Sunteți pe pagina 1din 18

ASROR AL AHKAM ( RAHASIA HUKUM ISLAM )

MAKALAH
Dibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Filsafat Hukum Islam Semester III

Dosen
AKHMAD FARRAH HASAN, M.Si
Di susun oleh
kelompok 7
Ahmad Syaifur Rizal : 13220009
Dina Silvana Rochimatul Ummah : 13220092
Nur laili safitri : 13220116
Ahmad Idus Showabi : 13220219

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rahasia-rahasia hukum islam sering disebut sebagai “Asrarul Ahkam” dan ada
juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri’ atau Asrarus Syari’ah, tentang Asrarul
Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah hukum islam.
Bahkan Addahlawi menyebutkan bahwa ilmu yang paling tinggi martabatnya adalah
ilmu-ilmu syari’ah yang membahas rahasia agama yang menerangkan hikmah-
hikmah hukum. (hasbi Ash-shiddiqi, 1976: 380)
Walaupun rahasia-rahasia hukum islam itu sulit diketahui, tetapi paling tidak
seseorang harus berusaha untuk mengungkapkannya. Yakni dengan mempelajari
metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam itu sendiri. Allah SWT
sendiri berfirman bahwa rahasia hukum islam hanya diketahui oleh orang-orang yang
cerdik pandai atau orang-orang yang dikehendaki. Maka, agar rahasia-rahasia hukum
islam itu bisa terungkap, seseorang harus mengetahui metode-metode, aspek-aspek
dan wilayah Asrorul Ahkam. Oleh karena itu kami merasa perlu untuk
mengungkapkan permasalahan ini yang selanjutnya terumus dengan judul “Asrorul
Ahkam”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut ini dipaparkan beberapa rumusan
masalah yang berkaitan dengan fokus pembahasan dalam makalah ini

1
1. Apa pengertian asror al-ahkam?
2. Bagaimana metode penggalian asror al-ahkam?
3. Apa aspek dalam asror al-ahkam?
4. Bagaimana wilayah asrorul ahkam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian asror al-ahkam.
2. Untuk mengetahui metode penggalian asror al-ahkam.
3. Untuk mengetahui aspek dalam asror al-ahkam
4. Untuk mengetahui wilayah asrorul ahkam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asror Al-Ahkam
Asrar ini, jika kita tinjau dari segi sebab-sebab hukum disyari’atkan kita
namakan Asrarut Tasyri’ atau rahasia-rahasia pembinaan hukum. Dan jika kita tinjau
dari segi materi hukum itu sendiri, kita katakan Asrarul Ahkam, atau Asrarusy
Syari’ah.
Adapun pendapat ulama’ mengenai Asrorul Ahkam, yaitu:
Pertama, pendapat bahwa kita tidak boleh mengungkapkan hikmah dan illat hukum,
tidak boleh mendasarkan hukum kepada illat dan hikmah itu, karena tidak ada
keharusan terkaitnya antara taklif dan hikmah.
Mereka berpendapat bahwa: “Allah membebani para hamba (mukallaf)
dengan apa yang Allah kehendaki, baik mengandung hikmah atau tidak.” Mereka
menyandarkan pandangan Umar ketika beliau mencium Hajar Aswad:
“Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengetahui bahwasanya engkau
hai batu hitam adalah batu yang tidak memberi madlarat dan tidak
memberi manfaat. Andaikata aku tidak melihat Rasulullah mencium
engkau tentulah aku tidak mencium engkau.” 1
Ada juga pendapat bahwasanya setiap perbuatan mukallaf yang disyari’atkan
Allah mengandung hikmah, mempunyai hukum dan disertai rahasia-rahasia yang
harus kita mengungkapkannya, Hanya saja hikmah-hikmah itu ada yang dapat dicapai
dengan daya fikir manusia, ada yang tidak dapat dicapai dengan daya akal.
Namun demikian setiap hukum mempunyai hikmah dan illat, walaupun
tersembunyi bagi sebagian manusia, karena tidak sanggup meliputi segala Asrorul
Ahkam, tidak sanggup mengetahui hakikat yang dikehendaki syara’, maka karenanya

1
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang , 1975), h 387

3
para mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan Manathul Ahkam atau Hikmah
Tasyri’2.
Dalam mengungkap rahasia-rahasi hukum yakni illah dan hikmah hukum,
perlu diperhatikan dua hal berikut ini:
Pertama, dalam mengahadapi kewajiban agama, khusus dalam bidang
ibadat, jangan mengatakan bahwa kewajiban agama perlu dilaksanakan karena untuk
perbaikan jiwa. Bila jiwa telah baik, maka tidak perlu lagi melaksanakan beban
ibadah itu, atau kita mengatakan bahwa ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Dan kalau sudah dekat dengan jalan lain, tentulah tidak wajib beribadat.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan dengan
mengisahkan seorang lelaki membina sebuah mahligai di suatu pegunungan. Di
dalamnya ditanam semacam rumput yang berbau wangi. Dia mewasiatkan kepada
anaknya supaya memelihara rumput itu dan jangan sekali-sekali tinggal di dalam
mahligai itu, baik siang maupun malam tanpa ada rumput tersebu, Kemudian si anak
menanam bermacam-macam bunga dan beraneka tumbuhan yang berbau wangi, serta
mendatangkan kasturi dan cendana ke dalam mahligai sehingga baunya semerbak dan
harum dan mengalahkan kewangian rumput yang ditanam sang ayah.
Pada suatu ketika sang anak mengatakan pada dirinya sendiri bahwa
ayahnya menyuruhnya memelihara rumput itu karena baunya wangi. Hal itu telah
ditutupi oleh kembang-kembang, bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang lain yeng
lebih semerbak baunya. Karenanya rumput yang ditanam ayahnya dibuang dari
mahligai. Setelah mahligai telah kosong dari rumput tersebut, keluarlah dari beberapa
lobang yang ada di mahligai itu ular-ular yang mengerikan, lalu dia memukul si anak
dengan ekornya yang nyaris menewaskan sang anak. Ketika itu barulah sang anak
menyadari bahwa diantara khasiat rumput yang ditanam ayahnya adalah untuk
menolak bencana dan menyebabkan ular tidak dapat bergerak dari tempatnya.
Dari perumpamaan ini, sang ayah bermaksud:

2
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum, h. 390
1. supaya anak memanfaatkan rumput itu dengan baunya yang wangi. Hal
ini dapat dipahami oleh sang anak.
2. supaya rumput itu melemahkan daya ular, hingga tidak dapat bergerak
dari tempat persembuyiannya. Hikmah ini sulit dipahami oleh sang anak3.
Kedua, keharusan berhati-hati dalam menghadapi illat hukum (jangan segera
meninggalkan hukum sebab illat tampak tidak jelas).
Abu Sulaiman al-Manthiqi dalam Hasbi telah mengulas pendapat al-Farabi
dengan suatu uslub bahasa yang teramat indah. Dia berkata: “sesungguhnya syari’at
diambil dari Allah’azza wa jalla dengan perantara utusan (duta) yang
menghubungkan antara Allah dengan makhluq melalui jalan wahyu. Pintu munajat,
kesaksian ayat-ayat dan munculnya mu’jizat dipertengahannya, adalah hal-hal yang
tidak ada jalan untuk membahas dan mendalaminya. Dan kita harus mengikuti apa
yang diserukan dan diperingatkan kepadanya, disanalah gugur pertanyaaan “karena
apa” dan batal kata “mengapa” dan tergeser kata “mengapa tidak begini” dan
lenyaplah kata “jikalau dan mudah-mudahan”. Sekiranya akal dapat menyukupi,
maka wahyu tidak ada faedah dan gunanya, sebab kedudukan manusia berbeda akal
dan kecerdasannya4.
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa memahami agama dapat
dilihat dari dua pendekatan, wahyu dan akal. Wahyu untuk menjelaskan masalah
syari’at yang dating dari Allah yang kita harus mengikutinya, dimana wahyu itu
merupakan mu’jizat baik yang sudah disebutkan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya
maupun mukjizat (keistimewaan) yang dating kemudian. Dua macam kemu’jizatan
itu, hanya dapat dipahami dan digali melalui intervensi akal manusia oleh karena itu
wahyu dan akal saling menunjang.

3
Ahmad Ramali, Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 1956),
h. 99
4
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam. (Jakarta: Logos, 1997), h. 250

5
B. Metode Penggalian Asror Al-Ahkam
Untuk penggalian Asrorul Ahkam diperlukan metode yang dapat
mengungkap segala rahasia-rahasia hukum, para ulama’ mengadakan berbagai
macam pendekatan untuk mengungkap rahasia-rahasia itu, adapun metode yang
dikembangkan adalah sebagai berikut:

1. Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi


Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-
hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum5. Illat sendiri sebagian ulama
mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh ialah suatu sifat khas
yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Orang yang mengakui adanya
illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Para ulama Ushul Fiqh
memandang masalah illat menjadi 3 golongan:
a. Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum
pasti memiliki illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah illat hukum
itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b. Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak
ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya illat.
c. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang
mengganggap tidak adanya illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan
meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam.
Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatar
belakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu,
ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud
dengan jiwa yang melatar belakangi sesuatu ketentuan hukum ialah illat hukum atau

5
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam( Yogyakarta: UII Pres, 1984),
h. 135
kausa hukum. Selama, illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang
jika illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam
perkembangan ilmu Hukum Islam, para fuqaha’ melahirkan kaidah fiqih yang
mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidak adanya”
Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan dengan illat (kausa)
yang melatarbelakanginya; jika illat ada, hukum pun ada, jika illat tidak ada, hukum
pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi illat hukum merupakan hal yang amat
pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh
merupakan keharusan untuk dapat menunjuk illat hukum secara tepat. Mengenai
adanya kaitan antara illat dan hukum, para fuqaha mazhab Zahiri tidak dapat
menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui illat hukum hanyalah Allah dan
Rasul-Nya6.
Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat
kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya. Menetapkan adanya kaitan
hukum dengan illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui
hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya
persamaaan illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam
nash.
Dengan mengetahui illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat
dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terjadi kemudian. Illat sangat
penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru
sangat bergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut. Sehingga illat
dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif
(zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai
dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum.

6
Basyir, Pokok-Pokok Persoalan, h. 137

7
Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya
hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Illat merupakan “tujuan yang
dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan
“tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. Sedangkan
menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan illat adalah hikmat itu
sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya
perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith
atau tidak.
Jadi baginya illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu
sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan
hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dengan illat mempunyai hubungan
yang erat dalam rangka penemuan hukum. Berdasarkan pernyataan di atas dapat
dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan illat dari hikmat sangat menentukan
keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa
eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid alsyari’at. Dalam pencarian
‘illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi illat adalah
bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai
tujuan disyariatkan hukum itu.
Maslahat dalam illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat,
dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan teori maqashid al-syariat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan
hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur
qiyas. Illat adalah hal yang oleh syari’ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar,
tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum.
Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber
pengambilannnya, yaitu illat diperoleh dengan dalil naqli, nash yang diperoleh
dengan ijma’ dan illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada
nash).
Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu
yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih, yang
diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya
petunjuk sebab. Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat
pelik. Untuk menentukan illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran.
Sifat pemikiran kefilsafatan dalam menentukan illat dengan jalan istinbath ini amat
nyata. Untuk menentukan illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara,
yaitu:
a. Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang
dirasakan sesuai benar sebagai illat hukum, untuk menentukan mana di
antara hal itu yang benar-benar sebagi illat dilakukan taqsim dan sabr.
Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai sebagai „illat hukum,
dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan dirasakan sesuai sebagi
illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan
sebagai illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini
merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan
terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.
b. Menetapkan kesesuaian illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan
mengkaji illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan
berlakunya illat itu terhadap hokum bersangkutan. Illat yang sesuai dengan
ketentuan hukum itu disebut al-illah almunasibah. Al-illah al-munasibah
ada empat macam, yaitu: illat muatstsirah (membekas), illat mula-imah
(sejalan), illat gharibah (asing) dan illat mursalah (lepas, bebas). di bawah
ini akan dibahas tentang empat illat itu:
1) al-illahal-munasab
Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau ijma’ dan
diketahui membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum.
Misalnya perwalian yang ditetapkan atas anak di bawah umur,
yang dipandang illatnya adalah keadaan di bawah umur

9
2) Illat mula-imah
Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas
pengarunya terhadap hukum karena nash yang mengandung
hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai illatnya.
Namun illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai
masalah yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya
untuk dijadikan illat hukum yang bersangkutan.
3) illat gharibah
Illat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa illat itu
membekas pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui
dengan jelas kesejalanannya dengan hukum bersangkutan dari
nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain
mengenai masalah yang sejenis. Namun illat yang diperoleh dari
nash itu sendiri dipandang sesuai dengan hukum yang
diakandungnya.
4) illat mursalah
Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat
diketahui dari jiwa ajaran Islam pada umumnya. Illat macam
inilah yang merupakan hal yang amat pelik. Untuk
menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan
cakrawala pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam
khususnya dan ajaran Islam umumnya. Oleh karenanya illah
adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di dalamnya
terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan7.
Maka illah ditetapkan sebagi bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan
dengan jelas bagi adanya hikmah. Hikmah itu bersifat implisit di dalam illah dan
tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada jika illah tidak ada. Di samping

7
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum, h. 394
itu, illah adalah dasar perbuatan. Jika „illah ada tanpa adanya hikmah, maka illah
tidak dapat dianggap berasal dari hukum.
Jika illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila „illah itu tidak jelas,
para ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan
mencoba menggali illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan
yang lainnya mengambil metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan
dengan kepentingan masyarakat (social utility). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa illah merupakan “sebab” atau “tujuan” ditetapkan hukum. Adakalanya
langsung disebut dalam nash (manshushah) dan adakalanya tidak (muntanbathah).

2. Metode Ta’wili
Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam
melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang aslinya
Ibnu Rusdy banyak menggunakan metode Ta’wili dalam mengungkapkan
hukum islam, karena beliau memberikan aturan penakwilan yaitu:
a. orang harus menerima prinsip-prinsipatau dasar-dasar syar’i dan
mengikutinya, bila dilarang syara’ maka dipatuhinya.
b. Yang berhak mengadakan penakwilan hanyalah golongan filosof saja,
bahkan filosof-filosof tertentu saja, yaitu mereka yang dalam ilmunya.
Ta’wil tidak boleh dipergunakan ulama’ fiqih atau ulama’ mutakallimin,
sekalipun ilmunya tinggi tetapi mereka kurang mendalam.
c. Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas
burhani (orang-orang filosof) bukan untuk orang awam yang tidak
memahami pena’wilan.
d. Hukum syara’ di bagi 3 bagian, pertama, bagian yang diartikan menurut
lahiriyah, kedua, bagian yang perlu dita’wilkan, ketiga, bagian yang masih
diperselisihkan8.

8
Basyir, Pokok-Pokok Persoalan, h 140

11
Bagi Ibnu Rusdy semua bagian itu tetap merupakan wilayah ta’wil. Tokoh
yang banyak mengembangkan metode ta’wil (metaforis) adalah al-Jahiz (wafat 225
H/868 M), beliau ulama’ rasional dalam bidang teolog, dengan metodenya dia banyak
menyelesaikan sekian banyak problema umat yang dihadapi waktu itu.9
Sedangkan Muhammad Abduh lebih menekankan penggunaan ta’wil dengan
akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan ma’na
pena’wilan dengan kata yang dita’wilkan, misalnya, term “JIN” diartikan dengan
“sesuatu yang tertutup” sedang bagi Rosyid Ridlo memberi arti “kuman yang
tertutup”.
Penggunaan ta’wil yang tepat adalah pemakaian ta’wil yang berdasarkan
akal yang ditopan oleh unsur kebahasaannya, kerena bila mengabaikan unsur
kebahasaan mengakibatkan pertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah dan
menyalahi ayat itu sendiri10.

3. Metode Hikmi
Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui
pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalnya, mengapa
disyari’atkan sholat, karena sholat itu dapat mencegah segala gangguan kejiwaan,
misalnya stress serta memberikan ketenangan yang tinggi, mensucikan diri dari
perbuatab keji dan mungkar serta berdampak pada perbuatan yang positif11.

C. Aspek Asror Al-Ahkam


Aspek-aspek yang mengungkapkan rahasia hukum islam dapat diketahui
melalui 2 (dua) sudut, yaitu sudut kebahasaan atau pun sudut ma’nanya, yaitu:
1. Sudut Bahasa, yaitu menerangkan hukum islam dengan melihat teks ayat
atau hadits yang teliti. Misalnya, dalam masalah pencurian lafadz “sariq”
(pencuri laki-laki) lebih didahulukan dari pada lafadz “sariqoh” (pencuri

9
Djamil, Filsafat Hukum, h. 259
10
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum, h. 397
11
Djamil, Filsafat Hukum, h. 263
wanita), sedangkan masalah perzinaan lafadz “zaniyah” (pezina wanita)
lebih didahulukan dari pada lafadz “zani” (pezina laki-laki). Firman
Allah SWT:QS.Al-Maidah:38



 
   
   
 
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangankeduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebaga siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana12

2. Sudut Ma’na, yaitu menerangkan rahasia hukum islam dengan melihat


konteks makna pada ayat atau hadits yang diteliti. Misalnya, hadits yang
menyatakan bahwa tiga hal yang main-main dianggap sungguhan, yaitu
nikah, talaq dan ruju’. Hal itu disyari’atkan agar seseorang tidak
membiasakan main-main dalam hal yang sakral, sehingga ia berhati-hati
dalam menentukan sikap, apalagi masalah thalaq, karena thalaq
merupakan penghianatan jiwa yang semula disepakati bersama.
Misalnya, hukum aqidah ditetapkan dengan hikmah mempersatukan
kerukunan yang merata pada masyarakat, sedang hukum aqidah sam’iyah ditetapkan
dengan hikmah menguji tingkat keimanan pada mukallaf untuk menumbuhkan rasa

12
Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
(Surabaya: Mahkota, 2002)

13
takut kepada kekuatan yang harus dirasakan oleh dlamir, sedang hukum-hukum
ibadah ditetapkan dengan hikmah menarik kebaikan dan menolak keburukan, sedang
hukum-hukum mu’amalah ditetapkan dengan hikmah mengatur hubungan manusia
yang harmonis, penuh keinsyafan, keadilan, kasih sayang dan persamaan, dan hukum
akhlak karimah ditetapkan dengan hikmah menjadi medium (wasilah) untuk
memelihara keamanan dan kebahagiaan masyarakat.13

D. Wilayah Asror Al-Ahkam


Menurut ibnu Rusdy, Asrorul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-hukum amaliah
lahiriyah, belum sampai pada aqidah. Karena hukum aqidah diharuskan memakai
dalil-dalil yang qoth’i yang tidak dipertentangkan, baik dari golongan orang-orang
Rosikh ilmunya maupun orang awam.
Sedangkan hukum amali lahiriyah dapat dikembangkan melalui metode-metode
baik metode Qiyasi, ta’wili maupun menerangkan hikmah-hikmah yang dicapai
walaupun setiap ulama’ berbeda hasil yang diperoleh dalam mengungkapkan rahasia
hukum tersebut.14

13
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum, h. 392
14
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum, h. 393
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asrorul Ahkam atau yang dalam bahasa umum dinamakan hikmah atau ahdaf,
adalah suatu cabang dari falsafah hokum islam, yang kita lihat atau kita tanggapi dari
segi hikmah dan illat hukum.
Adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
1. Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi
Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-
hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum.
2. Metode Ta’wili
Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam
melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang
aslinya.
3. Metode Hikmi
Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui
pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Menurut Ibnu Rusdy, wilayah Asrorul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-
hukum amaliah lahiriyah, belum sampai pada aqidah.
Adapun Aspek-aspek yang mengungkapkan rahasia hukum islam dapat diketahui
melalui 2 (dua) sudut, yaitu sudut kebahasaan atau pun sudut ma’nanya, yaitu:
1. Sudut Bahasa, yaitu menerangkan hukum islam dengan melihat teks ayat atau
hadits yang teliti.
2. Sudut Ma’na, yaitu menerangkan rahasia hukum islam dengan melihat
konteks makna pada ayat atau hadits yang diteliti.

15
DAFTAR RUJUKAN

Basyir, Ahmad Azhar. 1984. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam.

Yogyakarta: UII Pres

Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum dalam Islam. Jakarta: Logo

Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-

Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota

Ramali, Ahmad. 1956. Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam.

Jakarta: Balai Pustaka

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan

Bintang

S-ar putea să vă placă și