Sunteți pe pagina 1din 13

asuhan keperawatan pada bayi hiperbilirubin, BBLR dan prematur

BAB1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan
bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi
kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada
sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang
menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus
mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu
serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan
ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
Kongres Kedokteran Perinatologi Eropa Ke-2, 1970, mendefinisikan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir £ 2500 gr dan
mengalami masa gestasi yang diperpendek maupun pertumbuhan intra uterus kurang dari
yang diharapkan (Rosa M. Sacharin, 1996).
Berat Badan Lahir Rendah tergolong bayi yang mempunyai resiko tinggi untuk
kesakitan dan kematian karena BBLR mempunyai masalah terjadi gangguan pertumbuhan
dan pematangan (maturitas) organ yang dapat menimbulkan kematian.
Angka kejadian (insidens) BBLR di negara berkembang seperti di Inggris dikatakan
sekitar 7 % dari seluruh kelahiran. Terdapat variasi yang bermakna dalam insidens
diseluruh negeri dan pada distrik yang berbeda, angka lebih tinggi di kota industri
besar (Rosa M. Sacharin, 1996). Sedangkan di Indonesia masih merupakan masalah yang
perlu diperhatikan, karena di Indonesia angka kejadiannya masih tinggi. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dari tahun ke tahun tidak banyak berubah sekitar 22 % - 26,4
%.
Berkenaan dengan itu upaya pemerintah menurunkan IMR tersebut maka pencegahan dan
pengelolaan BBLR sangat penting. Dengan penanganan yang lebih baik dan pengetahuan
yang memadai tentang pengelolaan BBLR, diharapkan angka kematian dan kesakitan
dapat ditekan.
Peran serta perawat dalam pencegahan BBLR dengan meningkatkan kesejahteraan ibu dan
janin yang dikandung, maka perlu dilakukan deteksi dini melalui pemantauan Ante
Natal Care dan pengelolaan BBLR dengan penanganan dan pengetahuan yang memadai
dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan.
Berdasarkan fenomena diatas kelompok tertarik untuk mengangkat masalah asuhan
keperawatan pada neonatus dengan BBLR di Ruang Neonatus RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Bayi Prematur adalah bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan yang normal (37
minggu) dan juga dimana bayi mengalami kelainan penampilan fisik. Prematuritas dan
berat lahir rendah biasanya terjadi secara bersamaan, terutama diantara bayi dengan
badan 1500 gr atau kurang saat lahir, sehingga keduanya berkaitan dengan terjadinya
peningkatan mordibitas dan mortalitas neonatus dan sering di anggap sebagai periode
kehamilan pendek (Nelson 1988 dan Sacharin 1996). Masalah Kesehatan pada bayi
prematur, membutuhkan asuhan keperawatan, dimana pada bayi prematur sebaiknya
dirawat di rumah sakit karena masih membutuhkan cairan-cairan dan pengobatan /serta
pemeriksaan Laboratorium yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan terapi
pada bayi dan anak yang meliputi peran perawat sebagai advokad, fasilitator,
pelaksanaan dan pemberi asuhan keperawatan kepada klien. Tujuan pemberian pelayanan
kesehatan pada bayi prematur dengan asuhan keperawatan secara komprehensif adalah
untuk menyelesaikan masalah keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan hiperbilirubin, Bblr dan premature ?
1.2.2 Apakah yang menjadi penyebab terjadinya hiperbilirubin, Bblr dan premature
pada bayi ?
1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis penyakit hiperbilirubin, Bblr dan premature pada
bayi ?
1.2.4 Bagaimana komplikasi yang terjadi pada penyakit hiperbilirubin, Bblr dan
premature pada bayi?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit hiperbilirubin, Bblr dan
premature pada bayi?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang pada penyakit hiperbilirubin, Bblr dan
premature pada bayi?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit hiperbilirubin, Bblr dan premature
pada bayi?
1.2.8 Bagaimana proses asuhan keperawatan pada penyakit hiperbilirubin, Bblr dan
premature pada bayi?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk menghasilkan deskripsi tentang definisi hiperbilirubin, Bblr dan


premature pada bayi.
1.3.2 Untuk menghasilkan deskripsi tentang penyebab terjadinya hiperbilirubin, Bblr
dan premature pada bayi.
1.3.3 Untuk menghasilkan gambaran tentang manifestasi klinis penyakit
hiperbilirubin, Bblr dan premature pada bayi.
1.3.4 Untuk menghasilkan gambaran tentang komplikasi yang terjadi pada penyakit
hiperbilirubin, Bblr dan premature pada bayi.
1.3.5 Untuk menghasilkan gambaran tentang patofisiologi terjadinya penyakit
hiperbilirubin, Bblr dan premature pada bayi.
1.3.6 Untuk menghasilkan deskripsi tentang pemeriksaan penunjang pada penyakit
hiperbilirubin, Bblr dan premature pada bayi.
1.3.7 Untuk menghasilkan gambaran tentang penatalaksanaan penyakit
hiperbilirubin, Bblr dan premature pada bayi.
1.3.8 Untuk menghasilkan gambaran tentang proses asuhan keperawatan pada bayi
dengan penyakit t hiperbilirubin, Bblr dan premature.

1.4 Manfaat
1.4.1 Memberikan informasi tentang penyakit hiperbilirubin, Bblr dan premature
pada bayi.
1.4.2 Memberikan informasi tentang proses asuhan keperawatan pada bayi dengan
hiperbilirubin, Bblr dan premature.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 HIPERBILIRUBIN
2.1.1 Definisi
Hiperbilirubin adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir, yang
dimaksud dengan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi perubahaan warna
menjadi kuning pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya. (Ngastiyah,
2000) Nilai normal: bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4
mg/dl.
Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50% neonatus cukup
bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan). (IKA II, 2002).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam
darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon,
1998)
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam
darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada
neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane mukosa dan cairan
tubuh (Adi Smith, G, 1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum
(hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan
ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek
pathologis. (Markum, 1991:314)

Metabolisme Bilirubin
75%dari bilirubin yang ada pada BBL yang berasal dari penghancuran hemoglobin ,dan
25%dari mioglobin ,sitokrom ,katalase dan tritofan pirolase .satu gram bilirubin
yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin .bayi cukup bulan akan menghancurkan
eritrosit sebanyak satu gram/hari dalam bentuk bilirubin indirek yang terikat
dengan albumin bebas (1 gram albumin akan mengikat 16 mg bilirubin). Bilirubin
indirek larut dalam lemak dan bila sawar otak terbuka, bilirubin akan masuk kedalam
otak dan terjadilah kernikterus. yang memudahkan terjadinya hal tersebut ialah
imaturitas, asfiksia/hipoksia, trauma lahir, BBLR (kurang dari 2500 gram), infeksi,
hipoglikemia, hiperkarbia.didalam hepar bilirubin akan diikat oleh enzim glucuronil
transverse menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, kemudian diekskresi
kesistem empedu, selanjutnya masuk kedalam usus dan menjadi sterkobilin. sebagian
di serap kembali dan keluar melalui urin sebagai urobilinogen.
Pada BBL bilirubin direk dapat di ubah menjadi bilirubin indirek didalam usus
karena disini terdapat beta-glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan
tersebut. bilirubin indirek ini diserap kembali oleh usus selanjutnya masuk kembali
ke hati (inilah siklus enterohepatik).
Keadaan ikterus di pengaruhi oleh :
a) Faktor produksi yang berlebihan melampaui pengeluaran nya terdapat pada
hemolisis yang meningkat seperti pada ketidakcocokan golongan
darah (Rh, ABO antagonis,defisiensi G-6-PD dan sebagai nya).
b) Gangguan dalam uptake dan konjugasi hepar di sebabkan imaturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi (mengubah) bilirubin, gangguan fungsi hepar
akibat asidosis,hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapat enzim glukuronil
transferase (G-6-PD).
c) Gangguan tranportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian di
angkut oleh hepar. Ikatan ini dapat di pengaruhi oleh obat seperti salisilat dan
lain-lain. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat pada otak (terjadi krenikterus).
d) Gangguan dalam ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau di luar hepar. Akibat
kelainan bawaan atau infeksi, atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Macam – Macam Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates cukup bulan dan 12,5
mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg%
pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik. (Ni Luh Gede Y, 1995)

1.1.2 Etiologi
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah.
Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena adanya
perdarahan tertutup.
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi
toxoplasma. Siphilis.
7. Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor:
8. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang
meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
9. Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar)
penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.
10. Gangguan transportasi.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan
sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
11.Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
1.1.3 Manifestasi Klinis
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot
mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
1.1.4 Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi
tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn akhirnya
opistotonus
1.1.5 Patofisiologi
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan
diuraikan tentang metabolisme bilirubin
1. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang
larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan
hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang
normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim
Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat
patologis.
2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel
Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus
yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah
otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan
Hipoglikemia ( AH, Markum,1991

1.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan bilirubin serum
a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari
setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7
hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan
pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk
membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
5. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk
perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
6. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk
perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini

1.1.7 Penatalaksanaan.
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan
Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada
cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or
bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan
diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk
ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis
dapat menyebabkan Anemia. Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar
Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari
1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa
ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif
baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi).

Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine


sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

2.1.8 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI HIPERBILIRUBIN


Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses
keperawatan yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan,
Pelaksanaan dan Evaluasi.
A. Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui
yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder
fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres
dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi ).
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
· tidak terjadi decubitus
· Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut ).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua
dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan
ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam
perawatan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan
kornea )
Intervensi :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah
genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan
agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap
8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi
tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan
( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).
c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan
(R: mencegah aspirasi )
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur
( R : mencegah hipotermi
e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan
adalah darah segar
( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan
elektrolit, kejang
selama dan sesudah tranfusi
(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan tindakan
lebih dini )
g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )
8. PK Kern Ikterus
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-
tanda awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi ,
epistotonus, dll )
b. Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.

2.2 BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR)


2.2.1 Definisi
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir < 2500 gr
(berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir). WHO pada
tahun 1961 mengatakan bahwa semua bayi baru lahir yang berat badannya < 2500 gr
atau sama dengan 2500 gr disebut Low Birth Weight Infant (Bayi dengan berat badan
lahir rendah, BBLR).
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir dengan berat badan
kurang atau sama dengan 250 gram (WHO, 1961), sedangkan bayi dengan berat badan
kurang dari 1500 gr termasuk bayi dengan berat badan lahir sangat rendah. Pada
kongres European Prenatal Medicine II (1970) di London diusulkan definisi sebagai
berikut:
- Preterin Infant (bayi kurang bulan: masa gestasi kurang dari 269 hari
(37mg).
- Term infant (bayi cukup bulan: masa gestasi 259-293 hari (37 – 41 mg).
- Post term infant (bayi lebih bulan, masa gestasi 254 hari atau lebih (42
mg/lebih).
Macam BBLR
1. Prematur murni
Yaitu bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan lahir sesuai
untuk usia kehamilan.
2. Dismatur
Yaitu bayi dengan berat badan lahir kurang dengan berat badan yang seharusnya
untuk usia kehamilan. Ini menunjukkan bayi mengalami retardasi pertumbuhan intra
uterin.
Klasifikasi BBLR
BBLR dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Berdasarkan BB lahir:
1. BBLR: BB lahir < 2500 gram
2. BBLSR: BB lahir 1000 – 1500 gram
3. BBLASR: BB lahir < 1000 gram
Berdasarkan umur kehamilan:
1. Kurang bulan/Preterm/Prematur
UK < 37 minggu
2. Cukup bulan/Fullterm/Aterm
UK 37 – 42 minggu
3. Lebih bulan/Postterm/Serotinus
UK > 42 minggu
2.2.2 Etiologi
1.Faktor ibu :
a. Riwayat kelahiran prematur sebelumnya
b. Perdarahan antepartum
c. Malnutrisi
d. Hidromion
e. Penyakit jantung/penyakit kronis lainnya
f. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
g. Jarak dua kehamilan yang terlalu dekat
h. Infeksi
i. Penderita DM berat
2. Faktor Janin :
a. Cacat bawaan
b. Kehamilan ganda/gemili
c. Ketuban pecah dini/KPD
3. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
4. Idiopatik
2.2.3 Manifestasi Klinis
1. Sebelum bayi lahir
a. Pada anamnese sering dijumpai adanya Riwayat abortus, partus prematurus
dan lahir mati
b. Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan
c. Pergerakan janin yang pertama terjadi lebih lambat, gerakan janin lebih
lambat walaupun kehamilannya sudah agak lanjut
d. Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut yang seharusnya
e. Sering dijumpai kehamilan dengan oligradramnion gravidarum atau perdarahan
anterpartum
2. Setelah bayi lahir
a. Bayi dengan retadasi pertumbuhan intra uterin
b. Bayi premature yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu
c. Bayi small for date sama dengan bayi dengan retardasi pertumbuhan I
ntrauterine
d. Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya (Rustam
Mochtar, 1998 : 449)
e. Berat badan < 2500 gram
f. Panjang badan kurang atau sama dengan cm
g. Kepala relative lebih besar dari pada badannya
h. Kulit tipis
i. Transparan
j. Lanugo banyak
k. Lemak subcutan sedikit
l. Ubun-ubun dan sutura lebar
m. Genetalia imatur
n. Pembuluh darah terlihat
o. Peristaltic usus terlihat
p. Rambut biasanya tipis, halus
q. Tulang rawan daun telinga belum cukup sehingga Elastisitas daun telinga
masi kurang
r. Pergerakan kurang dan masih lemah
s. Tangisan lemah

2.2.4 Komplikasi
1. Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom distres respirasi,
penyakit membran hialin
2. Dismatur preterm terutama bila masa gestasinya kurang dari 35 minggu
3. Hiperbilirubinemia, patent ductus arteriosus, perdarahan ventrikel otak
4. Hipotermia, Hipoglikemia, Hipokalsemia, Anemi, gangguan pembekuan darah
5. Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)
6. Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal

2.2.5 Patofisiologi
Semakin kecil dan semakin premature bayi, maka akan semakin tinggi risiko gizinya.
Beberapa faktor yang memberikan efek pada masalah gizi :
1. Menurunnya simpanan zat gizi, cadangan makanan di dalam tubuh sedikit. Hampir
semua lemak, glikogen, dan mineral seperti zat besi, kalsium, fosfor dan seng
dideposit selama 8 minggu terakhir kehamilan. Dengan demikian bayi preterm
mempunyai potensi terhadap peningkatan hipoglikemia, anemia, dll
2. Belum matangnya fungsi mekanisme dari saluran pencernaan, koordinasi antara
refleks hisap dan menelan belum berkembang dengan baik sampai kehamilan 32-34
minggu.Penundaan pengosongan lambung dan buruknya motilitas usus sering terjadi
pada bayi preterm
3. Kurangnya kemampuan untuk mencerna makanan. Bayi preterm mempunyai sedikit
simpanan garam empedu yang diperlukan untuk mencerna dan mengabsorbsi lemak
dibandingkan dengan bayi aterm. Produksi amylase pancreas dan lipase yaitu enzim
yang terlibat dalam pencernaan lemak dan karbohidrat juga. Begitu pula kadar
lactase juga rendah sampai sekitar kehamilan 34 minggu.
4. Paru-paru yang belum matang dengan peningkatan kerja nafas dan kebutuhan
kalori yang meningkat.Masalah pernafasan juga akan mengganggu makanan secara oral.
5. Potensi untuk kehilangan panas akibat luas permukaan tubuh dibandingkan dengan
berat badan dan sedikitnya lemak pada jaringan di bawah kulit. Kehilangan panas ini
akan meningkatkan kebutuhan akan kalori.
2.2.6 Penatalaksanaan
Semua bayi berat lahir rendah akan memerlukan :
1.Suhu yang tinggi dan stabil untuk mempertahankan suhu tubuh
2.Atmosfer dengan kadar oksigen dan kelembaban tinggi
3.Pemberaian minum secara hati hati karena ada kecenderungan terisapnya susu ke
paru
4.Perlindungan terhadap infeksi
5.Pencegahan kekurangan zat besi dan vitamin.
Bayi paling kecil yang beratnya kurang dari 2000 gram dirawat telanjang dalan
incubator dalam suhu 32-35oC dengan kelembaban tinggi. Akhirnya sebelum bayi pulang
mereka dirawat di dalam kamar bayi yang dingin (21oC) untuk menyesuaikan diri
dengan suhu kamar.
6.Pemberian minum
Minuman diberikan pada bayi yang terkecil dengan kateter makanan no 6 yang
terpasang terus melalui hidung bayi. Lebih baik diberikan ASI tetapi ada susu
pengganti yang cukup memuaskan yaitu susu yang disesuaikan dengan ASI dengan
pemberian 150-180 ml/kg/hr. Pedoman berikut ini merupakan pedoman yang memuaskan.
Minum dimulai bila bayi berusia 4 jam.
a. Hari 1 : 20 ml/500 gram BB/hari
b. Hari 2 : 30 ml/500 gram BB/hari
c. Hari 3 : 40 ml/500 gram BB/hari
d. Hari 4 : 50 ml/500 gram BB/hari
e. Hari 5 : 75 ml/500 gram BB/hari
7. Perlindungan terhadap infeksi
Perlindungan ini dilakukan dengan perawatan yang aman. Semua petugas harus mencuci
tangannya dengan cermat, menggunakan krem heksaklorofen. Disediakan ruang terpisah
untuk bayi yang terinfeksi dan bayi yang lahir di luar rumah sakit. Incubator
memberikan lingkungan yang relatif steril untuk bayi yang terkecil, tetapi ibu
harus dianjurkan untuk menyentuh bayinya melalui lubang incubator.

2.2.7 ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI BBLR


I. Pengkajian
1. Pemeriksaan Fisik
berat badan bayi, apakah defermitas.èApakah ada perubahan pada fisik
bayi
2. System pernafasan
Bentuk cuping hidung,èdada simetris atau tidak, otot-otot pernafasan
retraksi intercostae, subclavicula, frekuensi pernafasan, bunyi nafas ada ronchi
atau tidak.
3. Sistem cardiovaskuler
Irama dan frekuensi denyut jantung, warna kulit : sianosis, pucat,
tekanan darah.
4. Sistem pencernaan
Tentukan apakah ada distensi abdominal, adakah regurgitasi, muntah : warana, bau,
konsistensi, peristaltic.
5. Sistem perkemihan
Jumlah, warna, abnormalitas genetalia.
6. Sistem neuro muskuler
fleksi, extensi, reflek menghisap, tingkat respon, respon pupil.èGerakan tubuh,
sikap/ posisi bayi
7. Sistem integument
Tekstur kulit, ada lesi/ rash, iritasi atau tidak.
II. Diagnosa keperawatan dengan implementasi
1) Diagnosa I
Potensial terjadi hipotermi b/d tidak mampu mengontrol suhu tubuh d/d sedikitnya
lemak didalam tubuh, area permukaan tubuh luas, kebutuhan metabolisme tinggi.
Tujuan : Agar suhu tubuh bayi normal
Rencana :
1.Rawat bayi diruang isolasi
Rasional : suhu ruang isolasi lebih tinggi 2 dari suhu tubuh dan merupakan ruang
yang netral bagi bayi.
2.Monitor temperature axila, observasi, catat dan laporkan perubahan suhu klien.
Rasional : memantau tingkat perkembangan bayi dalam mengelola suhu badannya.
3.Observasi distensi abdomen, perubahan warna pada dinding abdomen
Rasional : melihat sejauh mana bayi mengalami hipotermi karena bayi masih melakukan
nafas perut.
2) Diagnosa II
Potensial infeksi b/d imunitas tubuh rendah
Tujuan : tidak terjadi infeksi/ infeksi dapat di kurangi
Rencana :
1. Kaji, perhatikan lokasi dan infeksi.
Rasional : menetukan pilihan tindakan yang dilakukan pada bayi.
2. Rawat luka bayi
Rasional : mencegah terjadinya komplikasi lenjut pada bayi.
3. Atur posisi bayi (terlentang)
Rasional : dengan posisi terlentang menghindarkan tekanan pada daerah infeksi.
3) Diagnosa III
Pola nafas tidak efektif b/d perkembangan jaringan paru kurang baik d/d cairan
surfaktan kurang, otot-otot pernafasan lemah.
Tujuan : pola nafas teratur
Rencana :
1. Observasi dan laporkan bila ada perubahan frekuensi pernafasan, retraksi
pada dada, cuping hidung, ekspansi dada menurun atau tidak.
Rasional : melihat sejauh mana kesulitan bayi bernafas serta memudahkan dalam
menentukan tindakan.
2. Pertahankan jalan nafas dalam keadaan bersih. (lakukan secsion).
Rasional : dengan seksion jalan nafas bayi menjadi bersih dan bayi dapat bernafas
dengan baik.
4) Diagnosa IV
Potensial perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d berat badan menurun d/d
kurang mampu menghisap, volume lambung kecil, menurunnya motilitas gaster
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Rencana :
1. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya.
Rasional : air susu ibu sangat baik untuk pertumbuhan bayi dan merupakan kebutuhan
paling utama untuk bayi.
2. Berikan informasi tentang pentingnya asi untuk bayi.
Rasional : membantu memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah
karena ketidaktahuan klien tentang pentingnya/ manfaat asi untuk bayi.

S-ar putea să vă placă și