Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
ABSTRACT
This study focused on lift net fishery activity on its boat carrier. The activity on this transports is the most dangerous
potential risk. The limited work area on the boat, with a large number of passengers and added weight of the quantity
of goods transported can cause a high chance of accidents. The condition is also exacerbated by the situation on
transports that no passenger uses safety equipment or personal protective equipment (PPE), and also the unavailability
of these equipment in the boat. The study were aimed to identify the potential hazard or risk during operating of the
bagan apung, and to identify the fishermen knowledge in working safety. The method used in this study is a case study
method on the potential for work accident in boat carrier and lift net in Palabuhanratu. Primary data were obtained by
interview through questionnaire. Secondary data were obtained through literature study concerning fishermen safety
occupational. Job Safety Analysis (JSA) was used to examine the working method and the potential hazard at every step
of the boat carrier and the bagan apung fishery activity. The result showed that, (1) based on Job Safety Analysis the
risk arising were categorized into 3 of accident which were not severe (88%), severe (12%) and very severe (0%); (2)
The fishermen having knowledge were categorized as good enough regarding occupational safety and procedures work
on a boat. However, lack of awareness of the relevant agencies and fishermen in the management and implementation
of work safety procedures in PPN Palabuhanratu had not been implemented properly.
ABSTRAK
Fokus perhatian pada penelitian ini adalah aktivitas perikanan bagan di atas kapal angkutnya. Aktivitas pada kapal
angkut inilah yang paling banyak memiliki potensi risiko berbahaya. Kecilnya area pada kapal angkut, dengan jumlah
penumpang yang banyak dan ditambah dengan berat jumlah barang yang diangkut tersebut dapat menyebabkan peluang
kecelakaan yang tinggi. Kondisi tersebut juga diperparah dengan situasi di atas kapal angkut yang tidak terdapat seorang
penumpang pun yang menggunakan alat keselamatan dan APD (Alat Perlindungan Diri), dan juga tidak tersedianya alat-
alat tersebut di dalam kapal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi risiko kerja pada kegiatan perikanan bagan
apung, dan mengidentifikasi pengetahuan nelayan bagan apung terhadap keselamatan kerja.. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode studi kasus pada potensi kecelakaan kerja di kapal angkut dan bagan apung di
Palabuhanratu. Data primer didapatkan dari hasil pengamatan langsung dan wawancara terhadap beberapa pihak terkait
dengan keselamatan kerja nelayan. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti literatur, dokumen serta arsip
yang ada pada instansi terkait. Pengolahan data dilakukan dengan analisis keselamatan kerja (Job Safety Analysis/JSA).
Hasil penelitian ini menunjukkan, (1) berdasarkan JSA diperoleh bahwa risiko yang timbul terbagi dalam 3 kategori
yakni kategori tidak parah (88%), parah (12%) dan sangat parah (0%); (2) nelayan bagan memiliki pengetahuan yang
dikategorikan cukup baik mengenai keselamatan kerja dan prosedur kerja di kapal.
Kata kunci: bagan apung, kapal angkut, keselamatan kerja, PPN Palabuhanratu
222 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Metode kuesioner yang digunakan. Hasil pengolahan
yang digunakan dalam penelitian ini data ini selanjutnya dijadikan bahan analisis.
adalah metode studi kasus pada potensi Analisis yang digunakan meliputi analisis
kecelakaan kerja di kapal angkut dan deskriptif terhadap unit penangkapan bagan
bagan apung di Palabuhanratu. Metode dan analisis keselamatan kerja (JSA) terkait
ini digunakan karena menurut beberapa keselamatan kerja nelayan bagan.
sumber, tingginya angka kecelakaan di laut
yang terjadi di Palabuhanratu tetapi banyak Analisis keselamatan kerja (Job Safety
yang tidak tercatat oleh instansi setempat Analysis – JSA)
atau tidak dilaporkan. Maka dari itu perlu
adanya sebuah studi secara langsung di JSA adalah suatu cara yang
lapangan untuk mengetahui potensi yang digunakan untuk memeriksa metode kerja
menyebabkan timbulnya kasus tersebut. dan menentukan bahaya yang sebelumnya
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, telah diabaikan dalam merencanakan
yaitu data primer dan data sekunder. Data pabrik atau gedung dan di dalam rancang
primer didapatkan dari hasil wawancara bangun mesin-mesin, alat-alat kerja,
menggunakan kuesioner terhadap beberapa material, lingkungan tempat kerja, dan
pihak terkait dengan keselamatan kerja proses aktivitas kerja (Soeripto 1997).
yaitu syahbandar, staf PPN Palabuhanratu, Proses kerja yang diterapkan pada JSA
polisi air, staf unit kesehatan nelayan, serta di dalam penelitian ini yaitu keselamatan
beberapa tokoh nelayan di sekitar PPN kerja nelayan pada aktivitas di atas kapal
Palabuhanratu. Data ini dilengkapi juga angkut dan aktivitas penangkapan pada alat
dengan pengamatan langsung aktivitas di tangkap bagan apung.
atas kapal angkut bagan sebanyak 3 kapal Langkah pekerjaan dicatat di kolom
dan operasi penangkapan ikan bagan apung sebelah kiri, potensi bahaya dituliskan pada
dengan cara mengikuti operasi penangkapan kolom tengah tabel, diberi nomor untuk
sebanyak 3 kali trip. Responden dalam mencocokkan dengan langkah pekerjaan,
penelitian ini adalah 30 orang nelayan bagan seperti disajikan padaTabel 1.
apung yang menggunakan 3 buah kapal Identifikasi risiko bahaya dimulai
angkut. Ketiga kapal tersebut juga menjadi dengan melakukan identifikasi seluruh
objek dalam penelitian ini. Data sekunder sumber bahaya pada area konsekuensi atau
merupakan data penunjang yang diperoleh dampak. Menyusun rutan aktivitas yang
dari berbagai sumber seperti literatur, benar saat melakukan sebuah identifikasi
dokumen serta arsip yang ada pada instansi dibutuhkan untuk memastikan bahwa
terkait. tidak ada area lain yang terlewatkan.
Objek yang digunakan dalam Seluruh aktivitas tersebut akan diperinci
penelitian ini adalah kapal angkut dan kembali dengan mengurutkan seluruh
bagan apung yang beroperasi di wilayah tahapan aktivitas dengan menuliskan
perairan Palabuhanratu, Sukabumi. Alat kegiatan kegiatan yang dilakukan pada
yang digunakan pada penelitian ini antara proses tahapan tersebut. Aktivitas tersebut
lain kuesioner, handycam, kamera digital, dijadikan sebagai dasar untuk menanyakan
perangkat komputer, alat tulis dan peralatan pertanyaan dengan cara yang imajinatif
lainnya yang digunakan dalam membantu tentang apa yang mungkin terjadi dan
pengumpulan data dan pengolahan data. bagaimana hal itu dapat terjadi sesuai
Data yang dikumpulkan diolah dengan kelas yang dibagi dalam kemungkinan dan
tabulasi dan perhitungan persentase konsekuensi dari kecelakaan (Cross 1998).
terhadap hasil jawaban nelayan pada Berikut disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN kapal dan lainnya yang belum dapat diduga
oleh kemampuan manusia dan akhirnya
Analisis keselamatan kerja (Job Safety menimbulkan gangguan pelayaran dari
Analysis – JSA) kapal.
Gangguan pelayaran pada dasarnya
Kapal, alat tangkap, dan nelayan dapat berupa gangguan yang dapat langsung
merupakan tiga faktor yang mendukung diatasi, bahkan perlu mendapatkan bantuan
keberhasilan suatu operasi penangkapan langsung dari pihak tertentu, atau gangguan
ikan. Aktivitas penangkapan ikan terutama yang mengakibatkan nahkoda dan seluruh
di laut adalah kegiatan yang berisiko tinggi, anak buah kapal harus terlibat baik untuk
sehingga kapal perikanan dapat menjadi mengatasi gangguan tersebut serta harus
lingkungan kerja yang memiliki potensi meninggalkan kapal. Keadaan gangguan
bahaya. Faktor keselamatan kapal maupun pelayaran tersebut sesuai dengan situasi
nelayan harus diperhatikan dan langkah- dapat dikelompokkan menjadi keadaan
langkah pencegahan harus dilakukan darurat yang didasarkan pada jenis kejadian
untuk meminimumkan atau bahkan itu sendiri, sehingga sebuah gangguan dalam
menghilangkan potensi risiko bahaya atau pelayaran secara garis besar dapat disusun
kecelakaan tersebut untuk menunjang menjadi tubrukan, kebakaran/ledakan,
kesuksesan suatu operasi penangkapan kandas, kebocoran/tenggelam, orang jatuh
ikan. Definisi kecelakaan adalah kejadian ke laut, dan pencemaran.
tidak terduga dan tidak diharapkan yang Keadaan darurat di kapal dapat
dapat menimbulkan cedera, cacat, bahkan merugikan nahkoda, anak buah kapal,
kematian sebagai akibat kecelakaan kerja pemilik kapal, dan lingkungan laut. Kondisi
(Suma’mur 1995). keadaan darurat perlu dipahami sebaik
Menurut Adi et al. (2008), kapal laut mungkin. Hal ini dapat ditempuh dengan
sebagai bangunan terapung yang bergerak memiliki kemampuan dasar untuk dapat
menggunakan daya dorong sebuah mesin mengidentifikasi tanda-tanda keadaan
pada kecepatan yang bervariasi untuk darurat agar situasi yang demikian dapat
melintasi berbagai daerah pelayaran diatasi oleh seluruh awak kapal maupun
dalam kurun waktu tertentu. Kapal dapat melakukan kerja sama dengan pihak-pihak
mengalami berbagai permasalahan yang yang terkait.
dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu Kapal angkut bagan apung yang
cuaca, keadaan alur pelayaran, manusia, diteliti melakukan pelayaran dimulai pukul
224 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
15.00 WIB untuk mengantar nelayan bagan berjumlah 10 orang yang merupakan
menuju bagan apung masing-masing. Waktu langganannya. Aktivitas bagan, secara urut
tempuh pelayaran selama 2-3 jam hingga disampaikan pada Tabel 4.
selesai mengantarkan seluruh nelayan
226 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
pemindahan bagan apung yaitu berupa tali alat bantu pengangkutan seperti katrol atau
tambat kapal yang berbahan PE berukuran lintasan pemindahan. Total urutan kegiatan
besar yang memiliki diameter sekitar 5 cm. pada aktivitas pemindahan (loading) ke
Tali PE berukuran besar ini berfungsi untuk alat tangkap bagan apung terdapat 2
menaikkan jangkar bagan dan menarik kegiatan dengan 6 potensi bahaya. Kategori
bagan hingga ke daerah penangkapan yang kecelakaannya terbagi atas 5 kategori
sesuai. Daerah penempatan bagan apung kecelakaan tidak parah dan 1 kategori
yang dipindahkan biasanya berdasarkan kecelakaan parah.
pada panjang jangkar yang dimiliki atau
terletak pada perairan dangkal atau di Persentase risiko kerja pada tahap pra
daerah teluk dengan kedalaman rata-rata operasi bagan apung
sekitar 10 m.
Kategori kecelakaan parah terdapat Tahap pra operasi bagan apung
pada kegiatan nomor 4 (empat) yaitu saat terdiri dari aktivitas persiapan di darat,
kapal menarik bagan apung ke daerah pemindahan (loading) barang ke atas
penangkapan. Terdapat dua potensi bahaya kapal angkut, berlayar menuju daerah
yang akan terjadi yakni kapal kehilangan penangkapan ikan (navigasi), pemindahan
arah serta kapal angkut atau bagan apung alat tangkap bagan ke daerah penangkapan
dapat terbalik/ tenggelam. Kejadian tersebut ikan (fishing ground) dengan kapal angkut,
dapat dicegah dengan solusikapal angkut hingga pemindahan (loading) barang ke
dilengkapi dengan GPS (Global Positioning alat tangkap bagan. Berdasarkan analisis
System) atau peta lokasi setempat, serta yang dilakukan dari aktivitas pada tahap
melakukan pemeriksaan rutin terkait pra operasi tersebut memiliki kategori
kondisi kapal angkut dan bagan apung. Total kecelakaan 86% tidak parah, 14% parah dan
urutan kegiatan pada aktivitas pemindahan untuk kategori sangat parah pada tahap ini
alat tangkap bagan ke daerah penangkapan tidak ada (Gambar 1). Hal ini menunjukkan
ikan (fishing ground) dengan kapal angkut bahwa aktivitas-aktivitas pada tahap pra
terdapat 4 kegiatan dengan 15 potensi operasi bagan apung masih dirasa kurang
bahaya. Kategori kecelakaannya terbagi aman, maka dari itu perlu adanya upaya
atas 13 kategori kecelakaan tidak parah dan untuk meningkatkan keselamatan kerja
2 kategori kecelakaan parah. pada aktivitas ini para ABK kapal angkut
bagan seharusnya menggunakan Alat
Pemindahan (loading) barang ke alat tangkap Pelindung Diri (APD) seperti sarung tangan,
bagan apung safety boots, dan lain lain.
Berdasarkan SOLAS (1974) terdapat
Tahap pemindahan perlengkapan peraturan yang mengatur mengenai semua
ke alat tangkap bagan apung merupakan peralatan yang digunakan oleh suatu
kegiatan yang dapat dikatakan berbahaya individu di tempat kerja untuk melindungi
dan sangat minim peralatan keselamatan. individu dari satu atau lebih risiko kesehatan
Nelayan yang telah sampai pada alat dan keselamatan. Peralatan dan bahan yang
tangkapnya akan berpindah ke atas bagan digunakan harus diperhatikan kelayakan
dengan membawa seluruh perlengkapan dan perawatannya, dimana peralatan
yang dibawanya yaitu genset, jirigen BBM, dan bahan yang akan digunakan sebagai
jirigen air tawar dan ember cat bekas yang alat pelindung diri merupakan penunjang
berisi lampu, perbekalan,dan lain-lain. keberhasilan aktivitas bagan apung untuk
Kategori kecelakaan parah terdapat menghasilkan hasil tangkapan yang optimal
pada kegiatan nomor 2 (dua) yaitu saat tanpa adanya risiko kecelakaan. Nelayan
pemindahan genset dan jirigen ke alat sebaiknya melengkapi dirinya dengan
tangkap bagan apung, dengan potensi perlengkapan perlindungan diri yang harus
bahaya mesin genset atau jirigen terjatuh lengkap mulai dari alat perlindungan kepala,
mengenai anggota tubuh. Kejadian tersebut sarung tangan, jas hujan (warepack), life
dapat dicegah dengan solusi menggunakan jacket dan sepatu.
228 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
Proses ini memiliki risiko bahaya seperti tidak parah, 8% parah dan 0% sangat parah
tangan ABK dapat terluka. (Gambar 2). Hal ini menunjukan bahwa
Kategori kecelakaan parah tidak aktivitas-aktivitas pada tahap operasi bagan
terdapat pada aktivitas pengangkatan jaring apung masih memiliki risiko bahaya yang
(hauling), namun memiliki potensi bahaya dapat mengganggu kesehatan nelayan.
dengan kemungkinan terjadi yang besar Aktivitas-aktivitas pada tahap
terdapat pada kegiatan nomor 1 dan 2 yaitu operasi bagan apung dirasa memiliki risiko
tangan terluka pada saat pengangkatan dan potensi bahaya yang tinggi karena
bingkai jaring dengan roller dan pengikatan pengoperasian alat tangkap bagan apung
jaring ke bagan. Kejadian tersebut dapat hanya dilakukan oleh 1-2 orang nelayan.
dicegah dengan solusi memakai APD berupa Penggunaan roller bambu sebagai alat bantu
sarung tangan. Total urutan kegiatan pada untuk menurunkan dan menaikkan bingkai
aktivitas pengangkatan jaring (hauling) jaring memang dapat mempermudah proses
terdapat 2 kegiatan dengan 8 potensi bahaya, penangkapan bagan apung, namun ukuran
dalam kategori kecelakaan seluruhnya roller bambu yang besar serta berat dalam
termasuk ke dalam kategori kecelakaan menarik jaring dapat menimbulkan risiko
tidak parah. sakit punggung serta tangan terluka. Apabila
hal ini terjadi maka nelayan bagan tidak akan
Persentase risiko kerja pada tahap operasi dapat melanjutkan aktivitas penangkapan
bagan apung atau membutuhkan waktu untuk
memulihkan kondisi tubuh untuk kembali
Tahap operasi bagan apung terdiri melanjutkan aktivitas. Penggunaan sarung
dari aktivitas persiapan alat tangkap, tangan sebagai APD dapat meminimumkan
pengoperasian alat tangkap, penurunan bahaya terluka dan memberikan sedikit
jaring (setting) dan pengangkatan jaring waktu istirahat (jeda) saat pengoperasian
(hauling). Berdasarkan analisis yang roller dapat meminimumkan beban pada
dilakukan dari aktivitas tahap operasi punggung.
tersebut memiliki kategori kecelakaan 92%
Gambar 2. Persentase risiko kerja pada tahap operasi bagan apung dari 9 kegiatan
230 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
3 analisis yang dilakukan dari aktivitas risiko kerjanya yaitu 88% tidak parah, 12 %
pada tahap pasca operasi tersebut memiliki parah dan 0% sangat parah.
kategori kecelakaan 88% tidak parah, Bahaya merupakan segala
12% parah, dan 0% sangat parah. Hal ini sesuatu yang mempunyai kemungkinan
menunjukkan aktivitas-aktivitas pada tahap mengakibatkan kerugian baik pada harta
pasca operasi bagan apung dirasa masih benda, lingkungan, maupun manusia
kurang aman karena memiliki risiko dan (Budiono 2003). Potensi bahaya yang ada
potensi kecelakaan yang membahayakan dalam operasi bagan apung mengarah
bagi nelayan bagan. kepada kecelakaan pribadi seperti tangan
terluka, tersandung, tergelincir dan yang
Total persentase risiko kerja pada aktivitas lainnya merupakan bahaya yang diakibatkan
bagan apung karena properti (barang) atau karena faktor
lingkungan kerja. Oleh karena itu dari
Total persentase risiko kerja pada seluruh potensi risiko bahaya yang ada maka
keseluruhan aktivitas bagan apung memiliki dapat dicegah dan diminimalkan dengan
kategori kecelakaan dari 115 kegiatan tidak penggunaan APD berupa sarung tangan,
parah, 16 kegiatan parah dan tidak ada warepack, life jacket, dan penggunaan
kegiatan yang berkategorikan sangat parah. sepatu atau alas kaki.
Gambar 4 menjelaskan, persentase dari
Gambar 3. Persentase risiko kerja pada tahap pasca operasi bagan apung dari 13 kegiatan
232 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
informasi dan adanya keterbatasan yang mesin kapal mati atau rusak akibat tidak
disampaikan oleh sistem peringatan dini adanya pengecekan mesin kapal secara
tersebut, seperti kurangnya kemampuan rutin. Selanjutnya potensi yang sering terjadi
nelayan untuk membaca informasi yang adalah tenggelam dan tubrukan. Kecelakaan
diberikan oleh papan informasi tersebut, kerja juga dikatakan memiliki potensi
kurangnya kepedulian nelayan untuk kecelakaan kerja yang tinggi karena seluruh
mendapatkan informasi tentang kondisi awak kapal termasuk juru mudi, ABK, serta
perairan dan cuaca, serta minimnya nelayan bagan yang ikut dalam pelayaran
informasi yang ditampilkan oleh papan kapal tidak melengkapi dirinya dengan APD
informasi tersebut karena terkadang berupa life jacket dan kapal angkut juga
informasi yang diberikan kurang akurat dan tidak dilengkapi dengan alat keselamatan
tidak selalu diperbaharui dengan kondisi yang seharusnya wajib dimiliki oleh kapal
terbaru. Alat keselamatan yang dibawa yang melakukan operasi di laut. Peralatan
oleh nelayan bagan apung hanyalah ember yang termasuk dalam safety equipment
kaleng cat bekas berisi perbekalan dan pada kapal yang di kemukakan oleh
peralatan melaut yang sekaligus berfungsi IMO (International Maritime Organization)
sebagai alat pelampung apabila terjadi pada tahun 1960 adalah dokumen
kecelakaan sehingga menyebabkan nelayan (documentation), peralatan navigasi (safety
tercebur ke laut. Selanjutnya hanya telepon of navigation), perlengkapan penyelamat jiwa
genggam yang digunakan sebagai alat (life saving appliances), pompa pemadam,
komunikasi utama karena jarak melaut hidran, selang dan alat pemadamm (fire
yang dirasa masih relatif dekat dan sinyal pumps, hydrants, hoses, and extinguishers),
telepon genggam masih menjangkau daerah perlengkapan pemadam kebakaran untuk
operasi bagan apung tersebut. ruang muat (fire appliances in cargo space),
Jenis kecelakaan yang pernah terjadi serta perlengkapan pemadam lain (other fire
di atas kapal angkut dan alat tangkap bagan appliances). Peralatan keselamatan yang
apung pada saat melaut di dominasi dengan digunakan nelayan adalah jirigen dan ban
kapal tenggelam, terbalik, hanyut, serta bekas yang digunakan sebagai pelampung
kecelakaan kerja. Kejadian kebakaran dan apabila terjadi kecelakaan pada kapal
tubrukan sangat jarang terjadi pada kapal angkut bagan.
angkut di sekitar Teluk Palabuhanratu. Menurut PP RI No.50 Th.2012 tentang
Gambar 5 menunjukkan hasil wawancara Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
kuesioner terhadap nelayan bagan apung di dan Kesehatan Kerja, K3 adalah segala
PPN Palabuhanratu, serta Gambar 6 sebagai kegiatan yang menjamin keselamatan
hasil wawancara terhadap juru mudi dan dan kesehatan tenaga kerja melalui
ABK kapal angkut bagan seputar jenis upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
kecelakaan yang sering terjadi di atas alat penyakit akibat kerja. Menciptakan sistem
tangkap bagan apung dan kapal angkut. keselamatan kerja tentunya harus didukung
Berdasarkan Gambar 5 terlihat oleh keterampilan dan pengetahuan yang
bahwa dari 30 responden nelayan terkait wajib dimiliki orang-orang yang terkait di
kecelakaan yang sering terjadi di bagan dalamnya. Gambar 7 menunjukkan hasil
apung di dapatkan kasus kecelakaan yang wawancara terhadap nelayan bagan apung di
sering terjadi ialah hanyutnya bagan apung PPN Palabuhanratu mengenai pengetahuan
yang disebabkan oleh putusnya tali jangkar tentang keselamatan kerja, pengetahuan
dan terkena badai saat musim barat. mengenai aturan keselamatan kerja,
Selanjutnya potensi kecelakaan yang sering pengetahuan akan pentingnya prosedur
terjadi adalah bagan tenggelam dikarenakan kerja di atas kapal, dan kesadaran nelayan
pelampung yang rusak atau kerangka akan keselamatan kerja.
bangunan bagan yang berbahan bambu Hasil wawancara yang disajikan
sudah mengalami pelapukan atau sudah pada Gambar 7 menunjukkan bahwa
melewati umur teknisnya. Kecelakaan nelayan yang memiliki pengetahuan
kerja pada saat pengoperasian bagan juga mengenai keselamatan kerja hanya sebesar
sering terjadi akibat kelalaian nelayan 30%, 37% nelayan sedikit mengetahui
yang tidak melengkapi dirinya dengan tentang keselamatan kerja dan 33% tidak
APD yang seharusnya digunakan untuk mengetahui mengenai keselamatan kerja.
meminimalkan risiko bahaya saat kerja. Adanya aturan mengenai keselamatan kerja
Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan hanya diketahui oleh 16% nelayan dan 27%
bahwa potensi kecelakaan yang sering sedikit tahu tentang aturan tersebut yang
terjadi adalah hanyut yang disebabkan oleh hanya sebatas mengetahui tetapi tidak
Gambar 5. Hasil wawancara terhadap nelayan terkait kecelakaan yang sering terjadi di
alat tangkap bagan apung (Sumber: Hasil Wawancara terhadap Nelayan)
Gambar 6. Hasil wawancara terhadap juru mudi dan ABK kapal terkait kecelakaan yang
sering terjadi di kapal angkut bagan (Sumber: Hasil Wawancara terhadap Juru
Mudi dan ABK Kapal Angkut (diolah))
234 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236
ISSN 2087-4871
236 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017: 221-236