Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
RENY PUSPASARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Reny Puspasari
NRP. C261070061
ABSTRACT
RENY PUSPASARI. Trophodynamic of phytoplankton-zooplankton as
determination of fish larvae survival at lagoon of Pulau Pari, Seribu Island.
Under direction of ARIO DAMAR, M. MUKHLIS KAMAL, DJAMAR T.F.
LUMBAN BATU, NGURAH NYOMAN WIADNYANA.
Reny Puspasari
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Endi S. Kartamihardja, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Suharsono, M.Sc.
PRAKATA
1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr.Ir. M.Mukhlis
Kamal, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumban Batu, M.Agr. dan
Prof (R). Dr. Ir. Ngurah N. Wiadnyana, M.Sc., sebagai anggota komisi
pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan hingga
selesainya disertasi ini.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. dan ketua
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
berserta staf atas segala perhatian dan fasilitas yang penulis terima selama
mengikuti pendidikan pascasarjana.
3. Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji dan Dr.Ir. Gabriele A. Wagey, M.Sc. yang telah
bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof. Dr. Ir. Endi
S. Kartamiharja, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Suharsono, M.Sc. sebagai penguji luar
komisi pada ujian terbuka.
4. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementrian Kelautan dan Perikanan Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas dan
Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya
Ikan Ir. Duto Nugroho, M.Si. atas kesempatan yang telah diberikan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3.
5. Direksi PT. Fega Marikultura atas bantuan larva ikan yang telah diberikan.
6. Rekan-rekan yang telah membantu pelaksanaan penelitian, Taufik, Eni, Roni,
Agus, Munthado, staf laboratorium lingkungan BPPL Muara Baru dan staf
laboratorium kimia dan plankton BPPSDI Jatiluhur.
7. Keluarga tercinta Bapak H. Ramli Abdul Gani, Ibu Mintarsih (Almarhumah),
Ibu Hj. Rukmiati, Mama mertua Ibu Tristuti Mariana Hadi, Papa mertua
Bapak Ganda Chayadi atas dukungan dan doa yang selalu menyertai penulis,
suami tercinta Wiguna Chayadi yang telah sabar dan penuh cinta kasih
mendampingi penulis, memberikan dorongan moril dan materil selama
menempuh pendidikan, serta anak-anakku tersayang Erlangga Widharma
Chayadi dan Kirana Puspadharma Chayadi yang senantiasa memberikan
inspirasi, semangat dan motivasi, mohon maaf atas banyaknya waktu yang
tersisihkan untuk mengurus kalian selama ini.
Reny Puspasari
RIWAYAT HIDUP
Pada tahun 2000 penulis bekerja di PT. Central Proteina Prima Jakarta
sebagai Koordinator Laboratorium Lingkungan dan Kesehatan udang dan ikan.
Tahun 2004 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan
Kementrian Kelautan dan Perikanan dan ditempatkan sebagai calon peneliti di
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xxiv
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah …………………………… 3
1.3 Kebaruan Penelitian ……………………………………………. 7
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….... 7
1.5 Hipotesis ………………………………………………………... 8
V. Kesimpulan 155
V. Saran 157
Gambar Halaman
1. Skema hubungan trofodinamik yang mempengaruhi kelangsungan
hidup larva ikan ………………………………………………………... 6
2. Diagram alir pendekatan masalah …………………………………….. 9
3. Peta bentuk lahan wilayah laguna Pulau Pari ………………………..... 12
4. Pola arus musiman di sekitar Pulau Pari ……………………………..... 13
5. Sirkulasi massa air di laguna Pulau Pari pada pasang naik …………… 13
6. Sirkulasi massa air di laguna Pulau Pari pada pasang surut …………... 15
7. Tahap perkembangan larva ikan ………………………………………. 31
8. Hipotesis match and miss match antara larva dengan makanannya … 33
9. Stasiun pengambilan sampel …………………………………………... 35
10. Desain penelitian eksperimen pemangsaan …………………………… 40
11. Perubahan rata-rata suhu perairan (oC) menurut waktu pengamatan …. 53
12. Sebaran spasial suhu perairan laguna Pulau Pari ……………………… 55
13. Perubahan rata-rata salinitas perairan menurut waktu pengamatan …… 57
14. Sebaran spasial salinitas perairan laguna Pulau Pari ………………….. 58
15. Perubahan rata-rata pH perairan menurut waktu pengamatan ………… 59
16. Sebaran spasial pH perairan laguna Pulau Pari ………………………... 61
17. Perubahan konsentrasi nitrat (NO3-N) perairan menurut
waktu pengamatan …………………………………………………….. 63
18. Sebaran spasial NO3-N perairan laguna Pulau Pari …………………… 64
19. Perubahan konsentrasi ammonium (NH4-N) perairan ………………… 65
20. Sebaran spasial NH4-N perairan laguna Pulau Pari …………………… 66
21. Perubahan konsentrasi fosfat (PO4) perairan menurut waktu
Pengamatan …………………………………………………………….. 67
22. Sebaran spasial PO4-P perairan laguna Pulau Pari ……………………. 68
23. Perubahan konsentrasi Silikat (Si) perairan menurut waktu
Pengamatan …………………………………………………………….. 69
24. Sebaran spasial Si perairan laguna Pulau Pari ………………………... 70
25. Curah hujan harian wilayah Jakarta bagan Utara tahun 2010 …………. 71
26. Konsentrasi klorofil-a di laguna Pulau Pari pada Juni –
Nopember 2010 ………………………………………………………… 73
27. Konsentrasi rata-rata klorofil a dari fitoplankton fraksi ukuran
< 20 μm dan ≥ 20 μm ………………………………………………….. 75
28. Biomassa klorofil a mikrofitoplankton di laguna Pulau Pari ………….. 77
29. Struktur populasi mikrofitoplankton di perairan laguna Pulau Pari …... 78
30. Sebaran kelimpahan jenis mikrofitoplankton berdasarkan
waktu pengamatan …………………………………………………….. 79
31. Distribusi temporal biomassa mikrozooplankton ……………………... 87
32. Persentase organisme penyusun mikrozooplankton …………………... 91
33. Sebaran kelimpahan jenis mikrozooplankton berdasarkan
waktu pengamatan …………………………………………………….. 92
34. Distribusi temporal biomassa mesozooplankton ……………………… 96
35. Pola rata-rata biomassa mikrozooplankton dan messozooplankton
di periaran laguna Pulau Pari ………………………………………….. 97
36. Komposisi dan persentase organisme penyusun mesozooplankton …… 99
37. Sebaran kelimpahan jenis mesozooplankton berdasarkan
waktu pengamatan …………………………………………………….. 100
38. Sebaran temporal biomassa larva ikan ………………………………… 104
39. Pola kelimpahan telur dan larva ikan ………………………………….. 105
40. Kelimpahan relatif larva ikan dominan di laguna Pulau Pari ………… 108
41. Sebaran kelimpahan famili larva ikan ………………………………… 108
42. Sebaran fase perkembangan larva ikan di laguna Pulau Pari …………. 110
43. Distribusi biomassa organisme planktonik di laguna Pulau Pari ……… 112
44. Grafik hasil analisis komponen utama variabel lingkungan dan
biomassa fitoplankton pada saat tidak terjadi ledakan populasi
Skeletonema di perairan laguna Pulau Pari
(Juni – Nopember kecuali Juli 2010) …………………………………. 116
45. Grafik hasil analisis komponen utama variabel lingkungan dan
biomassa fitoplankton pada saat terjadi ledakan populasi Skeletonema
di perairan laguna Pulau Pari (Juli 2010) ……………………………… 119
46. Perubahan dominansi genera mikrofitoplankton ……………………… 122
47. Grafik hasil analisis komponen utama pada seluruh nilai biomassa
organisme planktonik di laguna Pulau Pari …………………………… 127
48. Simulasi pertumbuhan panjang larva ikan Blenniidae ………………… 141
49. Pergeseran nilai tengah panjang larva ikan Blenniidae ……………….. 142
50. Persentase fase perkembangan populasi larva ikan Blenniidae ……….. 143
51. Sketsa diagram pemangsaan hasil eksperimen di laguna Pulau Pari ….. 146
52. Jenis dan persentase isi perut larva ikan kakap putih …………………. 148
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Halaman
sama lain (Rousseau et al., 2000), yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kondisi organisme pemangsa dalam hal ini yang dikaji adalah larva ikan.
Distribusi larva ikan sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan terutama
arus. Arus yang dipengaruhi oleh angin (Lough et al., 1994 dalam Townsend &
Pettigrew, 1996) dan pasang surut yang menentukan penyebaran dan
pengelompokan larva ikan di suatu tempat (Townsend & Pettigrew, 1996).
Dalam kaitannya dengan proses pencarian makanan, penetrasi UV ke dalam
kolom air juga memegang peranan dalam mengontrol keberadaan larva ikan, hal
ini terkait dengan kemampuan predasi larva ikan terhadap sumber daya
makanannya terutama zooplankton, karena proses migrasi zooplankton sangat
dipengaruhi oleh penetrasi UV ke dalam kolom air (Leech et al., 2009).
Di Laguna Pulau Pari ditemukan enam jenis larva ikan yaitu larva ikan
dari famili Ambassidae, Apogonidae, Theraponidae, Hemirhamphidae, Gobiidae
dan Serranidae (Kaswadji, 1997). Sebagai suatu wilayah perairan yang bersifat
semi tertutup dan terlindung, maka Laguna Pulau Pari memenuhi kriteria daerah
asuhan ikan. Keberhasilan hidup larva ikan yang memanfaatkan laguna ini
sebagai daerah asuhan sangat bergantung pada pola hubungan trofodinamik antara
larva ikan dengan komponen sumber daya makanannya dan interaksi dari
berbagai faktor lingkungan.
zooplankton sebanyak dua kali dalam setahun. Dari pemodelan ekosistem yang
dilakukan selanjutnya oleh Kaswadji (1997) menunjukkan bahwa sumber daya
fitoplankton dan zooplankton yang ada dalam laguna tersebut dapat menunjang
kelangsungan hidup larva ikan. Biomassa larva ikan naik nilainya setelah
zooplankton meningkat jumlahnya. Namun demikian informasi mengenai berapa
jumlah biomassa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup larva
ikan dan jenis-jenis plankton apa saja yang dapat menunjang kelangsungan hidup
larva ikan di laguna tersebut belum diketahui.
Bakteri Protozoa
1.5 Hipotesis
Cahaya
Suhu
Hara
Prod. Biomassa
primer Fito
Fitoplankton
sesuai? grazing
Suplai Zooplankton
makanan Biomassa
zoo
sesuai? grazing
Nanozoo/ Sumber
protozoa sesuai daya
? makanan
Larva ikan
Efektif
Kelangsungan
Struktur grazing grazing
Adaptasi, hidup larva
komunitas ?
distribusi
larva
Manajemen larva
Ked.goba
Hidro mixing
Suhu
dinamika
cahaya
Pulau Pari merupakan daratan rendah dengan luasan 0,495 km2, Pulau
lainnya merupakan karang timbul, dimana Pulau Kongsi tengah mempunyai
luasan 0,085 km2, Pulau Kongsi Barat mempunyai luasan 0,028 km2, Pulau
Burung mempunyai luasan 0,022 km2, Pulau Kongsi Timur mempunyai luasan
0,013 km2 dan Pulau Tikus mempunyai luasan 0,012 km2.
Gambar 3. Peta bentuk lahan wilayah laguna Pulau Pari (sumber: Wikanti, 2005).
Sirkulasi massa air di laguna Pulau Pari dipengaruhi oleh arus pasang dan
arus musim secara bersama-sama. Pola arus musiman terjadi mengikuti pola arus
umum seperti yang disampaikan dalam Wyrtki (1961). Pada musim barat
perairan Kepulauan Seribu didominansi oleh pola aliran air laut dari barat-barat
laut ke arah tenggara (Anonim, 2009). Menurut Hartati et al. (2009) pola arus
permukaan pada Maret (peralihan barat ke timur) menunjukkan bahwa arah arus
13
masih dominan dari arah barat, walaupun pada beberapa area terdapat arah arus
yang tidak menentu tergantung kondisi angin. Sementara kondisi pada bulan
Nopember terlihat jelas arah dari barat, dengan kekuatan arus yang lebih besar
dibanding pada Maret (Gambar 4).
-5.81 -5.81
13 5
-5.84 12 -5.84
13
6 5
11 11 7
3 3
4
10 9 7
-5.87 -5.87
1 1
2 2
8
-5.9 -5.9
-5.93 -5.93
106.54 106.57 106.6 106.63 106.66 106.54 106.57 106.6 106.63 106.66
Gambar 4. Pola arus musiman di sekitar Pulau Pari pada musim peralihan barat
timur (kiri) dan pada musim peralihan timur barat (kanan) (sumber:
Hartati et al., 2009).
Menurut Kaswadji (1997) dalam skala waktu harian arus pasang surut
lebih berperan dalam proses pertukaran massa air di perairan tersebut, dan
sirkulasi yang terjadi sangat ditentukan oleh kondisi pasangnya. Pasang di
Kepulauan Seribu bersifat tunggal, yaitu pasang surut dengan periode waktu 24
jam. Arus akan mengalir ke satu arah tertentu selama 12 jam, dan pada 12 jam
berikutnya arus akan mengalir ke arah yang berlawanan. Pada pasang naik air di
perairan Pulau Pari akan mengalir dari arah utara ke selatan, sebaliknya pada
pasang surut arus akan mengalir balik dari selatan ke utara. Proses sirkulasi
massa air di perairan laguna Pulau Pari mengikuti pola pasang surut tersebut.
Pada pasang naik, air laut akan memasuki perairan laguna terutama lewat enam
buah kaloran yang telah disebutkan sebelumnya. Air laut yang masuk mula-mula
akan mengisi goba yang ada sampai muka lautnya sama tinggi dengan muka laut
di perairan bebas. Jika pasang masih terus naik, maka arah aliran arus di perairan
laguna Pulau Pari akan mengikuti pola arus umum yaitu dari utara ke selatan.
Kecepatan arus di dalam perairan laguna Pulau Pari sudah tentu akan lebih rendah
14
daripada di bagian luarnya. Ketika air surut, air laut akan mengalir dari selatan ke
utara. Arus di dalam perairan laguna juga akan mengikuti pola tersebut hingga
muka laut sama tinggi dengan tubir. Jika massa air masih terus surut, maka massa
air di goba-goba akan mengalir keluar melalui kaloran yang ada. Pola arus di
dalam laguna pada saat pasang dan surut disajikan dalam Gambar 5. dan
Gambar 6.
Goba Soa besar akan dipasok oleh massa air yang masuk melalui kaloran
Legun Dalam di selatan dan kaloran Tanah Miring di utara. Setelah laguna ini
terisi penuh air akan mengalir ke daerah di sekelilignya yang lebih dangkal. Goba
Kuanji, Labangan Pasir, Besar I dan Besar II saling berhubungan, pada pasang
naik air laut akan mengisi Goba Kuanji dan labangan Pasir terlebih dahulu dari
kaloran Besar dan Ciadung. Air dari kedua goba tersebut akan mengalir menuju
Goba Besar I dan kemudian ke Goba Besar II. Air laut dari laguna ini kemudian
akan mengalir ke daerah dangkal di sekitarnya. Air laut yang mengalir melalui
kaloran Tenggang akan mengisi Goba Buntu dan Ciaris terlebih dahulu, kemudian
ke daerah sekelilingnya. Air laut yang masuk melalui kaloran Kelapa Tinggi
diperkirakan akan terpecah menjadi dua karena terhalang oleh Pulau Pari,
sebagian besar dari massa air yang masuk akan mengalir ke arah tenggara menuju
ke Goba Labangan Pasir, sebagian lagi akan mengalir kearah timur laut untuk
mengisi kawasan di sekitarnya.
Pola aliran air laut pada pasang surut akan berlawanan dengan pada saat
pasang naik. Air dari kawasan yang dangkal mengalir menuju goba yang terdekat
sebelum keluar dari kawasan Pulau Pari menuju kaloran yang ada. Air laut yang
ada di utara Pulau Pari akan mengalir ke Goba Besar I dan Goba Besar II,
kemudian selanjutnya akan berpindah ke Goba Labangan Pasir lalu keluar melalui
kaloran Ciadung. Kecepatan arus pada pasang naik lebih kuat dari kecepatan arus
pada pasang surut.
15
Gambar 5. Sirkulasi massa air di laguna Pulau Pari pada pasang naik (Sumber:
Kaswadji, 1997).
Gambar 6. Sirkulasi massa air di laguna Pulau Pari pada pasang surut (Sumber:
Kaswadji, 1997).
Saat ini kajian trofodinamik pada organisme plankton baru sebatas pada tingkat
nanoplankton, mikroplankton, mesoplankton dan makroplankton (Turner, 1987;
Brussaard et al., 1995; Dobberfuhl et al., 1997; Ruiz et al., 1998; Lessard &
Murrell, 1998; Liu & Dagg, 2003; Nuruhwati, 2003; Kerner et al., 2004; Fonda
Umani et al., 2005; Schnetzer & Caron, 2005). Berdasarkan pada jenisnya objek
plankton yang diamati biasanya dikelompokkan menjadi dua macam yaitu
plankton autotrofik dan heterotrofik. Plankton autotrofik yang paling umum
diamati adalah fitoplankton dan bakteri autotrof.
produksi primer (Parson et al., 1984). Hasil akhir dari produksi primer ini adalah
penambahan biomassa fitoplankton.
Selain cahaya, nutrien dan suhu juga memegang peranan penting dalam
proses fotosintesis (Tilman et al., 1982; Needoba et al., 2003; Nieuwerburgh,
2004). Nutrien yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton
adalah nitrogen dan fosfor (Valiella, 1984; Tilman et al., 1982). Hal ini
dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jäger et al. (2008)
menunjukkan bahwa kenaikan biomassa fitoplankton dapat terjadi pada saat
fitoplankton terpapar oleh konsentrasi fosfat yang tinggi dan pencahayaan yang
baik, seperti di perairan dangkal (sehingga akhirnya fosfat menjadi unsur
pembatas). Namun menurut Downing et al. (1999) nutrien yang paling
berpengaruh bagi pertumbuhan fitoplankton laut adalah nitrogen, besi (Fe) dan
silikat (Si), hal ini ditunjukkan oleh hasil eksperimen yang dilakukannya
mengenai pengaruh jenis nutrien terhadap waktu penggandaan fitoplankton.
Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuruhwati
(2003) yang menunjukkan bahwa nutrien jenis NH4 memberikan kontribusi paling
besar terhadap peningkatan konsentrasi klorofil-a (biomassa fitoplankton).
Ammonium lebih disukai oleh fitoplankton sebagai sumber hara untuk
pertumbuhannya, bila dibandingkan dengan nitrat (NO3), hal ini terjadi karena
penggunaan nitrat membutuhkan lebih banyak energi dan harus menggunakan
enzim nitrat reduktase untuk mengasimilasi nitrat (Wetzel, 1983 dalam
Nuruhwati, 2003). Silikat merupakan nutrien pembatas bagi kelompok diatom,
karena diatom membutuhkan silikat untuk pembentukan cangkangnya.
Pentingnya peranan silikat bagi diatom ditunjukkan oleh Nieuwerburgh et al.
(2004) dan Escaravage & Prins (2002) dalam penelitian uji coba penambahan
nutrien terhadap populasi fitoplankton terkontrol. Dari hasil uji cobanya
Nieuwerburgh et al. (2004) menemukan bahwa saat dalam populasi fitoplankton
ditambahkan Si, maka diatom langsung mendominasi komunitas fitoplankton
yang diamati, sementara pada kontrol, komunitas fitoplankton berada dalam
kondisi stabil dan seimbang. Silikat juga berperanan dalam memperbesar ukuran
sel, memperberat cangkang dan menghasilkan metabolit sekunder, sehingga
menurunkan kemungkinan diatom tersebut untuk dimangsa oleh Copepod. Hal
ini berakibat pada tingkat pemanfaatan diatom yang rendah oleh Copepod dan
22
primer sangat dipengaruhi oleh tekanan angin lokal. Angin yang bertiup harian
dengan kecepatan rendah (kurang dari 10 meter/detik) berasosiasi dengan
kestabilan kolom air. Tekanan angin rendah yang terjadi dalam periode yang
lama (lebih dari 1 minggu) dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan
fitoplankton dan akumulasi biomassanya. Terdapat keterkaitan yang erat antara
tekanan angin, stabilitas kolom air dan akumulasi biomassa fitoplankton, hal ini
ditunjukkan oleh Moline & Prazelin (1996) di perairan pantai Antartika pada
tahun 1991 – 1992. Besarnya pengaruh angin terhadap proses fotosintesis juga
ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Charpy (1996) mengenai
produksi fotosintesis di sebuah Atol. Menurut Charpy (1996) produksi
maksimum fotosintesis di Atol Takapoto terjadi pada kedalaman antara 15 - 25
meter, akan tetapi pada kondisi angin bertiup kencang, produksi maksimum
fotosintesis terjadi di kedalaman kurang dari 10 meter.
dimana:
disaring akan menjadi lebih kecil pada saat konsentrasi makanan naik. Laju
filtrasi zooplankton pada periode waktu tertentu dapat diukur sebagai penurunan
konsentrasi sel fitoplankton pada periode waktu yang sama, sehingga pada saat
laju grazing zooplankton melampaui laju pertumbuhan fitoplankton, maka dapat
menyebabkan penurunan biomassa fitoplankton (Liu & Dagg, 2003; Lessard &
Murrel, 1998).
Makanan alami bagi larva ikan yang baru memasuki eksogenous feeding
adalah organisme planktonik yang ukurannya sangat kecil dan sesuai dengan
bukaan mulut larva seperti fitoplankton dan zooplankton. Kemampuan makan
larva pertama kali sangat bergantung pada ukuran bukaan mulut larva (Imanto &
Melianawati, 2003; Insan et al., 2002; Laurence, 1984, Lough, 1984). Bukaan
mulut larva ikan saat pertama kali mencari makan berbeda-beda menurut spesies,
28
misalnya larva kakap merah (Lates spp) dan kerapu bebek (Epinephelus spp)
mempunyai ukuran bukaan mulut pertama adalah 120 μm, sementara larva L.
argentimaculatus mempunyai bukaan mulut 145 μm (Imanto & Melianawati,
2003), pada larva ikan betutu bukaan mulut pertama berukuran 1,0 – 2,8 µm
(Insan et al., 2002).
Hasil penelitian Voss (2002) lainnya terhadap komposisi isi perut larva
ikan cod (Gadus morhua) menunjukkan bahwa isi perut larva ikan cod
didominansi oleh nauplii (86,4 %), fase Copepod calanoid (9,1 %), dan Bosmina
dan Evadne masing-masing hanya ditemukan sebanyak 0,1 %. Dari keseluruhan
isi perut larva ikan cod jenis plankton diatom dan dinoflagellata hanya ditemukan
sebanyak 0,1 %. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya terhadap
29
komposisi isi perut larva ikan cod di George Bank yang dilakukan oleh Lough
(tidak dipublikasikan) dalam Werner et al. (2000) yang menunjukkan bahwa
mangsa utama larva ikan cod di George bank adalah organisme planktonik
golongan calanoid seperti Calanus finmarchicus, Pseudocalanus spp dan Oithona
spp.
Fase kuning telur adalah fase pertama setelah ikan menetas dari telur.
Fase ini diawali dengan menetasnya telur menjadi larva dan diakhiri dengan
habisnya kuning telur yang menempel pada tubuh larva (Re & Meneses, 2008).
Pada fase ini larva ikan belum mengambil makanan dari luar tubuhnya. Kuning
telur yang menggantung di perutnya menjadi sumber makanan bagi larva tersebut.
Fase ini dikenal juga dengan sebutan fase “endogenous feeding”.
Fase larva adalah fase dimana ikan telah menghabiskan kuning telurnya
(Re & Meneses, 2008) dan mulai mencari makan dari luar tubuhnya. Fase awal
mencari makan dari luar tubuhnya dikenal dengan fase “eksogenous feeding”.
Tahap larva dibagi menjadi tiga berdasarkan perkembangan notochord selama
31
pembentukan sirip caudal, yaitu fase preflexion, flexion dan postflexion. Fase
preflexion diawali dengan habisnya kuning telur dan diakhiri dengan terjadinya
lengkungan (flexion) pada ujung notochord. Fase flexion diawali dengan mulai
melengkungnya ujung notochord dan diakhiri dengan tulang hypural (sirip caudal)
yang sudah berada pada posisi vertikal. Fase post flexion diawali dengan
pembentukan sirip caudal dan diakhiri dengan bentuk sirip ekor yang sempurna.
Fase juvenile adalah fase dimana sirip ekor jumlahnya sudah lengkap dan
morfologi ikan sudah menyerupai ikan dewasa.
ikan, namun ketepatan waktu antara produksi larva dan produksi makanan
alaminya juga memegang peranan yang sangat penting. Hal ini dirumuskan oleh
Cushing (1975) dalam hipotesis yang diajukannya match and mismatch
hypothesis. Hipotesis ini diajukan untuk menjelaskan adanya variasi dalam proses
rekrutmen di alam. Dalam hipotesis ini dijelaskan mengenai hubungan antara
waktu produksi larva dengan waktu produksi nauplii zooplankton sebagai
makanan larva. Ada tiga kondisi yang dijelaskan oleh Cushing (1975) mengenai
kondisi antara produksi larva dengan produksi nauplii zooplankton, yaitu (1)
makanan hadir pada fase awal produksi larva, (2) makanan hadir pada saat-saat
fase terakhir dari produksi larva dan (3) makanan hadir pada saat pertengahan
masa produksi larva (Gambar 8).
Pada kondisi pertama dimana produksi makanan terjadi pada fase awal
produksi larva, maka makanan akan tersedia lebih awal dan ketersediaanya akan
naik secara perlahan-lahan namun jumlahnya sedikit, karena sudah ada tekanan
pemangsaan oleh larva yang mulai ada dalam jumlah yang tidak banyak. Pada
kondisi ini kelangsungan hidup larva akan rendah, karena walaupun larva
mendapatkan makanan, namun ketersediaan makanan sedikit sehingga
pertumbuhan larva akan lambat dan larva akan mudah dimangsa oleh organism
lain yang lebih besar. Pada kondisi kedua dimana makanan hadir pada saat-sat
terakhir produksi larva, komponen makanan akan tumbuh dengan sangat cepat,
karena hampir tidak ada lagi tekanan pemangsaan oleh larva ikan yang jumlahnya
mulai habis. Pada kondisi ini kelangsungan hidup larva akan sangat rendah
namun larva yang bertahan hidup akan mempunyai peluang tumbuh dengan baik,
karena makanan tersedia dalam jumlah yang cukup banyak sementara persaingan
dari sesama larva dalam memanfaatkan makanan rendah, namun dapat juga
menjadi kondisi yang berbahaya bagi larva karena ada kemungkinan larva tidak
akan menemukan makanan pada saat kuning telur yang menempel di tubuhnya
habis. Kondisi ketiga dimana makanan hadir pada pertengahan produksi larva
merupakan kondisi dimana larva akan mendapatkan suplai makanan selama fase
perkembangannya, walaupun dalam jumlah yang tidak maksimal, kondisi ini
merupakan kondisi yang paling ideal bagi keberhasilan hidup larva dan dapat
menunjang keberhasilan proses rekrutmen.
33
time
Perlakuan U1 U2 U3
1 F
2 N
3 F+N
4 Mi + F
5 Mi + N
6 Mi + F + N
7 Me + F
8 Me + N
9 Me + Mi
10 Me + F + N
11 ME + F + Mi
12 Me + N + Mi
13 Me + F + N + Mi
14 L+F
15 L+N
16 L + Mi
17 L + Me
18 L+F+N
19 L + F + Mi
20 L + F + Me
21 L + N + Mi
22 L + N + Me
23 L + Mi + Me
24 L + N + F + Me
25 L + N + F + Mi
26 L + N + Me + Mi
27 L + F + Me + Mi
28 L + N + F + Mi + Me
Keterangan:
F : Mikrofitoplankton
N : Nanofitoplankton
Mi : Mikrozooplankton
Me : Mesozooplankton
L : Larva
sesuai ukuran kemudian ditempatkan dalam wadah transparan bervolume 1,5 liter
yang ditutup menggunakan plankton net berukuran 5 µm, sehingga tetap terjadi
pertukaran air dalam wadah namun tidak mempengaruhi komposisi organisme
yang diamati. Pengamatan dilakukan setiap 6 jam selama 24 jam, dan dimulai
pada jam ke-2 setelah inkubasi. Dua jam pertama digunakan untuk proses
aklimatisasi plankton setelah mengalami stress akibat penyaringan. Masing-
masing perlakuan disiapkan 4 wadah, untuk diambil setiap 6 jam.
Pada setiap kali pengamatan, air dari wadah yang diambil, kembali
disaring dengan plankton net sesuai dengan organisme yang akan diamati.
Misalkan pada perlakuan 6 (Mikrozooplankton + Nanofitoplankton +
Mikrofitoplankton), air dari wadah disaring terlebih dahulu menggunakan
plankton net berukuran mata jaring 45 µm. Air yang tersaring digunakan untuk
mengamati pertumbuhan mikrozooplankton, air yang lolos disaring ulang
menggunakan jaring plankton ukuran 20 µm, air yang tersaring digunakan untuk
mengamati pertumbuhan mikrofitoplankton sedangkan air yang lolos digunakan
untuk mengamati pertumbuhan nanofitoplankton. Wadah dengan perlakuan
lainnya akan mengalami prosedur yang sama secara bertingkat sesuai komposisi
awal ukuran plankton. Air sampel kemudian dibagi dua, yang pertama digunakan
untuk pengukuran biomassa dan yang kedua digunakan untuk penghitungan
kelimpahan. Sementara air yang akan digunakan untuk analisis biomassa dan
kelimpahan zooplankton ditambahkan formaldehyda sampai konsentrasi akhir 2
%. Desain experimen pemangsaan ditampilkan pada Gambar 10.
40
Air laut
Stok N Stok F Stok Mi Stok Me Stok L
Plankton net 5 µm
Botol perlakuan
Diambil pada t4
Diambil pada t3
Diambil pada t2
Diambil pada t1
Diambil pada t0
100 µm 40 µm 20 µm
Sampel
mikrofitoplankton
menggunakan perahu dengan kecepatan 1 – 2 knot, pada malam hari antara pukul
19.00 – 23.00. Sampel plankton yang tersaring kemudian dilarutkan kedalam 20
liter air laut. Selanjutnya 20 liter air laut yang telah berisi plankton tersebut
disaring kembali menggunakan plankton net ukuran 100 µm untuk mendapatkan
sampel mesozooplankton dan 40 µm untuk mendapatkan sampel
mikrozooplankton. Sampel kemudian diawetkan dengan formaldehyda 4 %
untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Pengambilan sampel larva dilakukan pada malam hari yaitu antara pukul
19.00 – 23.00. Dilakukan dengan menggunakan larva net yaitu jaring khusus
untuk menangkap larva dengan ukuran mata jaring 500 µm, panjang 1,5 meter,
diameter mulut jaring 60 centimeter. Larva net ditarik dengan kecepatan 1 – 2
knot selama 10 menit. Sampel larva yang tertangkap kemudian ditempatkan
dalam wadah dan diawetkan menggunakan formaldehyda 4 %, untuk selanjutnya
dianalisis di laboratorium.
Sampel yang diamati dalam penelitian ini adalah sampel plankton dengan
berbagai fraksi yang dicobakan pada eksperimen pemangsaan yaitu
nanofitoplankton (N), mikrofitoplankton (F), mikrozooplankton (Mi),
mesozooplankton (Me) dan larva ikan. Pengambilan sampel dilakukan dari botol
satuan percobaan setiap 6 jam selama 24 jam, pada setiap perlakuan yang
dicobakan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menyaring setiap satuan
percobaan menggunakan plankton net yang sesuai dengan perlakuan. Sampel
nanofitoplankton dan mikrofitoplankton langsung disaring menggunakan fiber
filter 0,45 µm dan dibungkus alumunium foil, sementara sampel zooplankton
diawetkan menggunakan formaldehyda 4 %, untuk selanjutnya dianalisis di
laboratorium.
43
Pengamatan isi perut larva ikan dilakukan pada larva yang digunakan
dalam eksperimen pemangsaan. Jenis larva yang digunakan adalah larva ikan
kakap putih (Lates calcalifer). Setiap larva yang tertangkap kembali dibedah isi
perutnya kemudian diamati jenis makanan yang ada dalam isi perutnya.
Bahan dan alat yang diperlukan untuk penelitian ini ditampilkan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. lanjutan
Laju grazing sampel air yang disaring dan tidak disaring jaring plankton,
ukuran pori 45 µm
formaldehyda 4 % inkubator contoh
Sedwigck Raffter
Peubah yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, kecerahan, dan nutrien
(NO3-N, NH4-N, PO4-P dan Si). Pengukuran peubah fisika dilakukan
secara in situ, suhu diukur dengan menggunakan thermometer dan
kecerahan diukur dengan menggunakan keeping secchi. Salinitas dan pH
juga diukur secara in situ menggunakan refraktometer dan pH meter,
sementara konsentrasi NO3-N, NH4-N dan PO4-P diukur di laboratorium
45
Dimana:
( )
− ( / 3) =
( 3)
Dimana
Dimana:
f = fraksionasi
Xn = jumlah total seluruh individu zooplankton yang dicacah pada cawan
penghitung; V = volume air yang disaring
N = n / Vtsr
1 ( + ∆ )
= ln
49
Keterangan:
No = Biomassa awal
ΔN = Pertambahan biomassa, dimana
ΔN = Nt – No
T = lama waktu pengamatan (24 jam)
( ∆ / )
g=
∆
Keterangan:
TL = Panjang standar ikan pada umur ke-t (milimeter)
a = Panjang asimtotik (milimeter)
b = konstanta
c = laju pertumbuhan pada fase larva (per hari)
Nilai biomassa dan struktur komunitas juga disajikan dalam bentuk tabel
dan grafik, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui keterkaitan
antara nilai biomassa plankton dan larva dengan kondisi kualitas perairan
dilakukan analisis komponen utama (PCA) pada setiap komponen fraksi plankton
terhadap parameter kualitas air. Analisis ragam dilakukan untuk melihat
perbedaan antar waktu dan stasiun pengamatan.
IV. HASIL dan PEMBAHASAN
4.1.1 Suhu
3 2 ,0
3 1 ,5
3 1 ,0
suhu ( o C )
3 0 ,5
3 0 ,0
2 9 ,5
2 9 ,0 Ju n Ju l A g u st Sep O kt N op D es
w a k tu s a m p lin g (2 0 1 0 )
Gambar 11. Perubahan rata-rata suhu perairan (oC) menurut waktu pengamatan;
n = 50 (I =0,5 sd).
Suhu perairan sangat dipengaruhi oleh penyinaran dan curah hujan yang
intensitasnya bergantung pada musim. Musim timur terjadi pada Juni – Agustus
sedangkan September – Nopember masuk ke musim peralihan dua dimana curah
hujan mulai meningkat (Illahude & Nontji, 2009). Meningkatnya curah hujan
54
pada musim peralihan dua diduga sebagai salah satu penyebab menurunnya suhu
pada musim ini bila dibandingkan dengan musim timur. Pada musim barat
kondisi suhu perairan cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan musim
lainnya, sedangkan pada musim peralihan barat timur nilai rata-rata suhu perairan
sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan musim peralihan timur barat
(Kaswadji, 1997; Anonim, 2009).
Pola distribusi mendatar dari sebaran suhu di perairan laguna Pulau Pari
menunjukkan bahwa pada musim timur, suhu air di sekitar Pulau Burung dan
Tubir luar menunjukkan kecenderungan lebih tinggi bila dibandingkan dengan
stasiun lainnya (Gambar 12). Stasiun Pulau burung berhadapan dengan stasiun
Tubir luar, keduanya berada di sekitar kaloran besar yaitu tempat keluar
masuknya massa air dari dan ke dalam laguna yang terbesar yang menghadap ke
arah selatan (Teluk Jakarta) (Kaswadji, 1997). Sedangkan pada musim peralihan
dua massa air yang lebih hangat berada di sekitar tubir luar dan Pulau Tikus. Hal
ini menunjukkan bahwa ada massa air yang lebih hangat yang keluar masuk
kaloran yang berasal dari perairan Teluk Jakarta. Pada musim timur massa air
yang lebih hangat ini berada di sekitar kaloran dan mengarah ke timur laut menuju
Pulau Burung, sedangkan pada musim peralihan dua massa air yang lebih hangat
ini berada di sekitar kaloran dan mengarah ke Barat Laut menuju Pulau Tikus.
Pola sebaran suhu dipengaruhi oleh sirkulasi massa air di dalam laguna.
Sirkulasi massa air di perairan laguna P. Pari sangat dipengaruhi oleh pasang surut
(Kaswadji, 1997). Pada saat air pasang arus mengalir dari arah utara ke selatan
memasuki laguna melalui kaloran-kaloran yang ada, dan melewati karang
penghalang dengan kecepatan yang berkisar antara 1,0 – 26,0 cm/det. Ketika air
surut massa air meninggalkan daerah laguna ke arah utara melewati karang
penghalang dan kaloran. Jika muka laut lebih rendah dari permukaan karang,
maka massa air dari laguna akan mengalir keluar melalui kaloran (Pariwono et al.,
2006).
perairan, sehingga di perairan Pulau Pari yang sirkulasi massa airnya dipengaruhi
pasang surut, suhu tinggi akan bergerak dari arah barat ke timur laut. Pada musim
peralihan timur barat distribusi suhu perairan menunjukkan pola sebaliknya, suhu
perairan yang lebih tinggi terkonsentrasi di sebelah timur sementara di suhu
perairan yang lebih rendah terkonsentrasi di sebelah barat, sehingga ketika massa
air bergerak keluar dan masuk laguna, maka massa air yang lebih hangat akan
bergerak dari arah Barat ke Timur laut (Gambar 12).
a.
b.
Gambar 12. Sebaran spasial suhu perairan laguna Pulau Pari pada (a) musim
Timur dan( b) musim peralihan dua 2010 ( : kaloran terbesar ),
dihitung berdasarkan pada nilai rata-rata suhu (n = 50).
56
4.1.2 Salinitas
Nilai salinitas yang rendah pada musim timur merupakan pengaruh dari
terjadinya hujan besar pada pengamatan yang terjadi pada awal Juni, akhir Juli
dan awal Agustus. Hasil penelitian Anonim (2009) menunjukkan tidak adanya
perbedaan nyata nilai salinitas pada musim barat dan musim timur, serta tidak ada
perbedaan yang nyata antara musim barat dan musim timur di perairan Kepulauan
Seribu bagian selatan. Penelitian Kaswadji (1997) menunjukkan bahwa salinitas
di perairan laguna Pulau Pari berfluktuasi dengan selang yang tidak jauh, pada
musim barat rata-rata salinitasnya 31,6 ppt pada musim peralihan barat timur
merupakan salinitas terendah yaitu 30,03 ppt salinitas pada musim timur
merupakan salinitas tertinggi yang terukur sepanjang tahun dengan rata-rata 32
57
ppt, sedangkan rata-rata salinitas pada musim peralihan timur barat adalah 31,08
ppt.
3 2 ,0
3 1 ,5
salinitas (ppt)
3 1 ,0
3 0 ,5
3 0 ,0
2 9 ,5
Ju n Ju l A g u st Sep O kt N op D es
w a k tu p e n g a m a ta n (2 0 1 0 )
sama ditemui di perairan Teluk Jakarta pada 2009 (Nurhayati, 2010), dimana
massa air dengan salinitas lebih rendah ditemukan dibagian barat – utara perairan
Teluk Jakarta.
a.
b.
Gambar 14. Sebaran spasial salinitas perairan laguna Pulau Pari (a) musim timur
(b) musim peralihan dua 2010 ( : kaloran), dihitung berdasarkan
pada nilai rata-rata salinitas (n = 50).
59
4.1.3 pH
7 ,6
7 ,4
7 ,2
7 ,0
pH
6 ,8
6 ,6
6 ,4
Ju n Ju l A g u st Sep O kt N op D es
w a k tu p e n g a m a ta n ( 2 0 1 0 )
Pada musim peralihan dua, dimana curah hujan biasanya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan musim timur, nilai pH yang terukur cenderung lebih tinggi
bila dibandingkan dengan musim timur, hal ini terjadi karena waktu pengamatan
tidak bertepatan dengan terjadinya hujan besar di wilayah kota Jakarta dan
sekitarnya atau kondisi perairan sedang dalam kondisi normal.
61
a.
b.
Gambar 16. Sebaran spasial pH perairan laguna Pulau Pari (a) musim timur (b)
musim peralihan dua 2010 ( : kaloran), dihitung berdasarkan
pada nilai rata-rata pH (n = 50).
luar laguna ke dalam laguna. Massa air yang lebih asam ini adalah massa air yang
berasal dari Teluk Jakarta yang sudah mendapat pengaruh masukan air tawar dan
membawa sampah organik. Pada musim peralihan dua dimana pada saat
pengambilan contoh air, perairan Pulau Pari sedang dalam kondisi normal (tidak
terjadi hujan besar) terlihat bahwa nilai pH massa air yang ada di luar laguna
sedikit lebih tinggi dari massa air yang ada di dalam laguna.
a. Nitrat (NO3-N)
1 ,8
1 ,6 S t1
St 2
konsentrasi (m g/l) 1 ,4 St 3
1 ,2 St 4
St 5
1 ,0
0 ,8
0 ,6
0 ,4
0 ,2
0 ,0
Ju n Ju l A g u st Sep O kt N op D es
w a k tu p e n g a m a ta n (2 0 1 0 )
Konsentrasi NO3-N di laguna Pulau Pari yang terukur pada periode Juni –
Nopember 2010 jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi NO3-N
yang terukur pada periode 2000 - 2001 (Damar, 2003), periode 2004 - 2005
(Paonganan et al., 2010; Fachrul et al., 2006) dan periode 2009 (Simanjuntak,
2009) di perairan Teluk Jakarta. Damar (2003) menunjukkan bahwa konsentrasi
NO3-N di daerah off shore Teluk Jakarta pada 2001 berkisar antara 0,00124 – 0,2
mg/l, sementara pada 2005 (Paonganan et al., 2010) menunjukkan bahwa
konsentrasi NO3-N di sekitar Pulau Pari berkisar antara 0,001 – 0,0015 mg/l.
Simanjuntak (2010) menunjukkan bahwa kadar NO3-N di perairan Kepulauan
Seribu bagian Selatan berkisar antara 0,001 – 0,07 mg/l. Namun demikian
Damar (2003), Fachrul et al. (2006), Paonganan et al. (2010) dan Simanjuntak
(2010) melakukan pengukuran NO3-N di luar laguna. Hal ini menunjukkan
bahwa di dalam laguna konsentrasi NO3-N lebih tinggi bila dibandingkan dengan
di luar laguna. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sedyowati (2005)
yang menemukan bahwa konsentrasi nutrien di dalam laguna lebih tinggi bila
dibandingkan dengan di luar laguna. Di dalam laguna proses pencampuran
massa air tidak terjadi dengan baik, yang berakibat pada terperangkapnya material
organik yang berasal dari sampah di dalam laguna.
64
a.
.
b.
Gambar 18. Sebaran spasial NO3-N perairan laguna Pulau Pari (a) musim timur
(b) musim peralihan dua 2010 ( : kaloran) dihitung berdasarkan
pada nilai rata-rata NO3-N (n = 50).
65
b. Amonium (NH4-N)
1 ,2
1 ,0 St 1
St 2
St 3
0 ,8 St 4
konsentrasi (m g/l)
St 5
0 ,6
0 ,4
0 ,2
0 ,0
Ju n Ju l A g u st S ep O kt N op D es
w ak tu p en g am atan (2 0 1 0 )
a.
b.
Gambar 20. Sebaran spasial NH4-N perairan laguna Pulau Pari (a) musim timur
(b) musim peralihan dua 2010 ( : kaloran) dihitung berdasarkan
pada nilai rata-rata NH4-N (n = 50).
c. Fosfat (PO4-P)
Fosfat (PO4-P) merupakan salah satu nutrien penting yang menjadi faktor
pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton selain NO3-N dan NH4-N. Konsentrasi
PO4-P yang terukur selama masa pengamatan berkisar antara 0,001– 0,27 mg/l,
67
dengan rata-rata konsentrasi sebesar 0,05 mg/l. Konsentrasi terendah terjadi pada
awal Oktober dan konsentrasi tertinggi terjadi pada akhir Juli. Berbeda dengan
NO3-N dan NH4-N, konsentrasi PO4-P tidak membentuk pola yang teratur, namun
tetap mempunyai kecenderungan menurun sejak awal Oktober sampai Nopember
(Gambar 21).
0,30
St 1
St 2
0,25 St 3
St 4
St 5
0,20
konsentrasi (mg/l)
0,15
0,10
0,05
0,00
a
.
b.
Gambar 22. Sebaran spasial PO4-P perairan laguna Pulau Pari (a) musim timur
(b) musim peralihan dua 2010 ( : kaloran) dihitung berdasarkan
pada nilai rata-rata PO4-P (n = 50).
d. Silikat (Si)
2,5
St 1
St 2
St 3
2,0 St 4
St 5
1,5
konsentrasi (m g/l)
1,0
0,5
0,0
a.
b.
Gambar 24. Sebaran spasial Si perairan laguna Pulau Pari (a) musim timur (b)
musim peralihan dua 2010 ( : kaloran) dihitung berdasarkan nilai
pada rata-rata Si (n = 50).
71
120
Curah hujan (mm/hari)
100
80
60
40
20
0
1 7 13 19 25 31 6 12 18 24 30 5 11 17 23 29 4 10 16 22 28 3 9 15 21 27 2 8 14 20 26
Gambar 25. Curah hujan harian di wilayah Jakarta bagian utara-stasiun observasi
Cengkareng (sumber: BMKG, 2010).
tangga berupa sisa-sisa sayuran dan buah-buahan, selain itu juga ditemukan
hewan-hewan yang mati, serasah, kasur kapuk dan sebagainya. Perairan laguna
merupakan perairan semi tertutup, dimana masa air yang ada di dalamnya tidak
bercampur langsung dengan masa air yang ada di sekitarnya. Apabila banyak
sampah organik masuk dan terperangkap di dalam laguna, selanjutnya akan
mengalami dekomposisi dan akhirnya dapat meningkatkan konsentrasi nutrien di
dalam perairan laguna. Konsentrasi nutrien (NO3-N) yang tinggi melebihi 0,2
mg/l dapat menjadi pemicu terjadinya ledakan populasi dari fitoplankton
(Simanjuntak, 2010), namun demikian ledakan populasi fitoplankton ini dikontrol
oleh peubah lingkungan lainnya yang berada pada kondisi tidak stabil seperti pH
yang rendah, sehingga biomassa fitoplankton tetap terkontrol.
3 ,5
St 1
St 2
3 ,0 St 3
K onsentrasi klorofil a (m g/m 3 )
St 4
St 5
2 ,5
2 ,0
1 ,5
1 ,0
0 ,5
0 ,0
Ju n Ju l A g u st Sep O kt N op D es
W a k tu sa m p lin g
Gambar 26. Konsentrasi klorofil-a di laguna Pulau Pari pada Juni – Nopember
2010.
Nilai konsentrasi klorofil-a yang terukur lebih rendah dari nilai konsentrasi
klorofil-a di perairan Teluk Jakarta bagian Utara (disekitar Pulau Rambut dan
Pulau Damar) pada musim barat dan timur pada 2009. Hasil penelitian Afdal
(2010) menunjukkan bahwa di perairan Teluk Jakarta bagian utara pada musim
barat 2009 konsentrasi klorofil-a berkisar antara 1,70 – 5,66 mg/m3 dengan rata-
74
rata 3,82 + 1,41 mg/m3, sementara pada musim timur konsentrasi klorofil-a
berkisar antara 1,70 – 3,39 mg/m3 dengan rata-rata 2,62 + 0,52 mg/m3. Apabila
melihat pola umum yang terjadi di sekitar Teluk Jakarta bagian utara, maka
terlihat bahwa pada musim barat konsentrasi klorofil-a di perairan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan musim timur, hal ini terkait dengan tingginya konsentrasi
nutrien karena tingginya curah hujan. Pada tahun 2010 terjadi fenomena La nina
dimana peningkatan curah hujan justru terjadi pada Juli – Agusus, maka pada
tahun ini kondisi luar biasa mungkin terjadi, dimana konsentrasi nutrien dan
klorofil akan meningkat jumlahnya pada musim timur, dan semakin meningkat
sampai musim barat berikutnya (2011).
3,00 0,30
R a ta 2 n a n o
R a ta 2 fito
2,50 0,25
2,00 0,20
1,50 0,15
1,00 0,10
0,50 0,05
0,00 0,00
Jun Jul A gust S ep O kt N op D es
w aktu pengam atan (2010)
Gambar 27. Konsentrasi rata-rata klorofil-a dari fitoplankton fraksi ukuran < 20
μm dan ≥ 20 μm.
0,35
0,30
biomassa klorofil-a (mg/m3)
0,25
0,20
0,15
St 1
0,10 St 2
St 3
St 4
0,05 St 5
rata-rata biomasa
0,00
Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
waktu pengamatan (2010)
2.E+08 Skeletonema
2-Jun
Kelimpahan (sel/m3)
2.E+08 Chaetoceros
1.E+08
5.E+07 Nitzchia 15-Jun
0.E+00 Navicula
05-Jul
Amphora sp
Bacillaria sp
Chaetoceros sp
Coscinodiscus sp
Diploneis sp
Fragillaria sp
22-Jul
Nitzchia sp
Licmophora sp
Rhizosolenia sp
Striatela sp
Thalasionema sp
Anabaena
Ceratium
05-Agust
Gymnodinium sp
Pyrocystis
26-Agust
19-Sep
05-Okt
Jenis
rendah, hal ini dapat terjadi karena pada waktu yang bersamaan terjadi ledakan
populasi ubur-ubur.
Perubahan N:P rasio yang terjadi saat ini tidak menyebabkan perubahan pada
komposisi jenis, tetapi hanya menyebabkan penurunan laju pertumbuhan.
Pada akhir Juli nilai biomassa mikrofitoplankton melonjak dua kali lipat
menjadi 0,21 mg/m3. Peningkatan biomassa terjadi seiring dengan terjadinya
ledakan populasi Skeletonema, yang mencapai kelimpahan 1,8 x 108 sel/m3. Pada
saat ini Cyanophyceae juga mencapai kelimpahan tertinggi selama masa
pengamatan seiring dengan ditemukannya Anabaena dengan kelimpahan yang
tinggi yaitu 9,8 x 105 sel/m3. Keragaman jenis menurun dari 30 jenis menjadi
hanya 16 jenis karena adanya dominansi dari Skeletonema. Skeletonema
merupakan jenis yang sering kali ditemukan dalam kondisi melimpah di perairan
Teluk Jakarta (Damar, 2003; Soedibjo 2006; Thoha, 2009). Skeletonema
berbentuk rantai memanjang dengan ukuran sel yang sedang bila dibandingkan
dengan jenis diatom lainnya, menurut Ou et al. (2008) ukuran sel Skeletonema
costatum adalah 113,3 + 52,4 µm.
hujan, sehingga nilai salinitas sesaat sebelum tejadinya hujan tidak teramati.
Hasil penelitian Huo & Jun Shu (2005) menunjukkan bahwa terjadinya hujan
lebat meningkatkan konsentrasi total inorganik nitrogen (TIN) di perairan.
Kenaikan yang cepat pada konsentrasi TIN memicu terjadinya pertumbuhan yang
cepat dari Skeletonema, namun ketika puncak ledakan terjadi, maka konsentrasi
TIN, PO4-P dan Si mengalami penurunan yang drastis. Dalam penelitian ini pada
saat puncak kelimpahan Skeletonema, nilai TIN dan PO4-P mengalami kenaikan
dari pengamatan sebelumnya, namun nilai konsentrasi Si turun menjadi 3,9 % dari
pengamatan sebelumnya. Nilai TIN dan PO4-P yang tinggi pada saat pengukuran
menunjukkan kemungkinan bahwa ledakan Skeletonema belum mencapai puncak
populasinya, atau puncak populasi Skeletonema dapat terjadi beberapa saat lagi
setelah pengamatan, karena nilai TIN dan PO4-P yang masih tinggi, sehingga
masih dapat dimanfaatkan oleh populasi Skeletonema untuk tumbuh.
mencapai kondisi normal untuk perairan laut, mendekati rasio yang pernah
diajukan oleh Redfield yaitu 16,6 (Parson et al., 1984). Pada kondisi ini
fitoplankton yang melimpah adalah fitoplankton yang sensitif dengan konsentrasi
TIN tinggi, terutama NO3-N. Puncak kelimpahan Chaetoceros yang terjadi saat
ini menunjukkan bahwa Chaetoceros merupakan genus yang memerlukan
konsentrasi unsur N tinggi untuk pertumbuhannya, atau dengan kata lain
Chaetoceros merupakan “N-limited spesies” sesuai dengan hasil penelitian Lagus
et al. (2004) dan Leonardos & Geider (2004).
a. Biomassa mikrozooplankton
0,014
Biomassa mikrozooplankton (mg/m3)
St 1
0,012 St 2
St 3
ST 4
0,010 St 5
0,008
0,006
0,004
0,002
0,000
Jun Jul Agust Sep Okt Nop
waktu pengamatan (2010)
100%
Polycaheta
80%
Persentase kelimpahan
Chaetogatha
Moluska
60%
Rotatoria
40% Protozoa
Crustacea
20%
0%
19-Nov
02-Jun
15-Jun
05-Oct
18-Oct
06-Aug
26-Aug
05-Jul
22-Jul
19-Sep
berbeda pula. Sebagai contoh satu individu Acartia kecil akan mempunyai berat
yang berbeda dengan satu individu Favella dari filum Protozoa. Sehingga dapat
terjadi kondisi dimana biomassa rendah namun kelimpahan tinggi atau sebaliknya,
bergantung pada jenis dan ukuran dari organisme penyusun biomassa.
Kelimpahan (ind/m3)
2.E+04
02-Jun
15-Jun
1.E+04 Nauplius
Tortanus
Acartia Oithona 05-Jul
Tintinopsis Lymacina
0.E+00 22-Jul
Acartia sp
Eucalanus
06-Agust
Naupli balanus
Paracalanus sp
Labidocera sp
Favella sp
Tintinopsis sp
Globigerinoides 26-Agust
Dinophysis
Brachionus sp
Veliger larvae
Sagita sp
Lopadorrhynchus sp
19-Sep
05-Okt
18-Okt
Jenis 19-Nop
inidividu/m3 menjadi 454 individu/m3, dan saat ini merupakan puncak kelimpahan
dari Brachionus karena pada pengamatan selanjutnya tidak pernah lagi dijumpai
Brachionus dengan kelimpahan yang lebih tinggi. Hasil penelitian Rimper et al.
(2008) menunjukkan bahwa di perairan pantai dan estuary Sulawesi Utara
kelimpahan Brachionus paling tinggi dijumpai pada musim timur bila
dibandingkan dengan musim barat.
kenaikan biomassa dan kelimpahan jenis pada saat ini adalah jelas sangat
dipengaruhi oleh kelompok Crustacea.
c. Biomassa Mesozooplankton
0,010
St 1
Biomassa mesozooplankton (mg/m )
St 2
3
0,008 St 3
St 4
St 5
0,006
0,004
0,002
0,000
Jun Jul Agust Sep Okt Nop
waktu sampling
0,020
Rata-rata biomassa berat kering (mg/m 3)
mesozooplankton
mikrozooplankton
0,015
0,010
0,005
0,000
perbedaan yang nyata pada setiap lokasi sampling, yang artinya kondisi lokasi
sampling cenderung homogen pada setiap waktu pengambilan sampel.
100% Ikan
Chaetognatha
Persentase kelimpahan
80%
Protochordata
60%
Moluska
40% Coelenterata
Annelida
20%
Aschelminthes
0% Protozoa
Crustacea
19-Nov
06-Aug
26-Aug
05-Jul
22-Jul
19-Sep
02-Jun
15-Jun
05-Oct
18-Oct
waktu pengamatan (2010)
3.E+03 02-Jun
zoea 15-Jun
2.E+03
Calanus 05-Jul
1.E+03 Acartia naupius besar
Oithona 22-Jul
0.E+00 Lymacina 06-Agust
Acartia sp
Calanus sp
Clausocalanus
Mysis
26-Agust
Oncaea sp
Pseudocalanus
Tortanus
Globigerinoide…
Cypridina sp
Lopadorrhynch…
Vibilia sp
Nauplius besar
Echinoploteus sp
Tomopteris sp
19-Sep
Lymacina sp
Sagita sp
Larva ikan
05-Okt
18-Okt
19-Nop
Jenis
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
Biomassa larva ikan (mg/m 3 )
St. 5
300
100
0
Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
waktu pengamatan (2010)
Pola kelimpahan larva yang ada di laguna Pulau Pari beriringan dengan
pola kelimpahan telur yang tertangkap bersamaan dengan larva ikan. Gambar 39
menunjukkan pola kelimpahan larva dan telur selama masa pengamatan yang
menunjukkan adanya keterkaitan antara kelimpahan larva ikan dengan
kelimpahan telur. Kelimpahan larva mulai naik pada akhir Agustus ketika
kelimpahan telur menurun, hal ini menunjukkan bahwa produksi larva terjadi satu
105
sampai dua bulan setelah puncak produksi telur atau musim pemijahan. Data ini
juga menunjukkan bahwa sangat besar kemungkinan larva ikan yang tertangkap
berasal dari telur yang tertangkap di lokasi yang sama, bukan berasal dari luar
laguna. Hal ini menunjukkan bahwa laguna Pulau pari merupakan daerah
pemijahan.
30
ra ta -ra ta te lu r
ra ta -ra ta la rv a
25
K elim pahan (ind/m 3 )
20
15
10
M ar M ei Jul Sep N op
w a k tu p e n g a m a ta n (2 0 1 0 )
Gambar 39. Pola kelimpahan telur dan larva ikan yang tertangkap di laguna
Pulau Pari.
Pada awal Juni, rata-rata biomassa larva ikan yang terukur sebesar 30,9
mg/m3, dengan nilai biomassa tertinggi dijumpai di stasiun 1 dan terendah di
stasiun 5. Struktur komposisi larva ikan yang menyusun biomassa larva berbeda-
beda pada setiap stasiun. Stasiun 1 didominansi oleh Pistigasteridae dengan
106
Rata- rata biomassa larva ikan mengalami penurunan pada minggu ketiga
bulan Juni menjadi 24,4 mg/m3. Pada saat ini stasiun 1 didominansi oleh famili
Blenniidae, stasiun 2 didominansi oleh famili Aulostomidae, stasiun 3
didominansi oleh Leptobramidae, stasiun 5 didominansi oleh Gerreidae,
sementara di stasiun 4 tidak ditemukan larva ikan.
Pada awal Juli biomassa larva ikan mencapai nilai tertinggi. Rata-rata
biomassa terukur adalah 82,6 mg/m3. Pada saat ini terlihat jelas adanya
dominansi dari Pomacentridae hampir di seluruh stasiun pengamatan kecuali
distasiun 3 sama sekai tidak ditemukan Pomacentridae. Kontribusi famili
Pomacentridae terhadap total kelimpahan hasil tangkapan larva ikan pada 5 Juli
adalah 17,7 %, dengan sebaran persentase setiap stasiun berbeda-beda. Di stasiun
1, kelimpahan Pomacentridae adalah 39,5 % dari kelimpahan total larva ikan yang
tertangkap. Di stasiun 2 kelimpahan Pomacentridae adalah 41,2 % dari total
kelimpahan larva ikan. Di stasiun 4 kelimpahan Pomacentridae tidak terlalu
tinggi, namun di stasiun ini ditemukan 26 famili dengan kelimpahan yang hampir
merata dan didominansi oleh Pomacentridae dan Polynemidae. Di stasiun 5,
Pomacentridae menyusun 35 % dari total kelimpahan larva ikan. Selain
Pomacentridae, famili lainnya yang berperan penting dalam menyususn biomassa
larva ikan adalah famili Aulostomidae, Ophistognathidae, Blenniidae dan
Polynemidae serta Gobiidae.
Minggu ketiga Juli, nilai rata-rata biomassa larva ikan menurun dari
sebelumnya menjadi 78,6 mg/m3. Komposisi struktur larva ikan berubah,
dominansi dari Pomacentridae tidak ada lagi dan mulai digantikan oleh kenaikan
kelimpahan famili Blenniidae, Ambassidae dan Gobiidae. Pada Agustus rata-
rata biomassa larva ikan terus menurun mencapai nilai 10,5 mg/m 3 pada akhir
Agustus, pada saat ini famili Blenniidae ditemukan melimpah hanya di sekitar
107
Pomacentridae
Aulostomidae
Bleniidae
Engraulidae
Pinguipedidae
larva lain
Gambar 40. Kelimpahan relatif larva ikan dominan di laguna Pulau Pari.
Kelimpahan (Individu/m3)
5000
4000 Aulostomidae Pomacentridae
3000
2000 Blenniidae Engraulidae Pinguipedidae
1000 Gobiidae
0
Acropomatidae
Antennariidae
Balistidae
Bythitidae
Cepolidae
Chirocentridae
Cynoglossidae
Ephippidae
Gobiidae
Kyphosidae
Leptobramidae
Microcanthidae
Mullidae
Pempheridae
Plesiopidae
Priacanthidae
Samaridae
Scombridae
Solenostomidae
Tetraodontidae
Famili Xenisthmidae
2-Jun 14-Jun 5-Jul 22-Jul 5-Aug 28-Aug 17-Sep 5-Oct 18-Oct 20-Nov
Gambar 41. Sebaran kelimpahan famili larva ikan di laguna Pulau Pari
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartati & Syam
(2011) yang menyatakan bahwa pada kelompok ikan dewasa famili
Pomacentridae merupakan salah satu kelompok ikan dengan populasi terbesar
yang ditemukan di laguna Pulau Pari. Sriati (2012) menemukan bahwa famili
Pomacentridae juga ditemukan sebagai salah satu kelompok ikan dominan di
perairan Gosong Semak Daun, yang berjarak tidak jauh dari laguna Pulau Pari dan
masih berada di gugusan Kepulauan Seribu.
109
60
40
20
0
Jun Jul Agust Sep Okt Nop
waktu pengamatan (2010)
Gambar 42. Sebaran fase perkembangan larva ikan di laguna Pulau Pari.
Proporsi yang hampir seimbang antara fase flexion dan post flexion dapat
menjadi indikasi bahwa banyak dari larva ikan yang ada di laguna Pulau Pari
tidak melakukan ruaya ke luar laguna, atau menghabiskan fase pelagiknya di
dalam laguna. Pola ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Leis (1991)
bahwa larva Pomacentridae baik fase larva muda maupun fase larva tua
ditemukan dalam kelimpahan yang tinggi di dalam laguna dan semakin jauh dari
laguna maka kelimpahannya semakin rendah.
Menurut Leis (1991) ada enam faktor yang mempengaruhi distribusi larva ikan
karang yaitu (1) waktu dan lokasi pemijahan ikan dewasa, (2) kondisi hidrografi,
(3) topografi, (4) distribusi vertikal larva ikan, (5) daya renang horizontal larva
ikan dan (6) prilaku larva ikan. Keenam faktor ini bersifat spesifik bergantung
pada jenis dan ukuran dari larva ikan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa
larva ikan tidak sepenuhnya bersifat pasif mengikuti sirkulasi massa air, namun
ada beberapa mekanisme yang dapat mempertahankan biomassa larva ikan
sehingga terkumpul di suatu lokasi tertentu. Sirkulasi massa air yang ada di
sekitar terumbu karang sangat komplek, terumbu karang memberikan efek
berlawanan terhadap arah sirkulasi massa air, menurut Leis (1991) hal ini
memungkinkan larva-larva ikan tertahan di sekitar terumbu karang, ini merupakan
salah satu mekanisme retensi yang membuat larva ikan tidak berada jauh dari
terumbu karang.
4.2.5 Hipotesis match and mismatch antara larva ikan dengan fitoplankton
dan zooplankton di laguna Pulau Pari
1,4e+0
Biomassa mikrofitoplankton (mg/m )
2e-2
3
8e+1
2,0e-1
1e-2
Kondisi saat ini sesuai dengan skenario ketiga dalam hipotesis yang diajukan oleh
Cushing (1975), dimana produksi makanan terjadi pada saat kelimpahan larva
tinggi, pada kondisi ini larva akan mendapatkan makanan selama masa
pertumbuhannya namun dalam jumlah yang tidak maksimal. Pada saat ini terjadi
ketepatan waktu antara kelimpahan larva yang tinggi dengan biomassa potensial
mangsanya yang juga tinggi dan sedang dalam fase eksponensial sehingga
menghasilkan kondisi match yang dapat menunjang kelangsungan hidup larva
ikan di laguna Pulau Pari, karena ketersediaan makanan yang mencukupi bagi
larva-larva ikan. Kondisi ini juga diharapkan dapat mendukung terjadinya proses
rekrutmen di perairan laguna Pulau Pari. Kondisi ini menunjukkan bahwa
biomassa nanofitopankton tidak menunjukkan hubungan sebagai mangsa dari
larva ikan, sehingga dapat dikatakan bahwa nanofitoplankton bukanlah organisme
yang berpotensi sebagai mangsa dari larva ikan.
Pada Gambar 38, juga terlihat bahwa kenaikan biomassa larva ikan terjadi
lagi pada awal Oktober, kenaikan biomassa larva ikan pada saat ini bertepatan
dengan biomassa mikrozooplankton dan mesozooplankton mengalami penurunan
biomassa secara tiba-tiba, sementara biomassa nanofitoplankton dan
mikrofitoplankton berada dalam jumlah tertinggi sepanjang massa pengamatan.
Berbeda dengan kondisi yang terjadi pada Juli, bila dilihat dari pola yang
terbentuk biomassa mikrozooplankton dan mesozooplankton membentuk
hubungan negatif dengan biomassa larva, sedangkan biomassa nanofitoplankton
dan mikrofitoplankton membentuk hubungan positif dengan larva ikan.
Biomassa mikrozooplankton dan mesozooplankton mengalami penurunan tiba-
tiba ketika biomassa larva meningkat diduga terjadi karena kedua kelompok
zooplankton tersebut dimangsa oleh larva ikan. Hal ini didukung oleh
pengamatan selanjutnya dimana ketika larva ikan mulai mengalami penurunan,
biomassa mikrozooplankton dan mesozooplankton kembali meningkat. Kondisi
menurunnya biomassa mikrozooplankton dan mesozooplankton secara tiba-tiba
dapat terjadi karena biomassa keduanya tidak sedang dalam waktu pertumbuhan
eksponensial, sehingga kondisinya tidak stabil. Saat pertumbuhan eksponensial,
laju pertumbuhan biomassa terjadi paling cepat, apabila terjadi gangguan pada
biomassanya, populasi zooplankton tersebut dapat segera pulih, sehingga tidak
114
Kondisi pada Oktober ini terjadi karena waktu produksi larva tidak
bertepatan dengan waktu terjadinya pertumbuhan eksponensial dari biomassa
mikrozooplankton dan mesozooplankton, sehingga biomassa mikrozooplankton
dan mesozooplankton berada dalam kondisi yang tidak stabil. Dengan demikian
biomassa mikrozooplankton dan mesozooplankton tidak dapat mendukung
kelangsungan hidup larva ikan, yang berdampak pada kegagalan proses rekrutmen
pada Oktober. Dari uraian di atas nampak bahwa kondisi match and mismatch
pada Oktober ini lebih dipengaruhi oleh biomassa zooplankton bila dibandingkan
dengan biomassa fitoplankton. Kondisi ini sama seperti yang terjadi dengan larva
ikan di sebelah Selatan Hudson Bay dan Cabrera National Park (timur laut
Mediterania) (Fortier et al., 1995; Basterretxea, et al., 2010), dimana kondisi
match and mismatch nya lebih dipengaruhi oleh dinamika zooplankton bila
dibandingkan dengan dinamika yang terjadi pada populasi fitoplankton. Hal ini
menjadi salah satu bukti pendukung bahwa larva ikan lebih memilih zooplankton
sebagai makanan bila dibandingkan dengan fitoplankton. Kecenderungan
memilih zooplankton sebagai makanan menunjukkan bahwa larva ikan cenderung
bersifat karnivora.
01
NH4-N
01 salinitas
pH
Factor 2 : 19,82%
00
Si
PO4-Psuhu
Nanofito mikrofito
-01
NO3-N
-01
-01 -01 00 01 01
Active
Factor 1 : 23,54%
Gambar 44. Grafik hasil analisis komponen utama peubah lingkungan dan
biomassa fitoplankton pada saat tidak terjadi ledakan populasi
Skeletonema di perairan laguna Pulau Pari (Juni – Nopember
kecuali Juli 2010).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fang et al. (2006) yang menyatakan bahwa
nanofitoplankton mempunyai kemampuan untuk meningkatkan penyerapan fosfat
pada konsentrasi fosfat yang tinggi di perairan.
01
salinitas
01
NO3-N
Factor 2 : 20,81%
NETFITO
00
pH
Si NANOFITO NH4-N
PO 4-P
-01
suhu
-01
-01 -01 00 01 01
Active
Factor 1 : 41,40%
Gambar 45. Grafik hasil analisis komponen utama peubah lingkungan dan
biomassa fitoplankton pada saat terjadi ledakan populasi
skeletonema di perairan laguna Pulau Pari (Juli 2010).
komposisi jenis yang teramati selalu berbeda, namun ada juga jenis yang selalu
hadir pada setiap pengamatan atau mempunyai persentase kehadiran 100 %, yaitu
jenis-jenis yang berasal dari kelompok diatom. Jenis yang mempunyai persentase
kehadiran 100 % adalah Chaetoceros, Coscinodiscus, Fragillaria, Gyrosigma,
Navicula, Nitzchia, Rhizosolenia dan Thallasiothrix. Sementara dari kelompok
Cyanophyceae, Oscillatoria merupakan jenis yang paling sering ditemukan
dengan persentase kehadiran 90 %. Dari kelompok Dinophyceae, Ceratium
merupakan jenis yang paling sering ditemukan dengan persentase kehadiran 70 %.
Di perairan sub tropis pengaruh kenaikan suhu juga menjadi salah satu
pemicu terjadinya ledakan populasi Skeletonema, namun dari hasil pengamatan
variabel suhu di perairan Pulau Pari tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata (α = 0,5) selama masa pengamatan, baik itu saat terjadinya ledakan populasi
maupun pada saat populasi Skeletonema dalam kondisi normal.
122
Navicula
Nitzchia
2.E+08
Ceratium
Kelimpahan (ind/m3 )
Oscillatoria
2.E+08
Chaetoceros
1.E+08 Skeletonema
5.E+07
Skeletonema
Chaetoceros
0.E+00 Oscillatoria
Ceratium
32.7
Nitzchia
27.4
15.0
10.8
Navicula
14.2
9.1
16.6
32.9
25.7
32.9
N:P rasio
hasil pengamatan di laguna Pulau Pari selama Juni – Nopember 2010 tidak
menunjukkan adanya gradasi salinitas. Salinitas di laguna Pulau Pari cenderung
homogen dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar waktu dan lokasi
pengamatan.
distribusi temporal antara biomassa larva ikan, suhu, salinitas, pH. Dari plot
distribusi temporal (Gambar 11, Gambar 13 dan Gambar 15) dapat dilihat bahwa
pada saat biomassa larva mencapai puncak tertinggi (5 Juli 2010) peubah suhu
sedang mengalami kenaikan sejak akhir Juni sampai akhir Juli, namun suhu pada
5 Juli bukanlah suhu tertinggi yang diamati. Sementara pada peubah salinitas dan
pH pada tanggal 5 Juli menunjukkan nilai tertinggi sepanjang masa pengamatan.
Hal ini menunjukkan bahwa pada saat biomassa larva ikan tinggi, maka peubah
lainnya yang juga tinggi adalah salinitas dan pH, sementara suhu tidak
menunjukkan nilai tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa produksi larva lebih
dipengaruhi oleh peubah salinitas dan pH bila dibandingkan suhu.
01
Mikrofito
Nanofito
01
Factor 2 : 24.19%
Mesozoo
00 Mikrozoo
-01 Larva
-01
-01 -01 00 01 01
Active
Factor 1 : 33.70%
Gambar 47. Grafik hasil analisis komponen utama pada seluruh nilai biomassa
organisme planktonik di perairan laguna Pulau Pari.
4.4.1 Pertumbuhan
a. Pertumbuhan nanofitoplankton
laju pertumbuhan
No Perlakuan spesifik x 10-2
(mg/m3/jam)
1 N* 8,5
2 N+F** 5,0
3 N+MI*** 5,0
4 N+ME**** 8,0
5 N+L****** 7,5
6 N+ME+MI 3,1
7 N+MI+L 7,6
8 N+ME+L 3,5
9 L+ME+MI+N -1,7
10 N+MI+F 1,0
11 N+ME+F 5,0
12 N+L+F -1,1
13 N+ME+MI+F 2,0
14 N+MI+L+F 1,1
15 N+ME+L+F 1,7
16 N+ME+MI+L+F 4,0
*) N: nanoplankton **)F : mikrofitoplankton
***) MI : mikrozooplankton ****) ME : mesozooplankton
*****) L : larva ikan
b. Pertumbuhan mikrofitoplankton
laju pertumbuhan
No Perlakuan spesifik x 10-2
(mg/m3/jam)
1 F** 10,2
2 F + N* 8,5
3 F + MI*** 9,0
4 F + ME**** 5,8
5 F+L***** 5,0
6 F + MI + ME 2,4
7 F+MI+L 7,9
8 F+ME+L 2,6
9 F + MI + ME+L -0,4
10 F+ MI +N 7,5
11 F + ME + N 2,5
12 F+L+N -2,7
13 F + MI + ME + N 7,4
14 F + MI + L + N 5,9
15 F + ME + L + N 3,4
16 F + MI + ME + L + N 5,9
*) N: nanoplankton **)F : mikrofitoplankton
***) MI : mikrozooplankton ****) ME : mesozooplankton
*****) L : larva ikan
1987; Lessard & Murrel, 1998; Liu & Dagg, 2003; Nuruhwati, 2003; Sarnele
2005).
c. Pertumbuhan mikrozooplankton
Laju pertumbuhan
No Perlakuan spesifik x 10-2
(mg/m3/jam)
1 MI*** + N* -3,5
2 MI + F** -5,2
3 MI + ME**** -3,2
4 MI + L***** -3,3
5 MI + N + F -6,2
6 MI + N + ME -5,1
7 MI + N + L -3,9
8 MI + F + ME -5,1
9 MI + F + L 4,2
10 MI + ME + L 3,9
11 MI + N + F + ME -4,2
12 MI + N + F + L -5,1
13 MI + N + ME + L -2,6
14 MI + F + ME + L -1,9
15 MI + N + F + ME + L -1,9
*) N: nanoplankton **)F : mikrofitoplankton
***) MI : mikrozooplankton ****) ME : mesozooplankton
*****) L : larva ikan
Pada uji coba pertumbuhan ini yang dianggap sebagai kontrol adalah
ketika mikrozooplankton dipasangkan dengan nanoplankton, karena berdasarkan
beberapa penelitian sebelumnya nanofitoplankton adalah makanan utama bagi
mikrozooplankton, maka diharapkan terjadi pertumbuhan maksimal ketika
mikrozooplankton dipasangkan hanya dengan makanan utamanya tanpa kehadiran
pemangsa.
137
d. Pertumbuhan mesozooplankton
Laju pertumbuhan
No Perlakuan spesifik x 10-2
(mg/m3/jam)
1 ME + N 2,6
2 ME + F 8,7
3 ME + MI 0,01
4 ME + L 1,1
5 ME + N + F -3,9
6 ME + N + MI -1,0
7 ME + N + L 2,2
8 ME + F + MI 5,3
9 ME + F + L -1,2
10 ME + MI + L -4,5
11 ME + N + F + MI -0,5
12 ME + N + F + L -1,6
13 ME + N + MI + L 1,1
14 ME + F + MI + L -1,9
15 ME + N + F + MI + L -11,1
138
Keterngan:
*) N: nanoplankton **)F : mikrofitoplankton
***) MI : mikrozooplankton ****) ME : mesozooplankton
*****) L : larva ikan
e. Pertumbuhan larva
Kelompok I Kelompok II
Hari ke-
Nilai tengah SD Nilai tengah SD
1 1,55 0,20
2 1,76 0,43
3 1,80 0,26
4 2,09 0,14 1,49 0,19
5 1,76 0,20 1,61 0,23
6 2,50 0,13 1,51 0,2
7 2,82 0,04 1,67 0,17
Dari hasil analisis nilai tengah ditemukan dua kelompok larva dengan
panjang awal berkisar pada 1,55 mm. Kelompok pertama teramati sejak hari
pertama sampling dengan nilai tengah panjang 1,55 mm dan standar deviasi
sebesar 0,20 sedangkan pada hari ketujuh nilai tengah panjangnya mencapai 2,82
mm, dengan standar deviasi 0,04. Sementara kelompok kedua teramati mulai hari
keempat dengan panjang awal 1,49 mm, standar deviasi 0,19 dan pada hari
ketujuh nilai tengah panjangnya adalah 1,67 mm dengan standar deviasi sebesar
0,17.
3.5
0.5
0
0 2 4 6 8
umur (hari)
Gambar 48. Simulasi pertumbuhan panjang larva ikan Blenniidae di laguna Pulau
Pari Kepulauan Seribu dengan menggunakan metode Gompertz (a =
panjang asimtotik, b = konstanta, c = laju pertumbuhan).
20
Frekwensi Hari - 1
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
20
Hari - 2
Frekwensi
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
50
Hari -3
Frekwensi
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
50
Hari - 4
Frekwensi
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
20
Hari - 5
Frekwensi
10
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
10
Hari - 6
Frekwensi
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
20
Hari - 7
Frekwensi
0
1.00 - 1.25 1.26 - 1.51 1.52 - 1.77 1.78 - 2.03 2.04 - 2.29 2.3 - 2.55 2.56 - 2.81
Panjang kelas (mm)
100%
Presentase fase perkembangan
90%
80%
70%
60%
50%
larva
flexion
40%
30% preflexion
20%
10%
0%
1 2 3 4 5 6 7
Hari ke-
4.4.2 Pemangsaan
Pemangsaan terhadap
mikrofitoplankton
F tunggal 10,2
MI – F 9,0 1,2
Me – F 5,8 4,4
L–F 5,0 5,2
Pemangsaan terhadap
mikrozooplankton
Mi – N -3,5
Me - Mi – N -5,1 1,6
L - Mi – N -3,9 0,4
Pemangsaan terhadap
mesozooplankton
Me – F 8,7
L - Me – F -1,2 9,9
145
Gambar 51. Sketsa diagram pemangsaan hasil eksperimen di laguna Pulau Pari.
147
Total konsumsi larva terhadap seluruh jenis mangsanya adalah 1,65 x 10-1
mg/m3/jam, Apabila dilihat dari diagram diatas, jenis mangsa utama dari larva
ikan adalah mesozooplankton, namun hal ini tidak dapat dibandingkan dengan
pemangsaan terhadap mikrozooplankton, karena terjadinya kematian
mikrozooplankton pada satuan percobaan. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh
terjadinya kematian pada satuan percobaan mikrozooplankton yang tidak hanya
disebabkan oleh faktor pemangsaan namun juga ada pengaruh lainnya, sehingga
hasil eksperimen pemangsaan terhadap mikrozooplankton oleh larva tidak
menunjukkan nilai yang sebenarnya. Hasil ini menunjang hasil analisis terhadap
plot distribusi temporal dari seluruh komponen biomassa organisme planktonik
yang diamati (Gambar 43). yang menunjukkan bahwa komponen yang
mempengaruhi larva ikan adalah mikrozooplankton dan mesozooplankton.
60
50
50
40
Persentase (%)
30
23.5
20
11.8
10 5.9 5.9
2.9
0
Brachionus Nauplii Oithona Mikrosetella Copepod lain Larva ikan
Gambar 52. Jenis dan persentase isi perut larva ikan kakap putih.
Dari 675 ekor ikan yang dimasukan ke dalam satuan percobaan, hanya
170 ekor yang bisa diamati isi perutnya, sebagian besar larva ikan mati atau tidak
ditemukan kembali dalam sampel yang disebabkan oleh larva menempel di botol
atau di jaring plankton. Dari 170 ekor ikan yang dibedah isi perutnya hanya 33
149
ekor yang dapat teramati dengan jelas isi perutnya, sisanya ada yang tidak
teridentifikasi karena hancur atau isi perut nampak kosong. Dari Gambar 52.
terlihat bahwa 73% dari isi perut larva adalah mikrozooplankton yang sebagian
besarnya adalah Brachionus dan telur Brachionus dan hanya 27% saja isi perut
berupa komponen mesozooplankton.
Penurunan ini dapat terlihat dari terjadinya penurunan nilai hasil tangkapan per
unit upaya ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari 0,64 ton/unit muroami pada
tahun 2001 menjadi 0,03 ton/unit muroami pada tahun 2007 (Hartati et al., 2011).
Ikan ekor kuning merupakan hasil tangkapan dominan dari jaring muroami yang
banyak beroperasi di perairan Kepulauan Seribu. Penurunan produksi ikan salah
satunya terkait dengan degradasi habitat alami dari ikan tersebut. Penurunan
kondisi terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat berlindung dan mencari
makan juga memberikan dampak yang nyata terhadap proses rekrutmen populasi
ikan di suatu wilayah.
Kondisi perairan laguna Pulau Pari yang sudah terpengaruh oleh perairan
Teluk Jakarta yang buruk, nampaknya tidak terlalu mempengaruhi fungsi ekologis
dari perairan ini sebagai habitat pemijahan bagi banyak jenis ikan, terutama ikan-
ikan karang yang tidak melakukan ruaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Suwarso dan Ernawati (tidak dipublikasikan) menunjukkan bahwa ikan kembung
(Rastrelliger brachysoma) yang beruaya di perairan pantai utara Jawa melakukan
pemijahan di bagian barat Laut Jawa atau di sekitar perairan Teluk Jakarta yang
berdekatan dengan wilayah Kepulauan Seribu. Hal ini menunjukkan bahwa
wilayah perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu masih menunjang untuk
kelangsungan hidup biota laut khususnya ikan. Hal ini juga dibuktikan masih
banyaknya aktivitas penangkapan yang dilakukan di wilayah Teluk Jakarta dan
152
Kepulauan Seribu (Hartati et al., 2011). Upaya penangkapan yang tidak ramah
lingkungan dan pencemaran menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ekologis
kawasan tersebut. Upaya pengelolaan diperlukan untuk meningkatkan fungsi
ekologis wilayah perairan Kepulauan Seribu menjadi maksimal. Perbaikan
habitat alami merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi
ekologis menjadi maksimal.
dasar perairan serta melindungi pantai dari erosi, (4) berperan penting pada
berbagai daur hara di lingkungan laut (Stapel et al., 1996; Gras, et al., 2003).
Laguna Pulau Pari merupakan daerah dengan tipe ekosistem yang cocok
untuk pertumbuhan lamun, selain dipengaruhi pasang surut harian, juga cukup
terlindung dari hempasan ombak besar. Pada tahun 1992, Kiswara (1992)
menemukan empat jenis lamun di perairan Pulau Pari yaitu Cymodocea rotundata
(14 – 124 tunas/m2), Enhalus acoroides (2 – 12 tunas/m2), Thalassia hemprichii
(26 – 243 tunas/m2) dan Halophyla ovalis (14 -1 24 tunas/m2). Di sekitar padang
lamun Pulau Pari banyak tertangkap ikan herbivor yang memanfaatkan padang
lamun sebagai habitat utama untuk mencari makan dan pengasuhan yaitu ikan dari
famili Siganidae (beronang), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa larva ikan
siganidae ditemukan dengan kelimpahan 85 – 255 individu/m3. Suharti (1999)
menemukan 29 famili dan 53 jenis larva dan juvenil ikan di sekitar padang lamun
Teluk Kuta Lombok, sementara Edrus & Hartati (2011) menemukan 56 jenis
juvenil ikan yang berasal dari 24 famili di padang lamun sekitar Pulau Pari.
Saat ini kondisi padang lamun di laguna Pulau Pari sudah banyak
mengalami penurunan, terutama dari faktor sebaran dan kerapatan. Sebagian
besar lamun yang ada di laguna Pulau Pari dalam kondisi rusak karena tingginya
sedimen yang menempel di bagian daun, yang dapat mengganggu proses
fotosintesis sehingga akhirnya menimbulkan kematian. Penanaman kembali
lamun diharapkan mampu mengurangi beban bahan organik terlarut sekaligus
dapat menjadi tempat berlindung bagi larva dan juvenil ikan yang ada di laguna
Pulau Pari.
V. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan, analisis data dan pembahasan hasil penelitian dapat
ditarik lima kesimpulan besar sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu:
Afdhal. 2010. Variasi spasial dan temporal klorofil-a dan produktivitas primer
fitoplankton di perairan Teluk Jakarta. Dinamika Ekosisitem Perairan
Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Alemany IAC. 2003. Condition indices and their relationship with environmental
factors in fish larvae [Disertation]. Barcelona: Department D’Ecologia.
Universitat de Barcelona.
Allen GR, Adrim M. 2003. Coral reef fishes of Indonesia. Zoological Studies.
42 (1): 1 – 72.
American Public Health Association (APHA). 2005. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. 21st Edition. Washington DC.
America.
Amri K, Agus SB. 2011. Kondisi terumbu karang dan lingkungan perairan sekitar
daerah perlindungan laut (DPL) kepulauan Seribu serta upaya pelestariannya.
Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B. Sumber daya Ikan di
Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya. Jakarta. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kementrian
Kelautan dan Perikanan.
Asriyana, Rahadjo MF, Kartamihardja ES, Lumban Batu DF. 2010. Makanan ikan
Japuh Dussumieria acuta valenciennes 1847 (Famili: Clupeidae) di perairan
Teluk Kendari. Jurnal Ikhtiology Indonesia. 10(1). 93 – 99.
Baduini CL. 1997. Spatial and temporal panerns of zooplankton biomass in monterey
bay, california, during the 1991-1 993 el nino,and an assessment of the
sampling design. CalCOFI Rep. 38: 193 - 198.
Bahara MA. 2009. Distribusi spasial dan temporal larva ikan di perairan Pulau
Abang Gaang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau [Tesis]. Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Batty SR, Blaxter SHJ. 1992. The effect of temperature of burst swimming
performance of fish larvae. Journal of Experiment Biology 170: 187 – 201.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bergenius MAJ, Meekan MG, Robertson DR, McCormick MI. 2002. Larval growth
predicts the recruitment success of coral reef fish. Oecologia 131: 521 – 525.
Brussaard CPD. 1995. Effect of grazing, sedimentation and phytoplankton cell lysis
on the structure of a coastal pelagic food web. Marine Ecology Progress
Series 123:259 – 271.
Chen CY, Durbin EG. 1994. Effect of pH on the growth and carbon uptake of
marine phytoplankton. Marine Ecology Progress Series. 109: 83 – 94.
162
Choat JH, Bellwood DR. 1991. Reef fishes: Their history and Evolution. In The
Ecology of Fishes on Coral Reef. Ed by. Peter F. Sale. California. Academic
Press.
Chusing DH. 1975. Marine Ecology and Fisheries. Cambride University press.
Oxford. pp. 277.
Cowan Jr. JH, Houde ED. 1999. Growth and survival of bay anchovy Anchoa
mitchilli larvae in mesocosm enclosures. Marine Ecology Progress Series
68: 47—57.
Coyle KO, Pinchuk AI, Eisner LB, Napp JM. 2008. Zooplankton species
composition, abundance and biomass on the eastern Bering Sea shelf during
summer: The potential role of water-column stability and nutrient in
structuring the zooplankton community. Deep Sea Research II. 55: 1775 –
1791.
Dennett MR, Mathotb S, Caronc DA, Smith Jr. WO, lonsdaled DJ. 2001.
Abundance and distribution of phototrophic and heterotrophic nano- and
microplankton in the southern Ross Sea. Deep Sea Research II(48): 4019 –
4037.
Downing JA, Rigler FH. 1984. A manual on Methods For the Assessment of
Secondary Productivity in Fresh Water. 2nd Edition. Oxford: Blackwell
Scientific Publication. 501 pp.
Dufour V, Galzin R. 1993. Colonization pattern of reef fish larvae to the lagoon at
Moorea Island, French Polynesia. Marine Ecology Progress Series. 102: 143
– 152.
Edrus IN, Hartati ST. 2011. Kondisi kesehatan terumbu karang di perairan Gugus
Pulau Pari, Teluk Jakarta. Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B.
Sumber daya Ikan di Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya.
Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan
Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Effendi MI. 1979. Metode BIologi Perikanan. Cetakan Pertama. Bogor. Yayasan
Dewi Sri.
Emmel TC. 1976. Population Biology. New York. Harper & Row Publisher.
Escaravage V, Prins TC. 2002. Silicate availability, vertical mixing and grazing
control of phytoplankton blooms in mesocosm. Hydrobiologia 484: 33 – 48.
Eslinger DL, Cooney RT, McRoy CP, Ward A, Kline Jr. TC, Simpson EP, Wang J,
Allen JR. 2001. Plankton dynamic: observed and modelled responses to
physical conditions in Prince Willian Sound, Alaska. Fisheries
Oceanography: 10 (1): 81 – 96.
Fachrul MF, Haeruman H, Anggraeni A. Distribusi spasial nitrat, fosfat dan rasio
N/P di perairan Teluk Jakarta. Makalah pada Seminar Nasional Penelitian
Lingkungan di Perguruan Tinggi, IATPI –Teknik Lingkungan ITB,
Bandung,17-18 Juli 2006.
164
Faria C, Borges R, Gil F, Almada VC, Goncalves EJ. 2006. Embryonic and larval
development of Lipophrys pholis (Pisces: Blenniidae). Scientia Marina.
66(1): 21 – 26.
Garcia A, Cortes D, Ramirez T. 1998. Daily larval growth and RNA and DNA
content of the NW Mediterranean anchovy Engraulis encrasicolus and their
relations to the environment. Marine Ecology Progress Series 166: 237 –
245.
Govoni JJ. 2005. Fisheries oceanography and the ecology of early life histories of
fishes: a perspective over fifty years. Scientia Marina 69: 125 – 137.
Gras AF, Koch MF, Madden CJ. 2003. Phosphorus uptake kinetic of dominant
tropical seagrass Thalassia testudenum. 76: 299 – 315.
165
Hao Hsieh C, Sheng Ciu T. 2002. Summer spatial distribution of copepods and fish
larvae in relation to hydrography in the northern Taiwan Strait. Zoological
Studies. 41 (1): 85 – 98.
Hartati ST, Syam AR. 2011. Keragaan rehabilitasi terumbu karang, kondisi
oseanografi dan sumber daya ikan karang di Kepulauan Seribu – Teluk
Jakarta. Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B. Sumber daya Ikan di
Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya. Jakarta. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kementrian
Kelautan dan Perikanan.
Hartati ST, Wahyuni IS, Edrus IN, Sisco A, Priatna A, Edrissea F, Prihatiningsih,
Indarsyah IJ, Nurwiyanto, Hendriyatna N, Wahyudin A. 2008. Pengkajian
habitat dan pengukuran parameter akustik ikan karang ekonomis penting di
perairan pulau kongsi dan sekitarnya. Laporan Akhir. Balai Riset Perikanan
Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Heath, MR. 2007. The consumption of zooplankton by early life stages of fish in the
North Sea. – ICES. Journal of Marine Science. 64: 1650–1663.
Hodgkiss IJ, Lu S. 2004. The effects of nutrients and their ratios on phytoplankton
abundance in Junk Bay, Hong Kong. Hydrobiologia 512: 215–229.
Huo WY, Shu JJ. 2005. Outbreak of Skeletonema costatum bloom and its relations
to environmental factors in Jiaozhou Bay, China. WSEAS, International
confession on Environment, Ecosystem and Development. Italy.
166
Ilahude AG, Nontji A. 1999. Oseanografi Indonesia dan perubahan iklim global
(El nino dan La nina). Makalah yang disajikan dalam lokakarya “Kita dan
Perubahan Iklim Global: Kasus El nino – La nina”, Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 18 – 19 Mei 1999.
Insan I, Chumaidi, Utami R, Subamia IW, Kusdiarti, Asnawi. 2002. Hubungan Umur
dan Bukaan Mulut Larva Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata) Dengan Jenis
dan Ukuran Pakan Alami yang Dikonsumsi. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia 11(1): 22 – 28.
Ivlev VS. 1961. Experimental Ecology of the Feeding of Fishes. New Haven. Yale
University Press.
Jäger CG, Diehl S, Schmidt GM. 2008. Influence of water column depth and mixing
on phytoplankton biomass, community composition and nutrients. Limnology
and Oceanography 53 (6): 2361 – 2373.
Jochem FJ. 2003. Photo- and heterotrophic pico- and nanoplankton in the
Mississippi River plume: distribution and grazing activity. Journal of
Plankton Research. 25(10): 1201 – 1214.
Juhl AR, Murrell MC. 2005. Interactions between nutrients, phytoplankton growth
and microzooplankton grazing in Gulf of Mexico Estuary. Aquatic Microbial
Ecology. 38: 147 – 156.
Kaswadji RF. 1997. Perairan Laguna: Potensi, Prediksi dan Pemanfaatannya untuk
Perikanan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/4 Perguruan Tinggi TA.
1996/1997. Tahun Ke empat. Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian
Bogor.
167
Kerner M, Ertl S, Spitzy A. 2004. Trophic diversity within the planktonic food web
of the Elbe Estuary determined on isolated individual species by 13C analysis.
Journal of Plankton Research 26(9): 1039 – 1048.
Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun (Seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau-
Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia. 25: 31 – 49.
Kneib RT. 1993. Growth and mortality in successive cohorts of fish larvae within an
estuarine nursery. Marine Ecology Progress Series 01: 115 – 127.
Kovtsova MV, Boitsov VD. 1995. Recruitment of barrent sea plaice (Pleuronectes
platessa L.). Netherlands Journal of Sea Research 34 (1 – 3): 229 – 235.
Lampman GG, Makarewicz JC. 1999. The phytoplankton zooplankton link in the
Lake Ontario food web. Journal of the Great Lake Resource: 25 (2): 239 –
249.
Leech DM, Boeing WJ, Cooke SL, Williamson CE, Torres L. 2009. UV-enhanced
fish predation and differential migration of zooplankton in response to UV
radiation and fish. Limonology Oceanography. 54(4): 1152 – 1161.
168
Leis JM. 1991. The Pelagic Stage of Reef Fishes: The larval Biology of Coral Reef
Fishes. In The Ecology of Fishes on Coral reefs. Editor. Peter F. Sale.
Academic Press. Inc. California. pp. 754.
Leonardos N Geider RJ. 2004. Effects of nitrate : phosphate supply ratio and
irradiance on the C:N:P stoichiometry of Chaetoceros muelleri. European
Journal of Phycology. 39: 173 - 180.
Lough, RG. 1985. Larval fish trophodynamic studies on Georges Bank: Sampling
strategy and initial results. In: Growth and survival of larval fishes in relation
to the trophodynamics of George Bank cod and haddock. NOAA Technical
Memorandum. Massachusetts. U.S. Department of Commerce.
Mann KH, Lazier JRN. 1991. Dynamic of Marine Ecosystems. Blackwell Scientific
Publications, inc. Cambridge. Pp 466.
169
McQueen DJ, Mills EL, Post JR. 1989. Cascading trophic interactions: Uncoupling
at the zooplankton-phytoplankton link. Hydrobiologia. 159: 277 – 296.
McQueen DJ, Post JR, Mills EL. 1986. Trophic relationship in freshwater pelagic
ecosystems. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science. 43: 157 –
158.
Moline MA, Prezelin BB. 1996. Long-term monitoring and analyses of physical
factors regulating variability in coastal Antarctic phytoplankton biomass, in
situ productivity and taxonomic composition over subseasonal, seasonal and
interannual time scales. Marine Ecology Progress Series 145: 143 – 160.
Najamuddin A. 2004. Variasi ukuran dan kebiasaan makan larva dan juvenile ikan
di pantai Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan [Tesis]. Bogor. Institut
Peranian Bogor.
Needoba JA, Waser NA, Harrison PJ, Calvert SE. 2003. Nitrogen isotope
fractionation in 12 species of marine phytoplankton during growth on nitrate.
Marine Ecology Progress Series. 255: 81- 91.
Nugraha AH, Mustika AA, Wijaya GJS, Adrian D. Kondisi ekosistem terumbu
karang di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. http://repository.ipb.ac.id.
(tanggal akses internet 20 Septemeber 2011)
Nurhayati. 2010. Fluktuasi suhu dan salinitas di perairan pantai Teluk Jakarta pada
bulan Februari dan Juni 2009. Dinamika Ekosistem Perairan Kepulauan
Seribu, Teluk Jakarta. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Pepin P, Dower JE. 2007. Variability in the trophic position of larval fish in a
coastal pelagic ecosystem based on stable isotope analysis. Journal of
Plankton Research. 29(8): 727 – 737.
Pitois SG, Fox CJ. 2008. Empirically modeling the potential effects of changes in
temperature and prey availability on the growth of cod larvae in UK shelf
seas. – ICES. Journal of Marine Science. 65: 1559–1572.
Polat S, Aka A. 2007. Total and size fractionated phytoplankton biomass of Karataş,
north-eastern Mediterranean coast of Turkey. Journal of Black
Sea/Mediterranean Environment. 13: 191 – 202.
Proulx M, Pick FR, Mazumder A, Hammilton PB, Lean DRS. 1996. Effect of
nutrient and planktivorous fish on the phytoplankton of shallow and deep
aquatic systems. Ecology. 77(5): 1556 – 1572.
Reeden AM, Sanderson BG, Rissik D. 2002. Extending the analysis of the dilution
method to obtain the phytoplankton concentration at wich microzooplankton
grazing becomes saturated. Marine Ecology Progress Series. 226: 27 – 33.
Renjaan EA. 2003. The Role of Hydrodynamic Regimes and Water Properties on
Transports, Retentions and Settlements of Mollusc Larvae at a Lagoon and its
Adjacent Open Shore in Kai Islands, Indonesia [Dissertation]. Kiel: der
Mathematisch-Naturwissenschafttlichen Fakultat der Christian-Albrechts-
Universitat zu Kiel.
172
Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. Inc.
California. pp.754.
Schnetzer A, Caron DA. 2005. Copepod grazing impact on the trophic structure of
the microbial assemblage of the San Pedro Channel, California. Journal of
Plankton Research 27:10: 959 - 971.
173
Sedyowati, R. 2005. Kondisi fisika-kimia air gugus Pulau Pari, Kelurahan Pulau
Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sriati. 2012. Struktur Trofik Komunitas Ikan di Perairan Pulau Semak DAun
Kepuluan Seribu. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Stapel J, Aart TL, van Duynhoven BHM, de Groot JD, van den Hoogen PHW,
Hemminga MA. 1996. Nutrient uptake by leaves and root of the seagrass
Thalassia hemprichii in the Spermonde archipelago, Indonesia. Marine
Ecology Progress Serries. 134: 195 – 206.
Stige LC, Lajus DL, Chan KS, Dalpadado P, Basedow SL, Berchenko I, Stenseth NC.
2009. Climatic forcing of zooplankton dynamics is stronger during low
densities of planktivorous fish. Limonology Oceanography. 54(4): 1025 –
1036.
Strom SL, Strom MW. 1996. Microplankton growth, grazing, and community
structure in the northern Gulf of Mexico. Marine Ecology Progress Series
130: 229 – 240.
Suharti S. 1999. Kelimpahan dan distribusi larva ikan di padang lamun Teluk Kuta,
Lombok. Dinamika Komunitas Biologis Pada Ekosistem lamun di Pulau
Lombok, Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
Jakarta.
Tilman D, Kilham SS, Kilham P. 1982. Phytoplankton community ecology: the role
of limiting nutrients. Annual Review of Ecology and Systematics. 13: 349 –
372.
Townsend DW, Pettigrew NR. 1996. The role of frontal current in larval fish
transport on Gorges Bank. Deep Sea Research II. 43(7): 1773 – 1792.
Turner JT. 1987. Zooplankton feeding ecology: content of the fecal pellets of the
copepod Centropages velificatus from waters near the mouth of the
Mississippi River. Biology Bulletin 173: 377 – 386.
176
Tzong Wu J, Lin Chouw T. 2003. Silicate as the limiting nutrient for phytoplankton
in a subtropical eutrophic estuary of Taiwan. Estuarine, Coastal and Shelf
Science. 58(1): 155 – 162.
Umar NA. 2009. Dinamika Populasi Plankton Dalam Area Pusat Penangkapan
Benur dan Nener di Perairan Pantai Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang,
Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Uye S. 2008. Blooms of the giant jellyfish Nemopilema nomurai: a threat to the
fisheries sustainability of the East Asian Marginal Seas. Plankton and
Benthos Research (suppl.): 125 – 131
Valiela I. 1995. Marine Ecological Processes. 2nd Edition. New York. Springer.
Vanni MJ. 1996. Food quality effects on life history traits and fitness in the
generalist herbivore Daphnia. Oecologia. 92: 48-57.
Voss R. 2002. Recruitment processes in the larval phase: the influence of varying
transport on cod and sprat larval survival [Disertation]. Kiel: Mathematisch-
Naturwissenschaftlichen Fakultät der Christian-Albrechts-Universität zu Kiel.
Wafar M, Helguen AP, Raikar V, Oismaguer JF, Corre P. 2004. Nitrogen uptake by
size-fractionated plankton in permanently well-mixed temperate coastal
waters Journal of Plankton Reseach. 26(10): 1207 – 1218.
Wang H, Huang B, Hong H. 1997. Size fraction productivity and nutrient dynamics
of phytoplankton in subtropical coastal environments. HydrobiologIia. 352:
97 – 106.
177
Wen Z, Lin DS. 2003. The contribution of size fractionated plankton to biomass
and primary production in saline alkaline ponds. Hydrobiologia. 492: 181 –
190.
Werner FE, Lough RG, Quinlan JA, Buckley LJ, Durbin E, Incze LS, Runge JA.
2000. Modeling growth of larval cod and haddock on Georges Bank: a
synthesis of observations and model results for Spring 1995. Brugge
Belgium: Scientific paper on ICES Annual Science Conference. 88th
Statutory Meeting, 27 – 30 Sep 2000.
Wiadnyana NN, Wagey TG. 2004. Plankton, Produktivitas dan Ekosistem Perairan.
Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Pusat Penelitian Oseanografi.
Williams DM. 1983. Daily, monthly and yearly variability in recruitment of guild of
coral reef fishes. Marine Ecology Progress Series. 10: 231 – 237.
Wilson DT. 2003. The arrival of late-stage coral reef fish larvae in near-shore waters
in relation to tides and time of night. Proceedings of the 26th Annual Larval
Fish Conference. Edited by Howard I. Browman and Anne Berit Skiftesvik.
Bergen. Institut of Marine Research Norway.
Yustina, Arnentis, Darmawati. 2003. Daya tetas dan laju pertumbuhan larva ikan
hias Betta splendens di habitat buatan. Jurnal Natur Indonesia 5(2): 129 –
132.
LAMPIRAN
181
Lampiran 1. Lanjutan
BIOMASSA (mg/m3)
TANGGAL STASIUN
NANOFITO NETFITO MIKROZOO MESOZOO LARVA
02-Jun 1 1,03 0,14 8,3E-05 2,6E-06 51,70
2 1,95 0,19 2,0E-04 5,4E-06 32,10
3 0,99 0,10 1,1E-04 5,7E-06 30,50
4 1,95 0,23 7,3E-05 5,8E-05 26,90
5 0,65 0,23 4,2E-05 1,3E-05 13,50
15-Jun 1 0,64 0,09 1,6E-04 2,9E-05 14,50
2 0,61 0,12 1,5E-04 3,5E-05 60,70
3 1,02 0,13 3,4E-04 3,8E-05 28,60
4 0,44 0,07 2,9E-04 3,1E-05 8,20
5 1,67 0,06 2,8E-04 3,4E-05 10,40
05-Jul 1 1,64 0,19 5,6E-03 1,6E-03 23,60
2 1,54 0,10 3,1E-03 1,2E-03 85,20
3 3,01 0,14 4,7E-03 1,2E-03 109,80
4 0,22 0,03 3,6E-03 1,1E-03 173,60
5 1,02 0,06 4,4E-03 7,5E-04 40,70
21-Jul 1 0,76 0,14 1,0E-02 1,6E-03 361,00
2 0,93 0,25 7,1E-03 1,2E-03 20,89
3 0,59 0,27 7,4E-03 1,2E-03 2,83
4 1,27 0,16 9,0E-03 1,1E-03 7,74
5 1,13 0,20 9,8E-03 7,5E-04 0,37
05-Agust 1 1,87 0,27 1,1E-02 2,0E-03 45,11
2 1,53 0,22 8,0E-03 3,0E-03 111,73
3 1,57 0,16 5,2E-03 7,8E-03 76,86
4 1,36 0,18 7,8E-03 2,7E-03 30,00
5 1,36 0,26 4,3E-03 2,3E-03 46,11
26-Agust 1 0,54 0,15 2,7E-03 1,5E-03 3,90
2 1,25 0,14 2,8E-03 1,3E-03 8,99
3 1,66 0,10 2,3E-03 1,8E-03 9,54
4 1,70 0,22 2,6E-03 1,1E-03 11,74
5 2,22 0,08 2,8E-03 1,2E-03 17,98
184
Lampiran 2. Lanjutan
Kelimpahan (individu/m3)
JENIS
2-Jun 15-Jun 5-Jul 22-Jul 5-Agust 26-Agust 19-Sep 5-Okt 18-Okt 19-Nop
Diatom
Amphora sp - - 238.000 - 383.950 82.000 386.250 376.000 208.006 383.950
Ampiphora sp - - 30.000 - - 33.000 - 152.000 96.000 -
Asterionella sp 55.000 - - - - 43.800 - - 177.333 -
Bacillaria sp - 6.000 15.000 - - - - - - -
Bacteriastrum sp 10.000 31.500 30.800 82.200 454.900 127.000 134.400 22.000 - 454.900
Bidulpia sp 35.000 19.000 15.800 91.200 - - - 66.000 - -
Chaetoceros sp 3.485.000 1.081.500 4.392.000 6.111.750 4.140.500 15.227.500 60.803.550 88.000 62.667 4.140.500
Climacosspahenia sp - - 26.000 - - 84.000 - - - -
Coconeis sp - - 65.000 73.950 90.800 - - - - 90.800
Coscinodiscus sp 125.000 71.500 43.800 45.600 135.600 81.250 134.400 236.000 305.333 135.600
Cyclotella sp 5.000 - 30.000 - - - - - - -
Diatoma sp - 4.500 - - - - - - - -
Diploneis sp - 4.500 45.000 - - 43.750 - - - -
Dytilum sp 55.000 13.500 15.800 - - - - - - -
Eucampia sp - - - - - 10.000 - - - -
Fragillaria sp 45.000 42.500 416.000 236.250 550.900 241.250 264.750 532.667 1.309.333 550.900
Gyrosigma sp 105.000 4.000 257.600 42.750 166.400 39.250 60.000 864.000 545.333 166.400
Hemialus sp - 18.000 - - 1.112.000 - - 53.333 - 1.112.000
186
Lampiran 3. Lanjutan..
Licomophora sp - - 39.000 - - - - - - -
Melosira sp - - 730.000 - 2.757.900 93.400 873.600 - - 2.757.900
Navicula sp 305.000 58.500 1.342.000 855.600 1.868.000 756.850 1.220.200 1.524.667 2.337.333 1.868.000
Nitzchia sp 115.000 170.500 2.459.800 8.507.700 3.883.300 1.469.600 15.988.650 936.667 1.389.333 3.883.300
Pleurosigma sp 45.000 30.500 242.000 87.600 211.800 54.500 307.200 74.000 - 211.800
Rhabdonema sp - - 30.000 - - - - - - -
Rhizosolenia sp 85.000 98.500 401.800 93.600 930.600 142.750 2.994.200 43.333 57.333 930.600
Skeletonema sp 105.000 38.000 23.841.800 182.092.650 33.752.600 2.114.800 16.131.900 - - 33.752.600
Streptoteca sp 240.000 35.500 109.000 183.000 950.200 38.000 508.800 44.000 94.667 950.200
Striatela sp - - 43.000 - - - - - - -
Surirella sp 5.000 - 28.000 - - - - - 58.667 -
Tabelaria sp 10.000 - - - - - - - 18.667 -
Thallasionema sp 115.000 140.500 - 1.024.650 1.003.250 404.400 51.200 - 77.333 1.003.250
Thallasiosira sp - - 598.000 - - 20.000 - - - -
Thallasiotrix sp 1.630.000 656.500 26.000 - 190.200 40.000 508.800 53.333 513.333 190.200
JUMLAH 6.575.000 2.525.000 35.511.200 199.528.500 52.582.900 21.147.100 100.367.900 5.066.000 7.250.673 52.582.900
JUMLAH JENIS 19 19 27 14 17 21 15 15 15 17
187
Lampiran 3. Lanjutan..
Cyanophyta - - - - - - - - - -
Anabaena sp - - - 976.800 - - - - - -
Oscillatoria sp 30.000 17.500 402.400 93.600 31.450 - 540.700 106.667 18.667 31.450
Spirullina sp 20.000 - - - - - - - - -
JUMLAH 50.000 17.500 402.400 1.070.400 31.450 - 540.700 106.667 18.667 31.450
JUMLAH JENIS 2 1 1 2 1 - 1 1 1 1
Dynophyta - - - - - - - - - -
Ceratium sp - 5.000 - - 6.250 175.000 92.000 878.000 280.000 6.250
Dictyocha sp - - 15.000 - - 11.000 - - 18.667 -
Dinophysis sp - - - - - - - 48.667 - -
Gymnodinium sp - - - - - - - 21.333 - -
Peridinium sp 5.000 - 15.000 - - 10.000 - - 137.333 -
Prorocentrum sp - - - - - 36.250 159.950 204.000 - -
Pyrocystis sp - 1.000 - - - - - - - -
Mesodinium sp 1.651 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 23.112 0.000
JUMLAH 5.000 6.000 30.000 - 6.250 232.250 251.950 1.152.000 436.000 6.250
JUMLAH JENIS 2 2 2 - 1 4 2 4 4 1
TOTAL JUMLAH 6.630.000 2.548.500 35.943.600 200.598.900 52.620.600 21.379.350 101.160.550 6.324.667 7.705.339 52.620.600
TOTAL JUMLAH
24 22 30 16 19 25 18 20 21 19
JENIS
188
Kelimpahan (individu/m3)
JENIS
2-Jun 15-Jun 5-Jul 22-Jul 6-Agust 26-Agust 19-Sep 5-Okt 18-Okt 19-Nop
CRUSTACEA
COPEPODA
Acartia sp 31.37 363.18 82.54 181.59 297.15 280.64 363.18
Calanus sp 33.02 272.39 115.56 280.64 214.61 330.16 33.02 49.52 82.54 33.02
Centropages sp 33.02 82.54 49.52 16.51 33.02 16.51
Eucalanus sp 16.51
Microsetella sp 6.60 115.56 379.69 49.52 231.12 561.28 264.13 115.56 231.12 264.13
Naupli Acartia 34.67
Naupli Balanus 36.32 66.03 247.62
Oithona sp 3.30 1477.49 825.41 1155.58 1436.22 495.25 165.08 313.66 280.64 165.08
Oncaea sp 4.95 16.51 33.02 16.51 16.51 16.51 16.51
Paracalanus sp 13.21 99.05
Tortanus sp 396.20 264.13 3912.45 198.10 2030.51 313.66 557.98 2030.51
Temora sp 19.81 173.34 1056.53 148.57 148.57 610.80 49.52 165.08 115.56 49.52
Labidocera sp 16.51
BRACHIOPODA
Conehoceio sp 1.65
189
Lampiran 4. Lanjutan..
MALACOSTRACA
Nauplius 203.05 8609.04 3103.55 4902.95 8963.97 5266.13 8287.13 6075.03 10367.17 8287.13
Zoea 255.88 16.51 82.54
JUMLAH 387.94 11448.46 6042.01 7065.52 15270.12 7808.39 10862.42 7362.67 12014.69 10862.42
JUMLAH JENIS 11 12 9 8 9 8 8 9 8 8
CILIATA
Codonelopsis sp 132.07 16.51 66.03 132.07
Parundella sp 1073.04
Favella sp 8.25 115.56 16.51 49.52 1.65 82.54 115.56
Leptotintinus sp 33.02
Tintinid sp 132.07
Tintinopsis sp 1.65 0.00 280.64 1733.36 16.51 115.56 8.25 165.08 346.67 280.64
SARCODINA
Globigerina sp 90.80
Globigerinoides sp 66.03
Sticolonche sp 115.56
FLAGELATA
Dinophysis sp 297.15
Ornithocercus sp 49.52 49.52
JUMLAH 1.65 99.05 709.85 2839.42 33.02 231.12 141.97 165.08 792.40 577.79
JUMLAH JENIS 1 3 5 3 2 4 3 1 4 4
190
Lampiran 4. Lanjutan..
ROTATORIA
Brachionus sp 3.30 453.98 198.10 115.56 396.20 181.59 0.00 0.00 33.02 181.59
JUMLAH 3.30 453.98 198.10 115.56 396.20 181.59 0.00 0.00 33.02 181.59
JUMLAH JENIS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
MOLUSKA
Lymacena sp 82.54 305.40 528.26 990.49 99.05 577.79 231.12 198.10 313.66 305.40
Veliger larvae 874.94 280.64 396.20
Lamelaria sp 82.54
JUMLAH 82.54 305.40 610.80 990.49 99.05 1452.72 231.12 478.74 709.85 305.40
JUMLAH JENIS 1 1 2 1 1 2 1 2 2 1
CHAETOGNATHA
Sagita sp 33.02 66.03 115.56 198.10 495.25 66.03
JUMLAH 0.00 0.00 66.03 115.56 0.00 198.10 0.00 0.00 495.25 66.03
JUMLAH JENIS 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1
POLYCHAETA
Tomopteris sp 49.52 66.03
Lopadorrhynchus sp 8.25 16.51
JUMLAH 0.00 8.25 0.00 49.52 0.00 66.03 0.00 0.00 16.51 0.00
JUMLAH JENIS 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0
TOTAL JUMAH 475.44 12348.16 7626.80 11176.07 15798.38 9937.96 11235.50 8006.49 14061.71 24001.46
TOTAL JUMLAH
15 18 18 15 13 17 13 13 17 15
JENIS
191
Kelimpahan (individu/m3)
JENIS
2-Jun 15-Jun 5-Jul 22-Jul 6-Agust 26-Agust 19-Sep 5-Okt 18-Okt 19-Nop
CRUSTACEA
COPEPODA
Acartia sp 290.54 24.76 122.16 92.45 74.29 242.67 99.05 3.30 74.29
Balanus sp 24.76 30.54 41.27 42.92 44.57 26.41 3.30 44.57
Calanus sp 3.30 1112.65 37.97 9.90 123.81 39.62 31.37 70.99 37.97 39.62
Centropages sp 4.95 11.56 1.65 14.86 33.02 85.84 125.46 33.02
Clausocalanus sp 1.65
Mikrosetella sp 3.30 118.86 4.95 33.02 6.60 21.46 31.37 11.56 21.46
Mysis 4.95 8.25
Oithona sp 414.36 4.95 24.76 42.92 6.60 69.33 11.56
Oncaea sp 3.30 31.37 4.95 28.06 11.56 14.86 8.25 11.56
Paracalanus sp 3.30
Pseudocalanus sp 1.65
Temora sp 102.35 4.95 8.25 11.56 26.41 8.25
Tortanus sp 6.60
BRACHIOPODA
Evadne sp 9.90 19.81 21.46 3.30 19.81
Cypridina sp 16.51
192
Lampiran 5. Lanjutan..
MALACOSTRACA
Udang 78.41 232.77 127.11 105.65 13.21 66.03 105.65
Nauplius besar 1058.18 3.30 70.99
Zoea 64.38 2009.05 219.56 252.58 51.18 6.60 252.58
Vibilia sp 4.95 21.46
JUMLAH 6.60 3133.26 302.10 2586.84 703.25 610.80 536.52 490.29 82.54 610.80
JUMLAH JENIS 2 9 9 13 9 9 10 10 4 9
ROTATORIA
Brachionus sp 16.51 75.94 16.51
JUMLAH 0.00 16.51 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 75.94 16.51
JUMLAH JENIS 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1
SARCODINA
Globigerinoides sp 1.65 26.41
Sticolonche sp 1.65 21.46 3.30
Echinoploteus sp 3.30 16.51 8.25 8.25 14.86 13.21
Gladioferans sp 1.65
JUMLAH 0.00 1.65 4.95 37.97 8.25 8.25 16.51 0.00 42.92 0.00
JUMLAH JENIS 0 1 2 2 1 1 2 0 3 0
FLAGELATA
Mesodinium sp 1.65 23.11
JUMLAH 1.65 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 23.11 0.00
JUMLAH JENIS 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0
193
Lampiran 5. Lanjutan..
POLYCHAETA
Lopadorrhynchus sp 33.02 1.65 6.60 1.65
Pontodora sp 8.25
Tomopteris sp 8.25 1.65
JUMLAH 0.00 33.02 0.00 0.00 8.25 8.25 1.65 1.65 6.60 1.65
JUMLAH JENIS 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1
HIDROZOA
Obelia larvae 3.30 16.51
JUMLAH 3.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.51 0.00
JUMLAH JENIS 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0
MOLUSKA
Lymacina sp 379.69 16.51 1.65 37.97 3.30 99.05 37.97
JUMLAH 0.00 379.69 0.00 16.51 0.00 1.65 37.97 3.30 99.05 37.97
JUMLAH JENIS 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1
TUNICATA
Pyrosoma sp 1.65 70.99
JUMLAH 0.00 0.00 1.65 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 70.99 0.00
JUMLAH JENIS 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0
194
Lampiran 5. Lanjutan
CHAETOGNATHA
Sagita sp 6.60 6.60 52.83 3.30 56.13 26.41 4.95 4.95
JUMLAH 0.00 6.60 6.60 52.83 3.30 56.13 26.41 4.95 0.00 4.95
JUMLAH JENIS 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1
IKAN
Telur 1.65 8.25 9.90 6.60 3.30 3.30
Larva ikan 8.25 21.46 6.60 1.65 1.65
JUMLAH 1.65 0.00 16.51 31.37 0.00 13.21 1.65 1.65 3.30 3.30
JUMLAH JENIS
TOTAL JUMLAH 13.21 3570.73 331.82 2725.51 723.06 698.30 620.71 501.85 420.96 675.19
TOTAL JUMLAH
4 14 13 17 12 13 15 13 13 13
JENIS
195
Kelimpahan (Individu/m3)
FAMILI
02-Jun 14-Jun 05-Jul 22-Jul 05-Agust 28-Agust 17-Sep 05-Okt 18-Okt 20-Nop
Acropomatidae 255 170
Ambassidae 290 23
Amblyopinae Gobiidae 289 51 357 637 25
Ammodytidae 69 31 15 8
Antennariidae 25 85
Anthiinae Serranidae 51
Atherinidae 85 51 8 8 8
Aulostomidae 714 255 713 46 558 199 8 2.196 526
Balistidae 85
Blenniidae 425 178 968 374 69 260 1.164 533 204
Bothidae 25 25 637 340 51
Bregmacerotidae 306 510
Bythitidae 31
Callionimydae 51 66 8 255
Carangidae 51 51 84 84 38 407 15 153
Carapidae 8 1.359
Cepolidae 25
Chaetodontidae 85
Chanidae 51 23 25
196
Lampiran 6. Lanjutan
Cheilodactylidae 15
Chirocentridae 8
Citharidae 25 15
Clupeidae 51 8 127 152 1.359
Creedidae 8
Cynoglossidae 102
Drepaneidae 85
Eleotrididae 153
Engraulidae 280 25 255 23 219 82 382 382 1.308 450
Ephippidae 25 23
Epinephelinae Serranidae 51 76
Fistulariidae 102
Gerreidae 127 51 150 8 8 255 195
Gobiidae 102 76 53 76 69 170 8 612 51
Haemulidae 76
Isonidae 102 50 15 8 637 476
Kuhliidae 51 8 214
Kyphosidae 280 8 69 85
Labridae 204 8 61 53 306 85
Latidae 31
Leiognathidae 76 127 8 85 25
Leptobramidae 229 306 127 1020 340
197
Lampiran 6. Lanjutan
Lampiran 6. Lanjutan
Ptereleotrinae 8
Samaridae 153
Scaridae 51 25 127 25
Scatophagidae 51
Schindleriidae 8 8 38
Scombridae 8 85 229
Serranidae 23 8
Siganidae 102 85 255
Sillaginidae 51 51 8 85
Solenostomidae 51 372 51
Sparidae 331 340 195
Synodontidae 25
Terapontidae 25 25 76 510 510 595 51
Tetraodontidae 51
Trichiuridae 102
Triglidae 25 25
Tripterygiidae 85 51
Xenisthmidae 51
TOTAL 3.718 1.856 9.857 1.040 3.318 1.002 5.362 14.694 12.232 1.713
199
bawah)
Silinder (ekor) (1/4)∏r2h
12 Temora kecil Setengah Elips -bundar (1/2)*(1/6)*∏(LWH) 1,790,435.85
(badan) (badan bagian
Kerucut 1/12∏W 2L
bawah)
Silinder (ekor) (1/4)∏r2h
13 Centropages Elips -panjang (badan) (4/3)*∏*(r1)*(r2)*(r3) 99,723,414.06
besar Silinder (ekor) (1/4)∏r2h
14 Centropages Elips -panjang (badan) (4/3)*∏*(r1)*(r2)*(r3) 12,555,356.68
kecil Silinder (ekor) (1/4)∏r2h
15 Temopteris Elips -panjang (4/3)*∏*(r1)*(r2)*(r3) 776,778.27
16 Balanus Sphere (kepala) (1/6)*∏(LWH) 666,030.59
Kerucut (ekor) 1/12∏W 2L
Segitiga/kerucut (kaki) (1/12)∏W2L* 2
17 Tortanus Sphere (kepala) (1/6)*∏(LWH) 1,160,697.73
Silinder (ekor) (1/4)∏r2h
Kerucut (kaki) 1/12∏W 2L*10
Sphere (kepala) (1/6)*∏(LWH) 659,374.23
Silinder (ekor) (1/4)∏r2h
Kerucut (kaki) 1/12∏W 2L*10
200
Lampiran 7. Lanjutan..
Hari Panjang
n ke - Fase
ke- (mm)
1 1 1,375 preflexion
1 2 1,45 preflexion
1 3 1,5 preflexion
1 4 1,5 preflexion
1 5 1,5 preflexion
1 6 1,5 preflexion
1 7 1,5 preflexion
1 8 1,5 preflexion
1 9 1,55 preflexion
1 10 1,55 preflexion
1 11 1,55 preflexion
1 12 1,55 preflexion
1 13 1,55 preflexion
1 14 1,625 preflexion
1 15 1,625 preflexion
1 16 1,675 preflexion
1 17 1,75 preflexion
1 18 1,75 preflexion
1 19 1,75 preflexion
1 20 1,875 preflexion
1 21 2 preflexion
1 22 2 preflexion
1 23 2,125 preflexion
2 1 1 preflexion
2 2 1,2 preflexion
2 3 1,25 preflexion
2 4 1,25 preflexion
2 5 1,25 preflexion
2 6 1,25 preflexion
2 7 1,375 preflexion
2 8 1,45 preflexion
2 9 1,5 preflexion
2 10 1,5 preflexion
2 11 1,5 preflexion
2 12 1,5 preflexion
2 13 1,5 preflexion
2 14 1,5 preflexion
2 15 1,5 preflexion
2 16 1,5 preflexion
2 17 1,5 preflexion
202
Lampiran 8. Lanjutan
2 18 1,5 preflexion
2 19 1,55 preflexion
2 20 1,55 preflexion
2 21 1,625 preflexion
2 22 1,625 preflexion
2 23 1,625 preflexion
2 24 1,625 preflexion
2 25 1,625 preflexion
2 26 1,75 preflexion
2 27 1,75 preflexion
2 28 1,75 preflexion
2 29 1,75 preflexion
2 30 1,75 preflexion
2 31 1,75 preflexion
2 32 1,75 preflexion
2 33 1,75 preflexion
2 34 1,75 preflexion
2 35 1,75 preflexion
2 36 1,8 preflexion
2 37 1,85 preflexion
2 38 1,875 preflexion
2 39 1,875 preflexion
2 40 1,875 preflexion
2 41 1,875 preflexion
2 42 1,875 preflexion
2 43 2 preflexion
2 44 2 preflexion
2 45 2 preflexion
2 46 2 preflexion
2 47 2 preflexion
2 48 2 preflexion
2 49 2,25 preflexion
3 1 1,125 preflexion
3 2 1,3 preflexion
3 3 1,375 preflexion
3 4 1,375 preflexion
3 5 1,45 preflexion
3 6 1,5 preflexion
3 7 1,5 preflexion
3 8 1,5 preflexion
3 9 1,55 preflexion
3 10 1,55 preflexion
203
Lampiran 8. Lanjutan
3 11 1,55 preflexion
3 12 1,55 preflexion
3 13 1,575 preflexion
3 14 1,575 preflexion
3 15 1,575 preflexion
3 16 1,6 preflexion
3 17 1,625 preflexion
3 18 1,625 preflexion
3 19 1,625 preflexion
3 20 1,625 preflexion
3 21 1,625 preflexion
3 22 1,625 preflexion
3 23 1,7 preflexion
3 24 1,7 preflexion
3 25 1,75 preflexion
3 26 1,75 preflexion
3 27 1,75 preflexion
3 28 1,75 preflexion
3 29 1,8 preflexion
3 30 1,875 preflexion
3 31 1,95 preflexion
4 1 1,125 preflexion
4 2 1,25 preflexion
4 3 1,25 preflexion
4 4 1,25 preflexion
4 5 1,325 preflexion
4 6 1,375 preflexion
4 7 1,375 preflexion
4 8 1,375 preflexion
4 9 1,375 preflexion
4 10 1,375 preflexion
4 11 1,375 preflexion
4 12 1,375 preflexion
4 13 1,375 preflexion
4 14 1,5 preflexion
4 15 1,5 preflexion
4 16 1,5 preflexion
4 17 1,5 preflexion
4 18 1,5 preflexion
4 19 1,5 preflexion
4 20 1,5 preflexion
4 21 1,5 preflexion
204
Lampiran 8. Lanjutan
4 22 1,5 preflexion
4 23 1,5 preflexion
4 24 1,5 flexion
4 25 1,5 preflexion
4 26 1,55 preflexion
4 27 1,625 preflexion
4 28 1,625 preflexion
4 29 1,625 preflexion
4 30 1,625 preflexion
4 31 1,625 preflexion
4 32 1,625 preflexion
4 33 1,625 preflexion
4 34 1,625 preflexion
4 35 1,7 preflexion
4 36 1,7 preflexion
4 37 1,7 preflexion
4 38 1,7 preflexion
4 39 1,75 preflexion
4 40 1,75 preflexion
4 41 1,75 preflexion
4 42 1,75 preflexion
4 43 1,75 flexion
4 44 1,75 preflexion
4 45 1,8 preflexion
4 46 1,8 preflexion
4 47 1,875 flexion
4 48 1,875 preflexion
4 49 1,875 preflexion
4 50 2 preflexion
4 51 2 preflexion
4 52 2,05 flexion
4 53 2,125 preflexion
4 54 2,125 preflexion
4 55 2,125 preflexion
4 56 2,125 preflexion
4 57 2,25 preflexion
4 58 2,25 preflexion
4 59 2,25 preflexion
4 60 2,25 flexion
4 61 2,25 preflexion
4 62 2,5 flexion
205
Lampiran 8. Lanjutan
5 1 1 preflexion
5 2 1,375 preflexion
5 3 1,375 preflexion
5 4 1,375 preflexion
5 5 1,375 preflexion
5 6 1,45 preflexion
5 7 1,5 preflexion
5 8 1,5 preflexion
5 9 1,5 preflexion
5 10 1,5 flexion
5 11 1,5 flexion
5 12 1,575 preflexion
5 13 1,625 flexion
5 14 1,625 preflexion
5 15 1,625 preflexion
5 16 1,625 preflexion
5 17 1,625 preflexion
5 18 1,625 preflexion
5 19 1,625 preflexion
5 20 1,625 flexion
5 21 1,625 flexion
5 22 1,7 preflexion
5 23 1,7 flexion
5 24 1,75 flexion
5 25 1,75 flexion
5 26 1,75 preflexion
5 27 1,75 preflexion
5 28 1,8 preflexion
5 29 1,875 preflexion
5 30 1,875 preflexion
5 31 1,95 preflexion
5 32 1,95 preflexion
5 33 2 flexion
5 34 2 flexion
5 35 2 preflexion
5 36 2,125 flexion
5 37 2,375 flexion
5 38 2,5 flexion
6 1 1,375 preflexion
6 2 1,375 preflexion
6 3 1,5 preflexion
6 4 1,5 flexion
206
Lampiran 8. Lanjutan
6 5 1,5 flexion
6 6 1,625 preflexion
6 7 1,625 preflexion
6 8 1,625 preflexion
6 9 1,75 preflexion
6 10 1,75 preflexion
6 11 2 preflexion
6 12 2,125 preflexion
6 13 2,375 preflexion
6 14 2,5 preflexion
6 15 2,625 preflexion
7 1 1,5 flexion
7 2 1,5 preflexion
7 3 1,5 preflexion
7 4 1,5 preflexion
7 5 1,625 preflexion
7 6 1,625 preflexion
7 7 1,625 preflexion
7 8 1,725 preflexion
7 9 1,75 preflexion
7 10 1,75 preflexion
7 11 1,75 preflexion
7 12 1,75 preflexion
7 13 1,75 preflexion
7 14 1,75 preflexion
7 15 1,75 preflexion
7 16 1,75 preflexion
7 17 1,75 preflexion
7 18 1,75 preflexion
7 19 1,75 flexion
7 20 1,75 flexion
7 21 1,75 preflexion
7 22 1,8 preflexion
7 23 1,8 preflexion
7 24 1,875 preflexion
7 25 1,875 flexion
7 26 2 preflexion
7 27 2 preflexion
7 28 2 flexion
7 29 2 preflexion
7 30 2,75 flexion
7 31 2,75 flexion
207
Lampiran 8. Lanjutan
7 32 2,875 flexion
7 33 2,875 flexion
8 1 1,25 preflexion
8 2 2,125 preflexion
208
Perlakuan 3: F + N Perlakuan 4: F + Mi
fito Nano F Mi
t0 2,238 2,5213 t0 1,057 0,0106
t1 2,514 2,603 t1 0,875 0,0063
t2 3,193 2,495 t2 1,157 0,005
t3 3,304 4,075 t3 1,257 0,0039
t4 8,655 8,454 t4 3,543 0,003
Lampiran 9. Lanjutan
Perlakuan 15 (L + N) Perlakuan 16 (L + N)
N Mi
t0 2,262 t0 0,025
t1 1,816 t1 0,018
t2 4,919 t2 0,014
t3 10,29 t3 0,027
t4 13,68 t4 0,012
210
Lampiran 9. Lanjutan
Perlakuan 17 (L + Me) Perlakuan 18 (L + F + N)
Me F N
t0 4,998 t0 4,363 3,967
t1 3,08 t1 2,549 2,9467
t2 2,765 t2 2,726 2,262
t3 3,348 t3 3,103 3,3957
t4 6,487 t4 2,275 3,052
Lampiran 9. Lanjutan
Perlakuan 27 (L + Mi + F + N) Perlakuan 28 (L + Me + Mi + F + N)
Mi F N Me Mi F N
t0 0,021 2,6403 2,603 t0 0,034 0,0171 0,854 7,698
t1 0,019 1,2687 3,805 t1 0,013 0,0224 3,243 15,06
t2 0,034 1,0931 2,657 t2 0,01 0,021 4,775 22,45
t3 0,018 0,9939 1,864 t3 0,018 0,0134 5,577 22,38
t4 0,006 0,9301 3,396 t4 0,002 0,011 3,531 19,65
212
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 11,12497 8 1,390621 1,230217 0,313764 2,244396
Columns 15,18266 4 3,795665 3,357847 0,021032 2,668437
Error 36,17237 32 1,130387
Total 62,48 44
214
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 16,9 4 4,225 8,13369 8,85E-05 2,633532
Columns 8,525 9 0,947222 1,823529 0,097596 2,152607
Error 18,7 36 0,519444
Total 44,125 49
215
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 6,30965 9 0,701072 140,919 2,52E-25 2,152607
Columns 0,0211 4 0,005275 1,060302 0,390239 2,633532
Error 0,1791 36 0,004975
Total 6,50985 49
216
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 0,970045 9 0,107783 1,953718 0,074985 2,152607
Columns 0,144046 4 0,036011 0,652758 0,628711 2,633532
Error 1,98605 36 0,055168
Total 3,10014 49
217
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 1,228622 9 0,136514 1,225249 0,310634 2,152607
Columns 0,235961 4 0,05899 0,529455 0,714804 2,633532
Error 4,011015 36 0,111417
Total 5,475598 49
218
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 0,025736 9 0,00286 1,838686 0,094657 2,152607
Columns 0,00701 4 0,001753 1,126885 0,359213 2,633532
Error 0,055988 36 0,001555
Total 0,088734 49
219
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Rows 9,643848 9 1,071539 13,78236 3,01E-09 2,152607
Columns 0,842443 4 0,210611 2,708923 0,045298 2,633532
Error 2,798895 36 0,077747
Total 13,28519 49