Sunteți pe pagina 1din 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sepuluh tahun terakhir asuransi syariah makin terus berkembang,


meskipun tidak seperti lembaga keuangan konvensional lainnya. Namun
eksistensinya di tengah masyarakat sangat jelas terasa, alhasil beberapa
perusahaan asuransi konvensional pun kini turut mengeluarkan produk yang
serupa. Hal ini membuktikan bahwa konsep asuransi syariah merupakan suatu
produk keuangan yang dibutuhkan masyarakat di pasaran.
Salah satu faktor yang menarik perhatian masyarakat mengenai asuransi
syariah adalah konsep yang ditawarkannya, karena masyarakat makin disadarkan
mengenai unsur gharar, riba dan maysir yang kerap terjadi dalam praktek
asuransi konvensional. Hal inilah yang mendorong orang akhirnya berpikir untuk
menggunakan produk asuransi syariah.
Dalam istilah fikih muamalah, gharar adalah suatu perkara yang kerap
terjadi dalam jual beli yang tidak jelas objeknya. Misalnya ada orang yang
menjual burung kepada anda, namun burung yang dijualnya adalah burung liar
yang hinggap di dahan pohon. Atau contoh lainnya, ada seseorang yang menjual
ikan dalam ember tertutup, kemudian ketika anda hendak membelinya, si penjual
tidak menjelaskan kepada anda mengenai jenis ikan dan jumlahnya. Maka dari
sudut pandang fikih, jual beli semacam itu batal karena dalam rukun jual beli,
penjual harus menguasai penuh akan barang tersebut dan di sisi lain tidak
dibolehkan adanya ketidakjelasan.
Kemudian mengenai riba, tampaknya yang satu ini telah banyak disinggung
oleh guru-guru agama atau oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dari sudut
pandang ilmu fikih, riba adalah sesuatu yang melebihi pokoknya, ini berbeda
dengan konsep jual beli karena salah satu pihak nantinya akan dirugikan dalam
praktek riba itu. Adapun maysir, secara bahasa adalah judi atau mengadu nasib,

1
hal ini bersifat untung-untungan atau lebih kepada spekulasi saja. Ini pun dilarang
dalam Islam.
Menyadari akan hal itu, akhirnya asuransi syariah menjadi objek produk
keuangan yang makin dilirik, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non
Bank (KEIKNB) Firdaus Djaelani, turut memberikan pandangan mengenai
peluncuran road map Industri Keuangan Non Bank (IKNB) khususnya dengan
sistem syariah akan menentukan arah pengembangan bisnis keuangan syariah ke
depan, termasuk industri asuransi syariah.
Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan kuartal I
2014, Indonesia memiliki 48 perusahaan asuransi syariah, terdiri dari 20 asuransi
jiwa, 25 asuransi umum dan kerugian, dan 3 reasuransi. Untuk keseluruhan
perusahaan, asetnya tercatat sejumlah Rp 16,6 triliun, dengan rincian asuransi jiwa
memiliki aset Rp 12,7 triliun, asuransi umum dan kerugian Rp 3,1 triliun dan
reasuransi Rp 738 miliar.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menargetkan pertumbuhan
asuransi syariah di tahun 2016 bisa mencapai angka 10 hingga 30 persen. Angka
yang cukup besar ini merupakan angka yang lebih besar dari pertumbuhan
asuransi konvensional yang hanya 5 persen, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Firdaus Djaelani.
Menurut Firdaus Djaelani, pertumbuhan asuransi syariah dari tahun ke
tahun selalu lebih tinggi dibandingkan konvensional. Meski porsinya lebih kecil
dari konvensional, namun permintaan akan produk asuransi syariah termasuk
banyak belakangan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan implementasi akad muamalah yang ada di asuransi
syariah?
2. Akad apa saja yang terdapat dalam asuransi syariah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep dan Implementasi Akad-akad Mu’amalah Pada Asuransi


Syariah
Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zaqra, Muhammad Musa
membolehkan asuransi dengan mengemukakan alasannya karena asuransi
termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerjasama bagi
hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi
yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (Profit and loss sharing).
Terjadinya akselerasi peningkatan pada asuransi syariah tidak terlepas dari
kesadaran masyarakat khususnya umat Islam yang kian hari kian meningkat.
Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh gharar, riba dan maysir
berimplikasi pada kemudharatan yang dampaknya langsung dapat dirasakan oleh
suatu pihak, meskipun pihak lainnya merasa diuntungkan.
Gharar dalam asuransi konvensional terletak pada bentuk akadnya, yaitu
akad tabaduli atau akad pertukaran. Syarat akad tabaduli adalah harus jelas besar
pembayaran premi yang harus dibayar oleh peserta dan besar uang pertanggungan
yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menjadi tidak jelas karena kita tidak
dapat menentukan jumlah premi yang akan dibayarkan secara tepat karena jumlah
premi amat tergantung pada takdir. Solusi yang dilakukan dalam menghindari
sifat gharar ini adalah dengan menggantikan akad tabaduli dengan akad takafuli
atau akad tabarru’. Dengan konsep ini, sejak awal pembayaran premi akan dibagi
dua dan masing-masing dimasukkan ke dalam rekening, yaitu rekening peserta
(pemegang polis) dan rekening tabarru’. Pada rekening tabarru’ peserta telah
mengetahui sejak awal bahwa rekening tersebut di niatkan sebagai dana kebajikan
atau tolong menolong.
Untuk maysir terkandung dalam asuransi konvensional pada saat peserta
mengundurkan diri dari kepesertaan, ia tidak akan menerima kembali yang telah

3
dibayarkan, kecuali sebagian kecil saja. Sehingga peserta mengalami kerugian,
sedangkan perusahaan mengalami keuntungan. Pada asuransi syariah, hal ini tidak
terjadi karena rekening peserta beserta hasil investasinya akan dikembalikan
kepada peserta. Kecuali dana yang ada pada rekening tabarru’.1
Gozali Sudirjo menjelaskan konsep yang ditawarkan asuransi syariah
berbasis pada akad tijarah yang digunakan yaitu akad mudharabah, yang mana
pihak perusahaan asuransi dalam hal ini takaful berposisi sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shohibul mal (pemegang polis).
Manakala dilakukan klaim oleh pemegang polis maka konsep klaim itu adalah
sebagai berikut:
 Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian;
 Klaim dapat berbeda dalam jumlah sesuai dengan premi yang dibayarkan;
 Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya;
 Kemudian klaim atas akad tabarru’ (sumbangan/derma) merupakan hak
peserta dan merupakan kewajiban perusahaan sebatas yang disepakati dalam
akad;
Barangkali kita sering berpikir bahwa secara konsep dan istilah memang
asuransi syariah berbeda dengan konvensional, namun secara substansi tidak ada
bedanya antara asuransi syariah dan konvensional. Pandangan semacam ini,
banyak menyebar di masyarakat jika logika yang dipakai seperti itu. Namun
hakikatnya jelas berbeda antara asuransi syariah dan konvensional, perbedaan
paling mendasar terletak pada akad yang dilakukan di awal.
Dalam asuransi konvensional terjadi adanya gharar atau ketidakpastian
yang disebabkan karena ketidakjelasan landasan akad yang dibangun, apakah
tijarah (akad jual beli) atau takaful (tolong menoling dalam pertanggungan) yang
diterapkannya.
Kemudian bagaimana praktek yang diterapkan oleh asuransi syariah? Untuk
menjawab ini, maka akan diambil contoh dari salah satu praktek yang dijalankan

1
Mesi Herawati,http://www.academia.edu/17078591/Makalah_Asuransi/, akses: 25-03-
2017, 20:WIB.

4
oleh asuransi syariah pertama di Indonesia yakni Asuransi Syariah Takaful.
Secara umum akad di takaful ada 2, yaitu akad tijarah dan tabarru. Hal ini sesuai
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.21/dsn-mui/x/2001 tentang
Pedoman Asuransi Syariah. Secara umum dapat dikatakan sebagai akad takafuli
atau pertanggungan atas dasar tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka
polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk
tabarru’. Misalnya, nasabah membayar asuransi untuk 10 ahun. Setiap tahunnya
ia membayar Rp10.000.000,- kemudian pada tahun keempat nasabah tersebut
meninggal dunia. Lantas pihak asuransi memberikan premi Rp.10.000.000,-
padahal secara matematis nasabah tersebut baru membayar Rp4.000.000,-. Lantas
darimanakah sisa Rp6.000.000,- yang diberikan oleh pihak perusahaan asuransi
kepada nasabahnya itu? Tentunya dana yang 6 juta di atas bukanlah hal gharar,
tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru’ (derma), dan hal itu
sudah dijelaskan di awal kepada para nasabahnya.
Mendermakan harta atas dasar tolong menolong adalah bagian dari ibadah.
Harta yang di dermakan itu pun tentunya menjadi bagian amal saleh yang tak
luput dari perhitungan Allah, jika didasari dengan keikhlasan.
Penerapan konsep perjanjian atau akad dalam asuransi syariah merupakan
jenis akad baru yang belum pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan
ajaran Islam. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan pendapat oleh berbagai
kelompok dari berbagai belahan dunia tentang hukum asuransi menurut syariat
Islam. Terlepas dari kontroversi tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
prinsipnya menolak asuransi konvensional. Namun menyadari realita dalam
masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari sebagai kebutuhan mendasar
yang terdapat dalam tujuan Islam, yakni mencari keamanan atau al-ammu, serta
kecukupan atau al-kifayah, maka di keluarkan pedoman umum akad untuk
asuransi dengan fatwa berikut ini:
Prinsip Akad Syariah
Penggunaan akad yang syariah dalam asuransi adalah yang tidak
mengandung gharar atau penipuan, maysir atau perjudian, riba atau bunga, zulmu

5
atau penganiayaan, riswah atau suap, serta tidak mengandung barang haram atau
maksiat.

B. Akad pada Asuransi Syariah


Akad yang dilakukan antara peserta asuransi dengan pihak perusahaan
terdiri atas dua akad, yaitu:
1. Akad Tabarru
Akad tabarru memiliki pengertian semua bentuk akad yang dilakukan
dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong dengan mengharap pahala dari
Allah SWT, bukan semata-mata untuk tujuan komersil. Akad ini dalam
pengaplikasiannya lebih dikenal dengan hibah.
Tabarru’ merupakan hibah berdasarkan fatwa No. 21, 39 & 53 yang berlaku
untuk asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi.
Dana tabarru’ yang sudah diberikan tidak boleh di ambil kembali,
sedangkan secara praktek, peserta merupakan pihak yang berhak menerima dana
tabarru’.
2. Akad Tijarah
Akad tijarah memiliki arti semua bentuk akad yang dilakukan dengan
tujuan komersil. Pengaplikasian akad tijarah dalam asuransi syariah lebih dikenal
sebagai akad mudharabah.

C. Posisi Pihak Pelaksana Akad


Dalam akad tijarah atau mudharabah, perusahaan asuransi bertindak
sebagai mudharib atau pengelola dana, dan peserta atau shahibul mal adalah
pemegang polis, seperti halnya terdapat dalam asuransi konvensional. Sedangkan
dalam akad tabarru’, peserta asuransi berkedudukan sebagai pemberi hibah yang
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, dengan perusahaan
asuransi sebagai penengah serta pengelola dana hibah tersebut.
Adapun yang menjadi perbandingan antara akad tabarru’ dengan kontrak
konvensional terletak pada ketidakjelasan besarnya premi yang harus dibayarkan
karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tahu kapan

6
kita meninggal dunia sehingga mengakibatkan asuransi konvensional
mengandung apa yang disebut gharar (ketidakjelasan) pada kontrak sehingga
mengakibatkan kontrak pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional
dalam praktiknya cacat secara hukum.2
Implementasi konsep mudharabah pada asuransi jiwa syariah:
1. Adanya bagi hasil dalam deposito dan juga sertifikat deposito dari
perbankan syariah.
2. Adanya bagi hasil dalam direct investment (yang dilakukan oleh perusahaan
asuransi syariah).
3. Adanya bagi hasil antara peserta dengan perusahaan asuransi syariah atas
bagi hasil investasi yang ada berdasarkan atas skema yang dijanjikan.
4. Bagi hasil dalam penentuan rate premi pada berbagai produk tabungan dan
juga produk non tabungan.
Sementara pelaksanaan konsep mudharabah dalam asuransi syariah umum
diantaranya adalah penggunaaan akad mudharabah dalam melakukan perhitungan
surplus underwriting dalam persyaratan pembayaran mudharabah, formula
perhitungan mudharabah, dan juga dalam tata cara pembayaran asuransi umum
Islam dengan akad mudharabah.

D. Akad Tijarah Lainnya pada Asuransi Syariah


Selain menggunakan akad mudharabah, konsep produk asuransi syariah
juga dapat menggunakan akad wadiah,dan wakalah.
1. Akad wadiah
Wadiah berarti meninggalkan atau menjaga. Landasan syariahnya adalah
QS. An Nisa ayat 58. Yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi

2
Tasha Chairmiza, Pelaksanaan Akad Tabarru’,
http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=5011/, akses: 25-03-2017, 20:WIB.

7
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Berdasarkan ini, maka para ulama menyatakan bahwa akad wadiah boleh
digunakan untuk kegiatan yang bersifat tolong menolong dalam dunia asuransi
syariah. Akad wadiah yang digunakan dalam asuransi syariah ini adalah wadiah
yad dhamanah, dimana pihak yang dititipkan dana, dalam hal ini perusahaan
asuransi syariah berhak untuk memanfaatkan dana tersebut. Penitipan dilakukan
dalam rekening giro.
2. Akad wakalah
Wakalah berarti penyerahan atau pendelegasian. Dengan begitu secara
ringkas dapat dikatakan bahwa wakalah merupakan pelimpahan atau
pendelegasian wewenang dari satu pihak untuk dilaksanakan oleh pihak lainnya.
Adapun landasan syariah dari akad wakalah adalah QS Al Baqarah ayat 283.
Yang artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Di asuransi syariah, konsep wakalah banyak dipakai dengan adanya konsep
pemasaran, dimana dunia asuransi syariah mendelegasikan berbagai macam
informasi dan manfaat menggunakan asuransi syariah melalui tenanga-tenaga
pemasaran mereka.

8
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zaqra, Muhammad Musa


membolehkan asuransi dengan mengemukakan alasannya karena asuransi
termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad
kerjasama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak
perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (Profit and
loss sharing).
2. Akad yang dilakukan antara peserta asuransi dengan pihak perusahaan
terdiri atas dua akad, yaitu: Akad Tabarru dan Akad Tijarah.
3. Dalam akad tijarah atau mudharabah, perusahaan asuransi bertindak
sebagai mudharib atau pengelola dana, dan peserta atau shahibul mal adalah
pemegang polis.
4. Dalam akad tabarru’, peserta asuransi berkedudukan sebagai pemberi hibah
yang digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, dengan
perusahaan asuransi sebagai penengah serta pengelola dana hibah tersebut.

S-ar putea să vă placă și