Sunteți pe pagina 1din 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ANAK A DENGAN BRONKOPNEUMONIA DI BANGSAL IBNU SINA RSU PKU


MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Disusun Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Praktek Proses Stase Keperawatan Ansk
Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi Profesi Ners

Disusun oleh:
Kelompok D2
1. Nur Sufiati (1810206014)
2. Aulia Kentri Fazareni (1810206012)
3. Tengku Sri Fatimah (1810206003)
4. Dyah Setyo Anugraheni (1810206016)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
MATERI
A. PENGERTIAN
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan
kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab
non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan
infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi
bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa (Brandley et al., 2011).
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, ataupun benda asing yang ditandai dengan gejala panas yang tinggi,
gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah, diare, serta batuk kering yang
produktif (Hidayat, 2009).
Berdasarkan kedua pengertian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa
bronkopneumonia merupakan infeksi atau peradangan yang tidak hanya terjadi pada
jaringan paru terutama alveoli atau parenkim melainkan meluas sampai ke bronkus atau
bronkioli yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda asing yang ditandai
dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah,
diare, serta batuk kering yang produktif.
B. ETIOLOGI
Pembagian penyebab bronkopneumonia menurut Irman (2007):
1) Bakteri
(a) Diplococcus pneumonia
(b) Pneumococcus
(c) Streptococcus aureus
(d) Hemofilus influenza
(e) Bacillus fried lander
(f) Mycobacterium tuberculosis
2) Virus
(a) Respiratory syticial virus
(b) Virus influenza
(c) Adenovirus
(d) Virus sitomegali
3) Myoplasma pneumothorax
4) Jamur: aspergillus species dan candida albicans
5) Pneumonia hipostatik yaitu pneumonia yang sering timbul pada daerah paru-paru
dan disebabkan oleh napas yang dangkal dan terus menerus pada posisi yang sama
hal ini terjadi karena kongesti paru-paru yang lama.
6) Sindrom loeffer
Pada foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat besar dan kecil yang tersebar
menyerupai tuberculosis miliaris.
C. PATOFISIOLOGI
Kuman penyebab bronkopneumonia masuk ke dalam jaringan paru-paru melalui
saluran pernapasan atas untuk mencapai bronkiolus kemudian alveolus sekitarnya.
Bronkopneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di udara,
aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi yang
jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran napas masuk ke bronkioli dan alveoli,
menimbulkan reaksi peradangan yang hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya
protein dalam alveoli dan jaringan intertitial. Kuman pneumococus dapat meluas ke
seluruh segmen atau lobus. Eritrosit mengalami perembesan dan beberapa leukosit dari
kapiler paru-paru. Alveoli menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan
fibrin serta relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi
tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah (Riyadi, S & Sukarmin, 2012).
Pada tingkat lanjut aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan
relatif eritrosit. Kuman pneumococus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu resolusi
berlangsung, makrofag masuk kedalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman
pneumococus di dalamnya. Paru masuk dalam tahap hepatisasi abu-abu tampak berwarna
abu-abu kekuningan. Secara perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin
dibuang dari alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa
kehillangan kemampuan dalam pertukaran gas. Tetapi apabila proses konsolidasi tidak
dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada
elveolus membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan
gangguan proses difusi osmosis oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan
berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Penurunan itu yang
secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent
pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru, selain dapat
berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar juga mengakibatkan
berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan berusaha melawan tingginya tekanan
tersebut menggunakan otot-otot bantu pernapasan (otot interkosta) yang dapat
menimbulkan peningkatan retraksi dada (Riyadi, S & Sukarmin, 2012).
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel) mikroorganisme yang
terdapat di dalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah terjadi fase peradangan lumen
bronkus berserbukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus
dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit yang banyak pada saat awal
peradangan dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul
bronkiektasis. Selain itu eksudat dapat terjadi karena absorpsi yang lambat. Eksudat pada
infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung banyak kuman penyebab
(streptokokus, virus dan lain-lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulen, dan
menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi
asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak napas. Apabila kuman
terbawa di saluran pencernaan maka akan menginfeksi saluran pencernaan dan teradi
peningkatan flora normal dalam usus. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan
peristaltik usus dan malabsorbsi sehingga penderita mengalami diare dan menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Riyadi, S & Sukarmin, 2012).

D. MANIFESTASI KLINIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian
atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40°C dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea,
pernapasan sangat cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung serta sianosis
sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit, tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering
kemudian menjadi produktif (Riyadi, S & Sukarmin, 2012).
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosa dengan pemeriksaan fisik tetapi
dengan adanya napas dangkal dan cepat, pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar
hidung dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung
daripada luas daerah auskultasi yang terkena pada perkusi sering tidak ditemukan
kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronkhi basah yang nyaring halus
atau sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada
perkusi terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras.
Pada stadium resolusi, ronkhi terdengar lagi (Ngastiyah, 1997).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk dapat menegakkan diagnosa keperawatan dapat digunakan cara:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Pada kasus bronkhopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis
(meningkatnya jumlah neutrofil). (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
2) Pemeriksaan sputum
Bahan pemeriksaan yang terbaik diperoleh dari batuk yang spontan dan dalam.
Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis dan untuk kultur serta tes
sensitifitas untuk mendeteksi agen infeksius. (Barbara C, Long, 1996 : 435)
3) Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam basa.
(Sandra M. Nettina, 2001 : 684).
4) Kultur darah untuk mendeteksi bakteremia
5) Sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk mendeteksi antigen mikroba
(Sandra M. Nettina, 2001 : 684).
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Rontgenogram Thoraks
Menunjukkan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai pada
infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infiltrat multiple seringkali dijumpai
pada infeksi stafilokokus dan haemofilus(Barbara C, Long, 1996 : 435).
2) Laringoskopi/ bronkoskopi untuk menentukan apakah jalan nafas tersumbat
oleh benda padat(Sandra M, Nettina, 2001).

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada anak dengan bronkopneumonia
menurut Riyadi, S & Sukarmin (2012) adalah:
1) Pemberian obat antibiotik penisilin 50.000 Unit/kg BB/hari, ditambah dengan
kloramfenicol 50-70 mg/kg BB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai
spektrum luas seperti ampicilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5
hari. Pemberian obat kombinasi bertujuan untuk menghilangkan penyebab infeksi
yang kemungkinan lebih dari satu jenis juga untuk menghindari resistensi antibiotik.
2) Koreksi gangguan asam basa dengan pemberian oksigen dan cairan intravena,
biasanya diperlukan campuran glukosa 5% dan Nacl 0,9% dalam perbandingan 3 : 1
ditambah larutan Kcl 10 mEq/500 ml/botol infus.
3) Karena sebagian besar pasien jatuh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang makan
dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis sesuai gas
darah arteri.
4) Pemberian makan enteral bertahap melalui selang nasogastrik pada penderita yang
sudah mengalami perbaikan sesak napasnya.

5) Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta
agonis untuk memperbaiki transport mukosilier seperti pemberian terapi nebulizer
dengan flexotid dan ventolin. Selain bertujuan mempermudah mengeluarkan dahak
juga dapat meningkatkan lebar lumen bronkus.
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada anak dengan pneumonia
(Wong, 2008) adalah:
1) Bila terdapat obstruksi jalan napas dan lendir, kolaborasi pemberian broncodilator.
2) Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat.
3) Kolaborasi pemberian obat antibiotik yang sesuai dengan penyebab pneumonia.
Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebab yang
mempunyai spektrum sempit.
4) Menjaga kelancaran pernapasan, dengan memposisikan klien dengan posisi semi
fowler dan pemberian oksigen sesuai indikasi.
5) Kebutuhan istirahat, karena pada pasien bronkopneummonia mengalami susah tidur
karena sesak napas.
6) Kebutuhan nutrisi dan cairan, kegunaannya untuk mencegah dehidrasi dan
kekurangan kalori.
7) Mengontrol suhu tubuh.
8) Berikan penyuluhan berupa pendidikan kesehatan pada anak dan keluarga.

G. KOMPLIKASI
Menurut Misnadiarly (2008) komplikasi pada penderita pneumonia maupun
bronkopneumonia, yaitu:
1) Abses paru
2) Emfisema
3) Gagal napas
4) Perikarditis
5) Meningitis
6) Atelektesis
7) Hipotensi
8) Delirium

H. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia pada
anak yang terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non imunisasi (Said, 2010).
Imunisasi terhadap pathogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan
strategi pencegahan spesifik sedangkan pencegahan non imunisasi yaitu pencegahan non
spesifik misalnya mengatasi berbagai faktor risiko seperti polusi udara dalam ruang,
merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan lain-lain.
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin
Pertussis (ada dalam DPT), Campak, Hbi (Haemophilus inflienza type b) dan
pneumococcus (PCV). Vaksin Pertussis dan Campak telah masuk ke dalam program
vaksinasi nasional di berbagai negara termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan
Pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan kedua vaksin ini dapat
mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum
banyak negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional
imunisasi (Kartasasmita, 2010).
Pencegahan pneumonia selain dengan menghindari atau mengurangi faktor risiko
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu dengan pendidikan kesehatan di
komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan
pedoman diagnosa dan pengobatan pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan
efektif dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus pneumonia berat.
Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan
cakupan imunisasi dan pengurangan polusi udara di dalam ruangan dapat pula
mengurangi faktor risiko. Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan
dapat mengurangi kejadian pneumonia (Kartasasmita, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Martin tucker, Susan. 2000. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan, Diagnosis,
DanEvaluasi halaman 247.EGC: Jakarta.
Mansjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3 Jilid ke 2. Media Aesculapius.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia:Jakarta.
Departemen Kesehatan RI (1996). Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Depkes ; Jakarta.
Brunner & Suddrath. 2002. Keperawatan Medikel Bedah. EGC: jakarta.
Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan proses-proses
penyakit. EGC: Jakarta.
Sandra M Nettina.2001. Lippincott “Manual Praktik Keperawatan”. EGC: Jakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Pendidikan Kebidanan. Jakarta :
Salemba Medika.
MINDMAP Etiologi

Pengertian - Streptococcus pneumonia (biasanya disertai influenza dan meningkat pada - Cyanosis
penderita PPOM dan penggunaan alkohol). - Nafas cuping hidung
Bronkpneumonia adalah infeksi -Staphylococcus (kuman masuk melalui darah atau aspirasi, sering - Takikardia
atau peradangan pada jaringa menyebabkan infeksi nasokomial). - Dispnea
paru terutama alveoli atau -Bakteri gram negatif - Gelisah
parenkim yang sering mneyerang -Haemaphilius influenza (dapat menjadi penyebab pada anak-anak dan - Stridor
anak-anak menyebabkan gangguan jalan nafas kronis).
-Pseudomonas aerogmosa (berasal dari infeksi luka, luka bakar, trakeostomi,
- Retraksi otot dada dan
dan infeksi saluran kemih). sesak
-Klebseila pneumonia (insiden pada penderita alkoholis). - Kelemahan
Bakteri anaerob (masuk melalui aspirasi oleh karena gangguan kesadaran, - Keletihan
gangguan menelan). - Kelelahan
Bakteri atipikal (insiden mengingat pada usia lanjut, perokok dan penyakit - Mual muntah
kronis)
Terapi non farmakologik - anoreksia

- Menjaga kelancaran pernafasan Manifestasiklinis


- Kebutuhan istirahat
Bronkopneumonia
- Kebutuhan nutrisi cairan
- Mengontrol suhu tubuh
- Mencegah komplikasi atau gangguan
Komplikasi
rasa aman nyaman  Atelektasis

Penatalaksanaan  Empisema
 Abses paru
Terapi farmakologik  Meningitis
- Pemberian antibiotik sesuai program  Endokarditis
- Oksigen 2 lpm Pencegahan
- Jika sesak tidak terlalu hebat dapat  Ostitis media
dimulai makan eksternal melalui ngt 1. Mengobati secara dini penyakit-penyakit yang
- Jika sekresi lendir berlebihan dapat dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia
diebrikan inhalasi dengan salin normal 2. Menghindari kontak dengan penderita penyakit Pemeriksaan menunjang
dan beta bronkopneumonia
3. Meningkatkan sistem imun terhadap berbagai 1. Foto polos : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru
- Koreksi gangguan keseimmbangan
penyakit saluran nafas seperti: pola hidup dan status pulmoner
asam basa elektrolit 2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status
sehat dengan cara makan makanan yang bergizi
kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi
dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang 3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk
cukup menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum
PENGKAJIAN
NOC :
Ds:
 Ibu mengatakan anaknya masih panas, demam, (Respiratory status: airway patency)
dan rewel
 Ibu mengatakan anaknya masih batuk a. Frekuensi pernapasan dalam batas normal
 Ibu pasien mengatakan anaknya masih lemas,
rewel, menangis b. Irama pernapasan normal
 Ibu mengatakan BB lahir 1100 gram dan BB
c. Kedalaman pernapasan normal
sekarang 4,5 kg

Do: d. Pasien mampu mengeluarkan sputum secara efektif

 Pasien terlihat menangis


 Saat dilakukan auskultasi terdapat suara napas
tambahan (whezzing) ASUHAN KEPERAWATAN NIC :
 Terdapat tarikan dinding dada
 SPO2 : 99% (Respiratory monitoring)
 N: 98x/ menit 1. Memantau RR, irama kedalaman dan usaha respirasi
 RR: 22x/ menit
 Terpasang O2: 2 lpm 2. Perhatikan gerakan dada, amati simetris, penggunaan otot
 Terdapat sekret di saluran napas aksesori, retraksi otot supravaticular dan interkosta

3. Monitor suara tambahan

NOC: (Airwat management)

Fatique level 1. Memberikan posisi nyaman untuk mengurangi dipsnea

a. Tidak nampak kelelahan 2. Kolaborasi oemberian o2


b. Tidak nampak lesu
c. Tidak ada penurunan napsu makan 3. Kolaborasi pemberian bronkodilator
d. Kualitas tidur dan istirahat dalam batas normal
h. Lakukan suction pada mayo
NIC i. Berikan bronkodilator bila perlu
(Activity therapy)
a. Kolaborasi pemberian obat-obatan digitalis dan vasodilatasi

(Energy Management)
a. Temtukan penyebab kelelahan ( perawatan, nyeri, pengobatan)

b. Monitor respon terapi 02 pasien


PATHWAYS
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. Jakarta: EGC

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC

Grace, Pierce A dan Borley, Neil R. At a Glance Ilmu Bedah. Terjemahan oleh Vidhia
Umami. 2006. Jakarta: Erlangga

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika

Hidayat, A Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Muscari, Mary E. Panduan belajar: keperawatan pediatrik, Ed 3. Terjemahan oleh Alfrina


Hany. 2005. Jakarta: EGC

Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Standar Perawatan Pasien: proses
keperawatan, diagnosis, dan evaluasi. Terjemahan oleh Susan Martin Tucker, et al.
1998. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume I. Jakarta : EGC

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis NANDA,


intervensi NIC, kriteria hasil NOC, ed 9. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

S-ar putea să vă placă și