Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Oleh:
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Aspek Hukum Ekonomi dengan judul
“Hukum Asuransi Syariah dan Konvensional”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam beberapa dekade belakangan ini, kajian tentang hukum Islam rupanya
masih menjadi “primadona” dan menarik untuk selalu disimak di kalangan umat Islam,
bahkan juga oleh dunia yang mempunyai perhatian terhadap Islam. Adanya hembusan
era modernisasi dan globalisasi yang melanda segala penjuru dunia dengan segala aspek
kehidupan manusia, tak terkecuali juga aspek muamalah, telah mendorong lahirnya
perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa modern. Dewasa ini ada beberapa
perubahan besar yang menandai perkembangan hukum Islam dan masyarakat muslim.
Diantara perubahan itu adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dari urusan
ibadah kepada urusan muamalah.
Setiap orang dalam kehidupannya selalu dihadapi dengan suatu hal
ketidakpastian atas risiko yang mungkin akan terjadi, terjadinya risiko dapat
menimbulkan kerugian yang dapat secara langsung berkaitan dengan uang, maupun
kerugian yang tidak secara langsung berkaitan dengan uang, yang dimaksud adalah
kehilangan nilai ekonomi tertentu terhadap sesuatu yang tidak dapat dihitung secara
pasti nilai uangnya yakni berkaitan dengan jiwa seseorang, karena jiwa seseorang tidak
dapat digantikan dengan sejumlah uang secara pasti.
Adanya risiko yang dihadapi oleh setiap orang tersebut salah satu solusi yang
dapat membantu mengatasinya adalah dengan membagi dan mengalihkan risiko kepada
pihak lain, yakni pada suatu usaha yang bergerak dalam penanganan risiko yang dikenal
dengan istilah “asuransi”. Pengelolalan atas risiko yang dihadapi ini tentunya sangat
bergantung pada pengetahuan seseorang, apakah orang tersebut dapat mengukur segala
kemungkinan yang dapat terjadi sampai batas tertentu, antara lain dengan cara: a)
Mengadakan identifikasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, b) Mencari peluang
atau alternatif lain cara mengatasi risiko yang mungkin timbul berdasarkan identifikasi
yang telah diadakan (Hartono, 1997).
Berkaitan dengan risiko, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa akan
dihadapi oleh siapapun, dan dalam keadaan tak tentu (tidak pasti) mungkin akan terjadi
suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian, termasuk dalam hal yang berkaitan
dengan hubungan antar negara, hubungan internasional, yang saat ini merupakan era
keterbukaan antar bangsa, karena semua negara menyadari bahwa kebutuhan akan
negara maupun masyarakatnya mungkin saja tidak dapat dipenuhi oleh negara masing-
masing, oleh karenanya memerlukan negara lain untuk membantu dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut secara timbal balik.
Mencermati rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014
tentang Perasuransian (selanjutnya ditulis singkat Undang-Undang Perasuransian)
sebagai undang-undang yang mengatur tentang asuransi yang baru di Indonesia, banyak
sekali perubahan di dalam penyelenggaraan usaha perasuransian dibandingkan dengan
ketentuan Undang-Undang Perasuransian (yang lama). Di lihat dari jumlah pasal terjadi
tambahan yang begitu jauh meningkat yakni dari 28 (dua puluh delapan) pasal
bertambah menjadi 92 (sembilan puluh dua) pasal pada ketentuan yang baru.
Pengaturan dalam undang-undang ini juga suatu upaya dalam peningkatan
peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional, juga untuk
menyesuaikan adanya keterkaitan dengan lembaga pengawasan di bidang keuangan
sebagaimana diselenggarakan oleh otoritas jasa keuangan (OJK) sebagaimana
diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), termasuk asuransi ada dalam peraturan tersebut, sebagai lembaga jasa
keuangan diatur dalam Pasal 1 Angka (4) : Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga
yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga jasa keuangan lainnya, dan beberapa
pasal lainya yang juga mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan asuransi, hal ini
menunjukkan begitu lemahnya undang-undang perasuransian di indonesia sehingga
beberapa ketentuan harus diatur dalam undang-undang lainnya termasuk dalam
Undang-Undang Tentang OJK. OJK sebagai lembaga yang diberikan pengawasan
keuangan dalam suatu kegiatan usaha termasuk asuransi. Kehadiran Undang-Undang
Perasuransian yang baru juga telah mengakomodir keberadaan perusahaan asuransi
yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah, hal ini tidak diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Perasuransian terdahulu, juga sebagai upaya antisipasi lingkungan
perdagangan yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap
praktik terbaik di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan dan
pengawasan industri perasuransian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka kami merumuskan masalah
sebagai berikut:
3. Ijtihad
- Fatwa sahabat pada masa khalifah umar bin khatab dikenal adanya
pembayaran diwan untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas
pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang diantara
mereka.
- Ijma’: Ijma’ tentang ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang
dilakukan khalifah umar tidak dipertentangkan oleh sahabat lain.
Dengan tidak dipertentangkan maka dianggap telah terjadi ijma’.
- Qiyas: kesiapan pembayaran kontribusi keuangan dalam aqilah kesiapan
pembayaran kontribusi keuangan dalam aqilah sama prinsipnya dengan
asuransi syariah.
- Istihsan: kebiasaan aqilah pada suku arab kuno bertentangan dengan
hukum namun dilakukan untuk mencapai keadilan dan kepentingan
sosial, yaitu menghindari balas dendam berdarah yang berkelanjutan.
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
- Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis, yaitu dengan akad takaful.
Dalam asuransi konvensional menjadi gharar karena sudah tahu berapa yang akan
diterima tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (premi).
- Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar‟i penerima uang klaim itu sendiri.
Pembayaran pada takaful dibagi menjadi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan
rekening khusus peserta yang diniatkan dengan tabarru’.
2. Menghindari maisir (gambling) Jika peserta tidak mengalami musibah maka ia tetap
berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana
tabarru’.
3. Menghindari unsur riba dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip
bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.
1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh
Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan
ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat
juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima
tanggungan;
4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk
diadakan perjanjian asuransi;
5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk
melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
3. Berlakunya Asuransi
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya
asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya
dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara
(cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-
undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis
asuransi (Pasal 255 KUHD).
4. Polis Asuransi
Fungsi Polis
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara
tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-
syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan
kewajiban para pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan
asuransi. Dengan demikian, polismerupakan alat bukti tertulis tentang telah
terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya
Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak
mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi
sehingga dapat menimbulkan perselisihan (dispute).
Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi
jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b. Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d. Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e. Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f. Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g. Premi asuransi;
h. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala
janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain
mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang
menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau
pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam
polisnya harus pula menyebutkan:
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu
diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
5.Jenis Asuransi
Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi
Kerugian dan Asuransi Jiwa.
6. Batalnya Asuransi
1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan
kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut
(Pasal 251 KUHD);
2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi
ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui pengadilan
membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal
272 KUHD);
4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal
282 KUHD);
5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak
boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing
yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan
perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
7.Sanksi
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung
dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan
pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
1. Perizinan usaha;
2. Kesehatan keuangan;
3. Penyelenggaraan usaha;
4. Penyampaian laporan;
5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan
izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal
21 UU Asuransi, berikut ini:
1. Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan
badan hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum. Sehubungan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat atas produk
asuransi, yang diikuti dengan peningkatan pemasaran produk asuransi melalui aktivitas
kerjasama pemasaran antara perusahaan asuransi dengan Bank (bancassurance), dan
dengan melihat perkembangan yang terjadi, maka diperlukan beberapa penyesuaian
terkait pengaturan mengenai bancassurance.
Hal ini diperlukan mengingat selain bermanfaat, bancassurance juga berpotensi
menimbulkan berbagai Risiko bagi Bank, terutama Risiko Hukum dan Risiko Reputasi.
Untuk itu, dalam rangka mendukung perkembangan pasar keuangan, meningkatkan
penerapan Manajemen Risiko oleh Bank, melindungi kepentingan nasabah Bank, dan
sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal - hal yang terkait
dengan pemasaran produk asuransi melalui kerjasama dengan Bank (bancassurance),
serta sebagai pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), dipandang
perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai penerapan Manajemen Risiko pada
Bank yang melakukan aktivitas kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi
(bancassurance) dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan badan
hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan
dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat atas produk asuransi, yang
diikuti dengan peningkatan pemasaran produk asuransi melalui aktivitas kerjasama
pemasaran antara perusahaan asuransi dengan Bank (bancassurance), dan dengan
melihat perkembangan yang terjadi, maka diperlukan beberapa penyesuaian terkait
pengaturan mengenai bancassurance.
Hal ini diperlukan mengingat selain bermanfaat, bancassurance juga berpotensi
menimbulkan berbagai Risiko bagi Bank, terutama Risiko Hukum dan Risiko Reputasi.
Untuk itu, dalam rangka mendukung perkembangan pasar keuangan, meningkatkan
penerapan Manajemen Risiko oleh Bank, melindungi kepentingan nasabah Bank, dan
sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal - hal yang terkait
dengan pemasaran produk asuransi melalui kerjasama dengan Bank (bancassurance),
serta sebagai pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), dipandang
perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai penerapan Manajemen Risiko pada
Bank yang melakukan aktivitas kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi
(bancassurance) dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.
3. Fatwa DSN MUI
Pada saat ini Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Binis Syariah dan Lembaga
Perekonomian Syariah di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Untuk
mendukung perkembangan tersebut diperlukan dukungan para pihak terkait guna
memberikan pembinaan, pengawasan dan arahan yang memungkinkan pengembangan
lembaga-lembaga tersebut berjalan dengan sehat dan berkelanjutan.
Salah satu bentuk dukungan yang diberikan Majelis Ulama Indonesia adalah
dibetuknya Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada
tanggal 10 Februari 1999. DSN-MUI dibentuk untuk melaksanakan tugas MUI dalam
menetapkan fatwa dan mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha
bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah di Indonesia.
Dijelaskan dalam fatwa dewan syariah nasional tentang Pedoman asuransi syariah
bahwa
menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya resiko
dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana
tertentu sejak dini melalui asuransi.
Setidaknya butuh enam bulan bagi OJK untuk bisa menyelesaikan kisruh yang
ada di AJB Bumiputera. Dalam tempo waktu tersebut, OJK harus membentuk
manajemen baru di AJB Bumiputera. OJK bekerjasama dengan Badan Perwakilan
Anggota (BPA) berencana mengganti pengelola statuter AJB Bumiputera 1912 dengan
direksi yang baru.
Pimpinan barunya ini antara lain Sutikno Sjarif ditunjuk sebagai direktur utama, Yusuf
Budi Baik menjadi direktur bisnis dan pemasaran dan Sri Rahayu menjabat sebagai
direktur teknik. Ketiganya merupakan alumni dari Asuransi Zurich Life. Selain itu ada
Dena Chaerudin, yang ditunjuk sebagai direktur sumber daya manusia. Selain itu,
Achmad Jazidie ditunjuk sebagai komisaris utama AJB Bumiputera 1912.
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyatakan AJB Bumiputera 1912 harus
melakukan penjualan aset untuk membayar kewajiban membayar
klaim nasabah yang jatuh tempo. Direktur Utama AJB Bumiputera Sutikno Widodo
Sjarif mengatakan manajemen baru sedang melakukan proses due diligence yang
menyeluruh dan komprehensif, termasuk mendata seluruh aset yang dimilikinya.
Untuk periode Januari hingga pertengahan Oktober 2018 ini perusahaan sudah
membayarkan klaim sebanyak Rp 3,3 triliun. Namun, isu yang beredar AJB
Bumiputera siap menjual aset demi membayar klaim nasabah. (source:
www.cnbcindonesia.com )
b. Penyelesaian Kasus
https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dsar-dasar-hukum-asuransi/
https://hukumasuransi2014.wordpress.com/2014/12/30/iii-dasar-hukum-regulasi-terkait-
asuransi/
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/asuransi/regulasi-asuransi-
syariah/default.aspx
http://sbwicaksono.blogspot.com/2012/03/aspek-hukum-perbankan-dan-asuransi.html
https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/asuransi/peraturan-pemerintah/Default.aspx
https://finansial.bisnis.com/read/20160906/232/581771/pt-asuransi-syariah-
mubarakah-pailit-begini-nasib-pemegang-polis
https://keuangan.kontan.co.id/news/apa-kabar-ajb-bumiputera-ini-keterangan-ojk
https://www.cnbcindonesia.com/investment/20181225095113-21-47838/belum-
selesai-kasus-ajb-bumiputera-kini-asuransi-jiwasraya
DAFTAR PUSTAKA