Sunteți pe pagina 1din 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lupus memiliki nama ilmiah yaitu systematic lupus erimatosus. Systemic
Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang
berbagai organ dengan manifestasi gejala yang bervariatif. Lupus erythematosus
(LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus
Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan
manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan
manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Penyakit ini mempunyai ciri
khas yaitu adanya peradangan di seluruh tubuh yang timbul secara berulang-ulang
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada pembuluh darah.
Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada usia 16 – 36
tahun. Sel pertahanan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari masuknya
kuman atau gangguan ekstrasel lainnya justru menyerang tubuh pemiliknya.
Penyakit ini menjadi salah satu jenis penyakit yang mematikan pada jenis SLE.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
2. Apa etiologi penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
5. Apa saja penatalaksanaan dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
6. Bagaimana pengkajian fokus dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
7. Bagaimana pathways keperawatan dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
8. Apa saja diagnosa keperawatan dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
9. Apa saja intervensi keperawatan dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui yang dimaksud dengan penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
2. Mengetahui etiologi penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
3. Memahami patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
4. Mengetahui manifestasi klinik dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
5. Memahami penatalaksanaan dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
6. Mengetahui pengkajian fokus dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
7. Memahami pathways keperawatan dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
8. Mengetahui diagnosa keperawatan dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
9. Mengetahui intervensi keperawatan dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh
gigitan anjing hutan.
SLE adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada jaringan
penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut.
Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi
pada derajat yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan
yang bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody
beredar terhadap IgG dan imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-
komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah
(vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga merupakan
penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada
prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau
secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg +
vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)

B. ETIOLOGI
Etiologi produksi autoantibodi abnormal dan pengembangan SLE masih
belum diketahui. Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal semua mungkin
memainkan peran dalam hilangnya toleransi diri dan ekspresi penyakit (Dipiro, et
al., 2005). Beberapa gen berkontribusi dalam kerentanan SLE, dan setidaknya 100
gen telah dikaitkan dengan SLE pada manusia. Bukti menunjukkan bahwa besar
gen MHC (Major Hiscompatibility Complex), terutama beberapa gen HLA
(Human Leukocyte Antigen), mungkin berperan penting dalam lupus. Agen
lingkungan yang mungkin memiliki peran dalam induksi atau aktivasi SLE
termasuk sinar matahari (sinar ultraviolet), obat-obatan, bahan kimia seperti
hidrazin (ditemukan dalam tembakau) dan amina aromatik (ditemukan dalam
pewarna rambut), diet, estrogen lingkungan, dan infeksi virus atau bakteri. Selain
itu, androgen dapat menghambat dan estrogen meningkatkan ekspresi
autoimunitas, dan peningkatan sirkulasi kadar prolaktin telah dikaitkan dengan
lupus pada laki-laki dan perempuan (Dipiro, et al., 2005).

C. PATOFISIOLOGI
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun
(Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya
stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia,
DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam
yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells
(APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses
oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA
yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang
dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi
antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin,
molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel
Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel
tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE
ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang
berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2
dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat
membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat
berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B
terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada
sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun
(Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp
90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel
limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan
dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya
supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998).
Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan
kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset
sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis
dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003).
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3
mekanisme yaitu:
a) Kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran
jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan
jaringan.
b) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan
jaringan.
c) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi
sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan
(Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take
kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat
disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan
IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga
berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya
gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya
(Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat
menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin
yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis
sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui
kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine
(PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada
di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP,
dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui
reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor
FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis
yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis
yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

D. MANINFESTASI KINIK
1. Konstitusional
Kelelahan, penurunan berat badan, demam tidak disertai menggigil
merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah.
2. Integumen
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus /
paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa
eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s
atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat
pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak
atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
3. Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri
sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti
inflamasi sendi. Keluhan lain yaitu kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi
dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis biasanya berhubungan dengan terapi
steroid. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan
terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid
4. Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau
berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga
tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
5. Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
6. Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat
proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif,
dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas
5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam
keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta
didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan
inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran
organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum
SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
8. Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.
9. Neuropsikiatrik
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sepsis, uremia, hipertensi berat, sampai kejang
dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid
dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.

E. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologi
 Pengobatan non farmakologi dapat untuk mencegah terjadinya
kekambuhan. Kelelahan merupakan gejala yang umum terjadi pada
pasien lupus. Rutinitas yang seimbang dan istirahat yang cukup perlu
diperhatikan pada pasien lupus. Menghindari merokok merupakan
salah satu faktor yang harus dihindari . Pasien yang menderita lupus
umunya menggunakan sunblok untuk menghindari paparan cahaya
matahari secara langsung. Hindari paparan sinar matahari langsung,
karena efek ulraviolet akan memperburuk pasien SLE tersebut.
 Diet : turunan minyak ikan mengandung antibodi antifosfolipid,
hindari kecambah karena mengandung asam amino L-canavanine,
dilaporkan dikaitkan dengan gejala lupus (Dipiro, et, al., 2008)
2. Farmakologi
a. NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drug)
Pengobatan awal diberikan NSAID sebagai pilihan utama, dan
dosis yang diberikan pun untuk memberikan efek anti-inflamasi.
NSAID merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan
tingkatan yang ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena
sering menimbulkan efek samping (Dipiro et.al, 2005).
b. Antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin telah
digunakan dengan sukses dalam pengobatan lupus diskoid dan SLE.
Terapi antimalaria ini dapat mengendalikan eksaserbasi penyakit.
Karena obat ini tidak efektif dengan segera, obat malaria ini baik
digunakan dalam pengelolaan jangka panjang. Hydroxychloroquine
mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap sebagai
antimalaria dari pilihan pertama.Secara umum, manifestasi dari SLE
yang dapat diobati dengan antimalaria adalah artralgia, pleuritis,
peradangan ringan, kelelahan dan leukopenia. Mekanisme kerja dari
obat antimalaria ini yaitu dapat mengganggu aktifasi limfosit-T. Efek
lain dari antimalaria yang mungkin bermanfaat bagi pasien SLE
termasuk penghambatan sitokin, penurunan sensitivitas terhadapsinar
ultraviolet, aktivitas anti-inflamasi, efek antiplatelet, dan
antihiperlipidemia (Dipiro et.al, 2005).
c. Kortikosteroid
Tujuan dari pengobatan dengan kortikosteroid pada SLE yaitu
untuk menekan dan mempertahankan penyakit yang aktif dengan
dosis serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit yang ringan,
terapi dosis rendah (Prednison 10-20 mg/hari), tetapi pada pasien yang
dengan penyakit lebih parah, memerlukan dosis yang lebih tinggi
(Prednison 1-2 mg/kgBB/hari). Dan setelah efek dicapai, maka dosis
diturunkan secara berangsur-angsur untuk menekan penyakit lanjutan.
Selain itu, pada penggunaan kortikosteroid ini juga harus
dipertimbangkan hal yang lain yang dapat meningkatkan resiko
kortikosteroid, seperti infeksi, hipertensi, penyakit arterosklerosis,
diabetes, obesitas, dan osteoporosis (Dipiro et.al, 2005).
d. Cytotoxic
Obat-obat sitotoksik ini adalah siklofosfamid (agen pengalkilasi)
dan azathioprine (antimetabolit). Obat sitotoksik ini biasanya
digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid, telah menjadi
andalan terapi imunosupresif. Terapi sitotoksik kombinasi dengan
kortikosteroid, memungkinkan dosis steroid yang lebih rendah dan
meningkatkan hasil terapi dibandingkan dengan steroid
tunggal.Namun, terapi sitotoksik harus dimonitor efek sampingnya,
dan respon maksimum 6 bulan atau lebih pada beberapa pasien
(Dipiro et.al, 2005).
e. Azathioprine
Azathioprine adalah antimetabolit imunosupresan yang bekerja
dengan mengurang ibiosintesis purin yang diperlukan untuk
perkembang biakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh.
Azathioprine diberikan secara oral dalam dosis 1-3 mg/kg per hari,
sering dalam kombinasi dengan kortikosteroid untuk penyakit yang
parah. Azathioprine lebih aman dari siklofosfamid, tetapi efek
samping dapat serius dan termasuk supresi hematopoiesis, infeksi
oportunistik termasuk herpes zoster, kanker, hepatotoksisitas, dan
kegagalan fungsi ovarium.
f. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil berfungsi menghambat sintesis
purin,proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid,MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium
(indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius,
leukopenia atau alopecia(kebotakan). Obat ini juga diduga lebih
efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra
indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada
wanita usia subur biladisertai penggunaan kontrasepsi yang dapat
diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus
dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi yang
direncanakan.
g. Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki
banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi
produksi sitokin. Digunakann seminggu sekali dan jika diperlukan
diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama
dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek
samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia,
trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang
dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan.
h. Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga
menyebabkanpenurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan
peningkatan kreatininserum merupakan efek samping yang paling
sering terjadi sehinggapemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat
penting. Obat ini dianggapaman untuk digunakan selama kehamilan
dalam dosis efektif terendahdengan memonitor secara seksama
tekanan darah dan fungsi ginjal.
i. Cyclophosphamide
Obat ini telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap
pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat
ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf
pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral
harian atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan
penyakit. Siklofosfamid sering diberikan secara intravena dalam dosis
pulse intermiten untuk meminimalkan toksisitas. Untuk mengurangi
risiko toksisitas kandung kemih, pasien harus terhidrasi dengan baik
dengan pemberian cairan oral atau intravena, dan output urin harus
dipantau.
j. Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalamperkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan
kombinasidengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan
penurunan tingkat auto antibodi. Rituximab telah menyebabkan
kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab
termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.

F. PENGKAJIAN FOKUS
1. Demografi
a) Biodata
b) Keluhan Utama: Keterbatasan aktivitas, gangguan sirkulasi, rasa nyeri
dan gangguan neurosensori
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra dari pasien
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah
menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau
penyakit autoimun yang lain.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
 Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien
(misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik
eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam, kelelahan,
nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
 Mulai kapan keluhan dirasakan.
 Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
 Keluhan-keluhan lain menyertai.
d. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin,
penisilamin dan kuinidin.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain
3. Data Fokus
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction
rup pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga
serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa
4. Pemerisaan penunjang
SLE ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda
serologis, khususnya beberapa autoantibodi yang paling sering digunakan
adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi antibody ini juga dapat
ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang
spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran
bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada
kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin.
Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal
sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya
peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.

G. PATHWAYS KEPERAWATAN

Stimulasi antigen spesifik


Sistem regulasi kekebalan terganggu
Aktivasi sel T
& sel B

Fungsi sel T supresor abnormal

Produksi antibodi meningkat

Penumpukan kompleks imun

kulit darah hati otak

Kerusakan Hb turun Kerusakan Suplai O2


integritas sintesa zat kurang
kulit
O2 turun
Ketidaksei kematian
mbangan
ATP turun nutrisi

Keletihan/
kelelahan

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis).
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidak mampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan
pada mukosa mulut
3. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

I. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


. ( NOC) (NIC)
1. Nyeri kronis berhubungan 1. Comfort level Pain management
dengan ketidak mampuan 2. Pain control 1. Monitor kepuasan
fisik-psikososial kronis 3. Pain level pasien terhadap
(metastase kanker, injuri Tujuan : Setelah dilakukan manajemen nyeri
neurologis, arthritis). tindakan keperawatan 2. Tingkat istirahat dan
selama 24 jam nyeri kronis tidur yang adekuat
pasien berkurang dengan 3. Kelola antianalgesik
kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien
1. Tidak ada gangguan penyebab nyeri
tidur 5. Lakukan tehnik
2. Tidak ada gangguan nonfarmakologis (
konsetrasi relaksasi masase
3. Tidak ada gangguan punggung)
hubungan
intrerpersonal
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan
otot

2. Ketidak seimbangan nutrisi a. Nutritional status : 1. Kaji adanya alergi


kurang dari kebutuhan tubuh adequacty of makanan
berhubungan dengan ketidak nutrient 2. Kolaborasi dengan
mampuan untuk b. Nutritional status : ahli gizi untuk
memasukkan nutrisi karena Food and fluid menentukan jumlah
gangguan pada mukosa intake kalori dan nutrisi
mulut c. Weght control yang dibutuhkan
Tujuan : Setelah dilakukan pasien
tindakan keperawatan 3. Ajarkan pasien
Selama 2x24 jam nutrisi bagaimana membuat
kurang teratasi dengan catatatan makanan
indicator : harian
1. Albumin serum 4. Monitor adanya
2. Prealbumin serum penurunan BB dan
3. Hematokrit gula darah
4. Hemoglobin 5. Monitor lingkungan
5. Total iron binding selama makan
capacity 6. Jadwalkan
6. Jumlah limfosit pengobatan dan
tindakan tidak selama
jam makan
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringa,
rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar
Hct
9. Monitor mual dan
muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
kojungtiva
11. Monitor intake nutrisi
12. Informasikan pada
pasien dan keluarga
tentang manfaat
nutrisi
13. Kolaborasi dengan
dokter tentang
kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/TPN sehingga
intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
14. Atur posisi
semifowler tinggi
selama makan
15. Kelola pemberian
antiemetic
16. Anjurkan banyak
minum
17. Pertahankan terapi IV
line
18. Catat adanya edema,
hiperemik,
hipertonik, papilla
lidah dan cavitas oral

Kelelahan berhubungan 1. Activity tolerance 1. Monitor respon


dengan kondisi fisik yang 2. Energy conservation kardiorespirasi
3. buruk karena suatu penyakit 3. Nutritional status terhadap aktivitas
energy (takikardi, disritmai,
Tujuan : Setelah dilakukan dyspnea, diaphoresis,
tindakan keperawatan pucat, tekanan
selama 2x24 jam kelelahan hemodinamik dan
pasien teratasi dengan jumlah respirasi)
kriteria hasil : 2. Monitor dan catat
1. Kemampuan pola dan jumlah tidur
aktivitas adekuat pasien
2. Mempertahankan 3. Monitor lokasi
nutria adekuat ketidak nyamanan
3. Keseimbangan atau nyeri selama
aktivitas dan bergerak dan aktivitas
istirahat 4. Monitor intake nutrisi
4. Menggunakan teknik 5. Monitor pemberian
energy konservasi dan efek samping
5. Mempertahankan obat depresi
interaksi social 6. Kolaborasi dengan
6. Mengidentifikasi ahli gizi tentang cara
faktor fisik dan meningkatkan intake
psikologis yang makanan tinggi
menyebabkan energy
kelelahan 7. Monitor pemberian
7. Mempertahankan dan efek samping
kemampuan untuk obat depresi
konsentrasi 8. Instruksikan pada
pasien untuk
mencatat tanda dan
gejala kelelahan
9. Jelas pada pasien
hubungan kelelahan
dengan proses
penyakit
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya
11. Catat aktivitas yang
dapat meningkatkan
relaksasi
12. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas
13. Batasi stimulasi
lingkungan untuk
memfasilitasi
relaksasi

5 Kerusakan integritas kulit 1. Tissue integrity : 1. Anjurkan pasien


berhubungan dengan deficit Skin and mucous untuk menggunakan
imunologi membrane pakaian yang longgar
2. Wound healing 2. Hindari kerutan pada
primer dan sekunder tempat tidur
Tujuan : Setelah dilakukan 3. Jaga kebersih dan
tindakan keperawatan kering
selama 2x 24 jam kerusakan 4. Monitor kulit akan
integritaskulit berkurang adanya kemerahan
dengan kriteria hasil : 5. Mobilasasi pasien (
1. Intergritas kulit yang ubah posisi pasien)
baik bisa setiap dua jam sekali
dipertahankan 6. Oleskan lotion atau
(sensai, elastisitas, minyak pada daerah
temperature, hidrasi, yang tertekan
pigmentasi) 7. Monitor status nutrisi
2. Tidak ada luka/lesi pasien
pada kulit 8. Monitor status nutrisi
3. Perfusi jaringan baik pasien
4. Menujukkan 9. Memandikan pasien
pemahaman dalam dengan sabun dan air
proses perbaikan hangat
kulit dan mencegah 10. Kaji lingkungan dan
terjadinya cedera peralatan yang
berulang menyebabkan
5. Mampu melindungi tekanan
kulit dan 11. Obsevasi luka : lokas,
mempertahankan dimensi, kedalaman
kelembaban kulit luka, karakteristik,
dan perawatan alami warna cairan,
6. Menunjukkan terjadi granulasi, jaringan
proses penyembuhan nekrotik, tanda
luka infeksi local, formasi
traktus
12. Ajarkan pada
keluarga tentang luka
dan perawatan luka
13. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKT,
vitamin, cegah
kontaminasi feses dan
urin
14. Lakukan teknik
perawatan luka
dengan steril
15. Berikan tekanan pada
luka

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi
autoimun pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri
sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada
pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen
memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan.
Penyakit ini disebabkan oleh faktor genetic, faktor imunologi ,faktor hormonal
dan faktor lingkungan. Manifestasi klinik dari penyakit ini dapat berupa
konstitusional, integument, musculoskeletal, paru-paru, kardivaskuler, ginjal,
gastrointestinal, hemopoetik dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan diagnostic dari
penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium pemeriksaan laboratorium lainnya
dan pemeriksaan penunjang.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/30700448/SYSTEM_LUPUS_ERITEMATOSUS_SL
E diunduh pada 15 Mei 2019

https://www.academia.edu/27463617/SYSTEMIC_LUPUS_ERYTHEMATOSUS
_SLE_ diunduh pada 15 Mei 2019

https://www.academia.edu/38153956/ASKEP_SLE_.doc diunduh pada 17 Mei


2019

S-ar putea să vă placă și