Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Disusun oleh:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya
maka saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perubahan Teritorial Nagari”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Etnografi Sumatera.
Makalah ini berisi tentang negara dan konstitusi, makalah ini saya lengkapi dengan
pendahuluan sebagai pembuka yang menjelaskan latar belakang dan tujuan pembuatan makalah.
Pembahasan yang menjelaskan Perubahan Teritorial Nagari, penutup yang berisi tentang
kesimpulan yang menjelaskan isi dari makalah saya. Makalah ini juga saya lengkapi dengan
daftar pustaka yang menjelaskan sumber dan referendi bahan dalam penyusunan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak baik yang menyusun maupun yang membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Nagari adalah embrional (miniatur) sebuah negara (republik kecil), dan disebut Kato
sebagai sal contained dan tribal society beragam dengan primodial ikatan darah dan adat, yang
efektif secara struktural-fungsional. Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok
dalam suatu ikatan genealogis dan territorial yang otonom dengan pemerintah kolektif
berdasarkan hukum adat dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut nagari. Keberadaan
pemerintahan nagari praktis hilang secara de jure dari Sumatera Barat sejak diberlakukannya
Undang- Undang No. 5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan terendah yaitu desa.
Kebiakan ini membuat nagari terpecah ke dalam bentuk desa. Semenjak Pemerintahan Orde
Baru, Perpindahan dari nagari ke desa merupakan sebuah culture shock (kegoncangan budaya),
karena perubahan yang terjadi tidak hanya sekedar perubahan struktural, tetapi sekaligus juga
perubahan orientasi dan filosofinya.
Perubahan sosial dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dalam kasus pemerintahan
nagari, kebijakan terhadap pemerintahan desa/nagari merupakan salah faktor yang menyebabkan
timbulnya perubahan sosial dalam masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk mengatur sistem
pemerintahan desa yang di tuangkan dalam UU No 5 tahun 1979 telah menghilangkan peran dari
lembaga-lembaga tradisional. Tjondronegoro (1999), mengatakan bahwa, untuk di luar Jawa,
dengan diberlakukannya Undang-Undang No.5 tahun 1979 mengenai pemerintahan desa telah
menghilangkan bentuk asli dari pemerintahan otonom di tiap-tiap daerah. Penyeragaman
pemerintahan desa telah menimbulkan kecenderungan “formalitas desa” dimana birokrasi
modern mulai diterapkan hingga ke desa.
Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan yang kemudian timbul dan akan dijawab melalui
penelitian ini adalah bagaimana bentuk perubahan sistem dari desa ke nagari dan bagaimana
bentuk konflik yang berkembang akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa ke nagari.
a. Taratak : sekelompok masyarakat satu suku asal (beberapa keluarga) yang hidup dengan
berburu, mencari ikan dan berladang, berpindah dari satu tempat ke satu tempat lain. Setiap
keluarga yang mengolah tanah akan menjadi pemilik tanah tersebut dan diberi pagar batu.
Pemberian batas dengan batu merupakan hasil mufakat antara keluarga dan diketahui oleh orang
tua-tua. Bahkan pada beberapa tempat penentuan batas diperkuat dengan sumpah. Tujuannya
agar batas tidak dipindah-pindahkan atau diubah untuk selama-lamanya. Batu itu dinamakan batu
pasupadan atau batu batas (Dt. Madjo Indo dan Dt. Batuah 1956).
b. Kampung / dusun : datangnya sekelompok pendatang dari teratak lain yang bergabung
dengan masyarakat asli, hidup dengan berladang dan tinggal bersama-sama di lereng atau di
puncak bukit. Sebagai petanda batas, ladang diberi bintalak, sawah diberi lantak. Teratak-teratak
yang terpisah itu akhirnya disatukan dengan membentuk dusun, dan menciptakan dua suku asal.
Rombongan masyarakat asli yang tadinya berpindah-randah telah bergabung menjadi sebahagian
masyarakat dusun dan mereka belajar membuat perumahan dan perkuburan. Antara dusun
dengan dusun ditetapkan pula batasnya. Biasanya pertanda batas antara dusun ialah lereng bukit
dan sungai-sungai kecil yang diistilahkan dengan pepatah “ke bukit bergulung air, ke lurah
beranak sungai”. Hubungan antara dusun yang satu dengan yang lain disebut berbelahan, dengan
saling tolong- menolong. Misalnya, untuk pekerjaan-pekerjaan besar seperti membuat sawah,
mendirikan rumah adat dan membangun jalan, mereka selalu meminta bantuan dari masyarakat
dusun lain.
c. Koto : dusun yang berdekatan akan membentuk koto dengan ciri perbedaan suku pada dusun
masing-masing. Pada tahapan ini masyarakat berkembang menjadi tiga suku asal, membuat
permukiman, hidup dengan bersawah, memelihara ikan, dan tinggal di kaki bukit dan pinggiran
sungai yang datar. Sebagai pemimpin diangkat penghulu yang bergelar Datuk sebagai tua Koto.
Koto memiliki kelengkapan seperti balai adat dan mesjid.
d. Nagari : kumpulan empat dusun atau empat suku akan membentuk Nagari. Apabila telah
menjadi satu Nagari maka masyarakat dusun harus mengikut pada aturan adat Nagari (Dt. Madjo
Indo dan Dt. Batuah, 1956). Lebih lanjut Hermayulis (1988) menuliskan masyarakat Nagari
hidup dengan menguasai hutan, ladang dan sawah serta membuat permukiman yang tetap. Batas
Nagari meliputi rimba atau hutan belantara, tanah yang pernah diolah tetapi kemudian
ditinggalkan, puncak gunung atau bukit yang ditentukan dengan memperhatikan aliran dua
sungai, jurang ditentukan oleh anak sungai yang mengalir, penghunian atau pengolahan tanah
yang terus menerus dilakukan oleh anggota masyarakat yang menjadi batu sebagai batas.
Sebelum masuknya pengaruh luar disebut periode tradisional. Pada periode ini, model
Pemerintahan Nagari sangat kental dengan struktur geneologisnya. Aspek teritorial hanya
sebatas jangkauan struktur geneologis tersebut. Bahkan syarat keberadaan nagari secara teritorial
ditentukan oleh struktur geneologis minimal, yaitu minimal harus ada empat suku. Struktur suku
sebagai batas tertinggi struktur geneologis didukung oleh struktur geneologis di bawahnya
sampai pada tingkat rumah tangga Dalam model pmerintahan nagari pada masa itu, dewan
penghulu yang merupakan federasi penghulupenghulu pada suatu nagari menjadi penentu wali
nagari, baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas kepemerintahannya maupun yang
berkaitan dengan proses pengrekrutannya, yang dipilih dan diangkat dikalangan penghulu yang
ada dalam dewan penghulu itu dan bertangunjawab secara kolektif kepada masyarakat adat
menurut jalur suku dan indu yang ada. Penghulu pucuk (top leader nagari) dalam
menyelenggarakan pemerintahan nagari sehari-hari, dibantu oleh dubalang dalam bidang
keamanan, manti dalam bidang administrasi, malin dalam bidang keislaman dan penghulu dalam
bidang adat-istiadat bernagari. Wali Nagari dan penghulu yang berada dalam dewan penghulu
selalu bekerja sama dalam semua urusan atau penyelenggaraan pemerintahan nagari. Semua
urusan itu senantiasa dipaiyoan (dikonfirmasikan),diketahui dan disepakati bersama dalam
dewan penghulu.
1.4.3 Eksistensi dan Model Pemerintahan Nagari Sepanjang Sejarah
Periode tradisional Islam adalah periode setelah Islam masuk melaluiproses asimilasi
dengan nilai-nilai adat yang telah ada syarak mandaki, adaik manurun. Keduanya berbaur dalam
konsep dan pelaksanaan yang saling toleransi. Proses asimilasi damai tersebut tercermin dalam
struktur Pemerintahan Nagari. Asimilasi tersebut ditandai dengan eksisnya agama yang secara
formal telah diterima oleh nilai-nilai adat.
Ikut campurnya Pemerintahan Hindia Belanda dalam pemerintahan daerah secara yuridis
formal diatur dalam regeeringsreglement (RR) yang diikuti dengan ordanansi yang mengatur
tentang Pemerintahan Desa yaitu STB. 1906 No 83 jo Stb. 1919 No 27 dengan nama Inlandsche
Gemeente Ordonantie (IGO) untuk Jawa dan Madura, dan untuk luar Jawa dan Madura (negeri
seberang) Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Inlandsche Gemeente Ordonantievoor
Buitengewesten (IGOB) dalam Stb. 1938 No.498 yang menyebutkan bahwa di negeri-negeri
seberang pemerintahan dijalankan oleh Kepala-Kepala Nagari dan Dewan Perwakilan Nagari.
Sejak dimasukkannya administrasi pemerintahan baru ke dalam Sistem Pemerintahan Daerah
secara nyata telah tampak intervensi Belanda terhadap pemerintahan yang terendah. Hal tersebut
dapat dilihat secara vertikal pada tingkat provinsi dipimpin dua pejabat, yaitu gubernur sewaktu
keadaan darurat, sedangkan waktu aman dan tenang dipimpin oleh seorang Residen.
Pada tingkat kabupaten oleh Asisten Residen atau yang disebut juga Tuan Luak yang
membawahi kewedanaan yang dipimpin dua pejabat yaitu controleur yang merupakan
perpanjangan tangan Asisten Residen dan Wedana (Demang atau Laras) yang membawahi dua
atau lebih distrikkecamatan. Setiap kecamatan dipimpin oleh Asisten Wedana atau Asisten
Demang dan terakhir yang paling bawah adalah Kepala Nagari. Lebih lengkap temuan
Mangkuto menyatakan bahwa Pemerintahan Hindia Belanda mengesahkan Tungku Tigo
Sajarangan, Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai sebagai unsur/unsur (partai) yang
mewakili rakyat dalam Pemerintahan Nagari dan Kerapatan Nagari (Legeslatif Nagari). Artinya
dalam struktur di atas terlihat bahwa Alim Ulama (AU), Cadiak Pandai (CP) Penghulu Kaum
atau Kepala Kaum (KK). Ninik Mamak (NM) sebagai organisasi KK. Penghulu yang diangkat
oleh Pemerintahan Hindia Belanda masuk ke dalam lembaga dan kerapatan ninik mamak yang
sekaligus mewakili Kerapatan Nagari. Sementara Kerapatan Nagari merupakan subordinat dari
Kepalo Nagari. Secara struktural Pemerintahan Nagari bikinan Hinda Belanda seperti ini
membuat masyarakat yang ada dalam nagari terkooptasi kekuasan Kepalo Nagari yang diangkat
oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Namun secara substansi struktur seperti tidak legitimet atau
tidak diakui oleh masyarakat secara hakiki.
Pemerintahan Republik Indonesia pada periode Orde Lama berorientasi pada demokrasi
terpimpin. Sistem pemerintahan adalah bersifat sentralistik. Hal itu terlihat implementasinya
dalam sistem Pemerintahan Nagari yang mereka rancang pada masa itu. Berdasarkan SK
Gubernur Sumatera Barat No. 32/1959, struktur Pemerintahan Nagari terdiri dari Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Nagari sebagai Legislatif. Dengan segala cara akhirnya Pemerintahan Nagari
dikuasai oleh pendukung Sukarno dengan Manipol Usdek-nya. Kepalo Nagari adalah cerminan
dari pemerintahan Demokrasi Terpimpin Orde Lama. Namun struktur formal berdasarkan SK
Gubernur Sumatera Barat No. 32/1959 tersebut, seperti yang dikemukakan H.A. Dt. Rajo
Mangkuto, menurut Yunus Yunus tidak ditemukan prakteknya di lapangan, karena Maklumat
Residen Sumatera Barat itu tidak pernah diberlakukan oleh pemerintah, yang pada akhirnya
peraturan tersebut dicabut dengan Perda Sumatera Tengah No.50/G.P/1960 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah.
Periode reformasi ini terdapat dua model struktur yang telah berlaku yaitu
berdasrkan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000 jo UU No. 22/999 dan struktur yang
berdasarkan Perda No. 2/2007 joUU No. 32/2004. Keduanya lahir karena spirit budaya dan
menonjolkan identitas keminangkabauan. Identitas keminangkabauan itu secara substansif
adalah menegakkan identitas nilai demokrasi adat yang pro kepada memperkuat peran ninik
mamak (pimpinan adat) yang sudah hancur dan mengembangkan identitas falsafah “adat
basandi syarak dan syarak basandi kitabullah”. Namun dua semangat yang substantif itu tidak
juga tercermin dalam struktur yang dilahirkan. Peranan ninik mamak masih marjinal seperti
periode Hindia Belanda, periode orde lama dan pada orde baru. Begitu juga falsafah ABS-SBK.
Dalam strukutur pemerintahan nagari pada masa ini terlihat danya identitas falsafah ABS-SBK,
tetapi peranan ninik mamak menjadi terpecah-pecah sekitar pusat kekuasaan Wali Nagari. Ninik
mamak terpinggirkan oleh Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang lebih mengakomodasi
demokrasi perwakilan dalam konteks demokrasi moderen.Dengan demikian demokrasi adat yang
diperankan oleh ninik-mamak menjadi kehilangan peranannya.
Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000, direvisi dengan Perda Provinsi Sumatera
Barat No. 2/2007, yang bermaksud menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, seperti
pergantian UU No. 22/1999 tetang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 32/2004. Perkara
kelembagaan, umpamanya KAN dirubah tata hubungannya dengan elemen lainnya
di nagari. Dalam pasal 29 Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2/2007 KAN melakukan tugas-
tugas melalui proses bajanjang naiak, batanggo turun serta berkoordinasi dengan Pemerintahan
Nagari. Perda provinsi ini menginstruksikan untuk ditindaklanjuti dengan Perda
Kabupaten/Kota. Dalam struktur pemerintahan nagari pada masa ini terlihat bahwa meskipun
Bamus terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang disebut unsur Ninik Mamak (NM), Alim
Ualama (AU), Cadiak Pandai (CP), Bundo Kanduang (BK) dan Komponen Masyarkat lainnya
(KML) demikian isi pasal 12 Perda Prov. Sumatera Barat No. 2/2007, namun secara kultural
geneologis Bamus belum mencerminkan penghormatan terhadap nilai adat secara dominan.
Sementara KAN sendiri tidak diposisikan sebagai lembaga yang menyatu dengan Wali
Nagari perda ini meletakkannya dalam posisi yang tinggi (psl 5, 10 dan 28 Perda No. 2/2007).
PEMBAHASAN
DUALISME KELEMBAGAAN ( Studi terhadap Nagari Pariangan )
Dualisme kelembagaan dalam nagari serta banyaknya lembaga-lembaga baru
yang muncul pasca Orde Baru di nagari saat ini pada dasarnya adalah pengulangan
peristiwa pada masa ketika nagari masih berstatus sebagai desa. Transformasi tersebut
menimbulkan dilema yang berpotensi memunculkan konflik di tengah masyarakat, di
satu sisi pemerintah harus tetap mengintervensi nagari karena nagari harus menjalankan
fungsi administrasinya, di sisi lain intervensi itu justru menjadi hambatan bagi
muncul/berkembangnya institusi tradisional yang mendesak untuk dibatalkan (von
Benda-Beckmann F. , 1979).
Pada akhirnya, apa yang terjadi di Nagari Pariangan adalah ruang kontestasi yang
sesungguhnya antara negara dengan nagari. Kontestasi ini memunculkan aktor-aktor baru
dalam berbagai bentuk kelembagaan yang sama-sama punya kepentingan kuat baik dalam
mempertahankan adat maupun memperbarui bentuk nagari melalui pendekatan yang
mirip dilakukan oleh negara, yaitu pembentukan nagari sebagai institusi politik yang
didasarkan pada pluralitas hukum. Menariknya, proses yang merupakan efek langsung
dari desentralisasi ini ternyata tidak menyisakan apa-apa kecuali dualisme kelembagaan.
Dualisme kelembagaan ini nyatanya bukan bentuk perpaduan antara hukum negara
dengan hukum nagari itu sendiri, tapi lebih terlihat seperti kebingungan menempatkan
posisi adat dan posisi hukum negara.
Dari kebingungan status itu, sebagai efek langsung dari dualisme kelembagaan,
Nagari tampak seperti kesulitan mengelola kebijakan adatnya sendiri dan posisi ninik
mamak, cerdik pandai, dan alim ulama hanya terlihat seperti penghias penghargaan
negara terhadap adat nagari saja. Proses penyelesaian sengketa tanah, contohnya,
cenderung diserahkan ke pengadilan negeri jika tidak bisa diselesaikan di tingkat nagari.
Syarat keterwakilan perempuan dalam sebuah desa, sebagaimana yang disebutkan dalam
UU Desa, tidak bisa dipenuhi dalam nagari karena Nagari bersifat matrilinial hanya
dalam soal pembagian warisan. Status pemimpin adat menjadi tidak terlegitimasi dengan
baik sebagai pemimpin karena adanya pemimpin dinas desa yang lebih dekat dengan
pemerintahan pusat. Kepala desa dinas ini berfungsi sebagaimana kepala desa di daerah
lainnya sesuai aturan yang tertera dalam UU Desa. Namun dalam praktiknya,
kepemimpinan kepala desa dinas bertabrakan secara politik dengan pemimpin adat.
Dualisme kelembagaan Nagari tampak seperti hasil perebutan pengaruh yang tak
sehat antara negara dengan adat. Dalam praktiknya, mempertahankan adat untuk
menjalankan pemerintahan nagari dalam bingkai keinginan negara tidaklah efektif
sebagaimana dibayangkan oleh orang-orang di pusat. Desentralisasi yang diterima nagari
tidak sepenuhnya ada karena pada kenyataannya nagari tetap didikte langkahnya bahkan
direduksi fungsinya melalui keberadaan undang-undang yang berkaitan dengannya
seperti undang-undang desa. UU Desa dan undang-undang yang mengatur bagaimana
lokalitas tetap dipertahankan muncul sebagai upaya bagaimana negara tetap melakukan
gerak penetratif terhadap keberlangsungan adat. Fenomena-fenomena ini mencerminkan
bagaimana kebutuhan nagari terhadap negara tidak bersifat keseluruhan agar dualitas
tidak terjadi.
Nagari cenderung kabur dalam statusnya sebagai kelembagaan politik adat karena
posisinya tidak menjelaskan ketegasan di bawah struktur pemerintahan pusat. Kontrol
negara dan kolonialisme, dalam sejarah transformasi kelembagaan nagari, memainkan
peranan penting dalam legitimasi kekuasaan yang dipercayakan masyarakat adat dan
mandat pemerintah, baik pemerintah kolonial pada masa penjajahan atau pun Republik
Indonesia setelah merdeka. Pasca desentralisasi, keberadaan Nagari sebagai institusi
politik justruk kehilangan legitimasi politisnya untuk digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Bahkan dalam beberapa keadaan, Nagari menjadi kendaraan politik elit lokal untuk
mencapai kepentingan politik dan ekonomi berskala nasional.
Setelah mengalami perubahan berupa bentuk kelembagaan desa, Nagari harus
mencari bentuknya kembali sebagai institusi politik yang kuat dalam memastikan aturan
dan menyelesaikan persoalan-persoalan lokal yang berkaitan dengan kesejahteraan umum
masyarakat adat. Ketika kepentingan ekonomi politik merangsek dan menguat, dan di sisi
lain Negara semakin mendapatkan legitimasinya sebagai kelembagaan politik. Nagari
terkategorikan sebagai kelembagaan adat dan justru melemahkan kelembagaan itu
sendiri sebagai struktur yang independen dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Pengakuan negara terhadap keberadaan nagari sebagai konsekuensi dari penerimaan adat
dan lokalitas yang diemban oleh semangat desentralisasi tidak memberikan posisi yang
legitimated secara politik.
Desentralisasi telah menyediakan kesempatan selebar mungkin pada pemerintah
provinsi dan pemerintah lokal untuk melakukan pengaturan terhadap kebijakan mereka
sendiri berdasarkan pada adat dan nilai-nilai lokal, tetapi penetrasi pemerintah pusat
masih memegang peranan besar, sedangkan di satu sisi masyarakat adat yang
bersangkutan kurang memberikan perhatian pada efek-efek buruk yang muncul
setelahnya. Masyarakat adat lokal merasa bahwa banyak kepentingan mereka tidak bisa
dipenuhi oleh pemerintah dan, dengan demikian, desentralisasi tidak memberikan
dampak apa-apa dalam kelangsungannya. Meski demikian, di sisi yang lain, Negara
menekan masyarakat dengan kepentingan ekonomi dan politik berskala besar yang
membahayakan lingkungan hidup mereka sendiri. Efek buruk dari dualism kelembagaan
ini terjadi ketika masyarakat dan organisasi adat yang mereka gerakkan berhadapan
secara langsung dalam kontestasi kekuasaan di mana pluralitas hukum dan fungsi politik
mengaburkan batasan-batasan tugas, kewajiban, dan kepentingan antara nagari dan
Negara.
Hidayat, Y., & Febrianto, I. I. TRANSFORMASI DAN DAMPAK DUALISME KELEMBAGAAN DALAM
PEMERINTAH ADAT MINANG: STUDI TERHADAP NAGARI PARIANGAN, TANAH DATAR,
SUMATERA BARAT.
Daftar Pustaka
Astuti, N. B., Kolopaking, L. M., & Pandjaitan, N. K. (2009). Dilema dalam Trasformasi Desa
Ke Nagari. Sodality: Jurnal Trasdisiplin Sosiologi, KOmunikasi, dan Ekologi Manusia , 153-
172.
S. F., & Azmi, A. (2016). Genealogis Teritorial Pada Masyarakat adat di Nagari Sumatera barat.
Eko S. 2005. Menggantang Asap. Kritik dan Refleksi Atas Gerakan Kembali ke Nagari.
Kerjasama Ire dan Komisi Eropa. Yogyakarta