Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Resensi Buku
Achmad Fedyani, 2015, Logika Antropologi:
Suatu Percakapan (Imajiner) Mengenai
Dasar Paradigma. Jakarta: Prenadamedia
Group. Jumlah halaman: viii + 306.
ISBN 978-602-1186-13-8.
sentralnya tokoh pencetus teori tersebut yang utama dalam kajian antropologi
dalam ilmu sosial budaya, misalkan hingga kebudayaan.
akhir 70-an ilmuwan antropologi tampak
sepakat bahwa struktural-fungsional adalah Pendekatan emik berarti bahwa peneliti
teori yang cukup kokoh, “digunakan” tanpa dalam memahami kebudayaan suatu
kembali dipertanyakan bukan hanya masyarakat harus berdasar pada pemahaman,
antropologi, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan penafsiran, dan pemaknaan dari orang-orang
sosial budaya lainnya. Namun demikian, yang ditelitinya, bukan sepenuhnya
pada suatu masa selanjutnya, bermunculan berdasarkan subjektivitas peneliti semata.
tokoh-tokoh lain yang kemudian meng- Inilah juga yang menyebabkan berbagai teori
gotong gagasan teorinya masing-masing dalam antropologi terus menerus mengalami
sebagai hasil kritik dari teori-teori yang telah perkembangan yang pesat hingga saat ini.
kokoh sebelumnya, misalkan Clifford Geertz Perdebatan teori bukan hal yang buruk dalam
yang membawa pengaruh bagi struktural- dunia ilmu pengetahuan. Justru perdebatan
fungsionalisme, simbolisme, dan interpretivis- dan dialog antarteori me-rupakan upaya untuk
me simbolik. Gejala ini mencerminkan bahwa menghindari state of the art yang statis. Dialog
dalam tiga dekade terakhir, dalam dunia dan saling koreksi antarteori tidak serta merta
antropologi telah terjadi dinamika yang bahwa sebuah pemikiran kemudian berakhir
intensif dalam pemikiran teori antropologi sama sekali. Kedudukan teori apapun tetap
sebagai akibat dari gejala perubahan. Gejala relevan dalam merespon (untuk meng-
perubahan tersebut menyebabkan teori-teori analisis) situasi masa kini, meskipun dalam
antropologi itu “saling berdialog” dan perjalanannya suatu teori mengalami pasang
masing-masing darinya kemudian melakukan surut dan perubahan di sana-sini.
“instropeksi diri”. Upaya tersebut tak lain Pemahaman mengenai suatu kebudayaan
adalah untuk mempertajam daya analisis adalah isu intelektual yang lebih mengedepan-
mereka dalam memasukkan gejala kan analisis, teori, dan pengem-bangan teori
perubahan pada tubuh teorinya. Inilah yang (Saifuddin, 2015:15).
disebut sebagai kemajuan internal dalam
Mari kita ambil contoh dalam buku ini untuk
paradigma (internal progression) oleh
menunjukkan dinamika dan dialog antarteori,
Thomas Kuhn (1978).
yaitu pada keterkaitan antara struktural-fung-
Perubahan juga terjadi dalam cara pandang sionalisme, orentasi positivisme, dan gejala
terhadap manusia: dari objek ke subjek. perubahan. Ada suatu pandangan yang
Pemosisian manusia sebagai subjek mem- menyatakan bahwa kebudayaan pada awalnya
bawa implikasi pada pengakuan atas diri berasal dari logika biologi. Pertama, cara
mereka secara utuh. Manusia dan masyarakat kerja otak yang dijelaskan secara biologis
tidak lagi cenderung dipandang sebagai mampu menghasilkan pemikiran mengenai
produk budaya, tetapi justru manusia adalah sistem nilai sosial budaya di masyarakat.
subjek yang aktif mengkonstruksi budaya Artinya, otak dan biologi menjadi “yang
mereka. Akibatnya budaya tidak lagi dilihat pertama”. Kedua, paradigma struktural-
sebagai unit analisis yang statik, tetapi fungsionalisme dalam konteks abad ke-20
dinamik. Implikasi yang tidak kalah penting (utamanya) hampir memandang sama antara
adalah perhatian pada gejala empirik. Jika analogi sosial budaya masyarakat dengan
hingga akhir 70-an jika seorang peneliti analogi tubuh manusia (biologi). Implikasi-
sosial budaya pergi ke lapangan dengan nya adalah struktur masyarakat dianggap
menggotong konsep dan teori mereka, maka sebagai sesuatu yang stabil. Jika ada satu
kini perhatian yang lebih utama adalah gejala gangguan pada satu unsur, maka kesatuan
sosial budaya yang ada di lapangan. Teori- unsur masyarakat itu akan terganggu. Ketika
teori tidak lagi berjauhan dengan kondisi berbicara mengenai biologi, tentu paradigma
empirik, melainkan saling mendekat. terkait adalah evolusi. Paradigma ini di satu
Pemikiran ini sejalan dengan Clifford Geertz sisi ditempatkan di suatu “lemari museum”,
(1973) dengan Pendekatan Emiknya sebagai namun di sisi lain evolusi terus menerus
diulang-ulang teorinya dan berlaku di ide dan gagasan karena kesemuanya itu telah
masyarakat nampaknya kurang memenuhi. terwujud dalam tindakan yang nyata. Titik
Seperti yang dikatakan di atas bahwa gejala inilah yang kemudian dikembangkan oleh
perubahan tidak lagi membuat logika evolusi Harris dalam pemikirannya mengenai
biologi menjadi sepenuhnya sejalan dengan kategori antara (intermediate category). Bagi
logika evolusi sosial budaya. Implikasi Harris, di antara ide atau gagasan dan
terhadap penelitian antropologi adalah tindakan nyata terdapat sebuah struktur yang
kenetralan. Kenetralan menjadi salah satu akomodatif. Kategori antara itulah yang
karakter ilmu pengetahuan yang objektif. disebutnya sebagai struktur yang meng-
Bergesernya objek ke subjek, etik ke emik, akomodasi konsep kebudayaan. Pendekatan
menjadikan penelitian-penelitian antropologi ini berpendapat bahwa kesadaran manusia
tampak menjauhi struktural-fungsional yang ditentukan oleh kondisi materi.
positivis sebab faktor interaksi menjadi
utama dalam hubungan antara informan dan Satu pelajaran lain kita dapat dari membaca
peneliti. bab mengenai simbol-struktur. Kita
mengenal Clifford Geertz sebagai tokoh
Materi-ide dan Simbol-struktur yang cukup sentral ketika memperbincang-
kan tentang simbol. Gagasannya tentang
Pada bab-bab berikutnya kita dapat belajar simbol (sekali lagi) tidak bisa dipandang
bahwa meskipun sebuah teori berkembang, sebagai “gagasan awal (sama sekali)” dan tidak
mengalami revisi karena kritik internal atau ada hubungannya dengan teori lain. Gagasan
eksternal, kita masih bisa mengenali suatu simbol dari Geertz sangat erat kaitannya
dominasi cara pandang tertentu yang origin dengan gagasan mengenai ritual. Sebagai
dalam tubuh teori tersebut. Hal tersebut contoh adalah tulisan Geertz (1960) The
dikarenakan bahwa seorang pengembang teori Religionof Java yang tidak jauh dari asal-usul
yang seakan-akan telah mencetuskan pemikiran kajian simbol agama di Eropa. Sebelum Geertz,
yang (sama sekali) baru, memiliki riwayat Victor Turner (1969) dan Arnold Van Gennep
keilmuan yang dipengaruhi oleh pemikiran (1960) menulis tentang inisiasi sebagai proses
teoresi-teoresi besar sebelumnya sehingga ritual. Geertz tidak berhenti pada konsep
teori-teori yang agaknya berdekatan dapat kita simbol, melainkan ia menawarkan pemikiran
baca dalam garis waktu sejarah teori-teori mengenai simbolisme-interpetif. Pendekatan
tersebut. Kita ambil contoh mengenai ini memandang pentingnya keberagaman
materi, materialisme, dan materialisme kebudayaan dan yang diburu bukanlah
kebudayaan. Berbicara soal materialisme universalitas dari keberagaman seperti teori-
dengan materi sebagai sentral, kita mengenal teori kognisi yang strukturalis, melainkan
nama Marvin Harris sebagai sentral. Marvin membicarakan kebudayaan berarti mem-
Harris tidak bisa dipandang sebagai satu- bicarakan keberagaman (Geertz, 1973).
satunya (dan yang pertama) dalam teori Pemikiran simbol-interpretif, seperti yang
materialisme. Dalam riwayatnya, Harris dilakukan Harris, adalah menengahi antara
tentu dipengaruhi oleh pemikiran material- yang ideal (budaya) dan aktual (sosial).
isme Karl Marx. Pengaruh yang besar itu Penengahan inilah yang diakomodasi dalam
tampak pada cara Harris mendefinisikan interpretasi.
kebudayaan yang berorientasi pada teknologi
dan ekonomi (Saifuddin, 2015:71). Menjadi contoh yang menarik ketika bab ini
diawali dengan kutipan dari buku Saya
Bagi Karl Marx, kehidupan manusia dan Shiraishi (2001) versi terjemahan Pahlawan-
masyarakat adalah satu-satunya yang nyata, pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam
berikut dengan materi. Tataran perilaku, bagi Politik yang menggambarkan seorang gadis
Marx, adalah satu-satunya unit analisis kecil bersama ibunya pada sebuah acara
karena merupakan wujud dari ide-ide. Dalam arisan di Jakarta. Gadis kecil yang akan
kata lain yang lebih sederhana, mengkaji mengambil permen merah, secara tiba-tiba
masyarakat tidak perlu berangkat dari konsep ibunya mengambilkan permen hijau dan
memasukkan permen itu ke mulut si gadis. lainkan orang-orang yang diteliti telah
Sontak gadis kecil itu membuang permen menyediakan jawaban untuk kita. Itulah
hijau dari mulutnya hingga jatuh ke lantai. mengapa pendekatan emik menjadi terobos-
Melihat peristiwa itu, ibu-ibu yang lain an yang penting bagi perkembangan
tertawa karena menganggap peristiwa itu antropologi di masa itu.
adalah peristiwa yang lucu.
Konflik: Dialog Lain Antarteori
Selain memperlihatkan tentang isu kepekaan
yang penting bagi kita, karena kejadian di Satu contoh lain dalam buku ini yang
atas barangkali oleh sesama peneliti dari menunjukkan suatu komunikasi antarteori
Indonesia dipandang sebagai kejadian yang adalah mengenai konflik. Teori-teori konflik
biasa saja, kejadian tersebut setidaknya (baik Marxian maupun non-Marxian) masih
menurut kacamata Geertz dapat dilihat erat kaitannya dengan paradigma struktural-
sebagai simbol yang mencerminkan sesuatu. fungsional, dan oleh karenanya juga tidak
Dalam hal ini, interpretasi peneliti menjadi serta merta bisa dilepaskan dari karakternya
penting dalam melihat setiap kejadian atau yang positivis. Seperti yang kita tahu bahwa
peristiwa bagi orang-orang yang ditelitinya. karakter konflik dan positivis yang tampak
Cerita di atas juga menjadi kutipan dalam menjadikan keduanya lekat adalah persoalan
tulisan refleksi mengenai simbol dalam buku dualisme. Konflik dan integrasi tampak
teks teori Antropologi Kontemporer (2005) menjadi dua sisi pada sebuah mata koin
yang juga ditulis oleh Saifuddin. Saifuddin dalam paradigma struktural-fungsional.
melihat kejadian jatuhnya permen hijau itu Paradigma-paradigma konflik (khususnya
secara interpretif dapat menggambarkan pola non-Marxian) yang cenderung struktural-
keluarga di Indonesia (lebih tepatnya di fungsional berorientasi pada keseimbangan.
Jakarta) yang cenderung otoritarian. Dalam hal ini segala sesuatu yang
memungkinkan terjadinya dinamika atau
Simbol bergerak bolak-balik antara ideal dan perubahan harus selalu dikontrol (sejalan
aktual seraya membawa makna-makna ber- dengan karakter positivis dalam struktural-
samanya. Proses bolak-balik itu tak lain fungsional yang cenderung meman-dang
adalah interpetasi atau penajaman interpetasi masyarakat sebagai objek). Teori konflik (non-
itu sendiri. Simbolisme-interpetif meman- Marxian) berkaitan dengan cara kita
dang penting pengumpulkan fakta dan data memandang perubahan sebagai gejala yang
emik di lapangan untuk kepentingan data itu berlangsung lambat, bertahap, dan
sendiri (Saifuddin, 2015:231). Simbol- evolusionistik. Konflik non-Marxian seringkali
simbol yang ada di lapangan, entah itu diasosiasikan dengan integrasi (sekaligus).
berupa ritual, bahasa, tarian, dan sebagainya Misalnya adalah contoh etnografi Clifford
adalah bahan untuk menjelaskan makna dari Geertz mengenai abangan, santri, dan priayi
simbol-simbol itu sendiri. Mengutip Dolgin, yang dalam waktu dan ruang yang sama,
Kemnitzer, dan Schneider (1977) bahwa ketiganya saling berkonflik sekaligus saling
kajian antropologi simbolik pada dasarnya terintegrasi. Pandangan terhadap konflik ini
adalah tentang bagaimana manusia dan lebih banyak disandarkan pada pemikiran
masyarakat mem-formulasikan realitas positivis karena objektivitas peneliti sangat
mereka. Pendekatan yang Geertzian ini juga tinggi memahami gejala konflik tersebut.
memperbincangkan kepentingannya dalam Peneliti mengamati dari jauh (berjarak
isu metodologi. Seperti yang dikatakan di dengan yang diamati) kemudian membuat
awal bahwa simbolik-interpretif bukanlah label-label. Seperti Geertz melabel bahwa
mencari universalitas atau generalisasi sebagian orang adalah santri, sebagian adalah
seperti yang cenderung dilakukan oleh priayi, dan yang lainnya adalah abangan. Oleh
pendekatan struktural-fungsional yang cen- karena itu munculah pendekatan konflik yang
derung dekat dengan ilmu alam. Ujung dari lebih “emik”, yaitu pendekatan konflik berbasis
pendekatan ini bukanlah menjawab per- kultural. Pendekatan ini semakin menguatkan
tanyaan yang diajukan oleh peneliti, me-
kritik terhadap pemikiran postivisme dalam memiliki pengetahuan dan nilai yang
kajian konflik. berbeda pula. Seperti yang diungkapkan di
atas bahwa perdebatan, saling kritik
Paradigma konflik berbasis kultural me- antarteori bukan merupakan suatu hal yang
nyiratkan bahwa memahami konflik yang buruk, melainkan membawa kemajuan bagi
tengah berlangsung perlu dipahami melalui teori itu sendiri (meminjam istilah Kuhn:
perspektif masyarakat yang bersangkutan. internal progress). Yang kurang arif adalah
Perspektif ini melahirkan konsep resistensi bahwa kita tidak menempatkan suatu teori pada
yang amat penting. Di dalam resistensi atau tempatnya. Artinya kita terlalu mendewakan
pendekatan konflik berbasis kultural, kita sebuah teori beserta tokoh-tokohnya sehingga
tidak serta merta dapat memberikan label- menilai bahwa teori dan tokoh lain dianggap
label kepada aktor-aktor. Kita tidak bisa tidak lebih mampu menganalisis kajiannya.
dengan tergesa-gesa menempatkan seseorang Percakapan antarteori tidak pernah berujung
dalam suatu kategori tertentu, mana kawan pada suatu theory melting pot, melainkan tetap
dan mana lawan. Dualisme tampaknya tidak ada dominasi suatu teori tertentu pada dialog
berjalan mudah (maksudnya tidak mudah antarteori tersebut. Satu hal yang pasti,
diamati, meskipun ada). Seseorang yang kita meskipun dunia bergerak ke arah yang
anggap sebagai kawan bisa saja seklaigus dia semakin dinamis, gejala perubahan dimana-
sebagai lawan. Pendekatan konflik berbasis mana, sehingga posisi kebudayaan menjadi
kultural juga menempatkan simbol-simbol “dibelakang” posisi kelakuan, bukan berarti
(utamanya dalam “perlawanan”) menjadi bahwa kita semestinya membuang jauh-jauh
penting. Pemaknaan simbol-simbol dalam teori-teori antropologi masa lalu, melainkan
konflik dan resistensi sangat fleksibel dan masih tetap relevan memperbincangkannya
multitafsir. Ini tentu tidak sejalan dengan dalam upaya melihat perkembangannya
positivisme yang tampak memberikan hingga masa kini. Itulah mengapa dalam
definisi atau interpretasi tunggal terhadap kuliah-kuliah teori antropologi di (hampir
suatu gejala. Paradigma konflik berbasis semua) departemen antropologi di dunia,
kultural ini tampaknya tidak melekatkan diri teori evolusi adalah materi pertama yang
pada struktural-fungsional melainkan lebih diberikan.
kepada simbolisme, yaitu memandang
kebudayaan sebagai sistem simbol yang
melekat pada kelakuan, gerak-gerik, dan
tindakan manusia yang empiris. Peneliti tidak M. Arief Wicaksono
berjarak dengan yang diamatinya. Program Studi Sarjana Antropologi
Paradigma simbolisme tentu menyiratkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
bahwa kelakuan, tindakan, atau gerak-gerik Universitas Indonesia – Depok
dalam konteks konflik kultural (resistensi)
merupakan simbol-simbol yang bermakna. ariefwicaksono.m@gmail.com
Refleksi
Refleksi yang dapat kita ambil dari buku
yang cukup penting ini adalah bahwa sebagai
seorang ilmuwan yang mempelajari teori-
teori ilmu sosial, yang kita lakukan
sebenarnya tidak jauh dari persoalan tafsir.
Dalam “menafsirkan” sesuatu, apalagi teori,
seorang ilmuwan tentu dipengaruhi oleh
pengetahuan dan nilai-nilai yang telah
terbentuk sebelumnya dalam dirinya. Setiap
orang tentu memiliki pengalaman masing-
masing sehingga masing-masing darinya