Sunteți pe pagina 1din 5

Kamis 12 Januari 2017, 20:33 WIB

Polda Metro Bongkar Peredaran Obat Keras


di Apotek di Tangerang
Mei Amelia R - detikNews

Jakarta - Subdit Industri dan Perdagangan (Indag) Ditreskrimsus Polda Metro Jaya
membongkar penjualan obat keras di sejumlah apotek dan toko obat di kawasan
Tangerang. Ribuan obat keras yang seharusnya dijual dengan resep dokter disita di
beberapa lokasi.

"Modus tersangka di mana obat dibawa dari gudang, kemudian transaksi di meeting
point di Pramuka. Setelah transaksi kemudian kembali kita buntuti, ternyata gudang
dan apoteknya di sana, ternyata di sana pusatnya," kata Direktur Reskrimsus Polda
Metro Jaya Kombes Wahyu Hadiningrat kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya,
Jakarta, Kamis (12/1/2017).

Obat-obatan tersebut diduga kuat palsu. Untuk memastikannya, polisi bekerja sama
dengan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pengujian
laboratorium terhadap obat-obatan tersebut. "Apa kandungan dari obat-obatan ini,
kami masih menunggu hasil pemeriksaan BPOM," imbuhnya.
Foto: Mei Amelia/detikcom
Obat palsu disita dari pelaku

Obat-obatan tersebut adalah trihexyohenidyl 2 mg, cytotec, alparzolam 1 mg,


risperidone 2, clozapine 25, zypraz 1 mg, valdimex diazepam 5 mg, actazolam 1
mg, riklona clonazepqm 2 mg, merlopam lorazepam 2 mg, tramadol,
chlorpromazime, dextrometrhorphan 15 mg, dan hexymer 2 mg.

"Obat-obatan tersebut ada yang merupakan obat penenang, penghilang rasa sakit,
untuk menggugurkan kehamilan dan lain-lain. Obat-obatan ini termasuk obat keras
yang salah satunya seperti hexymer itu menimbulkan halusinasi, kemudian yang
bersangkutan menjual bebas padahal harus dengan resep dokter," terang Wahyu.

Dalam kasus ini, polisi menahan dua tersangka yakni Munzir (33) dan Mat Samingin
(50). Tersangka Munzir diketahui memiliki 2 apotek dan 1 toko obat di kawasan
Tangerang.
Foto: Mei Amelia/detikcom
Pelaku peredaran obat palsu

Kedua tersangka ditangkap Unit II dan Unit V Subdit Indag Ditreskrimsus Polda
Metro Jaya di bawah pimpinan Kompol Victor D Inkiriwang dan Kompol Wahyu
Teguh Wibowo, pada 7 Desember 2016 dan 11 Januari 2017.

Selain menyita ribuan burir obat-obatan keras, polisi juga menyita sepucuk airsoft
gun dari salah satu pelaku. Kombes Wahyu menyebut, airsoft gun tersebut
digunakan tersangka untuk menakuti petugas BPOM yang melakukan pemeriksaan
dan pengawasan.

"Jadi ketika dilakukan penangkapan, rata-rata saat dilakukan pemeriksaan dari


dinas kesehatan maupun BPOM, ini (airoft gun) dikeluarkan untuk menakut-nakuti,"
cetusnya.

Wahyu menambahkan, kedua tersangka diduga sudah lama menjual obat-obatan


keras tersebut. "Omsetnya mencapai sekitar Rp 400 juta per bulan," imbuh Wahyu.

Sementara itu, Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Iman
Setiawan menjelaskan, pihaknya mengungkap peredaran obat keras ilegal itu
setelah medapat informasi terkait beredarnya obat keras di toko-toko obat di Pasar
Pramuka, Jakarta, tanpa resep dokter.
"Kami menemukan masih ada penjualan obat yang seharusnya menggunakan resep
dokter di Pasar Pramuka itu, ternyata masih ada pedagang yang menjual obat keras
bertanda lingkaran merah kepada masyarakat tanpa resep dokter," jelas Iman.

Foto: Mei Amelia/detikcom


Airsoft gun disita dari pelaku

Berdasarkan hal itu, polisi kemudian melakukan penyelidikan sehingga diketahui


ada sales obat yang mendatangi pedagang dan menawarkan obat-obatan secara
diam-diam di luar Pasar Pramuka. Obat-obatan tersebut dijual di apotek dan toko
obat di kawasan Tangerang dan Jakarta Barat.

"Dari hasil penyelidikan tersangka Munzir itu ternyata punya apotek juga di
Tangerang yaitu Vico Tama di Banten dan Apotek Salembaran Jaya di Kosambi,
Tangerang, serta toko obat di Kalideres, Jakarta Barat," jelas Iman.

"Berdasarkan hasil pengecekan, tersangka Munzir menjual obat keras lingkaran


merah seperti hexymer, tramadol HCL, tramadol kapsul dan dextro metropham di
Apotek Vico Tama dan Apotek Salembaran Jaya. Kalau di toko obatnya saat kita
geledah, tidak ditemukan adanya obat-obatan tersebut," lanjut Iman.

Dijual ke Pelajar
Salah satu alasan obat-obatan keras yang diberi lingkaran merah tidak dijual secara
bebas, karena memiliki efek samping meninbulkan halusinasi. Oleh sebab itu,
penggunaan obat-obat keras harus dengan resep dokter.

"Bahayanya, obat-obatan keras ini efek sampingnya menimbulkan halusinasi dan


kegembiraan sesaat, ini yang kemudian disalah-gunakan oleh kalangan remaja,
pelajar," ujar Iman.

Kalangan pelajar membeli obat keras seperti hexymer dan dextro karena murah.
"Ada yang dijual kisaran Rp 10 ribu per paket berisi 7 butir," cetusnya.

Iman menambahkan, pihaknya saat ini masih mengembangkan kasus tersebut


untuk menelusuri pabrik yang memproduksi obat-obatan keras tersebut.

Kedua tersangka dijerat Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dan atau Pasal
197 jo Pasal 106 ayat (1) dan atau Pasal 198 jo Pasal 108 UU RI No 36 Tahun
2009; Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf a dan w UU RI No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 3,4, 5 UU RI No 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sementara itu, petugas dari BPOM Jakarta Andriyanto Nur Ikhsan mengapresiasi
upaya Polda Metro Jaya yang mengungkap obat-obatan keras tersebut.

"Obat ini terdiri dari obat keras, psikotropik dan obat tradisional. Obat keras seperti
tramadol itu izin edarnya sudah dicabut sehingga pembeliannya harus sesuai resep
dokter," ujar Andriyanto.
(mei/idh)

S-ar putea să vă placă și