Sunteți pe pagina 1din 16

1.

Definisi Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain.

2. Etiologi
Faktor Predisposisi
a.Faktor Biologis
1) Neurologic faktor, beragam komponen dari sistem syaraf seperti synap,
neurotransmiterre, dendrite, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan mempengahuri sifat agresif.
Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulus timbulnya perilaku bermusuhan da
respon agresif.
2). Genetik faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif.
3) Cyrcardian Rhytm, memegang peranan pada individu. Menurut
penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan cortsiol
terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya pekerjaan sekitar jam 09.00 dan jam 13.00. pada jam tertentu
orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
4) Biochemistry faktor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di
otak (epinephrine, norephinephrine, asetikolin dan serotonin) sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh.
5). Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,
sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi
di temukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindakan
kekerasan.

b.Faktor Psikologis
1) Teori psikonalisa Agresivitas dan kekerasan dapat di pengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang . teori ini menjelaskan bahwa adanya
ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat
kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yanag cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai
konpensansi ketidakpuasannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa man
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah.
2) Imitation, modeling and information processing theory, menurut teori
ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolerir
kekerasan.
3) Learning theory, menurut teori ini perilaku kekerasan merupakan hasil
belajar dari individu terhdap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana
respon ibu saat marah.

c.Faktor Sosial Budaya

1) Latar Belakang Budaya


a) Budaya permissive : Kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan diterima.

2) Agama dan Kenyakinan


a) Keluarga yang tidak solid antara nilai kenyakinan dan praktek, serta tidak kuat
terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
b) Kenyakinan yang salah terhadap nilai dan kepercayaan tentang marah dalam
kehidupan. Misal Yakin bahwa penyakit merupakan hukuman dari Tuhan.

3) Keikutsertaan dalam Politik


A) Terlibat dalam politik yang tidak sehat
b) Tidak siap menerima kekalahan dalam pertarungan politik.

4) Pengalaman sosial
A) Sering mengalami kritikan yang mengarah pada penghinaan.
B) Kehilangan sesuatu yang dicintai (orang atau pekerjaan).
c) Interaksi sosial yang provaktif dan konflik
d) Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
e) Sulit memperhatikan hubungan interpersonal.
5) Peran sosial
a) Jarang beradaptasi dan bersosialisasi.
b) Perasaan tidak berarti di masyarakat.
c) Perubahan status dari mandiri ketergantungan (pada lansia)
d) Praduga negatif.

6) Adanya budaya atau norma yang menerima suatu ekspresi marah.

Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan
A. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
B .Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
C.Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan
dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik.
D.Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
E.Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
F.Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga

3. Rentang Respon dari Perilaku Kekerasan


Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.

Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain,
atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman
tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3. Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh
individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat
bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan
mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain.
5. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol
diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain.

4. Mekanisme Koping dari perilaku kekerasan


Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri.

Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi
diri antara lain:

1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain
seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.

5. Tanda dan Gejala dari perilaku kekerasan


Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa ke rumah sakit adalah
perilaku kekerasan di rumah, klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya
tanda dan gejala sebagai berikut:

Menurut (Fitria, 2010) tanda dan gejala peilaku kekerasan antara lain :

1.Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah


memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

2.Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata – kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dn ketus.

3.Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/oranglain, merusak lingkungan,


amuk/agresif.

4.Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.

5.Intelektual : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang


mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

6.Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat.

7.Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.

8.Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan sosial

Gejala Klinis
Terdapat hubungan antara perilaku kekerasan dengan penyakit mental yang
telah terbukti. Resiko perilaku kekerasan dinilai melalui proses identifikasi pasien,
yang mana memiliki resiko lebih besar untuk melakukan perilaku kekerasan dengan
tujuan sebagai suatu tindakan pencegahan. Dokter harus dapat melakukan penilaian
risiko ini , dan dapat melakukan pertimbangan faktor spesifik untuk
menginformasikan intervensi manajemen yang tepat untuk mengurangi risiko yang
terjadi. Debat tentang kesesuaian keterlibatan dokter dalam penilaian risiko agresi
kadang-kadang didasarkan pada kesalahpahaman tentang isu-isu sentral dan sejauh
mana masalah ini dapat dikelola secara efektif. Tujuan utama penilaian risiko adalah
pencegahan dan bukan prediksi perilaku kekerasan.
Faktor-faktor yang secara signifikan terkait dengan perilaku kekerasan pada
pasien rawat inap termasuk pasien usia muda, jenis kelamin laki-laki, belum
menikah, sudah terdiagnosis skizofrenia, riwayat perilaku kekerasan sebelumnya,
riwayat perilaku merusak diri sendiri, dan riwayat penyalahgunaan zat. Terdapat
perbedaan penting dalam membandingkan pasien yang agresif dengan pasien yang
non-agresif. Perbedaan-perbedaan ini dapat membantu dokter memprediksi pasien
mana yang mungkin menjadi agresif dan karena itu memungkinkan langkah yang
harus diambil untuk mengurangi perilaku agresif. Namun, asosiasi yang ditemukan
antara faktor-fakto kenyataan dengan perilaku kekerasan ini tidaklah mudah.
Faktor dinamis seperti keadaan pasien saat ini dan konteks praktik klinis perlu
dipertimbangkan untuk mengurangi perilaku kekerasan pada pasien rawat inap. Pada
tingkat psikologis, agresi dalam skizofrenia terutama dikaitkan dengan gejala
psikotik, keinginan untuk mendapatkan keuntungan instrumental, atau respons
impulsif terhadap anggapan pribadi yang dirasakan pasien. Seringkali, banyak
atribusi dapat hidup berdampingan selama satu episode agresif. Perilaku impulsif
tampaknya sebagian besar bertanggung jawab atas perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia, terutama pada pasien rawat inap.
6. Penatalaksanaan
Obat obatan sering digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan dan strategi
pengobatan psikofarmakologi yang sekarang memasukkan pengobatan terhadap
perilaku kekerasan sebagai salah satu sindrom yang khusus. Tujuan dari terapi kasus
yang akut adalah untuk menenangkan pasien sedangkan tujuan terapi kasus yang
kronis adalah mengurangi frekuensi dan intensitas setiap episode perilaku kekerasan.
Pengobatan jangka panjang dilakukan apabila ada penyakit

1. Medikamentosa
Obat-obatan anti-psikotik meliputi dopamine reseptor antagonis dan
serotonin-dopamin antagonis, seperti risperidon (Risperdal) dan clozapine
(Clozaril).
1. Obat Pilihan
a. Dopamin reseptor antagonis (tipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala positif pada skizofrenia. Dapat
menimbulkan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal, terutama
pada penggunaan haloperidol.
b. Serotonin-dopamin antagonis (atipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala negatif pada skizofrenia.
Memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal yang minimal, terutama
clozapine.
2. Dosis
Untuk gejala psikotik akut, pemberian obat diberikan selama 4-6
minggu, atau lebih pada kasus yang kronis. Dosis untuk terapi tipikal adalah
4-6 minggu risperidone 2-8 mg/hari, 10-20 mg dan Haloperidol 5-20
mg/hari.
3. Maintenance
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, dan pemberian terapi jangka
panjang sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah kekambuhan. Apabila
keadaan pasien sudah stabil selama 1 tahun, maka dosis pemberian obat
dapat diturunkan secara perlahan, sekitar 10-20% per bulan. Selama
penurunan dosis, pasien dan keluarga pasien diberikan edukasi agar
melaporkan bisa terjadi kekambuhan, termasuk insomnia, kecemasan,
withdrawal, dan kebiasaan yang aneh.
4. Obat lainnya
Apabila pengobatan standart dengan antipsikotik tidak berhasil,
beberapa obat lainnya telah dilaporkan dapat meningkatan keefektifan
pengobatan. Penambahan lithium dapat meningkatkan keefektifan
pengobatan pada sebagian besar pasien. propanolol (Inderal),
benzodiazepine, asam valproat (Depakene) atau divalproex (Depakote), dan
carbamazepine (Tegretol) telah dilaporkan dapat meningkatkan keefektifan
pengobatan pada beberapa kasus.

2. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat
karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit
jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini
tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih
manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali
menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,
intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai
cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat
bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang
sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipisatau pada pelipis yang
mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan
itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah
terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa
menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan
pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya
diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan (nondominan hemisphere).
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi
pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau
tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik.
Kontra indikasi
Elektrokonvulsif terapi adalah Dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit
tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada
pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah
tumor otak.

3. Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton
dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk
menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT).
Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak
pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara
tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan
cara psikologis. Beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan
perilaku tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak
disadari.
1) Terapi Psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud.
Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak
disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk
mengendalikan kecemasannya. Hal yang paling penting pada terapi ini
adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode
terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak
“kambuh”. Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah
Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk
membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada
dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran. Pada teknik ini,
penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik
maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan
sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal
yang dipikirkan pada saat itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala
macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita
mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan
over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti
sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur
otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger
dan hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa
menyebabkan blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka
integrasi kepribadian menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang
sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas,
maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat
menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking
bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih
proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan
ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi
kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan
keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment
chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-
uneg yang ia rasakan, sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi
dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi
bebas ini, juga terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana
pasien menempatkan therapist sebagai figur substitusi dari figur yang
sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita. Terdapat 2 macam
transference, yaitu transference positif, yaitu apabila therapist
menggantikan figur yang disukai oleh penderita, transference negatif, yaitu
therapist menggantikan figur yang dibenci oleh penderita.

2) Terapi Perilaku (Behavioristik)


Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian
klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para
terpist mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan
kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu.
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh
variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang
situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan
telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu dengan
prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut. Pada kongres
psikiatri di Malaysia tahun 2000 ini, cognitif behavior therapy untuk pasien
schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika maupun dari
Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk
kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif behavior therapy tersebut.
Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan schizophrenia
di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung
membentuk dan mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang
lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan dalam
masyarakat. Paul dan Lentz menggunakan dua bentuk program psikososial
untuk meningkatkan fungsi kemandirian.

1) Social Learning Program


Social learning program menolong penderita skizofrenia untuk
mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan
token economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan
memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan
suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah
(reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya
adalah millieu program atau terapi komunitas. Dalam program ini,
penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai
tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan
meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam
penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama
dengan pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita
schizophrenia dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan
mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan melibatkan
seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian, social
learning program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program.
Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang
unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah penguatan dengan
tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan
perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda tersebut
membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau
hanya dalam lingkungan perawatan.

2) Social Skills Training


Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian
sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam
beradaptasi dengan masyarakat. Social Skills Training menggunakan
latihan bermainsandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain
peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya
dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering
digunakan dalam panti-panti rehabilitasin psikososial untuk membantu
penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka
dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti
memasak, berbelanja, ataupun utnuk berkomunikasi, bersahabat, dan
sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada
persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program
telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan
secara langsung.

3) Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat
menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya
dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan
pola penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan
tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus
tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses
penyembuhan klien, khususnya klien skizofrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan
saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator
dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi
tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan
perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada
setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi,
sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka
dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi
ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim
interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga
klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai
pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari
terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau
orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua
terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar
dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.
Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan
kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun
yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk
memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara
untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang
cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita
dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
pengungkapan emosi anggota keluarga diatu dan disusun
sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian,
seperti yang dilakukan oleh Fallon ternyata campur tangan
keluarga sangan membantu dalam proses penyembuhan, atau
sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita,
dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
7.Akibat dari perilaku kekerasan (Komplikasi)
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :

1. Menyerang atau menghindar (fight of flight)


Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga
meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya
yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik
untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini
dapat juga untuk pengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out).
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk
menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan

Prognosis pada pasien yang melakukan perilaku kekerasan yang terkait dengan gangguan
jiwa, dapat disebabkan oleh etiologic penyakitnya, yaitu :

GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

Prognosis Prognosis gangguan bipolar I lebih buruk bila dibandingkan dengan gangguan
depresi mayor.Sekitar 40%-50% pasien dengan gangguan bipolar I mengalami kekambuhan
dalam dua tahun setelah episod pertama.Sekitar 7% pasien dengan gangguan bipolar tidak
mengalami kekambuhan.Sebanyak 45% mengalami lebih dari satu episod dan 40% menjadi
kronik.Prognosis gangguan bipolar II belum begitu banyak diteliti. Diagnosisnya lebih stabil
dan merupakan penyakit kronik yang memerlukan terapi jangka panjang.
SKIZOAFEKTIF

Prognosis

Prognosis skizoafektif lebih baik dari pada skizofrenia tetapi lebih buruk bila dibandingkan
dengan gangguan mood. Perjalanan penyakitnya cenderung tidak mengalami deteriorasi dan
responsnya tehadap litium lebih baik daripada skizofrenia.

INTOKSIKASI OPIOID

Prognosis

Pemberian nalokson pada waktu yang tepat dan cepat serta terjaganya ventilasi sebelum
mendapat antidotum, perbaikan sempurna intoksikasi opioid dapat tercapai. Bila pasien
menderita hipoksia yang bermakna dan terjadi aspirasi isi lambung, komplikasi kedua hal ini
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

INTOKSIKASI AMFETAMIN ATAU ZAT YANG MENYERUPAINYA

Prognosis

Komplikasi paling umum adalah rhabdomyolysis dengan gagal ginjal akut, kegagalan banyak
organ menyebabkan heatstroke merupakan sebab utama kematian intoksikasi amfetamina.
Indikator prognosis buruk pasien intoksikasi amfetamina adalah koma, shock, kejang,
oliguria, dan hiperpireksia. Asidosis, hipovolemik, kerusakan ginjal, dan iskemia adalah
faktor-faktor risiko potensial untuk berkembangnya gagal ginjal akut.

PUTUS ZAT OPIOID

Prognosis

Gejala putus zat muncul (misalnya, heroin) dalam 6-12 jam setelah dosis terakhir.Untuk zat
yang masa kerjanya lebih panjang, misalnya metadon, gejala dapat muncul setelah dua-empat
hari. Puncak gejala zat yang waktu paruhnya pendek, misalnya heroin, adalah 1-3 hari dan
secara berangsur-angsur mereda hingga 5-7 hari.
KONDISI PUTUS AMFETAMIN ATAU ZAT YANG MENYERUPAI

Prognosis

Beberapa gejala (disforik atau fatigue) dapat terlihat pada beberapa hari setelah penggunaan
dosis yang agak besar. Selama fase putus amfetamin, pasien dapat mengalami depresi berat.
Depresi ini dapat sembuh meskipun tanpa pengobatan bila tidurnya normal.

S-ar putea să vă placă și