Sunteți pe pagina 1din 25

MAKALAH

“ASKEP PADA KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA”


Guna Untuk Memenuhi Mata Kuliah Sistem Neurobehavior
Dosen Pengampu : Faridah Aini.M.Kep.Sp.KMB.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

1. Nanang Itsnaini Kafidhul Aziz (010112a065)


2. Novita Ayuning Maulidia (010112a068)
3. Nurul Chotimah (010112a073)
4. Suhildan Hafiz (010112a099)
5. Widyawati (010112a107)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibt
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000 orang
meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera
cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dua pertiga
berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dibandingkan wanita, lebih dari setengah semua pasien cedera kepala
mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lain (Smeltzer and
Bare, 2002).
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala
ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan
cedera kepala, baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang maupun
cedera kepala berat harus ditangani secra serius. Cedera pada otak dapat
mengakibatkan gangguan pada system saraf pusat sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk
mendeteksi adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera
kepala.
Disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi
korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat
sangat menetukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan
resusitasi, anamnesis, dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus
dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi
kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera
kepala segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit (Sjahrir, 2004).
B. Tujuan
Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala dan mampu menerapkan perawatan secara langsung
saat berada di rumah sakit.

Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi cedera kepala ringan
2. Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala
3. Untuk mengetahui etiologi cedera kepala
4. Untuk mengetahui manifrstasi klinis cedera kepala
5. Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala
6. Untuk mengetahui pathway cedera kepala
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang cedera kepala
8. Untuk mengetahui penatalaksaan medis cedera kepala
9. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala
10. Untuk mengethui konsep askep cedera kepala
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak
dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius
diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil
kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2010).
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm
substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin,
2008, hal 270-271).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak
(Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).
Jadi cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

B. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di
bagi menjadi 3 gradasi :
a. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika nilai GCS antara 13-15 , dpt terjadi
kehilangan kesadaran atau amnesia kurang dari 30 menit, tetapi ada yang
menyebut kurang dari 2 jam. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak
ada kontusio serebral dan hematoma.
b. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika nilai GCS antara 9-12, hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
c. Cedera kepala berat ( CKB ) jika nilai GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari
24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoma
intrakranial atau edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera
kepala sebagai berikut :
1. Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak
tulang tengkorak.
2. Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan
disertai edema cerebra.
Tabel Skala Koma Glasgow (Blak, 1997):
1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon Verbal
Orientasi baik 5
orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara Tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3 - 15
C. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda atau serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek
dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu cedera kepala juga
dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
Macam-macam Pendarahan pada Otak:
a. Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-
kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah
hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari
3 cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma
tersebut dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang
dilakukan biaSanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari
tulang kepala.
b. Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan
jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh
darah vena atau jematan vena yang biasanya terdapat diantara dura mater,
perdarahan lambat dan sedikit. Gejala yang muncul dari subdural hematoma
meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan
proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil. Berdasarkan waktu
terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian. Secara
klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling sering berupa
hemiparere atau hemiplegia.
2. Subdural hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3 minggu.
3. Subdural hematoma kronis jika peardarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
c. Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica
media(paling sering), vena diploica (karena adanya fraktur kalvaria), vena
emmisaria, sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan penurunan
kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda
neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yanag dapat berupa hemiparese atau
hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya
lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH.

D. Manifestasi Klinis
a. Nyeri yang menetap atau setempat.
b. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
c. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat dibawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otorea
serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea
serebrospiral (les keluar dari hidung).
d. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
e. Penurunan kesadaran.
f. Pusing / berkunang-kunang.
g. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler.
h. Peningkatan TIK.
i. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas.
j. Peningkatan TD, penurunan frekuensi Nadi, peningkatan pernafasan
(perubahan tanda-tanda vital).
k. Gangguan penglihatan dan pendengaran (disfungsi sensorik).
l. Kejang otot.
m. Syok akibat cidera multi system.

E. Patofisiologi
Patofisiologis cedera kepala traumatic dibagi menjadi dua yaitu: proses
primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya
fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan
bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan
laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba
subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan
penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial.
Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia(kekurangan o2 dlm jaringan) dan
hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya
tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi(defisiensi
darah suatu bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak
sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak,
gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf
proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis
yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus
frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar.
Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit
pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya
seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium
dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang
hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla,
karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada
lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi
pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam
sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila
hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang
dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya
Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi
diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
F. Pathway
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia

Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin


Sistemik & TD   sekresi asam
Lambung

O2   ggan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah


Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrkurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru  cardiac out put 


Cerebral
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas  hipoksemia, hiperkapnea


G. Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan dan MRI (dengan / tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, menentukan
ukuran ventrikuler, perubahan jaringan otak, dan mengidentifikasi adany
hemoragik.
b. Cerebral Angiography
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
c. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
d. Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
e. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
f. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.
g. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
h. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intracranial.
i. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
j. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
k. Toraksentesis menyatakan darah / cairan.
l. Analisa Gas Darah (AGD / Astrup)
AGD adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status respirasi.
Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenasi dan status asam basa.

H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan
pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat
dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang
teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
a. Bedrest total.
b. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
c. Pemberian obat-obatan
1. Dexmethason atau kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%,
atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
4. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
d. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel
(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
e. Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga,
pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan
melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung
dari nilai urenitrogennya.

I. Komplikasi
a. Perdarahan ulang.
b. Kebocoran cairan otak.
c. Infeksi pada luka atau sepsis.
d. Timbulnya edema serebri.
e. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK.
f. Nyeri kepala setelah penderita sadar.
g. Konvulsi.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a) Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada cedera kepala
tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ
vital lainnya.
a) Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung seberapa jauh dampak trauma kepala yang
di sertai dengan penurunan tinngkat kesadaran.
1. Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL, jatuh dari
dari ketinggian dan trauma langsung kekepala. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadarn di hubungkan dengan perubahan
didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan
koma.
2. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit jantung anemia,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, dan konsumsi alkohol yang berlebihan.
3. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan DM.
b) Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari.
c) Pola fungsi kesehatan.
1. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan
tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi,
kehilangan tonus otot.
2. Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi
jantung (bradikardia,takikardia yg diselingi bradikardia disritmia)
3. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi.
4. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
5. Makanan atau cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
6. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang
pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status
mental, Perubahan pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tdk simetris,
Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuh
7. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya
lama
Tanda : Wajah menyeringai,respon menarik pd ransangan nyeri, nyeri
yang hebat,merintih.
8. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak,ronkhi,mengi.
9. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan, Kulit :
laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya
aliran cairan dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan
rentang gerak, demam.

b) Dagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien cedera kepala
sedang menurut Doengoes Marilyn E (2000 : 273)

1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema


atau hematoma dan perdarahan otak.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
3. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori, tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist).
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi
atau kognitif, penurunan ketahanan, therapy pembatasan / kewaspadaan
keamanan (tirah baring).
5. Resiko infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasive.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.

c) Rencana Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau
hematoma dan perdarahan otak.
Tujuan : Perfusi jaringan cerebral optimal secara bertahap setelah di
lakukan tindakan keperawatan dalam waktu 7 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a) Kesadaran pasien compos mentis
b) TTV dalam batas normal ( TD : 100-130/60-90mmHg, P:12-20x/mnt, N :
60-100x/mnt, S: 36ºC-37ºC).
c) Pasien tampak rileks

Intervensi :

1. Kaji keluhan, observasi TTV tiap 2-4 jam dan kesadaran klien
Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum pasien sebagai standar
dalam menentukan intervensi yang tepat
2. Kaji karakteristik nyeri (intensitas, lokasi, frekuensi dan faktor yang
mempengaruhi).
Rasional :Penurunan tanda dan gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya merupakan awal pemulihan dalam memantau TIK.
3. Kaji capillary refill, GCS, warna dalam kelembapan kulit.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK
4. Kaji tanda peningkatan TIK ( kaku kuduk, muntah proyektil dan
penurunan kesadaran.
Rasional : Untuk mengetahui potensial peningkatan TIK.
5. Berikan klien posisi semi fowler, kepala ditinggikan 30 derajat.
Rasional : Memberi rasa nyaman bagi klien
6. Anjurkan orang terdekat ( keluarga ) untuk bicara dengan klien walaupun
hanya lewat sentuhan.
Rasional : Ungkapan keluarga yang menyenangkan memberikan
efek menurunkan TIK dan efek relaksasi bagi klien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi obat-obatan
neurologis.
Rasional : Sebagai therapi terhadap kehilangan kesadaran akibat
kerusakan otak, kecelakaan lalu lintas dan operasi otak.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler ( cidera pada pusat pernapasan )
Tujuan : bersihan jalan nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam.
Sasaran : pola nafas dalam batas normal dan irama teratur.
Intervensi :

1. Kaji keluhan TTV

Rasional : mengetahui keadaan umum dan standar untuk menentukan


intervensi selanjutnya.

2. Auskutasi bunyi nafas, frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.

Rasional : perubahan dapat menandakan luasnya keterlibatan otak.

3. Berikan klien posisi yang nyaman; posisi semi fowler.

Rasional : memberikan kemudahan klien dalam bernafas dan


Memberikan rasa nyaman.

4. Anjurkan klien untuk batuk efektif dalam melakukan nafas dalam jika
klien sadar.

Rasional : mencegah/ menurunkan atelektasis.

5. Lakukan pengisapan slym dengan hati-hati.

Rasional : pengisapan slym pada trakeostomi lebih dalam dapat


menyebabkan hypoxia.

6. Lakukan clapping dan vibrasi pada klien terutama pada pada area
punggung.
Rasional : agar klien lebih rileks dan nyaman.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi bronkodilator dan
oksigen.
Rasional : bronkodilator sebagai pengencer dahak dan oksigen memberi
kemudahan klien dalam bernafas.
3. Perubahan pesepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori, transmisi (trauma/ deficit neurologist) ditandai oleh : disorientasi
waktu, tempat orang, perubahan repon terhadap rangsang.
Tujuan : Persepsi sensori dapat kembali optimal secara bertahap setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam.
Sasaran :
-Orientasi terhadap waktu, tempat, orang.
-Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
Intervensi :
1. Evaluasi/ pantau secara teratur orientasi, kemampuan berbicara dan
sensorik.
Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu
oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat
trauma awal atau kadang-kadang.
2. Hilangkan suara bising/ stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan.
Rasional : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/ bingung
yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
3. Bicara dengan suara lembut dan pelan, gunakan kalimat yang pendek
dan sederhana, pertahankan kontak mata.
Rasional : Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian/
pemahaman selama fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini
membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
4. Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa ada gangguan.
Rasional : mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan
kesempatan untuk tidur.

5. Kolaborasi dengan ahli fisiotherapy.


Rasional : Pendekatan antara disiplin dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan
/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus pada
peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan aktual.
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi
atau kognitif, penurunan kekuatan pertahanan, tetapi pembatasan/
kewaspadaan (tirah baring).
Tujuan : Aktivitas terpenuhi setelah di lakukan tindakan keperawatan 3×24
jam.
Sasaran : Klien mampu melakukan aktivitas ringan seperti mandi sendiri
dikamar mandi, keluhan nyeri dikepala kurang.
Intervensi :
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi
Rasional : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional
dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
2. Letakkan klien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan.
Rasional : perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada
seluruh tubuh.
3. Bantu untuk melakukan rentang gerakan.
Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi
4. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan.
Rasional : proses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai
trauma kepala, keterlibatan klien dalam perencanaan dan keberhasilan.
5. Beri perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab
Rasional : meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit.
6. Kolaborasi dengan ahli fisiotherapi untuk program rehabilitasi sesuai
indikasi.
Rasional : membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk
kompensasi gangguan pada kemampuan pergerakan.

5. Resiko tinggi infeksi sekuder yang berhubungan dengan prosedur infasif.


Tujuan : Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan 3×24
jam.
Sasaran :
-Tidak terdapat tanda infeksi (tumor, dolor, kalor, rubor dan fungsileisa).
-TTV dalam batas normal.
-Luka tampak bersih
Intervensi :
1. Kaji TTV, perhatikan peningkatan suhu.
Rasional : peningkatan suhu bagian dari tanda infeksi.
2. Kaji tanda-tanda infeksi (tumor kalor rubor, dolor, fungsileisa)
Rasional : untuk menentukan tindakan selanjutnya yang lebih tepat.
3. Lakukan tehnik perawatan luka secara steril 1x/hari
Rasional : mencegah infeksi lebih lanjut.
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka.
Rasional : mengurangi terjadinya kontaminasi silang.
5. Beri posisi miring kiri atau kanan sesuai kebutuhan.
Rasional : penekanan yang berlebihan pada area luka dapat mengiritasi
kulit.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic
Rasional : antibiotic untuk mencegah infeksi.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3×24 jam.
Sasaran :

 Klien dapat menghabiskan 1 porsi makanan.


 Keluhan mual, muntah dan anorexia berkurang sampai hilang.
 Klien makan secara spontan.
 Berat badan meningkat.
Intervensi :

1. Observasi TTV dan keadaan umum klien.


Rasional : untuk mengetahui kesehatan actual klien
2. Kaji tugor kulit, mukosa mulut klien.
Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda kekurangan nutrisi.
3. Kaji keluhan mual, muntah dan napsu makan klien.
Rasional : untuk mengetahui berat ringannya keluhan, sebagai standar
dalam menentukan intervensi yang tepat.
4. Timbang berat badan klien jika memungkinkan.
Rasional : untuk menilai keadaan nutrisi klien.
5. Beri makan cair via NGT.
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
6. Catat jumlah/ porsi makanan yang dihabiskan klien.
Rasional : untuk mengetahui berapa banyak nutrisi yang masuk.
7. Beri makanan cair yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : makanan yang mudah ditelan dapat mengurangi kerja lambung.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy parenteral, anti
emetik.
Rasional : untuk mencukupi intake yang kurang dan mengurangi mual dan
muntah.
d) Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian
kegiatan yang sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang
optimal. Sebelum melakukan rencana tindakan keperawatan, perawat
hendaklah menjelaskan tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien.
Dalam pelaksanaan, perawatan melakukan fungsinya sebagai independent,
interdependent dan dependent. Pada fungsi independent perawat melakukan
tindakan atas dasar inisiatif sendiri. Contohnya memberikan latihan
pernapasan perut dalam posisi duduk dan berbaring. Pada fungsi
interdependent, perawat melakukan fungsi kolaborasi dengan tim kesehatan
lainnya. Dan fungsi independent perawat melakukan fungsi tambahan untuk
menjalankan program dari tim kesehatan lain seperti pengobatan.
Di samping itu perawat harus memperhatikan keadaan umum dan respon
pasien selama pelaksanaan. Dan untuk melatih pasien agar mandiri, sebaiknya
dalam tahap pelaksanaan ini adalah sebagai berikut : persiapan, pelaksanaan dan
dokumentasi. Pada fase persiapan, perawat dituntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan. Selain itu perawat juga harus mampu menganalisa situasi dan
kondiri pasien baik fisik maupun mentalnya sehingga dalam merencanakan,
memvalidasi rencana serta dalam pelaksanaannya perawat akan terhindar dari
kesalahan.

e) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang dapat digunakan
sebagai alat pengukur keberhasilan suatu rencana keperawatan yang telah
dibuat. Meskipun evaluasi dianggap sebagai tahap akhir dari proses
keperawatan proses ini tidak berhenti, yang telah terpecahkan dan masalah
yang perlu dikaji ulang, direncanakan kembali, dilaksanakan dan
dievaluasikan kembali.
f) Discharge Planning
1. Jelaskan kepada keluarga, bahwa perubahan yang terjadi pada pasien
bukan merupakan bentuk kelainan jiwa, tetapi adalah komplikasi dari
benturan yang dialami pasien.
2. Anjurkan pada keluarga, agar pada saat berbicara dengan pasien
menggunakan metode “kembali ke realita”
3. Anjurkan pada keluarga agar tidak merubah posisi/letak barang-barang
yang ada di rumah khususnya kamar pasien.
4. Anjurkan pada keluarga untuk membantu pasien dalam perawatan diri dan
pemenuhan kebutuhan dasar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Cedera merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibt kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2007). Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera
kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan
keperawatan cedera kepala, baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang
maupun cedera kepala berat harus ditangani secra serius. Cedera pada otak
dapat mengakibatkan gangguan pada system saraf pusat sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran. Kita sebagai perawat perlu mengetahui jenis dan
bagaimana cedera terjadi untuk mengetahui jenis trauma yang di timbulkan
apakah menyebabkan trauma yang bisa menyebabkan kematian atau tidak.
Serta untuk menegtahui intervensi atau penatalaksanaan yang tepat untuk
kasus tersebut.
B. Saran.
1. Hindari hal yang dapat menyebabkan cedera.
2. Berhati-hati dalam berkendaraan.
3. Hati-hati dalam melakukan aktifits yang dapat menyebabkan cedera.
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca Fransisca B.(2008).Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan.Jakarta : Salemba Medika.
Brunner and Suddarth.(2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marilyn, E.(2000).Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3.Jakarta.EGC.
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta : EGC.

S-ar putea să vă placă și