Sunteți pe pagina 1din 4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh
reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-lymphocytes
terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea, whizzing, dan batuk
akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik
berulang (Brunner and suddarth, 2011). Penyakit asma merupakan proses inflamasi
kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. (GINA,
2011). Asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan
yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus
berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding
saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan
berbagai macam rangsangan(Alsagaff, 2010)
Asma menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di negara maju maupun
di negara berkembang. Menurut data dari laporan Global Initiatif for Asthma (GINA)
tahun 2017 dinyatakan bahwa angka kejadian asma dari berbagai negara adalah 1-18%
dan diperkirakan terdapat 300 juta penduduk di dunia menderita asma. 1 Prevalensi asma
menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016 memperkirakan 235 juta
penduduk dunia saat ini menderita penyakit asma dan kurang terdiagnosis dengan angka
kematian lebih dari 80% di negara berkembang. Di Amerika Serikat menurut National
Center Health Statistic (NCHS) tahun 2016 prevalensi asma berdasarkan umur, jenis
kelamin, dan ras berturut-turut adalah 7,4% pada dewasa, 8,6% pada anak-anak, 6,3%
laki-laki, 9,0% perempuan, 7,6% ras kulit putih, dan 9,9% ras kulit hitam.
Mengacu pada data WHO, saat ininada sekitar 300 juta penderita asma di
seluruh dunia. Terdapat sekitar 250.000 kematia yang disebabkan oleh serangan asma
setiap tahunnya. Prevelensi asma selal mengalami peningkatan tertama pada negara
berkembang karena gaya hidup dan polusi udara. Riskesdas 2013, melaporkan
pravelensi asma di Indonesia 4,5% dari populasi, dengan jumlah komulatif asma
11.179.032. Asma berpengaruh pada disabilitas dan kematia terutama pada anak yang
berusia 10-14 tahun dan orang tua yang berusia 75-79 tahun. Asma termasuk 14 besar
penyakit yang menyebabkan disabilitas seluruh dunia.

Riskesdas nasional tahun 2013 menyatakan bahwa angka kejadian asma di


Sumatera Barat adalah 2,7%.4 Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat menyatakan
bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita asma yang ditemukan sebesar 3,58%.5
Jumlah kunjungan penderita asma di seluruh rumah sakit dan puskesmas di Kota
Padang sebesar 12.456 kali di tahun 2011. Data dari Kesehatan Dinas Kesehatan Kota
Padang (DKK) penyakit asma termasuk ke dalam daftar 10 penyebab kematian
terbanyak di kota Padang tahun 2013, dengan angka kematian 11 orang perempuan
dan 5 orang laki-laki, terlihat bahwa angka kejadian asma di Indonesia khususnya di
Sumatera Barat masih tinggi dan perlu mendapatkan penanganan yang signifikan agar
penderita asma mampu memiliki kualitas hidup yang baik. Di Sumatera Barat rumah
sakit rujukan utama adalah RSUP Dr. M. Djamil Padang, prevalensi asma yang
ditemukan di poliklinik paru pada tahun 2015 adalah 239 dari total kunjungan pasien
rawat jalan, dan meningkat menjadi 514 kasus pada tahun 2016, yang berarti
mengalami peningkatan lebih dari 2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi.
Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa
lelah, lemah, daya tahan tubuh menurun dan ketidakstabilan tanda-
tanda vital. Dampak psikologis meliputi depresi, cemas dan tidak
konsentrasi (Potter & Perry,2010). Kurang tidur dapat
mempengaruhi konsentrasi dan merusak kemampuan untuk
melakukan kegiatan yang melibatkan memori, belajar,
pertimbangan logis, dan penghitungan matematis. Gangguan tidur
dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup. Misalnya,
gangguan tidur dapat menyebabkan kelelahan pada siang hari dan
mempengaruhi status fungsional dan mutu hidup (Nancy W, 2006).
Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya
gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi
gangguan tidur pada penderita penyakit cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun
demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya
telah didiagnosis oleh dokter(Amir, 2007).
Ganguan tidur yang terjadi pada klien asma dapat menurunkan kualitas tidur
yang dimiliki seseorang. Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Kurang tidur selama
periode yang lama dapat menyebabkan penyakit lain memperburuk penyakit yang
sedang dialami seperti asma (Hanum, 2014). Kualitas tidur yang baik penting untuk
diperoleh untuk peningkatan kesehatan yang baik dan pemulihan klien yang sakit.
Meningkatkan kualitas tidur sangat penting pada tahap penyembuhan (Talwar et al ,
2008).
Therapeutic Exercise Walking merupakan salah satu bentuk latihan fisik yang
dapat dilakukan oleh klien asma di rumah. Therapeutic Exercise Walking merupakan
tindakan berjalan biasa dengan tangan diayun sesuai irama jalan, tindakan ini sangat
baik dan cocok untuk segala tingkatan umur (McCloskey & Bulecek, 2002 dalam
Octavia, 2014). Efek dari Therapeutic Exercise Walking yaitu dapat mengendalikan
kecemasan, keseimbangan, meningkatkan efektifitas pompa jantung, meningkatkan
sirkulasi, daya tahan, level mobilitas, kualitas hidup, tidur, perfusi jaringan jantung,
dan perifer (McCloskey & Bulecek, 2002 dalam Octavia, 2014). Pemberian
Therapeutic Exercise Walking dapat bertujuan untuk meningkatkan perasaan tentram,
rileks, kebugaran tubuh dan membantu istirahat tidur lebih baik (Santoso, 2009 dalam
Rahmawati, 2013).
Tindakan therapeutic exercise walking dapat meningkatkan sirkulasi darah
dan mengoptimalkan suplai oksigen dalam jaringan, sehingga menyebabkan serotinin
meningkat. Serotonin merupakan serum yang dilepaskan oleh sel khusus yang berada
di pons dan batang otak tengah yaitu bulbar synchronizing regional (BSR) saat tidur
yang dapat memberikan efek tenang. Pada saat tersebut, tingkat fatigue atau kelelahan
pasien akan dipulihkan (Pallet et al., 2009 dalam Khomarun, Nugroho, Wahyuni,
2014). Serotinin merupakan serum yang dilepaskan oleh sel khusus yang berada di
pons dan batang otak tengah yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR) saat tidur
yang dapat memberikan efek tenang dan mengantuk (Hidayat, 2006). Ketika tubuh
merasakan hal tersebut, maka frekuensi gelombang otak akan menurun dan mampu
membantu istirahat tidur menjadi lebih baik dan dapat meningkatkan kualitas tidur
seseorang (Hartmann, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud memberikan terapi untuk
membantu klien dalam mengatasi gangguan tidur agar dapat meningkatkan kualitas
tidur dengan melakukan penelitian yang berjudul pengaruh therapeutic exercise
walking terhadap kualitas tidur pada klien asma
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah ada pengaruh Therapeutic
Exercise Walking terhadap kualitas tidur pada klien Asma?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Meneliti pengaruh Therapeutic Exercise Walking
terhadap kualitas tidur pasien asma
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik klien Asma yaitu usia, jenis kelamin,
riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat merokok, lama merokok,
dan lama mengalami Asma
2. Mengidentifikasi kualitas tidur klien sebelum dan sesudah dilakukan
therapeutic exercise walking pada kelompok perlakuan
3. Mengidentifikasi kualitas tidur saat observasi awal dan observasi
akhir pada kelompok control
4. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur klien sebelum dan sesudah
dilakukan therapeutic exercise walking pada kelompok perlakuan;
5. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur saat observasi awal dan
observasi akhir pada kelompok kontrol;

S-ar putea să vă placă și