Sunteți pe pagina 1din 8

JURNAL PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA


PRAKTIKUM V : STUDI BIOEQUIVALEN
PROFIL FARMAKOKINETIK DAN KETERSEDIAAN HAYATI DAN TIGA
SEDIAAN TABLET NATRIUM DIKLOFENAK SALUT ENTERIK

Nurlinda Sari

Kelompok V

171200193

A2B FARMASI KLINIS

TANGGAL PRAKTIKUM : Kamis, 23 Mei 2019

DOSEN PENGAMPU : I Gusti Ngurah Jemmy Anton Prasetya,


S.Farm.,M.Sc.,Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN

MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2019
BAB I
PENDAHULUAN

I. TUJUAN
1. Mengetahui prinsip farmakokinetika dan ketersediaan hayati produk obat
yang berbeda.
2. Mengetahui cara simulasi data klinis farmakokinetika dan ketersediaan hayati
produk
obat yang berbeda.
3. Mampu memberikan rekomendasi terapi terkait farmakokinetika dan
ketersediaan hayati produk obat yang berbeda.

II. DASAR TEORI


Bioavaliabilitas (ketersediaan hayati) menunjukan suatu pengukuran laju dan
jumlah bahan aktif atau bagian aktif yang diabsorpsi dari suatu produk obat dan
tersedia pada site aksi. Pproduk obat yang tidak ditujukan diabsorpsi ke dalam aliran
darah, bioavailabilitas dapat ditetapkan dengan pengukuran yang ditunjukkan untuk
mencermikan laju dan jumlah bahan aktif atau bagian aktif tersedia pada site aksi
(Shargel, 2012).
Bioavailabilitas, dapat dibagi menjadi dua yaitu bioavailabilitas absolut dan
bioavailabilitas relatif. Availabilitas absolute obat adalah availabilitas sistemik suatu
obat setelah pemakaian ekstravaskuler misalnya oral, rectal, transderma, subkutan.
Dibandingkan terhadap dosis i.v. availabilitas absolute suatu obat biasanya diukur
dengan membandingkan AUC produk yang bersangkutan setelah pemberian
ekstravaskuler dan i.v. pengukuran dapat dilakukan sepanjang VD dan k tidak
bergantung pada rute pemberian.
Menurut Widyarini (2007), bioavailabilitas dibagi menjadi dua macam yaitu
bioavailabilitas absolut dan bioavailabilitas relatif. Availabilitas relatif (apparent)
adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu
standar yang diketahui. Fraksi dosis yang tersedia secara sistemik dari suatu produk
oral sukar dipastikan. Availabilitas obat dalam suatu formula dibandingkan terhadap
availabilitas obat dalam formula standar, yang biasanya berupa suatu larutan dari obat
murni, dievaluasi dalam studi “crossover”. Sedangkan Availabilitas absolute obat
adalah availabilitas sistemik suatu obat setelah pemakaian ekstravaskuler misalnya
oral, rectal, transderma, subkutan. Dibandingkan terhadap dosis i.v. availabilitas
absolute suatu obat biasanya diukur dengan membandingkan AUC produk yang
bersangkutan setelah pemberian ekstravaskuler dan i.v. pengukuran dapat dilakukan
sepanjang VD dan ktidak bergantung pada rute pemberian.

Metode langsung dan tidak langsung digunakan untuk penilaian bioavailabilitas.


Bioavailabilitas in vivo suatu produk obat ditunjukan dengan laju dan jumlah aborpsi,
sebagaimana ditentukan melalui perbandingan parameter terukur, konsentrasi bahan
obat aktif dalam darah laju eksresi lewat urin, kumulatif atau efek farmakologi. Untuk
produk obat yang tidak ditujukan untuk diabsopsi dalam aliran darah, bioavailabilitas
dapat ditetapkan melalui pengukuran yang ditunjukan untuk mencerminkan laju dan
jumlah bahan aktif atau bagian aktif tersedia pada site aksi. Parameter
farmakokinetika atau farmakodinamika dan juga pengamatan klinis dan studi in vivo
dapat digunakan untuk menentukan bioavailabilitas obat dari suatu obat.

Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi


farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis
molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga
efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan. Bioekivalen ditetapkan jika
bioavailabilitas in vivo dari suatu uji produk obat (genetik) tidak berbeda secara
bermakana yaitu secara statistic dan tidak bermakna. Dalam laju dan jumlah absorpsi
obat, seperti perbandingan parameter terukur (konsentrasi bahan obat aktif dalam
darah, laju eksresi lewat urine, efek farmakodinamik) dari obat pembanding ( produk
nama dagang) jika diberikan pada molar dosis bagian aktif yang sama dibawah
kondisi percobaan yang sama, baik dosis tunggal maupun dosis ganda.
Menurut Pedoman Uji Bioekivalen Badan POM RI, dua produk obat disebut
bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan
alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan
menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, baik
dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua produk obat mempunyai ekivalensi
farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah dan bentuk
sediaan yang sama. Dua produk obat merupakan alternatif farmasetik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester,
dsb) atau bentuk sediaan atau kekuatan.

Bioekuivalensi ditetapkan jika bioavailabilitas in vivo dari suatu uji produk


obat (baiasanya produk obat generik) tidak berbeda secara bermakna (yakni secara
statistic tidak bermakna) dalam laju dan jumlah absorpsi obat, seperti ditentukan
melalui perbandingan parameter terukur (missal, konsentrasi bahan obat aktif dalam
darah, laju eksresi lewat urin, atau efek farmakodinamik), dari obat pembanding
biasanya produk nama dagang jika diberikan pada molar dosis bagian aktif yang smaa
dibawah kondisi percobaan yang sama, baik dosis tunggal atau dosis ganda. Suatu
produk obat berbeda dari obat pembanding dalam laju absorpsi tetapi tidak dalam
jumlah absorpsi dapat dianggap bioekuivalen jika perbedaan laju absorpsi disengaja
dan dicerminkan secara tepat dalam label dan laju absopsi tidak merugikan terhadap
keamanan dan kemanjuaran produk obat.

Parameter Farmakokinetika.

1. Parameter farmakokinetik primer

a. Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)

Tetapan kecepatan absorpsi menggambarkan kecepatan absorpsi, yaitu


masuknya obat ke alam sirkulasi sistemik dari absorpsinya (saluran cerna pada
pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskuler, dsb). Nilai ini
merupakan resultante dari kecepatan disolusi obat dari bentuk sediaannya dari
pelarutannya dalam lingkungan tempat absorpsi, proses absorpsi itu sendiri, dan
proses lebih jauh yang mungkin telah berlangsung, yakni distribusi dan eliminasi.
Bila terjadi hambatan dalam proses absorpsi, akan didapatkan nilai Ka yang lebih
kecil. Satuan dari parameter ini adalah fraksi persatuan waktu (jam-1 atau menit-1).
Selain Ka, gambaran kecepatan disolusi juga bisa diperoleh dari nilai Tlag (lag-time),
yakni tenggang waktu antara saat pemberian obat dengan munculnya kadar obat di
sirkulasi sistemik (darah/serum/plasma). Satuan untuk Tlag adalah jam atau menit.
(Shargel dan Yu, 2005).

b. Cl (Klirens)
Klirens adalah volume plasma yang dibersihkan oleh seluruh tubuh dari obat
per satuan waktu. Klirens merupakan bilangan konstan pada kadar obat apabila
ditentukan dengan menggunakan kinetika orde kesatu. Bersihan total merupakan hasil
penjumlahan bersihan berbagai organ dan jaringan tubuh, terutama ginjal dan hepar.
(Shargel dan Yu, 2005).

2. Parameter skunder
a.waktu paruh eliminasi (t1/2)
Waktu paro adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di
dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang konstan).
Waktu-paruh eliminasi untuk setiap obat adalah waktu yang diperlukan untuk
penurunan konsentrasi obat tersebut dalam darah atau plasma hingga separuh dari
nilai maksimumnya. Pengetahuan tentang waktu-paruh obat sangat penting dalam
penyusunan rencana pemberian obat. Obat-obat diberikan kurang-lebih dengan
waktu-paruh. Bila pemberian obat menyimpang terlalu banyak dari ketentuan ini,
fluktuasi konsentrasinya dalam plasma akan menimbulkan kegagalan terapi dan/atau
toksisitas. (Shargel dan Yu, 2005).
b. Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )
Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan
tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju
penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai keseimbangan. (Shargel dan
Yu, 2005).
3. Parameter Turunan
a. Waktu mencapai kadar puncak ( tmak )
Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai
puncak. (Shargel dan Yu, 2005).
b. Kadar puncak (Cp mak)
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum
atau plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan eliminasi
dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-proses tersebut
berada dalam keadaan seimbang.(Shargel dan Yu, 2005).
c. Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu (AUC)
Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obat
diabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva konsentrasi obat-
waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah
yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005)
BAB II
METODE PRAKTIKUM

2.1 ALAT DAN BAHAN

2.1.1 ALAT
 Kalulator Scientific
 Laptop
 Kertas Semilogaritmik
 Alat Tulis
 Penggaris
2.1.2 BAHAN
 Text Book
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor : HK .00.05.3.1818 Tentang Pedoman Uji Bioekivalensi.
Jakarta : Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Shargel, Leon dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Shargel, Leon, Susanna Wu-Pong, and Andrew B.C.Yu. 2012. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima. Surabaya: Erlangga University
Press.

S-ar putea să vă placă și