Sunteți pe pagina 1din 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah ambulatory anestesi bisa menjadi alasan dari tahapan ilmu anestesia itu sendiri.
Ambulatory anestesia modern dimulai dengan anestesi gigi dan pembedahan di Hartford,
Connecticut, pada tahun 1846. Nitrogen oksida telah diperkenalkan dan didemonstraikan secara
umum kemudian digunakan oleh Horace Wells. Pada waktu yang bersamaan, Gardner Colton,
seorang ahli kimia dan wiraswastawan, menggabungkan kemampuan pemasaran dan hubungan
dengan dokter gigi untuk mengembangkan kantor dokter gigi, dimana nitrogen oksida telah
digunakan untuk mengatasi nyeri cabut gigi.1
Pada tahun 1868, Edmund Andrew, seorang dokter bedah dari Chicago, mengakui bahwa
hypoxemia disebabkan dari penggunaan nitrogen oksida. Dia menyarankan bahwa penambahan
oksigen dengan nitrogen oksida akan memungkinkan memberikan hasil yang aman pada
anestesi. Bagaimanapun gabungan nitrogen oksida dengan oksigen adalah yang terbaik.1
Pada tahun 1950, terjadi peningkatan minat dalam pembedahan ambulatory karena
sebagian rumah sakit kekurangan tempat tidur dan biaya rawat inap, contohnya di Kanada.
Operasi hernia menjadi populer untuk bedah ambulatory. Kemajuan terhadap ambulatory
anestesia telah dilakukan pada tahun 1960 oleh John Dillon dan David Cohen di Universitas
California, Los Angeles (UCLA) dengan mengembangkan pelayanan pembedahan ambulatory.
Tidak seperti di Kanada yang terstimulasi kerena kurangnya tempat tidur rawat inap, Dillon dan
Cohen terdorong karena tipisnya ekonomi, secara dramatis pembedahan ambulatory lebih murah
dibandingkan pembedahan rawat inap.1
Saat ini kebanyakan pasien yang menjalani pembedahan dan tes diagnostic tidak perlu
menginap di rumah sakit. Dalam banyak kasus, pemulihan cukup dilakukan di rumah.
Ambulatory anastesia (outpatient anesthesia) telah terbukti aman, praktis, biaya murah dan dapat
dilakukan di berbagai fasilitas termasuk rumah sakit, freestanding surgery center dan kantor ahli
bedah. Anastesi akan dilakukan dan diawasi oleh seorang ahli anestesiologi.8
Pada tahun 1919 Ralph Waters meramalkan bahwa klinik pasien ambulatory (outpatient
clinic) mempunyai masa depan yang cerah. Ramalan ini tidak meleset karena sejak tahun 1960

1
bagian ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Saat ini diperkirakan dari seluruh
pembedahan 20-40% dapat diperlakukan sebagai pembedahan pada pasien ambulatory.4

Ada beberapa factor yang mendorong berkembangnya departemen ambulatory, yaitu:


1. Semakin meningkatnya biaya perawatan (rawat inap) di rumah sakit. Adanya perawatan
ambulatory biaya perawatan dan pengobatan dapat ditekan sampai 40-80%.
2. Jumlah tempat tidur penderita di rumah sakit menjadi semakin terbatas, dibanding dengan
pertambahan penduduk.
3. Pengadaan rumah sakit dengan segala sarana yang memerlukan biaya besar dapat
ditekan.
4. Mengurangi dan mencegah kemungkinan infeksi nasokomial.
5. Mempersingkat terpisahnya pasien (terutama anak-anak) dengan keluarga atau
kenalannya.
6. Menumpuknya jadwal pembedahan.

Departemen atau klinik ambulatory ini dapat merupakan :


1. Satu kesatuan (unit) tersendiri baik kamar bedah maupun ruang perawatannya di dalam
satu rumah sakit besar.
2. Mempunyai ruang perawatan khusus dan tersendiri tetapi masih mempergunakan kamar
bedah umum di dalam rumah sakit besar.
3. Satu klinik terpisah yang berdiri sendiri tetapi mempunyai rumah sakit besar untuk
rujukan apabila terjadi komplikasi.

Untuk mengelola pasien ambulatory diperlukan sarana:


1. Kamar bedah dengan alat dan obat anastesia serta alat-alat monitor yang lengkap seperti
pada kamar bedah untuk penderita rawat inap, tetapi tidak terlalu mahal.
2. Ruang perawatan yang memadai untuk persiapan prabedah yang terdiri dari ruang
pemeriksaan dan ganti pakaiaan serta ruang pemulihan.4
1.2 Tujuan
Referat ini disusun untuk memberikan pengetahuan kepada dokter muda
mengenai ambulatory anesthesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

3
2.1 Definisi
Ambulatory anestesia adalah pelayanan anestesia untuk pembedahan, yang secara medis
diduga tidak akan memerlukan perawatan menginap pasca bedah. Dalam bahasa Indonesia
ambulatory anesthesia disamakan dengan pengertian anastesi tanpa mondok atau pasien ODC
(One day Care).9,10

2.2 Keuntungan ambulatory anesthesia 3,4,5,11


1. Biaya lebih murah. Biaya perawatan dan pengobatan dapat ditekan sampai 40-80%.
2. Kemudahan dalam menjadwalkan pembedahan. Pasien dapat memilih jam yang sesuai,
terutama untuk anak dan manula.
3. Tidak tergantung kapasitas rumah sakit, tidak usah menunggu ada kamar kosong di
rumah sakit.
4. Mengurangi dan mencegah kemungkinan infeksi nasokomial, terutama pasien
imunocompromised.
5. Berkurangnya insiden medication errors.
6. Menjaga privasi pasien.
7. Pasien lebih cepat kembali ke lingkungan rumah yang dikenal terutama pasien anak dan
usia lanjut.

2.3 Syarat obat-obat ambulatory anesthesia 2


1. Induksi cepat dan lancar.
2. Analgesia dan anesthesia cukup baik.
3. Cukup dalam untuk pembedahan.
4. Masa pulih sadar cepat.
5. Komplikasi anesthesia pasca bedah minimal (mual, muntah, sakit kepala, hipoksia).

2.4 Persyaratan pada bedah ambulatory 4


Tidak semua tindakan atau penderita dapat di tanggulangi di departemen ambulatory,
demikian pula tidak semua teknik anestesi dapat diterapkan pada pasien ambulatory. Ada
beberapa persyaratan untuk pembedahan pada pasien ambulatory, yaitu :
1. Kriteria Pasien

4
• Sehat termasuk status fisik ASA 1 atau ASA 2 dengan penyakit atau kelainan
sistemik yang terkendali.
• Tidak ada riwayat pasca bedah atau anestesia yang kurang baik misalnya : mual atau
muntah yang lama atau nyeri pasca bedah yang sulit ditanggulangi dengan anelgetika
peroral.
• Walaupun umur tidak merupakan factor seleksi mutlak tetapi pasien dewasa muda
dan anak ( kecuali bayi premature di bawah 6 bulan ) lebih dapat diterima.
• Pasien mengerti dan memahami instruksi pra bedah dan pasca bedah atau anesthesia.
• Sebaiknya tempat tinggal pasien tidak jauh dari rumah sakit (tidak lebih dari satu jam
perjalanan).
• Ada keinginan dari pasien sendiri.

2. Kriteria Pembedahan
Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien ambulatory harus memenuhi kriteria :
• Lama pembedahan tidak melebihi 60 menit. Pembedahan yang terlalu lama akan
menimbulkan efek akumulasi anestetika sehingga masa pulih sadar pasien juga
berlangsung lama.
• Pembedahan superficial, bukan tindakan bedah di dalam cranium, toraks atau
abdomen (kecuali laparoskopi).
• Tidak memerlukan pelemas otot yang sempurna.
• Tidak banyak menimbulkan perubahan fisiologis.
• Diduga tidak menyebabkan perdarahan banyak.
• Kemungkinan komplikasi pasca bedah rendah sekali.

2.5 Macam tindakan bedah 3,4


Pembedahan yang sering dijadwalkan adalah bedah minor dan berlangsung kurang dari
60 menit. Contoh pembedahan :
1. Mata: reseksi otot-otot ekstraokular, bedah katarak, eksisi khalazion, reparasi ptosis,
koreksi strabismus, pemeriksaan mata yang memerlukan anastesia, sumbatan duktus
nasolakrimalis.
5
2. THT: tonsilektomi, adenoidektomi, antrostomi, mikrolaringoskopi, miringotomi,
polipektomi, nasales, rhinoplasti, bronkhoskopi.
3. Bedah umum: biopsy, ekstirpasi tumor superficial, mammoplasti, fisurektomi,
hemorhoidektomi, herniorhapi, insisi dan drainase absses, stripping vena varices,
sigmoideskopi, endoskopi.
4. Obgyn: biopsy, dilatasi dan kuretase, marsupialisasi, kista bartholini, laparoskopi.
5. Orthopedi: reposisi tertutup, eksotektomi, ganglionektomi, bedah minor di lengan dan
kaki, dekompresi tunnel karpal.
6. Urologi: sirkumsisi, sistokopi, frenulektomi, meatotomi, orchidopeksi, vasektomi.
7. Plastic: prosedur kosmetika pengangkatan kelloid, blepharoplasty, otoplasti.

2.6 Penatalaksanaan anastesia 2


Keberhasilan pembedahan atau ambulatory anestesia tergantung pada seleksi pasien, jenis
pembedahan dan teknik anestesia yang tepat. Persiapan pra bedah harus sama seperti pada pasien
rawat inap karena resiko anestesinya juga sama. Persiapan dilakukan 1-2 hari sebelum hari
pembedahan, untuk mengetahui :
1) Keadaan umum pasien.
Harus sebaik atau seoptimal mungkin untuk mengurangi komplikasi. Dengan
mengetahui aktivitas sehari-sehari (kuat berjalan, berlari-lari, olahraga) dapat segera
diketahui keadaan pasien. Pemeriksaan laboratorium yang rutin seperti darah dan
urin, apabila meragukan maka dilakukan pemeriksan khusus lain seperti foto toraks,
EKG, dan lain-lain.
2) Kondisi sistem pernapasan.
Apakah pasien menderita penyakit bronchitis kronik, asma bronchial, sesak napas,
kebiasaan merokok.
3) Kondisi sistem kardiovaskuler.
Apakah ada riwayat infark miokard akut, dekompensasio kordis, hipertensi berat.
Riwayat infark miokard 6 bulan sebelumnya dianggap stabil.
4) Penyakit ginjal, hepar, dan kelainan endokrin (diabetes mellitus) ditanyakan, kalau
perlu diperiksa lebih lanjut.

6
5) Obat-obat yang sedang diminum, antara lain obat anti hipertensi, MAO inhibitor,
insulin, antibiotika tetentu, kortikosteroid.

2.6.1 Persiapan pra-bedah 3,4


a. Meliputi wawancara:
- Penyakit yang diderita.
- Pembedahan atau anastesia yang pernah dialami.
- Pengobatan selama ini.
- Alergi.
- Kecenderungan mual, muntah, dan vertigo.
- Keluhan kardiovaskuler dan pernafasan.
b. Pemeriksaan fisik meliputi:
- sistem kardiovaskular
- sistem pernafasan
- sistem organ lain
c. Status psikologis  pasien atau pengantar dapat memahami dan mengerti instruksi
yang diberikan. Misal: puasa ± 6-8 jam, instruksi pra dan pasca bedah.
d. Pemeriksaan laboratorium
- Urine rutin, Hb, leukosit, eritrosit, trombosit.
Syarat Hb ≥ 10 gr%. Pada kasus yang secara klinis sehat kadang-kadang
pemeriksaan laboratorium ini tidak mutlak.
- Pada pasien yang mempunyai penyakit ringan (ASA II) atau tersangka mengidap
penyakit atau usia lewat 40 tahun. Maka pemeriksaan laboratorium harus lengkap
(pemeriksaan urea, N, kreatinin dan gula darah).
e. Pemeriksaan foto toraks dan EKG terutama untuk penderita usia > 40 tahun.
f. Pemeriksaan lain yang diperlukan.

2.6.2 Premedikasi
Pada umunya premedikasi tidak diberikan kecuali pasien terlalu gelisah atau sulit
dikendalikan. Premedikasi akan memperpanjang masa pulih. Obat premedikasi yang umumnya
diberikan adalah Sulfas Atropin, terutama bila memakai eter atau ketamin yang menambah

7
produksi sekresi jalan napas. Narkotika tidak diberikan karena memperpanjang masa pulih dan
menyebabkan mual atau muntah pasca bedah.2
Obat-obat premedikasi selain harus memenuhi tujuan premedikasi juga harus bersifat
“short acting” dan diberikan dalam dosis rendah. Clarke and Hurtig telah membuktikan bahwa
premedikasi dengan meperidin ( pethidine) 1mg/kg BB tidak mengakibatkan perpanjangan masa
pemulihan; demikian pula pemberian diazepam, untuk anak-anak dapat diberikan diazepam 0,1
mg/kg BB per oral.4
Obat-obat anti muntah diberikan droperidol 0,25-1,5 mg I.V(50-75 µgr/kg BB IV)
sebagai premedikasi, tidak akan memperpanjang masa pemulihan.4
Ranitidine, metoclopramide atau sodium citrate dapat digunakan sebagai profilaksis
aspirasi. Dilaporkan bahwa tidak ada keuntungan memberikan profilaksis tripel atau ganda
dibandingkan pemberian H2 antagonis sendiri.5
Ranitidine dikatakan lebih poten dan spesifik untuk mengurangi produksi asam lambung
dan menurunkan volume gastric. Metoclopramide meningkatkan tonus sphincter esophagus
bagian bawah yang akan memfasilitasi pengosongan gaster.5

2.6.3 Teknik Anestesia4


Teknik anestesia untuk pasien ambulatory harus memenuhi kriteria:
a. Induksi cepat, lancar dan menyenangkan.
b. Pemeliharaan anestesia cukup sempurna, aman dan menyenangkan bagi pasien dan
pembedah.
c. Bebas dari rasa sakit, takut, dan pemulihannya cepat tanpa menimbulkan komplikasi
(mual, muntah vertigo dan lain-lain tidak terjadi).
d. Tonus simpatis/reflek protektif cepat kembali.
Dapat dipilih :
1. Teknik anesetesia local (topical, infiltrasi, ‘field block”).
- Paling aman, sederhana dan dapat dilakukan oleh ahli bedah.
- Penderita harus kooperatif.
2. Blockade saraf
- Sederhana dan cukup aman.
- Perlu keterampilan dan pengalaman (experienced)

8
3. Anesthesia regional (spinal atau epidural)
- Terbatas pada beberapa kasus saja (sangat selektif).
- Tidak disenangi oleh pasien muda.
- Kesulitan yang timbul yaitu:
a. Adanya block simpatis sampai saat-saat pemulihan (bahaya hipotensi).
b. Efek samping sakit kepala sering terjadi.
c. Efek samping lain (retensio urine, diplopia, gangguan keseimbangan) walau
jarang terjadi.
4. Anesthesia umum2,3
Anestesia umum pada dasarnya tidak berbeda dengan anestesia pada
pembedahan-pembedahan elektif. Bedanya hanya menghindarkan obat dengan efek
yang menyebabkan masa pulih sadar lama.
Induksi propofol 2-2,5 mg/kgBB i.v lebih digemari dibandingkan tiopental 3-7
mg/kgBB i.v dengan alasan propofol efek sampingnya minimal dan pulih sadarnya
cepat. Nyeri pada suntikan propofol i.v dapat dikurangi atau dihilangkan dengan
memberikan lidokain 10-20 mg i.v sebelumnya. Pada bayi dan anak induksi pilihan
ialah halotan atau sevofluran.
Rumatan dapat menggunakan inhalasi halotan, enfluran, isofluran,
desfluran atau sevofluran. Rumatan anestesia intravena hanya digunakan propofol
4-12 mg/kgBB/jam dengan bantuan opioid fentanil 1µg.kg.
Penggunaan sungkup laring sering dilakukan mengingat pemasangannya
tidak memerlukan pelumpuh otot, asalkan puasa pasien cukup waktunya.
Penggunaan pelumpuh otot, kalaupun diperlukan pilihan jatuh pada golongan
nondepolarisasi kerja singkat misalnya mivakurium (mivakron) atau rekuronium
(esmeron). Dengan adanya sungkup laring, maka penggunaan pelumpuh otot dan
pipa trakes kian berkurang.
Pada penggunaan pelumpuh otot, usahakan pada akhir operasi tanpa
menggunakan penawar neostigmin yang kadang-kadang menyebabkan nyeri otot.

2.6.4 Pemantauan (Monitoring)2


Selama anestesia berlangsung harus selalu diawasi :

9
1. Pernapasan.
Tanda-tanda sumbatan jalan napas: napas berbunyi, retraksi otot dada, napas paradoksal.
Tanda-tanda depresi pernapasan: napas yang dangkal sekali.
2. Kardiovaskuler.
Hipertensi, hipotensi, syok, aritmia, bradikardia, takikardia, tanda-tanda henti jantung.
3. Warna: sianosis atau pucat
4. Suhu: hipotermia, hipertermia.
Hal-hal tersebut diatas dapat terjadi selama pemeliharaan anestesia berjalan dan harus segera
diatasi.

2.6.5 Ruang Pulih Sadar (RPS)2


Sarana ruang pulih sadar khususnya diperlukan bila jumlah pembedahan ambulatory
banyak dan rutin dikerjakan. Perlengkapan ruang pulih sadar untuk bedah ambulatory sama
dengan yang ada untuk bedah elektif seperti O2, alat penghisap, obat-obat, alat-alat untuk
keadaan darurat dan perawat yang terlatih untuk resusitasi jantung paru. Pasien dapat
dikeluarkan dari ruang pulih bila: sadar penuh, kooperatif, tanda-tanda vital baik, reflek proteksi
baik dan komplikasi-komplikasi lain tidak ada, begitu pula dengan perdarahan ulang, rasa sakit
yang hebat, mual dan muntah tidak ada.
Khususnya untuk pasien dengan pipa endotrakea pada waktu anestesia perlu diawasi
minimal 2 jam, karena ada kemungkinan terjadi edema laring. Keluarga pasien kalau perlu boleh
menunggu di RPS untuk membantu mengawasi, terutama untuk anak-anak yang akan merasa
aman/tenang bila orangtua/keluarga hadir. Pada saat pasien dikeluarkan dari RPS hendaknya
diberi instruksi tertulis, misalnya siapakah yang harus dihubungi dan bagaiamanakah cara
menghubunginya bila ada komplikasi.

2.7 Kompliksasi Pasca Bedah2


Ambulatory anesthesia tidak lepas dari komplikasi meskipun tidak begitu berat misalnya
nyeri kepala, mual, muntah-muntah nyeri pada otot, nyeri pada tenggorok, batuk-batuk, kurang
konsentrasi.
Kategori Komplikasi :
- Ringan: bila berlangsung 1-2 hari.

10
- Sedang; bila berlangsung 2-5 hari.
- Berat: bila berlangsung lebih dari 5 hari.

Pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi 9


Komplikasi ringan biasanya tidak memerlukan tindakan. Bila kemungkinan timbulnya
komplikasi tersebut sudah dijelaskan kepada keluarga sebelum menjalani anestesia, tidak akan
timbul kekhawatiran yang berlebihan pada keluarga pasien. Keuntungan yang didapat dari
ambulatory anesthesia lebih besar daripada komplikasi yang ringan tersebut.
Mual dan muntah dapat dicegah dengan pemberian droperidol atau hidroksizin. Ini
terutama untuk pembedahan yang cenderung menimbulkan muntah pasca bedah, seperti
laparoskopi dan pembedahan strabismus. Rasa nyeri otot dapat dicegah dengan prekurarisasi
sebelum pemberian suksinil kolin.
Bila ada nyeri otot, dapat diberikan parasetamol atau analgetika oral yang lain. Pasca
herniotomi dapat dilakukan blok ilioinguinal dan iliohipogastrik dengan infiltrasi bupivacain
0,5%, dengan dosis kurang dari 2 mg/kg bb di daerah medial dari SIAS. Pasca sirkumsisi dapat
diberikan bupivacain 0,25% tanpa adrenalin 1 cm dari garis tengah (kanan dan kiri) di bawah
fascia Buck. Dengan cara ini akan didapatkan analgesia selama 6 jam.
Nyeri tenggorok dan krup dicegah dengan melakukan intubasi yang lancar dan
atraumatis. Jalan nafas orofaring sebaiknya tidak dipakai. Bila sudah terjadi krup sampai spasme
laring, dapat diberikan doxapram 1,5 mg/kg BB intravena perlahan-lahan selama 20 detik.
Ong, Palahniuk dan Cuming menemukan, pada masa pra anestesia pasien ambulatory
mempunyai isi lambung yang lebih banyak dengan pH yang lebih rendah, dibandingkan dengan
pasien yang dirawat tinggal. Karena itu dianjurkan pemberian antasida pra anestesia untuk
mencegah akibat buruk dari aspirasi isi lambung.
Nyeri yang terlalu hebat, perdarahan, muntah yang berlebihan dan keadaan lain yang
tidak dapat diatasi sendiri di rumah harus diatasi di Rumah Sakit. Jadi harus ada perjanjian
dengan unit rawat tinggal untuk menerima pasien dengan penyulit berat. Keluarga pasien juga
harus diberi penjelasan tertulis mengenai penyulit-penyulit yang harus segera dilaporkan/segera
dibawa ke rumah sakit.

2.8 Rawat inap pasca ambulatory anesthesia

11
Twersky dan kawan-kawan menyebutkan bahwa dalam 30 hari pasca pembedahan
ambulatory didapatkan 1,3% pasien kembali ke rumah sakit yang sama , 54% kembali ke unit
gawat darurat, dan 46% menjalani perawatan kembali di rawat inap maupun ambulatory.
Sebagian pasien ambulatory terpaksa menjalani rawat inap yang tidak diharapkan pasca
pembedahan. Hal ini mencakup sekitar 1% dari pembedahan. Pemondokan ini biasanya
berhubungan dengan jenis pembedahan, lamanya pembedahan, penggunaan teknik anestesi
umum dan usia pasien. Diperkirakan seperempat pasien yang terpaksa menjalani rawat inap
pasca ambulatory berhubungan dengan teknik anestesi yang diberikan.
Rawat inap yang tidak diharapkan ini cenderung lebih besar pada pasien yang mendapat
anestesi umum dibandingkan dengan anestesi regional, tetapi juga tidak menutup kemungkinan
sedasi yang diberikan pada pasien yang mendapat anestesi regional meningkatkan sejumlah
komplikasi.
Kemungkinan pemondokan pasca operasi di rumah sakit setelah anestesi regional lebih
rendah (1,2%) dibandingkan setelah anestesi umum (2,9%). Waktu pemulihan pada kelompok
anestesi regional lebih pendek dibandingkan kelompok anestesi umum 56 menit vs 95 menit dan
kejadian nyeri pasca operasi lebih rendah dengan anestesi regional.5,6

Alasan pemondokan pasca ambulatory anesthesia5


Faktor pembedahan (63,2%)
Pembedahan meluas diluar prosedur yang diantisipasi
Komplikasi mengharuskan pembedahan ulang atau observasi lanjut
Perdarahan banyak selama atau pasca operasi
Follow up pembedahan atau rencana prosedur diagnostik
Faktor medis (19,9%)
Kondisi medis yang tidak terkontrol
Membutuhkan terapi antibiotik intravena
Faktor anestesi (12,7%)
Mual atau muntah terus-menerus
Aspirasi pneumonia
Lemah dan lesu
Nyeri yang tidak terkontrol
Faktor lain (4,7%)

12
Pasien menolak pulang
Ahli bedah membutuhkan observasi semalam atau pemeriksaan
tambahan
Tidak ada orang yang cocok untuk merawat pasien di rumah

2.9 Kriteria boleh pulang 10


• Orientasi tempat, waktu, dan orang sudah baik
• Tanda-tanda vital telah stabil dalam 30-60 menit
• Mampu bergerak tanpa dibantu
• Mampu diberikan cairan oral (tanpa muntah)
• Tidak ada nyeri dan perdarahan
• Pasien dengan induksi ketamin, baru boleh pulang setelah 4 jam. Sedangkan pasien
dengan propofol atau pentotal, sudah boleh pulang dalam waktu 2 jam. 10

Pasien yang mendapat anestesi spinal atau epidural hanya dapat dipulangkan ketika
fungsi motorik, sensorik dan simpatis kembali seperti sedia kala serta memiliki kemampuan
untuk mengosongkan kandung kemih, artinya blok telah hilang secara komplit.7
Berikut ini kriteria pemulangan pasien dengan teknik anestesi spinal atau epidural :
1) resolusi komplit terhadap anestesi sensori,
2) resolusi komplit terhadap blockade motorik,
3) tanda vital kembali ke status preanestesi,
4) status mental kembali ke status preanestesi,
5) manajemen adekuat terhadap nyeri pasca operasi,
6) tidak ada mual,
7) bisa buang air kecil, dan
8) bisa jalan tanpa bantuan asisten.7

13
BAB III
KESIMPULAN

Secara medis pasien yang dioperasi dan dianestesi, setelah pasca bedah tidak memerlukan
rawat inap. Resiko pada ambulatory anestesia sama besarnya dengan anestesia pada pasien rawat
inap. Tindakan bedah yang dilakukan pada pasien ambulatory anestesia umumnya tergolong
bedah minor, superfisial, tidak sulit dan cepat selesai. Walaupun demikian bedah ambulatory
anestesia tidak dapat dikaitkan dengan anestesia yang ringan. Anestesia juga harus dalam ( sama
untuk bedah rawat) agar pembedahan dapat dilakukan dengan baik, tidak tergesa-gesa dan aman.
Resiko anestesia yang terjadi pada bedah mayor juga mungkin terjadi pada bedah ambulatory
anestesia. Ketentuan anestesia yang diharapkan pada kasus ambulatory adalah masa pulih sadar
yang cepat, tanpa penyulit berat, selama atau pasca bedah sehingga pasien dapat dipulangkan
pada hari itu juga. Pelaksaan ini membutuhkan kerja sama dan ketelitian dokter bedah dalam
memilih dan mengevaluasi pasien pra bedah.2
Mengingat pasien harus dapat dipulangkan dengan aman, hendaknya tindakan bedah
ambulatory selain terbatas pada kelainan yang kecil juga pada keadaan umum pasien yang baik
(status fisik ASA 1 dan 2). Dokter anestesiologi harus pandai memilih obat serta teknik anestesia
sehinga pasien dapat cepat pulih sadar kembali tanpa efek samping seperti mual, muntah, atau
pusing kepala. Banyak rumah sakit sekarang cenderung melakukan lebih banyak pembedahan

14
atau ambulatory anestesia, karena memberi beberapa keuntungan pada pasien dan rumah sakit.
Bagi pasien dapat membantu menghemat biaya pengobatan , mengurangi resiko infeksi,
mengurangi stres karena tidak perlu berpisah dengan keluarga. Bagi rumah sakit pemakaian
tempat tidur lebih efektif dan efisien, dan juga memperpendek daftar tunggu pasien yang akan di
bedah.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Scott R.Springman.2006. Ambulatory Anesthesia: the requisites in anesthesiology.


Mosby Inc: Philadelphia. Hal: 1-3
2. Staff Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. 1989. Anestesiologi. FKUI:
Jakarta. Hal: 135-139
3. Said A. Latief,dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hal: 121-123
4. dr. A himendra. 1994. Teori Anestesiologi. Bandung. Hal: 90-95
5. Hausman LM, Koppel JN. 2005. Ambulatory surgery in : Reed AP, Yudkowitz FS,
editors. Clinical case in anesthesia. Elsevier : 455-74

6. Mayfield J. 2002. Ambulatory anesthesia in : Huford WE, Bailin MT, Davison JK,
editors. Clinical anesthesia procedurs of the massachusets general hospital. Lippincott
William and Wilkin; 511-6
7. Urmey WF, Stanton J, Bassin P, Sharrock NE. 1997. The Direction of the Whitacre
Needle Aperture Affects the Extent and Duration of Isobaric Spinal Anesthesia. Anesth
Analg; 84:337–41

8. Anonim. Ambulatory Anesthesia. http://


www.asahq.org/patientEducation/ambulatoryAnes.pdf

15
9. Anonim. Anestesia Anak Tanpa Mondok.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AnestisiaAnakTanpaMondok.pdf/12_Anestisia
AnakTanpaMondok.html
10. Anonim. Guide Book Anesthesia. images.nicopoundra.multiply.multiplycontent.com/
/Guide%20Book%20ANESTESI.zip?... –
11.Anonim. Anestesi Rawat Jalan.
http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Anaestesi/Anesthesi
%20RAWAT%20JALAN.pdf

16

S-ar putea să vă placă și