahu Rp 250,000
Biaya upah tenaga kerja pengelolaan limbah gas pabrik Rp 250,000
Biaya upah tenaga kerja pemeliharaan peralatan IPAL Rp 300,000 Rp 5,196,900 62.83%
Biaya Deteksi Lingkungan Rp - 0%
Biaya Kegagalan Internal Lingkungan
Biaya zat kimia Rp 2,500,000
Biaya pemeliharaan pipa sanitasi air Rp 125,000
Biaya penampungan dan penyimpanan limbah padat tahu Rp 100,000
Biaya pemeliharaan alat filterisasi udara Rp 125,000
Biaya pemeliharaan alat penyaringan bersih Rp 75,000
Biaya pemeliharaan peralatan IPAL Rp 150,000 Rp 3,075,000 37.17%
Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan Rp - 0%
Jumlah Biaya Kualitas Lingkungan Rp 8,271,900 100%

Gambar 2. Laporan Biaya Kualitas Lingkungan


Sumber: Wawancara dengan Pabrik Tahu Sungkono di PRIMKOPTI Jak-Sel, 2016 (diolah)

21 | Page
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, diperoleh informasi bahwa biaya bahan
baku yang menjadi output positif (produk akhir) sebesar 89,09% dan output negatif
(limbah/kerugain material) dari biaya bahan baku sebesar 10,91%. Sedangkan biaya energi
yang digunakan dalm proses produksi tahu yang menjadi output positif (produk akhir) sebesar
86,48% dan output negatif (limbah/kerugain material) dari biaya energi sebesar 13,52%. Lalu
biaya sistem berupa tenaga kerja yang menjalankan setiap proses produksi yang menjadi output
positif (produk akhir) sebesar 91,33% dan output negatif (limbah/kerugain material) dari biaya
sistem sebesar 8,67%. Selain itu, biaya pengolahan limbah/disposal yang dikeluarkan pabrik
tahu sepenuhnya sebesar 100% menjadi output negatif (limbah.kerugian material). Dari
keseluruhan total biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam memproduksi tahu yaitu
Rp11.192.882, yang merupakan biaya produksi yang sebenarnya adalah sebesar Rp9.512.902
atau 84,99% sedangkan perusahaan mengalami kerugian material sebesar Rp1.679.980 atau
15,01%. Dapat disimpulkan bahwa pabrik tahu Sungkono masih belum melakukan penggunaan
bahan baku dan energi dalam proses produksi secara optimal walaupun masih dalam atas
kewajaran yang normal. Selain itu aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh pabrik tahu
Sungkono terkait pengelolaan lingkungan belum teridentifikasi dan tersaji dalam laporan biaya
kualitas lingkungan guna mengetahui biaya-biaya lingkungan yang mampu diminimalisir dan
dilakukan perbaikan.
Dengan demikian, konsep Environmental Management Accounting dengan Material
Flow Cost Accounting mampu memberikan manfaat yang besar bagi pabrik tahu Sungkono
baik dalam meningkatkan transparansi aktivitas terkait pengelolaan lingkungan dalam proses
produksi maupun dalam meningkatkan praktik produksi dalam aliran material berupa bahan
baku, energi, dan sistem yang mempengaruhi proses produksi secara fisik dan moneter serta
dikonversikan ke dalam bagian produk atau kerugian material untuk dilakukan perbaikan
berkelanjutan agar dapat mengurangi biaya produksi dan meminimalisir dampak negatif
lingkungan.

REFERENSI:
Agustia. 2010. “Pelaporan Biaya Lingkungan Sebagai Alat Bantu bagi Pengambilan Keputusan
yang Berkaitan dengan Pengelolaan Lingkungan”. AKRUAL Jurnal Akuntansi.
Asian Productivity Organization (APO). 2014. Manual on Material Flow Cost Accounting:
ISO 14051. Japan.
Cahyandito, M. Fani. 2009. Environmental Management Accounting (EMA). Bandung:
Universitas padjajaran.

22 | Page
Chairunnisa, A. 2016. Perancangan Material Flow Cost Accounting (MFCA) dalam Upaya
Efisiensi Penggunaan Bahan Baku dan Energi. Program Sarjana Ekonomi: Skripsi
Tidak Diterbitkan.
Chang, et al. 2015. “Material Flow Cost Accounting System for Decision Making: The Case
pf Taiwan SME in the Metal Processing Industry”. Asian Journal of Finance &
Accounting.
Furukawa, Y. 2008. Material Flow Cost Accounting. Japan.
Hansen, Don R. and Mowen, Maryanne M. 2007. Managerial Accounting. 8th edition. South-
Western, USA: Thomson Learning.
Haryanto, Widiari. 2010. Analisis Penerapan Akuntansi Lingkungan di RSU PKU
Muhamadiyah Yogyakarta. <URL:http://www.pustakaskripsi.com/analisa-penerapan-
akuntansi-lingkungan-1442.html>. [16 Desember 2016]
IFAC. 2005. International Guidelines on Environmental Management Accounting. New York:
International Federation of Accountants.
Ikhsan, Arfan. 2009. Akuntansi Manajemen Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kementrian Koperasi dan UKM. 2013. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah
(UMKM) dan Usaha Besar (UB), [Online] Tersedia: http://www.depkop.go.id/berita-
informasi/data-umkm/. [16 Desember 2016]
Meilanawati, R. 2013. “Analisis Pengungkapan Biaya Lingkungan (Environmental Costs) pada
PT. Semen Indonesia Persero, Tbk”. Universitas Negeri Surabaya
Ministry of Economy, Trade and Industry (METI). 2010. Material Flow Cost Accounting
MFCA Case Examples. Japan.
Pratiwi, Mega. 2011. Akuntansi Lingkungan sebagai Strategi Pengelolaan dan Pengungkapan
Tanggung Jawab Lingkungan pada Perusahaan Manufaktur. [online]. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
<URL:http://ejournal.unesa.ac.id/article/9131/57/article.pdf>.
Ramli dan Ismail. 2013. “Environmental Management Accounting Practices: A Survey of ISO
14001 Certified Malaysian Organizations”. Journal of Energy Technologies and
Policy.
Rustika, Novia. 2011. Analisis Pengaruh Penerapan Akuntansi Manajemen Lingkungan dan
Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdapat di Jawa Tengah). Skripsi, [online]. Semarang: UNDIP.
<URL:http://eprints.undip.ac.id>.
Schmidt and Nakajima, Material Flow Cost Accounting as an Approach to Improve Resource
Efficiency in Manufacturing Companies, International Resources Journal, 2013.
Schmidt,A., Hache, B., and Herold, F. 2013. “Material Flow Cost Accounting with Umberto”.
Jurnal IT Support for Material Flow Cost Accounting.
Setthasakko, W. 2010. “Barriers to the development of environmental management
accounting: An exploratory study of plup and paper companies in Thailand”. EuroMed
Journal of Business, 5(3), 315–331.
Soewadji, J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: CV Alfabeta Bandung.
________. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: CV Alfabeta Bandung.
Tanc, A., and Gokoglan, K. 2015. “The Impact of Environmental Accounting on Strategic
Management Accounting: A Research on Manufacturing Companies”. International
Journal of Economics and Financial Issues.
United Nations Division for Sustainable Development (UN DSD). 2001. Environmental
Management Accounting – Procedures and Principles. New York: United Nation.
23 | Page
LAMPIRAN

Tabel 1. Perbedaan antara MFCA dan Conventional Cost Accounting


MFCA Conventional Cost Accounting
Sales 15.000.000 Sales 15.000.000
Product Cost 3.000.000 Cost of Sales 4.500.000
Material Loss Cost 1.500.000 N/A N/A
Gross Profit 10.500.000 Gross Profit 10.500.000
Selling&Admin. Exp. 8.000.000 Selling&Admin. Exp. 8.000.000
Operating Profit 2.500.000 Operating Profit 2.500.000
Sumber: Asian Productivity Organization (APO), 2014

Tabel 2. Matriks Biaya Arus Material

Sumber: Ministry of Economy Trade and Industry, 2010

Tabel 3. Peran dan Tanggung Jawab Koordinator Pelaksanaan MFCA


Jumlah yang
No. Jabatan Tugas dan Tanggung Jawab
Dibutuhkan
Koordinator Operasional  Mengawasi aliran penggunaan bahan
1. 1
Produksi baku dan energi selama proses produksi
 Mengawasi dan memelihara penggunaan
mesin dan peralatan selama proses
produksi
 Mengawasi frekuensi produk cacat dan
Koordinator Kontrol Kualitas
2. 1 menjamin kualitas produk yang
dan Manajemen Lingkungan
dihasilkan
 Mengawasi limbah yang dihasilkan
selama proses produksi beserta cara
pengelolaannya
 Membuat dan menghitung biaya
3. Koordinator Akuntansi Biaya 1 produksi yang dikeluarkan pada setiap
tahapan produksi
Sumber: Asian Productivity Organization (APO), 2014 (diolah)

24 | Page
Tabel 4.4 Alokasi Biaya, Output Positif, dan Output Negatif Bahan Baku
Jumlah Harga Satuan Alokasi Biaya Jumlah Jumlah Biaya Output
Input Output Positif Persentase Biaya (Rp) Output Negatif Persentase
(Kg) (Rp) (Rp) (Kg) (Kg) Negatif (Rp)

A. Proses Perendaman Kedelai


Kedelai yang
1. Kedelai 200 7.500 1.500.000 Kedelai 174,5 87,25% 1.308.750 25,5 12,75% 191.250
Mengapung
Jumlah 200 1.500.000 1.308.750 191.250
B. Proses Pencucian Kedelai
Kedelai Rusak
1. Kedelai 174,5 7.500 1.308.750 Kedelai 139,5 79,94% 1.046.250 (Kualitas Tidak 35 20,06% 262.500
Bagus)
Jumlah 174,5 1.308.750 1.046.250 262.500
C. Proses Penggilingan Kedelai
1. Kedelai 139,5 7.500 1.046.250 Bubur Kedelai 136,3 1.022.250 Bubur Kedelai 3,2 24.000
97,71% 2,29%
2. Air* 35 250 8.750 (Kedelai dan Air) 34,2 8.550 Tersisa di Mesin 0,8 200
Jumlah 174,5 1.055.000 170,5 1.030.800 4 24.200
D. Proses Perebusan Bubur Kedelai
136,3 7.500 1.022.250 133,9 1.004.250 Bubur Kedelai yang 2,4 18.000
1. Bubur Kedelai Bubur Kedelai 98,24% Menempel dan 1,76%
34,2 250 8.550 33,6 8.400 Keluar Wadah 0,6 150
Jumlah 170,5 1.030.800 167,5 1.012.650 3 18.150
E. Proses Penyaringan Sari Kedelai
133,9 7.500 1.004.250 93,93 704.475 39,97 299.775
1. Bubur Kedelai Sari Kedelai 70,15% Ampas Tahu 29,85%
33,6 250 8.400 23,57 5.893 10,03 2.508
Jumlah 167,5 1.012.650 117,5 710.368 50 302.283
F. Proses Pengentalan Sari Kedeai
93,93 7.500 704.475 92,85 696.375 1,08 8.100
1. Sari Kedelai Sari Kedelai yang
23,57 250 5.893 23,3 5.825 0,27 68
Sari Kedelai 98,76% Menempel dan 1,24%
2. Air Asam 40 12.500 500.000 39,4 492.500 0,6 7.500
Keluar Wadah
3. Pengeras Tahu (Cioko) 0,16 60.000 9.600 0,15 9.000 0,01 600
Jumlah 157,66 1.219.968 155,7 1.203.700 1,96 16.268
G. Proses Pencetakan dan Pemotongan Tahu
92,85 7.500 696.375 89,23 669.225 3,62 27.150
23,3 250 5.825 22,39 5.598 Sari Kedelai dan 0,91 228
1. Sari Kedelai Tahu 96,10% 3,90%
39,4 12.500 492.500 37,86 473.250 Tahu yang Terbuang 1,54 19.250
0,15 60.000 9.000 0,14 8.400 0,01 600
Jumlah 155,7 1.203.700 149,62 1.156.473 6,08 47.228
H. Proses Penggorengan Tahu
89,23 7500 669.225 88,04 660.300 1,19 8.925

1. Tahu
22,39 250 5.598 22,09 5.523 Tahu yang Kurang 0,3 75
37,86 12.500 473.250 Tahu Goreng 37,36 89,72% 467.000 Sempurna dan Sisa 0,5 10,28% 6.250
0,14 60.000 8.400 0,13 7.800 Minyak Goreng 0,01 600
2. Minyak Goreng 45 12.000 540.000 27 324.000 18 216.000
Jumlah 194,62 1.696.473 174,62 1.464.623 20 231.850
Total 10.027.340 89% 8.933.613 11% 1.093.728
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungk ono PRIMKOPTI Jak -Sel, November 2016 (diolah)

25 | Page
Tabel 4.5 Alokasi Biaya, Output Positif, dan Output Negatif Energi
Harga
Energi yang Kebutuhan Kebutuhan Alokasi Persentase Biaya Output Persentase Biaya Output
Tahapan Produksi Satuan/jam
Dipakai Energi Waktu (menit) Biaya (Rp) Output Positif Positif (Rp) Output Negatif Negatif (Rp)
(Rp)
Perendaman Kedelai Air 120 liter 120 250 60.000 87,92% 52.750 12,08% 7.250
Pencucian Kedelai Air 270 liter 35 250 39.375 0% - 100% 39.375
Penggilingan Kedelai Listrik 1,1 kWh 75 2.000 2.750 97,71% 2.687 2,29% 63
Gas 50 Kg 6.500 325.000 98,24% 319.282 1,76% 5.718
Perebusan Bubur Kedelai 60
Air 75 liter 250 18.750 33,33% 6.250 66,67% 12.500
Penyaringan Sari Kedelai - - - - - - - - -
Pengentalan Sari Kedelai - - - - - - - - -
Pencetakan dan Pemotongan
- - - - - - - - -
Tahu
Penggorengan Tahu Gas 24 Kg 55 6.500 143.000 89,72% 128.305 10,28% 14.695
Total 588.875 86,48% 509.273 13,52% 79.602
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungkono PRIMKOPTI Jak-Sel, November 2016 (diolah)

Tabel 4.6 Alokasi Biaya, Output Positif, dan Output Negatif Sistem
Jumlah Persentase Persentase
Kebutuhan Alokasi Biaya Biaya Output Biaya Output
Tahapan Produksi Tenaga Upah/Hari (Rp) Output Positif Output Negatif
Waktu (menit) (Rp) Positif (Rp) Negatif (Rp)
Kerja Bahan Baku Bahan Baku

Perendaman Kedelai 1 120 40.000 10.000 87,25% 8.725 12,75% 1.275

Pencucian Kedelai 2 35 40.000 5.833 79,94% 4.663 20,06% 1.170

Penggilingan Kedelai 1 75 40.000 6.250 97,71% 6.107 2,29% 143

Perebusan Bubur Kedelai 1 60 40.000 5.000 98,24% 4.912 1,76% 88

Penyaringan Sari Kedelai 2 45 40.000 7.500 70,15% 5.261 29,85% 2.239

Pengentalan Sari Kedelai 1 90 40.000 7.500 98,76% 7.407 1,24% 93

Pencetakan dan
2 180 40.000 30.000 96,10% 28.829 3,90% 1.171
Pemotongan Tahu

Penggorengan Tahu 1 55 40.000 4.583 89,72% 4.112 10,28% 471

Total 76.667 91,33% 70.016 8,67% 6.651


Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungk ono PRIMKOPTI Jak -Sel, November 2016 (diolah)

26 | Page
Tabel 4.7 Matriks Aliran Biaya
Kerugian
Komponen Biaya Produk (Positif) Persentase Material Persentase
(Negatif)
Biaya Bahan Baku Rp 10,027,340 Rp 8,933,613 89.09% Rp 1,093,728 10.91%
Biaya Energi Rp 588,875 Rp 509,273 86.48% Rp 79,602 13.52%
Biaya Sistem Rp 76,667 Rp 70,016 91.33% Rp 6,651 8.67%
Biaya Pengolahan
Rp 500,000 Rp - 0% Rp 500,000 100%
Limbah
Total Biaya Rp11,192,882 Rp 9,512,902 84.99% Rp1,679,980 15.01%
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungkono PRIMKOPTI Jak-Sel, November 2016 (diolah)

Gambar 1. Model Arus Material Produksi Tahu Sungkono


Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungkono,2016 (diolah)

27 | Page

S-ar putea să vă placă și