Sunteți pe pagina 1din 10

Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research (2017), 1(1), pp.

9–18
Program Studi Bimbingan dan Konseling | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | INNOVATIVE
Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) COUNSELING
ISSN (Print): 2548-3226

Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor Dalam Layanan Konseling

Agung Nugraha, Dewang Sulistiana*)


*)
Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya
 (e-mail) agung.nugraha@umtas.ac.id, dewang@umtas.ac.id

Abstract. Multicultural sensitivity both theoretical and empirical needs to be owned by counselors in
the counseling service. Multicultural sensitivity is important in the counseling process because of its
multicultural sensitivity counselor at counseling services can be predicted to be more effective.
Counselors are required to have a multicultural sensitivity as access to better know, understand and
appreciate the whole cultural experience that is owned by the counselee as well as exploring the
potential counselee with a fixed packing uniqueness. The counselor with a keen sensitivity better
understand and appreciate the cultural bias between the counselor and counselee which is predicted to
be able to direct the counselee to develop optimally

Keywords : Multicultural Sensitivity, Counselor, Counseling Service

Rekomendasi Citasi: Nugraha, Agung & Sulistiana, Dewang. (2017). Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam
Layanan Konseling. Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research, 1 (1): pp. 9-18

Article History: Received on 12/15/2016; Revised on 12/24/2016; Accepted on 01/10/2017; Published Online:
12/16/2017. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which
permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly
cited. © 2017 Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research

Pendahuluan dalam beberapa karya tulisnya sering


menemukan proses konseling dimana
Salah satu pernyataan yang tertuang dalam
konselor kurang peduli terhadap adanya
Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan
perbedaan budaya serta atributnya antara
dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal konseli dan konselor yang berdamapak pada
(2007) menyatakan salah satu kompetensi munculnya jarak antara konseli dan konselor
konselor adalah harus menunjukkan integritas
dalam proses konseling. Didalam proses
dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan
konseling konselor dan konseli baik secara
sub kompetensi peka, bersikap empati, serta langsung atau tidak langsung nampak atau
menghormati keragaman dan perubahan. tidak nampak membawa serta seluruh atribut
Pernyataan tersebut mengindikasikan seorang
psikofisik yang unik meliputi kecerdasan,
konselor diharapkan memiliki kemampuan
bakat, minat, sikap, motivasi dan sosio-
untuk memahami dan peka atau sensitif budaya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan
terhadap perubahan serta keberagaman Bolton-Brownlee Supriadi (Nugraha, 2012: 7)
individu.
yang menyatakan proses konseling yang
Menilik pada proses layanan konseling dilakukan oleh konselor sejauh ini hanya
dimana merupakan suatu layanan dengan sifat menitikberatkan pada aspek-aspek psikologis
layanan kuratif serta mengedepankan (kecerdasan, minat, bakat, kepribadian, dll)
keterampilan komunikasi baik melalui dan masih kurang memperhatikan terhadap
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal latar belakang budaya konselor maupun
saat proses konseling untuk membantu konseli konseli yang ikut membentuk perilakunya dan
dalam menyelesaikan masalahnya, para ahli menentukan efektivitas proses konseling.

9
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH 
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D

Memiliki pengetahuan dan pemahaman bantuan yang diberikan lebih tepat guna dan
yang lebih jauh dan mendalam bagi seorang berjalan efektif.
konselor terhadap permasalahan multibudaya
Berdasarkan beberapa kajian para ahli
dalam layanan konseling dapat artikan sebagai
yang telah dipaparkan dapat dipahami betapa
kepekaan multibudaya (culturally sensitive)
pentingnya suatu kepekaan multibudaya bagi
konselor dalam menyikapi perkembangan
seorang konselor demi keberlangsungan
masalah multibudaya dalam layanan
layanan konseling yang. Pernyataan tersebut
konseling yang selalu dinamis. Kepekaan
mengarahkan pada suatu kondisi dimana
multibudaya sangat penting bagi seorang
kepekaan multibudaya bagi seorang konselor
konselor dan akan sangat berguna pada saat
sudah seharusnya terbangun sedini mungkin
konselor dihadapkan dalam proses konseling
sebagai kemampuan dasar bagi seorang
yang beratmosfer perbedaan budaya terutama
konselor. Proses pembentukan dalam
dalam kondisi konselor dengan konseli
mempersiapkan konselor yang peka terhadap
memiliki latar belakang budaya berbeda.
keberagaman dalam layanan konseling
Supriadi (Nugraha, 2012: 9) memaparkan
(sensitif) merupakan suatu kebutuhan yang
perlunya konselor yang memiliki kepekaan
segera.
multibudaya (culturally sensitive counselor)
untuk dapat memahami dan membantu
klien/konseli. Profil konselor tersebut
Pembahasan
merupakan seorang konselor yang menyadari
benar bahwa dilihat dari sisi budaya, inidvidu Hakikat sifat layanan konseling
memiliki karakteristik yang unik dan dibawa merupakan layanan kuratif yang menuntut
dalam proses konseling sehingga secara tidak konselor berperan sebagai memberi fasilitas,
langsung diperlukan pemahaman yang benar motivator, dan evaluator terhadap kesesuaian
dan mendalam tentang latar belakang budaya potensi yang dimiliki konseli terhadap langkah
konseli. Hal tersebut senada dengan penyelesaian masalah konseli.
pemaparan Ibrahim & Heuer (2016: 4) yang
Selain itu dalam layanan konseling
menyatakan “understanding the importance of
konseling konselor mengimplementasikan
core values and cultural identity in all its
keterampilan-keterampilan sosial dalam setiap
complexity will help clinicians when
sesi konseling. Layanan konseling merupakan
counseling in a culturally sensitive and
proses dimana konselor dan konseli
relevant manner in a diverse society.”
mempertemuakan atribut-atribut psikofisik
Selanjutnya Hays & Erford (2010: 30) seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap,
yang menyatakan motivasi dan sosio-budaya. Selanjutnya
layanan konseling merupakan suatu kondisi
“ Counselor sensitive to the needs of
atau bentuk lain dalam interaksi budaya.
understand and integrate numerous terms
Selama berlangsungnya proses konseling
within the the client’s particular group and
secara tidak langsung seluruh atribut budaya
culture....., If a counsellor can do this
diantara konselor dan konseli akan muncul
successfully, they may be able to further their
yang mewakili keunikan individu masing-
knowledge about the client’s family, values,
masing.
attitudes, beliefs and behaviours”.
Layanan konseling menjadi lebih optimal
Pernyataan tersebut tersebut dapat
andai kompetensi multibudaya serta
diartikan bahwa seorang konselor yang sensitif
pemahaman atribut psikofisik diri sendiri dan
membutuhkan pengetahuan tentang dirinya
atribut psikofisik konseli yang dibawa dalam
sendiri serta tentang konseli yang berasal dari
layanan konseling dimiliki oleh konselor
kelompok dan budaya tertentu. Sehingga jika
sehingga pemahaman dan penghayatan
seorang konselor mampu melakukan semua
mendalam mengenai identitas budaya dapat
hal tersebut dengan baik maka konselor akan
dijadikan jembatan yang menghubungkan
mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang
kesenjangan antara atribut psikofisik konselor
latar belakang konseli, nilai-nilai, sikap,
dan atribut psikofisik konseli serta dapat
keyakinan dan perilaku konseli, sehingga
mewujudkan layanan konseling yang efektif.
Selanjutnya Sue, Arredondo, & McDavis

10
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.

(Chung, 2005: 264) memaparkan kompetensi beberapa kelompok seperti Asia- Amerika,
multibudaya merupakan suatu respon terhadap perempuan, serta demografi individu
ras, etnik, dan populasi budaya yang beragam. tinggal. 3) Individual culture, mengacu
Pernyataan tersebut dapat dipahami bahawa pada keunikan prilaku, sikap dan kognitif
kompetensi multibudaya seorang konselor seorang individu yang termasuk dalam
adalah reaksi dari perbedaan dinamika budaya universal culture dan group culture.
antara budaya konselor itu sendiri dengan b. Cultural Encapsulation, merupakan cara
dinamika budaya konselor yang berasal dari pandang terhadap dunia dan budaya yang
suatu tingkatan sosial. lain dengan menggunakan hanya satu
budaya saja. Hal ini dapat dimaknai bahwa
Baruth & Manning (Nugraha, 2012:
dalam layanan konseling konselor
26) dimensi multibudaya dalam layanan
diharapkan mampu memandang suatu
konseling merupakan suatu layanan
masalah tidak hanya dari perspektif
konseling yang pertama kali dilakukan oleh
probadi konselor melain juga harus dari
sekelompok kecil konselor dan psikolog yang
perspektif konseli.
tertarik pada perbedaan budaya. Baruth &
c. Individualism and Collectivism,
Manning memaparkan dimensi multibudaya
mengarah pada prilaku dan sikap yang
dalam layanan konseling dimulai pada tahun
membimbing individu pada determinasi
1960 dimana perkembangan status ras, etnis
diri (self -determination) atau pada
dan berbagai bentuk diskriminasi (latar
kebebasan diri seperti kompetisi, self-
belakang budaya berbeda) di masyarakat
disclosure, agency, kebebasan dan
Amerika telah diakui (Nugraha, 2012: 26).
pengembangan diri. Sementara
Adanya pengakuan status dari semua bentuk
collectivism menekankan kemampuan
deskriminasi tersebut bagi layanan
individu untuk mampu bekerjasama pada
konseling pada saat itu merupakan suatu
kelompok baik itu berupa penyampaian
bidang layanan baru untuk menumbuhkan
suatu pendapat, ide atau suatu keputusan.
individu yang berasal dari kelompok latar
d. Race and Ethnicity, ras dan etnis
belakang budaya tertentu (special
merupakan dua klasifikasi kelompok
population) menjadi lebih optimal dan sehat
yang besar dalam isu konseling
secara mental.
multibudaya. Race atau kelompok rasial
Selanjutnya istilah multibudaya (the menekankan pada klasifikasi konstruk
term multiculturalism) dan budaya pada sosial berdasarkan pada aspek fisik
dasarnya merupakan bentuk integrasi dari seperti warna kulit, tekstur rambut,
identitas budaya (cultural identity) yang bentuk wajah, dan bentuk mata. Ethnicity
terbangun dari beberapa dimensi budaya mengacu pada pembagian karakteristik
Hays & Erford dalam Nugraha (2012: 26) budaya, keagamaan, dan bahasa seperti
diantaranya : Latin Amerika dan Arab-Amerika.
a. Culture, didefinisikan sebagai pengalaman e. Generational status, mengacu pada
total dari seorang individu dalam konteks pengelompokkan kelompok umur dalam
sosial. Pengalaman sosial individu tersebut suatu kelompok sosial dan konteks
ditunjukkan melalui media biologis, sejarah. Tipe pengelompokkan ini
psikologis, sejarah dan politik. Budaya berkisar pada 15 sampai 20 tahun.
mencakup prilaku, sikap, perasaan, dan f. Gender, merupakan ekspresi dari
pikiran yang berhubungan dengan kategori sosial. Kategori sosial ini
identitas kehidupan. Definisi budaya mengarah pada pengetahuan peraturan
dapat dibatasi menjadi tiga definisi sebagai gender dimana prilaku dan sikap
berikut. 1) Universal culture, mengacu merupakan bagian dari seorang pria dan
pada commonalitie yang dibagi oleh wanita. Tedapat tiga istilah yang dapat
semua budaya dan umat manusia seperti digunakan untuk mengartikan gender
penggunaan bahasa sebagai sebuah diantaranya: masculinity, femininity dan
metode komunikasi, pendirian norma androgyny. Masculinity dan femininity
sosial, fungsi tubuh atau respon fisiologis. merupakan ekspresi normative dari suatu
2) Group culture, mengacu pada sebuah pandangan dan penerimaan sosial
karakteristik tertentu yang dibagi kedalam terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh
seorang pria atau wanita, sedangkan

11
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH 
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D

androgyny merupakan pembauran Pemahaman dan penghayatan konselor


diantaranya. secara mendalam terhadap budaya konseli
g. Sexual Orientation, mengacu pada ataupun konselor dapat diartikan sebagai
dorongan seksual dan cinta pada kepekaan budaya seorang konselor. Surya
kesamaan atau berlawanan gender. Sexual (2003: 65) kepekaan mempunyai makna
identity menggambarkan derajat bahwa konselor sadar akan kehalusan
identifikasi terhadap orientasi seksual dinamika yang timbul dalam diri klien/konseli
seperti heteroseksual, gay, lesbian,dan dan konselor sendiri. Kepekaan pada diri
biseksual. konselor sangat penting dimiliki terutama
h. Socioeconomic Status, merupakan tipe aplikasinya dalam layanan konseling,
identifikasi pada penghasilan rumah dikarenakan dengan kepekaan budaya konselor
tangga, tingkat pendidikan, status akan dengan mudah mengakses dinamika
pekerjaan, penggunaan fasilitas umum ekspersi budaya konseli yang unik atau
dan akses kesehatan. sebaliknya. Jika hal itu terjadi maka diprediksi
i. Disability, mengacu pada kerusakan akan memunculkan jaminan rasa aman bagi
mental atau fisik yang berpengaruh klien/ konseli dan akan merasa lebih percaya
terhadap aktivitas sehari-hari. diri manakala berkonsultasi. Pemahaman
j. Spirituality, memrupakan suatu aspek dinamika yang terjadi dalam diri konseli dan
penting dalam variabel budaya bagi konselor dapat dimaknai sebagai atribut
sebagaian besar individu dan mengacu psikofisik meliputi berinteraksinya seluruh
pada hubungan individu dan dirinya dan budaya konselor dan konseli sehingga
secara universal. Aspek ini memberikan kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh
pemahaman langsung mengenai maksud, seorang konselor akan sangat diperlukan
tujuan dan arahan bagi individu. Istilah dalam kondisi konselor dihadapkan pada
yang berkaitan dalam aspek ini adalah proses konseling dengan konseli yang
religion yang mengacu pada prilaku dan memiliki latar belakang budaya berbeda.
kepercayaan seorang individu.
Stewart (Nugraha, 2012 : 38)
k. Advocacy, Privilege, and Oppression,
memaparkan kepekaan multibudaya dalam
merupakan aspek-aspek yang mengacu
layanan konseling dapat diartikan sebagai
pada kemampuan atau kinerja seorang
pengetahuan diri konselor untuk dapat
individu beserta kebijakan-kebijakan yang
merasakan perbedaan atau jarak antara latar
diambil oleh individu dalam rentang
belakang konseli dan konselor. Selanjutnya
kehidupannya. Advocacy, mengacu pada
kepekaan juga dapat diartikan sebagai suatu
pengembangan ide dan kebijakan yang
upaya mempersepsikan konseli sebagai suatu
dapat mengembangakan status sosial.
individu total yang terbentuk dari
Privilege, mengacu pada ketidaksadaran
pengalamannya (Pedersen at al. 1981: 83).
dan kekuatan yang didapatkan tanpa usaha
Hal senada juga dipaparkan oleh Hays &
seperti berdasarkan ras, etnis,
Erford (2010: 30) yang menyatakan konselor
kepercayaan, dll. Oppression, mengacu
yang peka terhadap keberagaman budaya
pada kekurangan dari kemampuan yang
konseli yang dihadapi dalam layanan
dimiliki.
konseling ialah konselor yang mengtahui,
l. Worldview, didefinisikan sebagai
mengerti, paham dan mampu meramu konteks
konseptualisasi individu terhadap
budaya serta identitas budaya secara tepat.
hubungan individu tersebut dengan
lingkunga. Dalam aspek ini terdapat Selanjutnya dikuatkan pula oleh
istilah yang berkaitan diantaranya, Locus pernyataan Arredondo (Fawcett & Evant,
of responsibility yang mengacu pada suatu 2013: 8) yang menyatakan bahwa kepekaan
sistem yang akuntabel bagi individu untuk budaya dan konselor yang kompeten mampu
sukses atau gagal dalam melakukan memahami bahwa permasalahan yang terjadi
sesuatu serta memandang dan memahami pada diri seseorang tidak hanya dikarenakan
kesuksesan atau kegagalan tersebut. Locus unsur budaya seperti ras dan warna, melainkan
of control, adalah derajat penguasaan dan dapat pula pada nilai budaya yang dianut oleh
penerimaan diri dalam hubungannya konseli. Sehingga dapat diartikan bahwa
dengan lingkungan.

12
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.

walaupun ras dan warna kulit sama namun merasakan seorang terapis/konselor secara
nilai budaya tetap berbeda. akurat baik merasakan dan memahami apa
yang sedang dirasakan oleh konseli dan
Untuk memiliki kepekaan multibudaya
mengkomunikasikan pemahaman tersebut
konselor dituntut untuk mempunyai
kepada konseli.
pemahaman yang kaya tentang berbagai
budaya diluar budayanya sendiri, khusunya Hogan (1969, p. 308) memaparkan empati
berkenaan dengan latar belakang budaya ”empathy as the intellectual or imaginative
klien/konseli Supriadi (Nugraha, 2012:10). apprehension of another’s condition or state
of mind without actually experiencing that
Pemaparan tersebut mengandung
person’s feelings.” dan Clark (1980, p. 187)
pengertian bahwa konselor harus mampu
”defined empathy as the unique capacity of the
memahami diri sendiri serta konseli secara
human being to feel the experience, needs,
menyeluruh baik secara fisiologis dan
aspirations, frustations, sorrows, joys,
psikologis yang merupakan atribut dalam
anxieties, hurt, or hunger of others as if they
proses konseling. Adanya pemahaman
were his or her own. ”(Hojat, 2007: 6). Empati
mendalam mengenai karakteristik diri sendiri
merupakan kemampuan intelektual dan
dan konseli mengarahkan konselor untuk
imajinasi untuk merasakan kondisi orang lain
mampu mengembangkan pendekatan-
dan kapaitas unik untuk merasakan
pendekatan konseling berdasarkan pemahaman
pengalaman, kebutuhan, aspirasi, frustasi,
budaya antara konseli dan konselor.
duka cita, kebahagiaan, kecemasan atau
Selanjutnya menurut Pedersen (Nugraha, kesakitan orang lain seperti layaknya pada diri
2012: 40) kepekaan multibudaya konselor sendiri.
dalam layanan konseling terbangun atas dasar
Empati dapat dibatasi pada suatu
konstruk empati. Dapat diartikan bahwa
dipaparkan suatu definisi empati sebagai
kepekaan multibudaya dalam layanan
kemampuan untuk memahami (kognitif) dan
konseling diartikan sebagai suatu pengetahuan
merasakan (emosional) secara akurat kondisi
diri konselor untuk sadar, merasakan, mengerti
yang sedang dialami oleh konseli. Berdasarkan
dan paham terhadap perbedaan atau jarak
batasan definisi tersebut empati terbangun dari
antara latar belakang/dunia konseli dan
dua komponen utama yaitu komponen kognitif
konselor. Dapat diartikan kepekaan juga
dan komponen afektif. Pada komponen
sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli
kognitif menitikberatkan pemahaman
sebagai suatu individu total yang terbentuk
terhadap perasaan yang sedang dirasakan
dari pengalamannya.
orang lain dan kemampuan untuk memahami
Selanjutnya seorang ahli lain Carl Rogers perspektif orang lain. Komponen afektif
(Ivey & Auther, 1978: 128) memaparkan menitikberatkan pada komponen emosional
empati sebagai ”to sense the client’s private dimana observer (konselor) merespon keadaan
world as if it were your own,but without losing emosional orang lain (konseli). Selanjutnya
the ’as if’ quality.” pemaparan tersebut dapat Davis dalam Nugraha (2012: 41) memaparkan
diartikan bahwa empati merupakan suatu komponen kognitif dalam empati meliputi
kemampuan untuk merasakan dunia pribadi sebagai berikut.
konseli sama seperti konselor merasakan
a. Fantasy (FS) merupakan kecenderungan
dunianya sendiri. Senada dengan pendapat
seseorang untuk mengubah diri secara
Gladding (Nugraha, 2012: 40) yang
imajinatif dalam mendalami perasaan dan
mendefinisikan empati ”is the ability to enter
tindakan individu lain. Kecenderungan
the private world of someone else and be
respon secara imajinatif dalam mendalami
thoroughly at home in it.”
persaan/tindakan individu tersebut ditandai
Carl Rogers (Hackney & Cormier, 2009: dengan pengenalan secara mendalam
67) memaparkan empati ”mean that the terhadap karaktek fiktif dalam buku/novel,
therapist senses accurately the feelings and film dan permainan drama. Fantasi
personal meanings that the client is merupakan aspek yang berpengaruh pada
experiencing and communicates this acceptant reaksi emosi terhadap orang lain dan
understanding to the client.” dapat diartikan menimbulkan perilaku menolong.
bahwa empati merupakan kemampuan Indikator

13
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH 
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D

b. Prespective Taking (PT) mencerminkan konselor dimana didalamnya terdapat


kecenderungan atau kemampuan kemampuan menyadari dan paham mengenai
seseorang dalam mengambil sudut budaya diri konselor, menyadari dan paham
pandang psikologis orang lain secara mengenai budaya konseli. Senada dengan
spontan yang ditandai dengan kemampuan pendapat Hackney & Cormier (2009: 15)
dalam mengangkat visi atau segi pandang menyatakan bahwa konselor yang peka adalah
dari individu lain. konselor yang mampu menyadari dan
memahami konteks budaya sendiri dan
Selanjutnya komponen afektif dalam empati
konseli. Berdasarkan pemaparan tersebut
meliputi,
kepekaan multibudaya secara lebih jauh dapat
a. Empathic Concern (EC) merupakan terbangun melalui kemampuan-kemampuan
ekspresi perasaan yang berorientasi pada konselor dalam menyikapi perbedaan budaya
orang lain dan perhatian terhadap antara diri konselor dan konseli. Peningkatan
kemalangan orang lain yang ditandai kemampuan termasuk informasi budaya yang
dengan rasa bersahabat/kehangatan, belas spesifik mengenai intervensi yang tepat dalam
kasihan dan perhatian terhadap individu penanganan.
lain yang sedang mengalami pengalaman
Leong & Kim (1991: 113)
negatif/kemalangan.
menguatkan pernyataan tersebut “increasing
b. Personal Distress (PD) menitikberatkan
counselors cultural sensitivity with-out
pada kecemasan pribadi yang berorientasi
providing some tentative culture-specific
pada diri sendiri serta kegelisahan dalam
information about interventions would invite
menghadapi hubungan interpersonal yang
frustrased paralysis on the part of the these
tidak menyenangkan yang ditandai dengan
counselors.”
menunjukkan perasaan ketidaknyamanan
dan kecemasaan ketika berjumpa dengan Kemampuan-kemampuan multibudaya
kondisi negatif dalam hubungan tersebut menurut Arredondo (1999: 103-105);
interpersonal. Hays dan Erford (2010 : 22); Baruth &
Manning (2007: 51-54); Sue & Sue (2003: 17-
Dalam cakupan budaya Pedersen,
21); Nugraha (2012: 43) sebagai berikut.
Crether & Carlson (Nugraha, 2012: 44)
memaparkan empati sebagai berikut ”cultural 1. Kesadaran konselor mengenai nilai budaya
empahty is therefore the learned ability of sendiri beserta bias budaya sendiri
counselors to accurately understand and (awareness of own cultural values and
respond appropriately to each culturally biases) yang terdiri atas sub aspek dan
different client.” Dapat dipahami empati indikator-indikator sebagai berikut.
budaya adalah kemampuan konselor untuk
a) Kepercayaan dan prilaku
memahami secara akurat dan respon yang
tepat terhadap perbedaan budaya konseli. Hal 1) Mempercayai bahwa kesadaran-diri
tersebut mengisyaratkan bahwa empati terhadap nilai budaya dan kepekaan
merupakan suatu kemampuan bagi seorang warisan budaya adalah hal yang
konselor dalam memahami dan merasakan penting dalam proses konseling.
latar belakang kehidupan yang dibawa oleh 2) Menyadari latar belakang budaya dan
konseli dan berpengaruh terhadap keadaan merasakan pengaruhnya terhadap
konseli saat proses konseling berlangsung. sikap, nilai, dan polemik mengenai
proses psikologis.
Hays & Erford (2010: 30) yang
3) Menyadari keterbatasan kompetensi
menyatakan bahwa konselor yang peka adalah
dan keahlian multibudaya pada diri
konselor yang mengerti dan paham terhadap
sendiri.
perbedaan dan keberagaman budaya pribadi
4) Menyadari sumber ketidaknyamanan
konselor dan konseli yang dihadapi dalam
dengan perbedaan budaya antara diri
layanan konseling. Mengerti dan paham
sendiri dengan konseli.
terhadap perbedaan budaya merupakan suatu
kemampuan yang muncul antara pribadi
konselor dan konseli yang dapat terbangun b) Pengetahuan
melalui kemampuan-kemampuan multibudaya

14
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.

1) Memiliki pengetahuan spesifik 3) Menyadari stereotipe terhadap


mengenai warisan budaya dan kelompok minoritas ras, etnik, suku,
pengaruhnya, baik secara pribadi dan budaya konseli.
maupun profesional terhadap definisi
dan polemik mengenai normalitas,
b) Pengetahuan
abnormalitas, dan proses konseling.
2) Memiliki pengetahuan dan 1) Memiliki pengetahuan dan informasi
pemahaman mengenai pengaruh mengenai kelompok budaya tertentu
ketidakadilan, rasisme, diskriminasi, yang diajak bekerja sama.
dan persamaan, baik secara pribadi 2) Menyadari perbedaan pengalaman
maupun profesional terhadap proses hidup, warisan budaya, dan latar
konseling. belakang sejarah diri sendiri dengan
3) Memiliki pengetahuan mengenai budaya konseli.
dampak sosial diri sendiri terhadap 3) Memahami pengaruh ras, budaya,
konseli. dan etnis terhadap formasi pribadi,
4) Mengetahui perbedaan dan dampak pilihan vokasional, manifestasi
gaya komunikasi dalam proses gangguan psikologis, perilaku
konseling. mencari bantuan, dan kesesuaian
pendekatan konseling.
c) Keterampilan
4) Memahami dan memiliki
1) Aktif mencari pengalaman pengetahuan mengenai pengaruh
pendidikan, konsultasi, dan pelatihan sosial politik terhadap kehidupan
untuk memperkaya pemahaman dan kaum minoritas ras dan etnis.
efektivitas dalam bekerja dengan
c) Keterampilan
konseli yang berbeda budaya.
2) Menyadari batasan kompetensi diri 1) Familiar dengan penelitian relevan
sendiri sehingga : (a) mencari dan penemuan terbaru mengenai
konsultasi, (b) mencari pelatihan atau kesehatan dan gangguan mental dari
pendidikan lanjutan, dan (c) beragam kelompok etnis dan ras
melakukan referral kepada individu 2) Aktif mencari pengalaman
atau sumber yang lebih pendidikan yang memperkaya
berkualifikasi. pengetahuan, pemahaman, dan
3) Aktif mencari pemahaman diri keterampilan multibudaya.
sebagai makhluk hidup yang 3) Terlibat secara aktif dengan individu
memiliki ras, etnik, suku, dan budaya kaum minoritas di luar seting
serta secara aktif mencari identitas konseling (kegiatan masyarakat,
nonrasis. fungsi sosial dan politik, perayaan,
persahabatan, kelompok tetangga).
2. Memahami pandangan hidup konseli 3. Mampu mengembangkan strategi dan
yang berbeda budayanya (awareness of intervensi budaya yang tepat culturally
client’s world view) yang terdiri atas sub appropriate intervention strategies)
aspek dan indikator-indikator sebagai yang terdiri atas sub aspek dan
berikut. indikator-indikator sebagai berikut.
a) Kepercayaan dan prilaku. a) Keterampilan dan Prilaku
1) Menyadari reaksi emosional negatif 1) Menghargai kepercayaan, nilai
diri sendiri terhadap kelompok ras, spiritual, dan nilai religius mengenai
etnik, suku, dan budaya lain yang fungsi fisik dan psikologis.
mungkin terbukti membahayakan 2) Menghargai kealamian praktik
konseli dalam proses konseling. membantu dan menghargai jaringan
2) Berani mempertentangkan kerja pemberi bantuan bagi
kepercayaan dan perilaku diri sendiri masyarakat kaum minoritas.
dengan konseli yang berbeda budaya
tanpa menghakimi.

15
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH 
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D

3) Menghargai bilingualisme dan tidak profesional; (b) merujuk kepada


memandang bahasa lain sebagai konselor bilingual yang kompeten
penghambat konseling. ketika keterampilan bahasa tidak
cocok dengan bahasa konseli.
b) Pengetahuan
5) Mengikuti pelatihan dan keahlian
1) Memiliki pengetahuan dan dalam penggunaan asesmen dan
pengalaman yang jelas dan eksplisit instrumen tes tradisional. Konselor
mengenai karakteristik umum tidak hanya memahami aspek teknis
konseling (nilai budaya, ikatan instrumen, tetapi juga menyadari
budaya, ikatan kelas, dan batasan budaya dalam penggunaan
monolingual). instrumen tes.
2) Memiliki pengetahuan mengenai 6) Menyadari konteks sosial politik
potensi polemik dalam menilai dalam melaksanakan evaluasi,
instrumen, menggunakan prosedur, menyediakan intervensi, dan
dan menginterpretasikan penemuan mengembangkan sensitifitas terhadap
yang disesuaikan dengan permasalahan ketidakadilan,
karakteristik pikiran dan bahasa sukuisme, seksisme, dan rasisme.
konseli yang berbeda budaya. 7) Bertanggung jawab dalam mendidik
3) Memiliki pengetahuan tentang konseli pada proses intervensi
struktur, hierarki, nilai, dan psikologis/konseling, seperti tujuan,
kepercayaan keluarga, serta harapan, hak-hak, dan orientasi.
karakteristik masyarakat dan sumber
Berdasarkan pemaparan mengenai
dalam masyarakat seperti yang
batasan definisi dan konstruks kepekaan,
diketahui keluarga.
posisi kepekaan multibudaya bagi konselor
c) Keterampilan dalam praktik layanan konseling merupakan
1) Melibatkan diri dalam beragam suatu kemampuan yang harus dimiliki dan
respon verbal dan nonverbal. Dapat digunakan oleh seorang konselor sebagai
mengirim dan menerima pesan verbal salah satu muara dari identifikasi secara akurat
dan nonverbal secara akurat dan dan intervensi yang tepat terhadap keragaman
sesuai. budaya konseli.
2) Mengantisipasi dan memodifikasi Kepekaan multibudaya dalam layanan
gaya membantu ketika merasa konseling merupakan akses bagi seorang
memiliki keterbatasan dan tidak konselor untuk lebih mengetahui, memahami
sesuai sehingga tidak terikat hanya dan mengerti secara utuh pengalaman budaya
pada satu metode atau pendekatan yang dimiliki oleh konseli sebagai seorang
untuk membantu konseli tetapi individu yang unik. Seorang konselor yang
menyadari bahwa gaya membantu memiliki kepekaan yang tinggi lebih
dan pendekatan dapat terikat oleh memahami dan mengerti terhadap perbedaan
budaya. budaya antara dirinya dan konseli sehingga
3) Mampu untuk tidak menolak mencari diharapkan mampu mengarahkan konseli
konsultasi dengan penyembuh untuk berkembang optimal.
tradisional, pemimpin religius dan
spiritual atau para praktisi perawatan
konseli yang memiliki budaya Simpulan
berbeda.
4) Bertanggung jawab untuk Layanan konseling merupakan layanan
yang memiliki sifat kuratif guna merespon
berinteraksi dalam bahasa yang
konseli dengan permasalahan yang harus
diminta oleh konseli; hal ini
memungkinkan dilakukan referral segera di tangani secara holistik dan optimal.
kepada sumber luar. Jika tidak, Keberlangsungan layanan konseling yang
optimal pada dasarnya bersumber dari dua
konselor harus mampu : (a) mencari
unsur yaitu kualitas diri konselor dan kualitas
penterjemah dengan pengetahuan
budaya dan latar belakang pengetahuan dan pemahaman secara holistik

16
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.

konselor terhadap konseli. Kualitas diri 3. Mampu mengembangkan strategi dan


konselor meliputi unsur psikofisik konselor, intervensi budaya yang tepat culturally
sedangkan kualitas pengetahuan dan appropriate intervention strategie
pemahaman konseli yang meliputi peka,
bersikap empati dan mampu menghormati
keragaman dan perubahan sehingga seorang Ketiga dimensi dasar kepekaan
konselor diharapkan memiliki kemampuan multibudaya tersebut bagi konselor sangat
untuk memahami dan peka atau sensitif perlu dimiliki sebagai pembentuk konselor
terhadap perubahan serta keberagaman yang peka terhadap dinamika budaya konseli
individu. yang unik. Konselor memiliki peran utama dan
signifikan dalam pelaksanaan layanan
Bersikap peka atau sentitif bagi konselor
konseling, salah satu peran konselor sebagai
terutama dalam menyikapi perbedaan budaya
seorang fasilitator konseli dalam
yang disebut dengan culturally sensitive
menyelasaikan segala permasalahannya secara
counselor merupakan salah satu elemen dasar
unik sesuai dengan kemampuan konseli
bagi seorang konselor terutama dalam
sehingga konselor memiliki tugas dan
melaksanakan layanan konseling. Pemaparan
tanggung jawab yang sangat berat.
tersebut mengandung pengertian bahwa
Konsekuensinya peningkatan mutu dan
konselor harus mampu memahami diri sendiri
pembaharuan kompetensi konselor menjadi
serta konseli secara menyeluruh baik secara
suatu aspek yang mutlak terjadi seiring dengan
fisiologis dan psikologis yang merupakan
semakin kompleksnya ruang lingkup
atribut dalam proses konseling. Adanya
permasalahan yang ditangani layanan
pemahaman mendalam mengenai karakteristik
konseling. Dengan semakin luasnya
diri sendiri dan konseli mengarahkan konselor
penyebaran informasi dan luasnya determinasi
untuk mampu mengembangkan pendekatan-
budaya yang menjadikan karakteristik konseli
pendekatan konseling berdasarkan pemahaman
selalu berbeda dari generasi kegenerasi maka
budaya antara konseli dan konselor.
konselor diharuskan memiliki kompetensi
Dengan bersikap peka atau sensitif kepekaan budaya yang harus selalu ter-update
terhadap perbedaan budaya konselor akan agar setiap permasalahan konseli dapat
memiliki pemahaman yang lebih dalam terselesaikan dengan optimal.
terhadap konseli dan akan memberikan
keuntungan yang signifikan atau dapat
dikatakan sebagai entry point keberlangsungan Referensi
proses layanan konseling yang lebih efektif
ABKIN. (2007). Rambu-rambu
dan optimal. Dikatakan layanan konseling
Penyelenggaran Bimbingan dan
lebih efektif dan optimal karena dengan
Konseling dalam Jalur Pendidikan
bersikap peka maka akan dengan mudah
Formal. Bandung.
mengakses dinamika ekspresi budaya serta
tabiat dan atau kebiasaan konseli yang unik Arredondo. (1999). Multicultural Counseling
serta diprediksi akan memunculkan jaminan Competencies as Tools to Address
rasa aman dan nyaman bagi konseli sehingga Oppression and Racism. Journal of
konseli akan merasa lebih percaya diri Counseling & Development, Vol. 78,
manakala berkonsultasi. winter 1999, pp 103-105.
Kepekaan multibudaya bagi konselor Baruth, Leroy G. & Manning, M. Lee. (2007).
terbangun berdasarkan tiga dimensi dasar Multicultural Counseling and
diantaranya Psychotherapy; A Lifespan Approach.
New Jersey: Pearson.
1. Kesadaran konselor mengenai nilai budaya
sendiri beserta bias budaya sendiri Chung, Rita Chi-Ying. (2005). Women,
(awareness of own cultural values and Human Rights, and Counseling:
biases) Crossing International Boundaries.
Journal of Counseling & Development,
2. Memahami pandangan hidup konseli yang
Vol. 83, No. 1, Summer 2005, pp. 262–
berbeda budayanya (awareness of client’s
268.
world view)

17
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH 
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D

Fawcet, Mary L. & Evans, Kathy M. (2013). (1981). Counseling Across Cultures.
Experiential Approach for Developing USA: The East-West Center by The
Multicultural Counseling Competence. University Press of Hawaii.
USA: SAGE.
Sue, D. W. & Sue, D. (2003). Counseling the
Culturally Diverse;Theory and
Practice. USA: John Wiley & Sons,
Hackney, Harold L. & Cormier, Sherry.
Inc.
(2009). The Professional Counselor; A
Process Guide to Helping. New Jersey: Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling.
Pearson. Bandung: C. V. Pustaka Bani Quraisy.
Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010).
Developing Multicultural Counseling
Competence: A Systems Approach.
New Jersey: Pearson.
Hojat, Mohammadreza .(2007). Empathy in
Patient Care; Antecedents,
Development, Measurement, and
Outcomes. New York: Springer.
Ibrahim, Farah A. & Heuer, Jianna R. (2016).
Cultural and Social Justice Counseling
Client-Specific Interventions.
Switzerland: Springer.
Ivey, Allen E. & Auther, Jerry. (1978). Micro
Counseling; Innovations in
Interviewing, Counseling,
Psychotherapy, and Psychoeducation:
Second Edition. USA: Charles C
Thomas Publisher.
Leong, Frederick & Kim, Helen H.W. (1991).
Going Beyond Cultural Sensitivity on
the Road to Multiculturalism: Using the
Intercultural Sensitizer as a Counselor
Training Tool. Journal of Counseling
& Development, Vol. 70,
September/Oktober, pp. 112–118.
Nugraha, Agung. (2012). Program
Experiential Based Group Counseling
Untuk Meningkatkan Kepekaan
Multibudaya Calon Konselor
(Penelitian Pra Eksperimen di Jurusan
PPB FIP UPI Tahun Akademik
2011/2012). Tesis. Bandung: SPs UPI
(tidak diterbitkan).Pedersen, Paul B.,
Crether & Carlson. (2008). Inclusive
Cultural Empathy; Making
Relationships Central in Counseling
and Psychotherapy. Washington D.C:
APA.
Pedersen, Paul B., Draguns, Juris G., Lonner,
Walter J., and Trimble, Joseph E..

18

S-ar putea să vă placă și