Sunteți pe pagina 1din 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera pada bagian sistem muskuloskeletal biasanya menyebabkancedera atau
disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi dandisangganya. Bila tulang
patah, otot tidak berfungsi; bila saraf tidak dapatmenghantarkan impuls ke otot, seperti pada
paralisis tulang tak dapat bergerak; bila permukaan sendi tak dapat berartikulasi dengan
normal, baik tulangmaupun otot tak dapat berfungsi dengan baik. Jadi meskipun fraktur
hanyamengenai tulang, namun juga menyebabkan cedera pada otot, pembuluh darahdan saraf
di sekitar daerah fraktur.Fraktur dan dislokasi merupakan rangkaian fenomena dan
problemamuskuloskeletal yang sering terjadi pada anak–anak.
Memandang hal tersebut maka resiko fraktur maupun dislokasisangat mungkin terjadi
yang berakibat pada terganggunya proses perkembangan mereka.Sering kali untuk
penangananfraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia
contohnya ada seorang yang mengalami fraktur, tetapi karena kurangnyainformasi untuk
menanganinya Ia pergi ke dukun pijat, mungkin karenagejalanya mirip dengan orang yang
terkilir.Penanganan cedera sistem muskuloskeletal meliputi pemberian dukungan pada bagian
yang cedera sampai penyembuhan selesai. Dukungan dapatdiperoleh secara eksternal dengan
pemberian balutan, plester, bidai atau gips.Selain itu, dukungan dapat langsung dipasang ke
tulang dalam bentuk pin atau plat. Kadang traksi juga harus diberikan untuk mengoreksi
deformitas atau pemendekkan. Berbagai intervensi harus diberikan berdasarkan masalah
yangmungkin muncul dari fraktur maupun masalah yang terjadi pada saat penanganan yang
muncul pada saat intervensi dilakukan untuk mengatasimasalah fraktur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumusan beberapa masalah yaitu:
1) Bagaimana konsep dasar penyakit fraktur?
2) Bagaimana askep pada pasien anak fraktur dengan pemasangan gips?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini yakni sebagai berikut:
1. Mengetahui konsep dasar penyakit fraktur.
2. Mengetahui askep pada pasien anak fraktur dengan pemasangan gips.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR FRAKTUR


1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan yang dapat disebabkan oleh
dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik, kontraksi otot yang sangat kuat
dan secara tiba-tiba atau dorongan tidak langsung ( Hidayat, A.Alimul, 2006)
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.( Price and Wilson,2006)
2. Anatomi Fisiologi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi
tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam
lima kelompok berdasarkan bentuknya :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus)
b. Tulang pendek (carpals
c. Tulang pendek datar (tengkorak)
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang
pendek.
e. Tulang sesamoid
Struktur tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka
masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum
dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat
tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut
korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak.
Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang

2
disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal
Haversian.
Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara
lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem
kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang
panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang
melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk
tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang
merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae
(batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut
Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah
merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang
memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow
kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa
menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah
osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang
dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini
diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks.
Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan
substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen,
dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu,
didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang
menyebabkan tulang keras, sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400
ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang.
Perbedaan tulang anak-anak dengan dewasa
Anak-anak adalah berbeda dengan dewasa. Hal ini sangat penting diketahui
bahwa keberhasilan diagnostik dan terapi penyakit ortopedik pada kelompok usia ini
berbeda, karena sistem skeletal pada anak-anak baik secara anatomis, biomekanis,
dan fisiologi berbeda dengan dewasa. Adanya growth plate (atau fisis) pada tulang
anak-anak merupakan satu perbedaan yang besar. Growth plate tersusun atas

3
kartilago. Ia bisa menjadi bagian terlemah pada tulang anak-anak terhadap suatu
trauma. Cedera pada growth plate dapat menyebabkan deformitas. Akan tetapi
adanya growth plate juga membantu remodeling yang lebih baik dari suatu fraktur
yang bukan pada growth plate tersebut. Di bawah ini adalah beberapa karakteristik
struktur dan fungsi tulang anak yang membuatnya berbeda:
a. Remodelling
Tulang immatur dapat melakukan remodelisasi jauh lebih baik daripada dewasa.
Karena adanya aktivitas dari populasi sel yang banyak, kerusakan pada tulang
dapat diperbaiki lebih baik dari pada kerusakan yang terjadi pada
dewasa.Struktur anatomis tulang anak-anak juga mempunyai fleksibilitas yang
tinggi sehingga ia mempunyai kemampuan seperti “biological plasticity”. Hal ini
menyebabkan tulang anak-anak dapat membengkok tanpa patah atau hancur;
sehingga dapat terjadi gambaran fraktur yang unik pada anak yang tidak
dijumpai pada dewasa, seperti pada fraktur buckle (torus) dan greenstick.
b. Ligamen
Seperti jaringan, ligamen adalah satu jaringan yang “age-resistant” dalam tubuh
manusia. Tensile strength (kekuatan tegangan) pada ligamen anak-anak dan
dewasa secara umum sama. Meskipun kekuatan tulang, kartilago, dan otot
cenderung berubah, struktur ligamen tetap tidak berubah seiring pertumbuhan
dan perkembangan.
c. Periosteum
Bagian terluar yang menutupi tulang adalah lapisan fibrosa dense, yang pada
anak-anak secara signifikan lebih tebal daripada dewasa. Periosteum anak-anak
sebenarnya mempunyai sebuah lapisan fibrosa luar dan kambium atau lapisan
osteogenik. Menurut Hence, periosteum anak-anak mampu memberikan
kekuatan mekanis terhadap trauma. Karena periosteum yang tebal, fraktur tidak
cenderung untuk mengalami displace seperti pada dewasa, dan periosteum yang
intak dapat berguna sebagai bantuan dalam reduksi fraktur dan maintenance.
Sebagai tambahan, fraktur akan sembuh lebih cepat secara signifikan daripada
dewasa.
d. Growth Plate

4
Growth plate atau fisis adalah lempeng kartilago yang terletak di antar epifisis
(pusat penulangan sekunder) dan metafisis. Ini penting bagi pertumbuhan tulang
panjang agar terjadi. Bagian ini juga menjadi satu titik kelemahan dari semua
struktur tulang terhadap trauma mekanik. Fisis, secara histologik terdiri dari 4
lapisan, yaitu :
1) Resting zone: Lapisan teratas yang terdiri dari sel-sel germinal yang datar
dan merupakan tempan penyimpanan bahan-bahan metabolik yang akan
digunakan nantinya.
2) Proliferating zone: Sel-sel di area ini secara aktif bereplikasi dan tumbuh
menjadi lempeng. Sel-sel tersebut disebut seperi tumpukan lempeng. Pada
area ini, sel-selnya menggunakan bahan metabolik yang sebelumnya
disimpan untuk perjalanan mereka ke metafisis.
3) Hypertrophic zone: Sel-sel di area ini cenderung membengkak dan berubah
menjadi lebih katabolik. Sel mempersiapkan matriks untuk mengalami
kalsifikasi dan berubah menjadi tulang. Area ini menjadi letak terlemah
secara mekanis.
4) Calcified zone: Secara metabolik, matriks menyebar untuk deposisi garam
kalsium, dan membentuk osteoid. Di daerah yang dekat metafisis, cabang-
cabang pembuluh darah kecil menjalar ke lapisan basal dari lempeng fisis.
Fisiologi tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan
lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

5
3. Etiologi Fraktur
Penyebab tersering: fraktur terjadi ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang
normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya
osteoporosis. (Pierce & Borley, 2007)
Menurut Long (1996:356) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).
4. Klasifikasi Fraktur
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris
dan seterusnya).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur:
1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah:
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
d. Berdasarkan posisi fragmen :

6
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen.
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
a) Grade I: Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan
sedikit, kontaminasi ringan, luka <1 cm.
b) Grade II: Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar,
luka >1 cm
c) Grade III: Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neurovaskuler, kontaminasi besar
f. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma:
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang..
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

7
1) Tidak adanya dislokasi.
2) Adanya dislokasi
a) At axim: membentuk sudut.
b) At lotus: fragmen tulang berjauhan.
c) At longitudinal: berjauhan memanjang.
d) At lotus cum contractiosnum: berjauhan dan memendek.
h. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
i. Fraktur Kelelahan: Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
Fraktur Patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

5. Patofisiologi Fraktur

8
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan.Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.Sel-sel darah
putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat
tersebut.Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.Di tempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan
sel-sel baru.Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati (Corwin, 2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas
dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat
berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Smeltzer, 2002).

6. Pathway Fraktur

Kondisi patologis: Traumatik:


osteoporosis, ca.tulang, tumor tulang jatuh, kecelakaan, olahraga

Terputusnya kontinuitas jar./saraf


Penurunan absorpsi kalsium dlm (cedera fisik)
tulang
Nyeri akut

FRAKTUR Reaksi fisiologis: mediator


Tulang menjadi rentan nyeri serta proses inflamasi
pengeluaran zat bradikinin,
Terbuka Tertutup sitokinin, prostaglandin, dll)

Immobilisasi Tanda inflamasi;


Operable (Reduksi) bengkak

traksi
Reduksi eksterna / interna Gips
Hambatan
mobilitas
fisik
9 Penekanan pada
kulit wkt lama
Resiko
Perubahan proses keluarga
(persiapan perawatan di rumah anak
cedera
dengan gips)
Resiko
kerusakanintegri
tas kulit

7. Manifestasi Klinis Fraktur


Manifestasi klinis dari fraktur (Suriadi & Rita Yulianni, 2006):
a. Nyeri atau tenderness
b. Immobilisasi
c. Menurunnya pergerakan
d. Adanya krepitasi
e. Ecchymosis dan eritema
f. Spasme otot
g. Deformitas
h. Bengkak atau adanya memar
i. Gangguan sensasi
j. Hilangnya fungsi
k. Menolak untuk berjalan atau bergerak
8. Fraktur Yang Banyak Terjadi Pada Anak
a. Fraktur klavikula
Klavikula adalah daerah tulang tersering yang mengalami fraktur. Letak
tersering adalah di antara 1/3 tengah dan lateral. Fraktur klavikula dapat
sebagai akibat dari cidera lahir pada neonatus. Diagnosis dengan mudah dibuat
dengan evaluasi fisik dan radiologis. Pasien akan menderita nyeri pada
pergerakan bahu dan leher. Pembengkakan local dan krepitus dapat tampak.
Cidera neurovaskuler jarang terjadi. Radiografi klavikula AP biasanya cukup
untuk diagnosis. Fraktur klavikula pada neonatus biasanya tidak memerlukan
terapi lebih lanjut.
Kalus yang teraba dapat dideteksi beberapa minggu kemudian. Pada anak-
anak yang lebih tua, imobilisasi bahu (dengan balutan seperti kain gendongan
atau yang mampu menyandang/memfiksasi bagian lengan bawah dalam posisi
horizontal melawan batang tubuh) sebaiknya digunakan untuk mengangkat

10
ekstremitas atas untuk mengurangi tarikan ke bawah pada klavikula distal.
Kalus yang dapat dipalpasi dapat dideteksi beberapa minggu yang kemudian
akan remodel dalam 6-12 bulan. Fraktur klavikula biasanya sembuh dengan
cepat dalam 3-6 minggu.

b. Fraktur proksimal humerus


Biasanya akibat jatuh ke belakang dalam lengan yang ekstensi. Cidera
neurovaskular jarang. Akan tetapi, kerusakan saraf aksila harus dicurigai jika
pasien merasakan fungsi deltoid yang tidak normal dan parestesia atau
anesthesia sepanjang aspek bahu lateral. Penatalaksanaan dengan immobilisasi
lengan dengan “sling-and swathe” (balutan papan elastis yang memfiksasi
humerus melawan tubuh) selama 3-4 minggu. Karena potensi remodelling yang
signifikan pada daerah ini, deformitas dalam derajat tertentu masih dapat
diterima. Fraktur dengan angulasi yang ekstrim (lebih dari 900) dapat
memerlukan reduksi dengan operasi.
c. Fraktur suprakondiler humerus
Fraktur suprakondiler (metafisis humerus distal daerah proksimal dari siku)
adalah fraktur siku yang paling sering pada anak-anak. Terjadi sering pada usia
antara 3 -10 tahun. Pasien akan menahan lengan dalam pronasi dan menolak
untuk fleksi karena nyerinya. Cidera neurovascular sering terjadi pada
displacement yang berat. Karena mengalir a.brachialis maka cidera sebaiknya
ditangani sebagai emergensi akut. Pembengkakan, jika berat, dapat
menghambat aliran arteri atau vena. Pemeriksaan neurovascular yang cermat
diperlukan.
Compartment syndrome pada lengan bawah volar dapat terjadi dalam 12-24
jam. Volkmann’s contracture karena iskemia intrakompartemen dapat
mengikuti. Pin sering digunakan untuk memfiksasi fraktur setelah reduksi
terbuka atau tertutup. Fraktur suprakondiler yang umumnya tanpa gangguan
neurovaskular dapat dibidai dengan posisi siku fleksi 90 o, dan lengan bawah
dibidai dalam pronasi atau posisi netral.
d. Fraktur kondilus lateral

11
Fraktur kondilus lateral adalah akibat jatuh dimana kaput radialis pindah ke
kapitelum humerus. Fraktur gunting oblik permukaan sendi lateral sering
terjadi. Biasanya disertai pembengkakan yang berat meskipun fraktur tampak
kecil pada X-ray. Risiko tinggi malunion dan nonunion pada fraktur ini
tinggi. Karena growth plate dan permukaan sendi displaced, reduksi terbuka
dan fiksasi dengan pin perkutaneus mungkin diperlukan. Gips tanpa pinning
mungkin cukup memuaskan untuk fraktur non-displaced.
e. Fraktur kaput radialis
Fraktur kaput radialis sering didiagnosis secara klinis karena biasanya sulit
untuk terlihat dengan X-ray. Patsien mengalami nyeri yang berat tersering
dengan supinasi atau pronasi sedangkan nyeri yang ringan biasanya dengan
fleksi atau ekstensi siku. Leher radius dapat mengalami angulasi hingga 70-
800. Angulasi 450 atau kurang biasanya akan remodel secara spontan.
Manipulasi tertutup diperlukan pada angulasi yang lebih besar.
f. Fraktur buckle atau torus
Fraktur ini pada metafisis radius distal adalah sering. Biasanya akibat jatuh
dengan bersandar dengan pergelangan tangan dalam dorsofleksi. Fraktur adalah
impaksi dan terdapat pembengkakan jaringan lunak yang ringan atau
perdarahan. Biasanya terdapat fraktur ulna distal yang berhubungan dengan
fraktur distal radius ini. Penatalaksanaan dengan short-arm cast (gips lengan
pendek). Fracture biasanya sembuh dalam 3-4 minggu.
g. Fraktur monteggia dan galeazzi
Adalah fraktur pada pertengahan atau proksimal ulna dengan dislokasi kaput
radius. Ketika fraktur proksimal atau pertengahan ulna dicurigai atau
ditemukan termasuk fraktur olekranon, inspeksi teliti alignment kaput radialis
dengan capitellium harus dilakukan. Reduksi tertutup pada dislokasi kaput
radialis diperlukan dengan reduksi ulna dan gips fraktur ulna.
Sedangkan fraktur Galeazzi meliputi fraktur radius yang lebih distal dengan
dislokasi distal radioulnar joint. Fraktur radius ini ditangani dengan reduksi
terbuka dan fiksasi interna dengan plate dan screw. Dislokasi ulna biasanya
memerlukan posisi lengan bawah dalam supinasi untuk mencapai reduksi.
h. Fraktur panggul, leher femur, dan batang femur

12
Fraktur panggul biasanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat bersepeda, atau jatuh dari ketinggian. Pasien tampak nyeri
dengan pergerakan panggul yang pelan. Terdapat risiko tinggi pada anak-anak
untuk mengalami nekrosis vascular dan gangguan pertumbuhan karena
deformitas akibat gangguan vascular yang ada pada fisis. Fraktur leher femur
merupakan fraktur yang tidak stabil dan juga memiliki risiko tinggi seperti di
atas karena kaya akan pembuluh darah yang mensuplai fisis. Penatalaksanaan
sebagai emergensi dengan ORIF dengan screw untuk menstabilisasi.
Fraktur batang femur merupakan hasil dari trauma dengan gaya yang
tinggi. Meskipun kebanyakan fraktur femur tertutup, perdarahan ke dalam
jaringan lunak di paha mungkin mengakibatkan kehilangan darah yang
signifikan. Fraktur batang femur dapat menimbulkan pemendekan dan angulasi
ke longitudinal akibat tarikan otot dan spasme. Restorasi panjang dan
alignment dicapai dengan traksi longitudinal. Overgrowth kira-kira 1-2,5 cm
sering terjadi pada fraktur femur pada anak-anak antara 2-10 tahun. Gips
digunakan pada kelompok usia ini untuk pemendekan beberapa sentimeter.
Reduksi sempurna tidak diperlukan karena remodeling begitu cepat.
Penyambungan solid (union) biasanya tercapai dalam 6 minggu.
9. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang menurut Suriadi & Rita Y. (2006):
a. Foto rontgen
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan darah; Hgb, Hct, SGOT, LDH, kreatinin, dan alkaline
phosphatase untuk menentukan meluasnya kerusakan pada otot.
10. Penatalaksanaan Terapeutik
a. Gips (Plaster of paris): Prosedur ini bertujuan untuk menyatukan kedua bagian
tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya
pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah tersebut.
Kategori gips terdiri dari :
 Gips ekstermitas atas: Mengimobilisasi pergelangan dan/atau siku.
 Gips ekstermitas bawah: Mengimobilisasi pergelangan kaki dan/atau
lutut.

13
 Gips spika: Mengimobilisasi pinggul dan lutut.
 Gips spinal dan vertikal: Mengimobilisasi tulang belakang.
b. Traksi secara umum: Traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstreminasi klien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu tarikan tulang yang patah. Kegunaan traksi
adalah antara lain mengurangi patah tulang, mempertahankan fragmen tulang
pada posisi yang sebenarnya selama penyembuhan, memobilisasikan tubuh
bagian jaringan lunak, memperbaiki deformitas.
Jenis traksi ada dua macam yaitu :
 Traksi kulit, biasanya menggunakan plester perekat sepanjang
ekstremitas yang kemudian dibalut, ujung plester dihubungkan dengan
tali untuk ditarik. Penarikan biasanya menggunakan katrol dan beban.
 Traksi skelet, biasanya dengan menggunakan pin Steinman/kawat
kirshner yang lebih halus, biasanya disebut kawat k yang ditusukan
pada tulang kemudian pin tersebut ditarik dengan tali, katrol dan beban.
c. Reduksi: Merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk
memperbaiki kesejajaran dan mengurangi penekanan serta merenggangkan
saraf dan pembuluh darah. Jenis reduksi ada dua macam, yaitu:
 Reduksi tertutup, merupakan metode untuk mensejajarkan fraktur atau
meluruskan fraktur,dan
 Reduksi terbuka, pada reduksi ini insisi dilakukan dan fraktur
diluruskan selama pembedahan dibawah pengawasan langsung. Pada
saat pembedahan, berbagai alat fiksasi internal digunakan pada tulang
yang fraktur.
d. Penanganan Operatif: Fraktur pediatri tertentu mempunyai prognosis lebih
baik jika fraktur direduksi, dengan teknik terbuka atau tertutup, dan kemudian
secara interna atau eksterna distabilisasi. Sekitar 4–5 % fraktur pediatri
memerlukan pembedahan. Indikasi yang lazim untuk stabilisasi operatif pada
anak dan ramaja dengan fisis terbuka adalah : Fraktur epifisis tergeser, Fraktur
intra – artikuler tergeser, Fraktur tidak stabil, Fraktur pada anak yang tercedera
berkali – kali dan Fraktur terbuka.

14
Prinsip – prinsip manajemen bedah fraktur pediatri sangat berbeda dari prinsip
– prinsip manajemen fraktur remaja matur dan orang dewasa. Reduksi tertutup
yang berulang kali dilakukan untuk fraktur epifisis merupakan
kontraindikasikarena reduksi ini dapat menyebabkan cedera berulang pada sel
– sel benih fisis. Persekutuan anatomi pada pembedahan adalah suatu
keharusan, terutama pada fraktur intraartikuler dan fisis yang tergeser. Bila
digunakan fiksasi interna, fiksasi ini harus sederhana, (misalnya menggunakan
kawat kirschener yang dapat diambil segera setelah fraktur sembuh).
Fiksasi kaku untuk memungkinkan instabililasi ekstermitas biasanya bukan
tujuan utama tetapi agaknya lebih mengarah pada stabilitas yang cukup untuk
mempertahankan alignem anatomi dengan penambahan immobilisasi, biasanya
dengan plester Gips. Akhirnya bila digunakan fiksasi eksterna, diambil
sesegera mungkin digantikan immobilisasi dengan gips. Tindakan yang
terakhir ini diindikasikan apabila masalah jaringan lunak telah terkoreksi,
apabila fraktur stabil atau keduanya.
Teknik pembedahan
Tiga teknik pembedahan dasar digunakan pada manajemen fraktur
pediatri.Reduksi terbuka dan fiksasi interna diperlukan untuk penanganan
fraktur epifisis tergeser, terutama fraktur Salter–Harris tipe III dan IV, fraktur
intraartikuler, dan fraktur tidak stabil, seperti fraktur yang melibatkan diafisis
lengan bawah, spina, dan fraktur insilateral femur dan tibia (lutut
mengambang). Indikasi lain meliputi cedera neuromuskuler yang memerlukan
perbaikan dan kadang–kadang fraktur terbuka femur dan tibia. Reduksi tertutup
dan fiksasi eksterna terindikasi pada epifisis, intraartikuler tergeser spesifik,
dan fraktur metafisis tidak stabil dan fraktur diafisis.
Indikasi untuk fiksasi eksterna pada fraktur pediatri meliputi :
- Fraktur terbuak derajat II dan III berat
- Fraktur yang disertai dengan luka bakar berat
- Fraktur dengan hilangnya tulang atau jaringan lunak luas yang mungkin
memerlukan prosedur rekontruktif, seperti cangkok vaskularisasi bebas,
cangkok kulit dll.

15
- Fraktur yang memerlukan distraksi seperti fraktur dengan kehilangan
tulang yang berarti
- Fraktur pelvis tidak stabil
- Fraktur pada anak disertai cidera kepala dan spastisitas
- Fraktur yang memerlukan perbaikan atau rekontruksi vaskuler atau
syaraf.
Manfaat fiksasi eksterna meliputi mobilisasi fraktur yang kaku, manajemen
terpisah tungkai yang fraktur dan luka yang menyertai, dan mibilisasi pasien
untuk pengobatan cedera lain dan transportasi untuk prosedur diagnostik dan
terapeutik. Sebagian besar komplikasi dengan fiksasi eksterna adalah infeksi
sepanjang pen dan dapat terjadi fraktur lagi setelah pen diambil.
e. Fisiotherapi
Alat untuk reimobilisasi mencakup exercise terapeutik, ROM aktif dan pasif.
ROM pasif mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan ROM
normal pada sendi. ROM dapat dilakukan oleh therapist, perawat atau mesin
CPM (continous pasive motion). ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan
otot.
11. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium I-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-
sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 –48
jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

16
b. Stadium II-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah
mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

c. Stadium III-Pembentukan Kallus


Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan
juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan

17
osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati.
Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang
yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada
tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

d. Stadium IV -Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

e. Stadium V-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses

18
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.

19
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK FRAKTURDENGAN
PEMASANGAN GIPS

1. PENGKAJIAN
 Keluhan Utama
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur adalah nyeri yang bersifat
menusuk. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien,
perawat dapat menggunakan metode PQRST.
 Provoking Incident: Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah trauma
pada lengan atas.
 Quality Of Pain: Klien yang merasakan nyeri yang menusuk (kualitas nyeri).
 Region, Radiation, Relief: Regio/daerah nyeri. Nyeri dapat rendah dengan
imobilitas atau istirahat. Nyeri tidak dapat menjalar atau menyebar.
 Severity (Scale) of Pain: Secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan skala
2-4 pada rentang 0-4.
 Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
 Dasar data pengkajian anak dengan fraktur secara umum menurut Donna.L Wong
(2003):
a. Dapatkan riwayat kejadian, cedera sebelumnya, pengalaman dengan tenaga
kesehatan.
b. Observasi adanya manifestasi fraktur:
Tanda-tanda cedera:
 Pembengkakan umum
 Nyeri atau nyeri tekan
 Penurunan penggunaan fungsional dari bagian yang sakit (pada anak kecil
yang menolak untuk berjalan atau menggunakan ekstremitas atas sangat
dicurigai terjadi (fraktur)
 Memar

20
 Kaku otot yang parah
 Krepitasi
c. Kaji lokasi fraktur-observasi adanya deformitas, instruksikan anak untuk
menunjukkan area yang nyeri.
d. Kaji sirkulasi dan sensasi distal pada sisi fraktur .
e. Bantu dalam prosedur diagnostic dan tes misal radiografi dan tomografi.
 Pengkajian pada anak fraktur dengan pemasangan Gips menurut Aziz Alimul Hidayat
(2006)adalah adanya:
 Nyeri
 Bengkak
 Rasa dingin
 Pucat
 Denyut nadi meningkat
 Perilaku anak yang membatasi
 Ada tidaknya tanda infeksi pada pemasangan gips
 Kaji kemampuan mobilisasi dan
 Kaji koping individu (anak) terhadap keadaan terpasang gips/ respon terhadap
indikasi pemasangan gips.
 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Status generalisata
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

21
a) B1 (Breathing). Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa
anak dengan fraktur tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi
toraks, didapatkan taktilfremitus seimbang kanan dan kiri. Pada
auskultasitidak ditemukan suara napas tambahan.
b) B2 (Blood). Inspeksi tidak ada iktus jantung, pada palpasi : Nadi
mengkat, iktus tidak teraba, Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak
ada mur-mur.
c) B3 ( Brain)
 Kaji tingkat kesadaran (GCS)
 Kepala: Kaji bentuk kepala seperti normosefalik, simetris,
adanyamassa/benjolan, tidak ada sakit kepala dll.
 Leher: Kaji adanya kelainan, bentuk simetris/tidak, adanya massa,
reflex menelan, bendungan Vena jugularis, dll.
 Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan fungsi
dan bentuk, wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
 Mata: Kaji mata dan catat kelainan seperti konjungtivaanemis atau
tidak, dll
 Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
 Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung.
 Mulut dan Faring:Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
 Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan
dan tingkah laku klien.
d) B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien pada
fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem ini.
e) B5 (Bowel) Inspeksi abdomen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak terabah.
Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi: Peristaltik usus nomal 20 kali/menit. Inguinal – genitalia –
anus: Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe.
22
 Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi,
protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat
membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium dan protein. kurangnya paparan sinar matahari merupakan
faktor predisposisi masalah musculoskeletal terutama pada lansia.
Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
 Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan
pola eliminasi, tetapi perlu juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna,
dan bau feses pada pola eliminasi alvi. Pada pola eliminasi urine
dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya. Pada kedua
pola tersebut juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.
f) B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara lokal,
baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
b. Status Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P, yaitu: Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan).
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Pada sistem integumenterdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan adanya
pembengkakan yang tidak biasa (abnormal). Perhatikan adanya sindrom
kompartemen. Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma
jaringan lunak sampai kerusakan intergritas kulit. Fraktur oblik, spiral,
dan bergeser mengakibatkan pemendekan tulang. Kaji adanya tanda-
tanda cedera dan kemungkinan keterlibatan berkas neurovascular (saraf
dan pembuluh darah), seperti bengkak/edema. Pengkajian neurovascular
awal sangat penting untuk membedakan antara trauma akibat cedera dan

23
komplikasi akibat penanganan. Klien tidak mampu menggerakan
ekstremitas dan kekuatan otot menurun dalam melakukan pergerakan.

b) Feel (palpasi)
Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah cedera.
Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal > 3 detik
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
 Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan dengan
menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat mencatat apakah ada
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu
dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan
dimulai dari titik 0 (posisi netral), atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. Hasil
pemeriksaan yang didapat adalah adanya gangguan/ keterbatasan gerak
lengan dan bahu.Pada waktu akan palpasi, posisi klien diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). pada dasarnya, hal ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik pemeriksa
maupun klien.
 Pemeriksaan Diagnostik
24
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

25
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada anak fraktur dengan pemasangan Gips
antara lain (Wong, 2003):
a. Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur, pembengkakan jaringan,
serta ketidakmampuan penggunaan otot pada area yang tidak sakit.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya pemasangan gips
yang ketat atau lama.
d. Resiko cedera berhubungan dengan adanya pembengkakan jaringan, kerusakan
saraf, ketidakmampuan melakukan ROM dengan tepat.
e. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita cedera
fisik (fraktur dengan pemasangan gips).

3. RENCANA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan cedera fisik.
Tujuan:Ketidaknyamanan yang dialami pasien tidak ada atau minimal

26
Kriteria hasil: secara subjektif, anak melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri.
Klien tidak gelisah dan dapat tidur. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Gunakan berbagai strategi pengkajian nyeri
Rasional: strategi yang berbeda memberikan informasi kualitatif dan kuantitatif
tentang nyeri.
2) Pilih skala yang sesuai dengan usia anak, kemampuan, dan preferensi.
Rasional: beberapa skala lebih tepat untuk anak yang lebih kecil daripada skala
lain misal; skala yang menggunakan angka memerlukan pemahaman nilai
numerik.
3) Evaluasi perubahan perilaku dan fisiologis
Rasional: perubahan-perubahan ini adalah indicator umum dari nyeri pada
anak.
4) Beri posisi yang nyaman; gunakan bantal untuk menyokong area dependen.
Rasional: mengurangi nyeri serta meningkatkan kenyamanan.
5) Bila perlu, batasi aktivitas yang melelahkan.
Rasional: untuk mencegah nyeri
6) Sadari bahwa anak yang tertidur mungkin masih mengalami nyeri.
Rasional: anak yang mengalami nyeri dapat tertidur karena kelelahan, dan
opioid serta obat-obatan adjuvant dpt menyebabkan sedasi tanpa analgesia
yang kuat.
7) Hilangkan rasa gatal dengan dibawah gips dengan udara dingin yang
ditiupkan dari spuit asepto, fan, atau pengering rambut, atau menggaruk/
menggosok ekstremitas yang tidak sakit.
Rasional: memberikan rasa nyaman
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur, pembengkakan jaringan,
serta ketidakmampuan penggunaan otot pada area yang tidak sakit.
Tujuan:anak mampu mempertahankan penggunaan otot pada area yang tidak
sakit.

27
Kriteria hasil: klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak mengalami
kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah, dan klien menunjukan tindakan
untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan. Kaji
secara teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
2) Dorong untuk ambulasi sesegera mungkin
Rasional :untuk meningkatkan mobilitas
3) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak
sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot, serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
5) Ajarkan penggunaan alat mobilisasi seperti kruk untuk kaki yang digips (alat
berjalan digunakan bila diperbolehkan untuk menopang beban berat badan)
Rasional: meningkatkan mobilitas
6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien.
Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan
fisik dan tim fisisoterapi.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya pemasangan gips
Tujuan:anak tidak mengalami iritasi kulit.
Kriteriahasil:kulit anak tidak mengalami iritasi, vaskularisasi daerah
pemasangan gips tetap adekuat.
Intervensi:
1) Pastikan bahwa semua tepi gips halus dan bebas dari proyeksi pengiritasi;
kikir dan / atau lapisi tepi gips tersebut bila perlu.
Rasional:untuk mencegah trauma kulit.
2) Jangan membiarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam gips.
Rasional: untuk mencegah trauma kulit.
3) Jaga agar kulit yang terpajan tetap bersih dan bebas dari iritan.

28
Rasional: menjaga kebersihan untuk mencegah iritasi
4) Lindungi gips selama mandi, kecuali gips sintetik tahan terhadap air.
Rasional:karena kulit dapat teriritasi akibat adanya air di dalam gips.
5) Setelah gips dilepas, rendam dan basuh kulit dengan perlahan.
Rasional: gips akan mengeras dengan kulit terdeskuamasi dan sekresi sebasea.
d. Resiko cedera berhubungan dengan adanya pembengkakan jaringan, kerusakan
saraf, ketidakmampuan melakukan ROM dengan tepat.
Tujuan:mencegah adanya kerusakan pada neurologis atau sirkulasi
Kriteria hasil: klien tidak mengalami tanda kerusakan neurologis atau sirkulasi
ditandai dengan jari kaki/tangan hangat, merah muda, sensitive dan
menunjukkan pengisian kapiler yang segera.
Intervensi:
1) Tinggikan ekstremitas yang di gips.
R: untuk menurunkan pembengkakan, karena peninggian ekstremitas
meningkatkan aliran balik vena.
2) Tempatkan gips kaki di atas bantal, pastikan bahwa gips tersebut tertopang
dengan baik dan tidak ada tekanan di atas tumit.
R: memberikan rasa nyaman dan mengurangi bengkak.
3) Kaji bagian gips yang terpajan untuk mengetahui adanya nyeri, bengkak,
perubahan warna (sianosis/pucat), pulsasi, hangat, dan kemampuan untuk
bergerak.
R: mengkaji tanda-tanda kompatermen sindrom serta menjaga vaskularisasi.
4) Jangan menutupi gips yang masih basah.
R: untuk mengeringkannya dari dalam keluar.
5) Lindungi tepian gips di sekitar perianal dari gips tubuh dengan film plastic.
R: agar tidak kotor selama toileting
e. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita cedera
fisik (fraktur dengan pemasangan gips)
Tujuan:pasien (keluarga) siap untuk perawatan di rumah.
Criteria Hasil:keluarga menunjukkan perawatan gips serta keluarga
memberikan perawatan gips yang tepat dan mencari bantuan bila diperlukan.
Intervensi: perawatan di rumah keluarga: perawatan gips

29
1) Jaga agar ekstremitas yang digips ditinggikan di atas bantal atau penopang
yang serupa untuk hari pertama, atau sesuai petunjuk professional kesehatan.
R: agar keluarga/pasien mengerti tujuan tindakan untuk mengurangi bengkak
serta meningkatkan rasa nyaman.
2) Observasi ekstremitas (jari tangan atau jari kaki) untuk adanya bukti
pembengkakan atau perubahan warna (lebih gelap/terang) dan segera
menghubungi professional kesehatan bila terjadi hal-hal tersebut.
R: mengajarkan orangtua (keluarga) mengidentifikasi tanda komplikasi menuju
kompartemen syndrome.
3) Dorong istirahat yang sering selama beberapa hari, jaga agar ekstremitas
yang cedera tetap ditinggikan saat istirahat.
4) Gatal dapat dihilangkan dengan kompres es, visualisasi kulit pada tepi gips
dan memberikan obat sesuai dengan yang diberikan oleh praktisi.
5) Jaga agar jalur ambulasi tetap bersih. Singkirkan mainan, barang-barang
yang berserakan, binatang peliharaan atau barang-barang lain yang dapat
membuat anak tersandung
R: mencegah cedera lebih lanjut.
6) Gunakan kruk dengan tepat bila terjadi fraktur pada ekstremitas bawah. Kruk
harus tepat ukurannya, berikan ujung karet yang halus untuk mencegah tergelincir,
dan berikan bantalan yang baik pada aksila.
7) Bila pasien mengalami inkontinensia, lindungi gips dengan plester tahan air
dan plastic.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan
sudut dari tenaga tersebut , keadaan dari tulang itu sendiri dan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab tersering : fraktur terjadi
ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada
tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis. Diagnosa yang mungkin muncul
pada pasien anak fraktur dengan pemasangan gips antara lain:
 Nyeri akut
 Hambatan mobilitas fisik
 Resiko kerusakan integritas kulit
 Resiko cedera dan
 Perubahan proses keluarga (anak dengan pemasangan gips).

31
DAFTAR PUSTAKA

Wong, Donna.L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Edisi IV. Jakarta: EGC

Long, B. C.(1996). Perawatan Medikal Bedah. Jilid 2. Bandung :Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Edisi 2. Makassar: Bintang
Lamumpatue.
Sylvia A. Price, Lorraine Mc Carty Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta :EGC
Suriadi & Rita Yulianni. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Sagung
Seto.
Hidayat, A.Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Buku 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Smeltzer, Suzanne.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah.Vol 1.Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth.J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

32

S-ar putea să vă placă și