Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut : 2,5,6,12
Lapisan dalam retina (mulai dari lapisan membran limitans interna sampai
lapisan inti dalam) diperdarahi oleh arteri retina sentralis yang berasal dari
arteri optalmika. Lapisan retina sisanya tidak mempunyai pembuluh darah dan
memperoleh nutrisi secara difusi dari lapisan koroid yang kaya akan kapiler.
Arteri retina sentralis memasuki orbita bersama dengan nervus optikus dan
bercabang menjadi empat percabangan yaitu cabang superior-nasal, superior
temporal, inferior-nasal, inferior temporal. Arteri-arteri ini tidak mempunyai
anastomosis sehingga apabila terjadi sumbatan akan menyebabkan infark
retina.2,5,6,12
Sel kerucut sensitif terhadap pigmen warna yang berbeda. Pigmen warna
ini dikenal dengan pigmen sensitif warna biru, pigmen sensitif warna hijau dan
pigmen sensitif warna merah.4
Gambar 5. Absorbsi cahaya oleh pigmen retina sel batang dan sel kerucut.
Jalur penghantaran sinyal visual dari sel kerucut ke sel ganglion berbeda
dengan jalur penghantaran sinyal visual dari sel batang ke sel ganglion. Neuron
dan serabut saraf yang menghantar sinyal visual dari penglihatan sel
kerucutlebih besar dan dua kali lebih cepat menghantarkan sinyal visual
dibandingkan dengan penglihatan sel kerucut.4
Gambar 6. Organisasi neural retina, sebelah kiri di daerah perifer retina dan di sebelah
kanan di daerah fovea
a. Definisi
Retinitis pigmentosa merupakan sekelompok degenerasi retina
herediter yang ditandai oleh disfungsi progresif fotoreseptor dan disertai
oleh hilangnya sel secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan
retina.1 Atau sekelompok gangguan retina yang menyebabkan hilangnya
ketajaman penglihatan secara progresif, defek lapangan penglihatan, dan
kebutaan pada malam hari (night blindness). Sebutan retinitis pigmentosa
berasal dari deposit pigmen yang merupakan karakteristik penyakit ini.4,5
b. Insidensi6
Terjadi pada 5 orang per 1000 populasi dunia
Usia. Muncul pada masa kanak-kanank dan berkembang lambat,
dan sering terjadi kebutaan setelah usia dewasa.
Jenis Kelamin. Pada umumnya pria lebih sering terkena dari pada
wanita dengan perbandingan 3:2
Laterality. Penyakit ini hampir terjadi secara bilateral.
c. Etiologi
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit genetik yang diturunkan
secara mendel yang terjadi pada beberapa kasus. Beberapa kasus
retinitis pigmentosa disebabkan oleh mutasi DNA mitokondria. Pada
tahun 1990 gen pertama yang menunjukkan kelainan pada retinitis
pigmentosa yaitu rhodopsin, yang merupakan pengkodean rod visual
pigmen. Sejak saat itu, banyak kelainan gen yang bisa mengakibatkan
terjadinya retinitis pigmentosa.7
Retinitis pigmentosa terjadi sebagai gangguan isolated sporadic,
atau kelainan genetik autosomal dominant (AD), autosomal
recessive(AR), atau X-Linked recessive (XL). Bentuk terbanyak
kelainan gen pada retinitis pigmentosa yaitu autosomal recessive,
diikuti oleh autosom dominan. Sedangkan bentuk yang sedikit yaitu X-
linked resesif.6,11
d. Gejala Klinis
Gejala awal seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak.
Sel batang pada retina (berperan dalam penglihatan pada malam hari)
secara bertahap mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang
gelap atau penglihatan pada malam hari menurun. Lama-lama terjadi
kehilangan fungsi penglihatan tepi yang progresif dan bisa
menyebabkankebutaan. Sedangkan pada stadium lanjut, terjadi
penurunan fungsi penglihatan sentral.8
Retinitis pigmentosa biasanya terkena bilateral pada kedua mata
dengan penurunan fungsi rod photoreceptors. Adapun simptom yang
biasa yaitu:6,9
1. Simtom visual
4. Perubahan Elektrofisiologi
e. Patofisiologi
Mekanisme pasti dari degenerasi fotoreseptor belum diketahui,
tetapi akhirnya dapat terjadi apoptosis degeneratif fotoreseptor batang
dengan fotoreseptor kerucut pada tingkat yang lanjut. Retinitis
pigmentosa dapat respon terhadap fotoreseptor yang atrofi dengan
proliferasi kedalam retina. Sel-sel pigmen berkumpul disekitar
pembuluh darah retina yang atrofi, yang dapat diketahui dengan
fundus sebagai bentuk klasik “bone spicule”.9
Retinitis pigmentosa biasanya dianggap sebagai distrofi batang-
kerucut (rod-cone dystrophy) dimana defek genetik menyebabkan
kematian sel (apoptosis), terutama di fotoreseptor batang. Jarang
terjadinya defek genetik akibat pengaruh fotoreseptor epitelium
pigmen retina dan kerucut. Retinitis pigmentosa memiliki variasi
fenotipik yang signifikan, karena ada banyak gen yang berbeda yang
mengarah ke diagnosis retinitis pigmentosa, dan pasien dengan mutasi
genetik yang sama dapat ditandai dengan temuan retina sangat
berbeda.1.11
Gambar 10. Cone dystrophy
Gambar 11. Cone dystrophy menunjukkan typical central macular atrophy yang
ditemukan pada kondisi ini
f. Diagnosis
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit retina degeneratif yang
memiliki karakteristik adanya deposit pigmen di retina. Kelainan ini
merupakan degenerasi primer fotoreseptor batang dengan fotoreseptor
kerucut sebagai degenerasi sekunder, yang dapat menjelaskan
mengapa pasien dapat mengalami kebutaan pada malam hari.7
Adapun untuk menegakkan diagnosis dari retinitis pigmentosa
berdasarkan temuan klinis retinitis pigmentosa yaitu berdasarkan
simtom visual, perubahan pada fundus, perubahan lapangan pandang
penglihatan, perubahan elektrofisiologi.7
Selain itu, diagnosis juga dapat dibuat oleh ophtalmoskopi
berdasarkan gambaran klasic dasar. Rod-cone dystrophy (Utamanya sel
batang yang terkena). Adanya “bone spicule” yang merupakan
proliferasi epitelium retina yang dapat dilihat pada bagian tengah
perifer retina. Kelainan ini perlahan-lahan menyebar ke sentral dan
lebih jauh lagi sampai ke perifer (gambar 10). Awal defisit yang terjadi
yaitu defek penglihatan warna dan gangguan persepsi kontra. Atrofi
optic nerve yang terjadi pada fase lanjut. Arteri-arteri menjadi sempit.5
4. Cancer-related retinopathy
o Kesamaan : Nyctalopia. Terbatasnya lapangan pandang perifer,
penyempitan arteriol dan elektroretinogram yang dapat dibedakan
o Perbedaan : Perubahan pigmen ringan atau tidak ada
h. Penatalaksanaan
Belum ada pengobatan yang efektif untuk retinitis pigmentosa.
Penderita dianjurkan untuk berkunjung secara teratur kepada spesialis
mata untuk memantau kelainan ini. Sebaiknya dilakukan secara teratur
setiap 5 tahun termasuk untuk menguji lapangan pandang dan evaluasi
electroretinogram.8,11
Pemakaian kaca mata gelap untuk melindungi retina dari sinar
ultraviolet bisa mempertahankan fungsi penglihatan. Baru-baru ini,
muncul terapi baru (meskipun masih dalam perdebatan) seperti
pemberian antioksidan (misalnya vitamin A palmitat) bisa menunda
perkembangan penyakit ini.8,11
1. Medical Care
Acetazolamide
Edema makula dapat mengurangi penglihatan dalam tahap lanjut dari
retinitis pigmentosa. Dari banyak terapis mencoba, acetazolamide oral
telah menunjukkan hasil yang paling menggembirakan dengan
beberapa perbaikan dalam fungsi visual. Studi yang dilakukan oleh
Fishman dkk dan Cox et al telah menunjukkan perbaikan dalam
ketajaman visual snelling dengan acetazolamide oral untuk pasien
yang memiliki retinitis pigmentosa dengan edema makula
Calcium channel blocker
Calcium channel blockers, seperti diltiazem, adalah obat-obat yang
biasa digunakan pada penyakit jantung. Kalsium channel blocker telah
menunjukkan beberapa manfaat dalam beberapa model binatang dari
retinitis pigmentosa tetapi mereka tidak efektif dalam model lain.
Lutein / zeaxanthin
Lutein dan zeaxanthin merupakan makula pigmen yang tubuh tidak
dapat membuat melainkan berasal dari sumber makanan. Lutein
berfungsi untuk melindungi macula dari kerusakan oksidatif, dan
suplementasi oral telah terbukti meningkatkan pigmen makula. Dosis
20 mg / hari telah direkomendasikan.
Asam valproik
Asam valproik oral telah menunjukkan manfaat dalam uji klinis, dan
uji klinis yang lebih lanjut sedang dilakukan.
Obat Lain
Dosis 1000 mg /hari asam askorbat telah direkomendasikan, tetapi
belum ada bukti bahwa asam askorbat sangat membantu. Bilberry juga
direkomendasikan oleh beberapa praktisi pengobatan alternatif dalam
dosis 80 mg, tetapi belum ada studi terkontrol tentang khasiat dalam
pengobatan pasien dengan retinitis pigmentosa. Antibodi antiretinal,
agen imunosupresif (termasuk steroid) juga telah digunakan dengan
sukses.
2. Surgical Care
o Katarak ekstraksi
Operasi katarak sering bermanfaat dalam tahap selanjutnya
penobatan retinitis pigmentosa. Bastek et al, mempelajari 30
pasien dengan retinitis pigmetasi, 83% dari mereka
menunjukkan perbaikan dalam pengobatan, dengan 2 garis pada
grafik ketajaman visual Snellen setelah dilakukan operasi
katarak
o Faktor pertumbuhan
Faktor neurotropik ciliary (CNTF) telah menunjukkan adanya
perlambatan degenerasi retina pada sejumlah model hewan.
Tahap II uji klinis sedang dilakukan, dengan menggunakan
bentuk dienkapsulasi dari sel-sel epitelium pigmen retina
menghasilkan CNTF (Neurotech) untuk pasien dengan sindrom
Usher dan RP. Sel-sel ini harus dikemas dengan pembedahan
yang diletakkan ke dalam mata. Tahap I hasil uji coba klinis
telah mendukung.
o Transplantasi
Transplantasi sel epitelium pigmen retina telah
dittranspalntasikan ke dalam ruang subretinal untuk
menyelamatkan fotoreseptor pada hewan model retinitis
pigmentosa. Salah satu pendekatan yang mungkin berguna
adalah modifikasi ex vivo pada sel-sel yang terdapat faktor-
faktor trofik.
o Prostesis retina
Sebuah chip prostesis atau phototransducing retina ditanamkan
pada permukaan retina dan telah diteliti selama beberapa
tahun. Lapisan sel ganglion retina yang sehat dapat dirangsang,
dan implan pada hewan model memiliki stabilitas jangka
panjang. Dalam sebuah studi oleh Humayun et al, ini telah
terbukti bermanfaat pada manusia. Satu pasien yang tidak
punya persepsi cahaya, mampu melihat dan melokalisasi senter
setelah prostesis pada retinitis pigmentosa
o Terapi gen
Terapi gen masih dalam penelitian, dengan harapan untuk
menggantikan protein yang rusak dengan menggunakan vektor
DNA (misalnya, adenovirus, Lentivirus).
2.12 Prognosis
KESIMPULAN
12. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
P.1-12