Sunteți pe pagina 1din 26

MAKALAH

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

Hukum Asuransi Syariah dan Konvensional


Dosen Pengampu : Nur Hidayah, M.A., Ph.D.

Oleh:

Aulia Ul Azry (11180820000004)


Farah Fatihah Husni (11180820000021)
Pebriani Saputri (11180820000022)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS (AKUNTANSI 2A)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Aspek Hukum Ekonomi dengan judul
“Hukum Asuransi Syariah dan Konvensional”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Tangerang Selatan, Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan

BAB II Pembahasan

2.1 Aspek Hukum Regulasi Asuransi Syariah

2.2 Aspek Hukum Regulasi Asuransi Konvensional

2.3 Lembaga Regulator

2.4 Budaya Hukum Masyarakat Indonesia

2.5 Contoh Kasus Sengketa Hukum Asuransi

BAB III Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam beberapa dekade belakangan ini, kajian tentang hukum Islam rupanya
masih menjadi “primadona” dan menarik untuk selalu disimak di kalangan umat Islam,
bahkan juga oleh dunia yang mempunyai perhatian terhadap Islam. Adanya hembusan
era modernisasi dan globalisasi yang melanda segala penjuru dunia dengan segala aspek
kehidupan manusia, tak terkecuali juga aspek muamalah, telah mendorong lahirnya
perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa modern. Dewasa ini ada beberapa
perubahan besar yang menandai perkembangan hukum Islam dan masyarakat muslim.
Diantara perubahan itu adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dari urusan
ibadah kepada urusan muamalah.
Setiap orang dalam kehidupannya selalu dihadapi dengan suatu hal
ketidakpastian atas risiko yang mungkin akan terjadi, terjadinya risiko dapat
menimbulkan kerugian yang dapat secara langsung berkaitan dengan uang, maupun
kerugian yang tidak secara langsung berkaitan dengan uang, yang dimaksud adalah
kehilangan nilai ekonomi tertentu terhadap sesuatu yang tidak dapat dihitung secara
pasti nilai uangnya yakni berkaitan dengan jiwa seseorang, karena jiwa seseorang tidak
dapat digantikan dengan sejumlah uang secara pasti.
Adanya risiko yang dihadapi oleh setiap orang tersebut salah satu solusi yang
dapat membantu mengatasinya adalah dengan membagi dan mengalihkan risiko kepada
pihak lain, yakni pada suatu usaha yang bergerak dalam penanganan risiko yang dikenal
dengan istilah “asuransi”. Pengelolalan atas risiko yang dihadapi ini tentunya sangat
bergantung pada pengetahuan seseorang, apakah orang tersebut dapat mengukur segala
kemungkinan yang dapat terjadi sampai batas tertentu, antara lain dengan cara: a)
Mengadakan identifikasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, b) Mencari peluang
atau alternatif lain cara mengatasi risiko yang mungkin timbul berdasarkan identifikasi
yang telah diadakan (Hartono, 1997).
Berkaitan dengan risiko, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa akan
dihadapi oleh siapapun, dan dalam keadaan tak tentu (tidak pasti) mungkin akan terjadi
suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian, termasuk dalam hal yang berkaitan
dengan hubungan antar negara, hubungan internasional, yang saat ini merupakan era
keterbukaan antar bangsa, karena semua negara menyadari bahwa kebutuhan akan
negara maupun masyarakatnya mungkin saja tidak dapat dipenuhi oleh negara masing-
masing, oleh karenanya memerlukan negara lain untuk membantu dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut secara timbal balik.
Mencermati rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014
tentang Perasuransian (selanjutnya ditulis singkat Undang-Undang Perasuransian)
sebagai undang-undang yang mengatur tentang asuransi yang baru di Indonesia, banyak
sekali perubahan di dalam penyelenggaraan usaha perasuransian dibandingkan dengan
ketentuan Undang-Undang Perasuransian (yang lama). Di lihat dari jumlah pasal terjadi
tambahan yang begitu jauh meningkat yakni dari 28 (dua puluh delapan) pasal
bertambah menjadi 92 (sembilan puluh dua) pasal pada ketentuan yang baru.
Pengaturan dalam undang-undang ini juga suatu upaya dalam peningkatan
peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional, juga untuk
menyesuaikan adanya keterkaitan dengan lembaga pengawasan di bidang keuangan
sebagaimana diselenggarakan oleh otoritas jasa keuangan (OJK) sebagaimana
diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), termasuk asuransi ada dalam peraturan tersebut, sebagai lembaga jasa
keuangan diatur dalam Pasal 1 Angka (4) : Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga
yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga jasa keuangan lainnya, dan beberapa
pasal lainya yang juga mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan asuransi, hal ini
menunjukkan begitu lemahnya undang-undang perasuransian di indonesia sehingga
beberapa ketentuan harus diatur dalam undang-undang lainnya termasuk dalam
Undang-Undang Tentang OJK. OJK sebagai lembaga yang diberikan pengawasan
keuangan dalam suatu kegiatan usaha termasuk asuransi. Kehadiran Undang-Undang
Perasuransian yang baru juga telah mengakomodir keberadaan perusahaan asuransi
yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah, hal ini tidak diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Perasuransian terdahulu, juga sebagai upaya antisipasi lingkungan
perdagangan yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap
praktik terbaik di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan dan
pengawasan industri perasuransian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka kami merumuskan masalah
sebagai berikut:

a. Apa yang dimaksud dengan Aspek Hukum Regulasi Asuransi Syariah?


b. Apa yang dimaksud dengan Aspek Hukum Regulasi Asuransi Konvensional?
c. Bagaimana regulasi dari lembaga regulator terkait asuransi?
d. Bagaimana budaya masyarakat Indonesia terkait pelaksanaan asuransi?
e. Bagaimana contoh kasus dan penyelesaian sengketa hukum perbankan?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui segala aspek
hukum regulasi terkait asuransi, baik asuransi syariah maupun asuransi konvensional.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek Hukum Regulasi Asuransi Syariah

1. Pengertian Asuransi Syariah

 Menurut Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001


Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
 Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa
Suatu cara untuk memlihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman)
bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan
hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.
 Menurut Moh. Ma’sum Billah
“Mutual guarantee provided by a group of people living in the same society
against a defained risk or castarophe befailing one’s life, property or any form of
valuable things”.
 Menurut Muhammad Syakir Sula
Saling memikul risiko diantara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang
lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lainnya.
 Menurut Wahbah az-Zuhaili
o At-ta’min at-ta’awuni (asuransi tolong menolong), “kesepakatan sejumlah
orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang
diantara mereka mendapatkan kemudaratan.
o At-ta’min bi qist sabit (asuransi dengan pembagian tetap), “ akad yang
mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang
terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta
asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi”.

2. Falsafah Asuransi Syariah

 Falsafah Asuransi Syariah


Falsafah asuransi syariah adalah penghayatan terhadap semangat saling
bertanggungjawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat, demi tercapainya kesejahteraan umat dan mayarakat pada umumnya.
 Prisnip-Prinsip Asuransi Islam
1. Saling bertanggung jawab
2. Saling bekerja sama untuk membantu
3. Saling melindungi dari segala kesusahan
3. Landasan Hukum Asuransi Syariah
a) Landasan Hukum Islam
1. Al-Qur’an
- Mempersiapkan masa depan: Al Hasyr: 18 dan Yusuf: 47- 49
- Saling menolong dan bekerja sama: Al Maidah: 2 dan Al Baqarah: 185
- Saling melindungi dalam keadaan susah: Al Quraisy: 4 dan Al Baqarah:
126
- Bertawakal dan optimis berusaha: Al Taghaabun:11 dan Lukman: 34
- Penghargaan Allah terhadap perbuatan mulia yang dilakukan manusia:
Al Baqarah:261

2. Sunnah Nabi Muhammad SAW


- Hadits tentang Aqilah (prinsip saling menanggung)
- Hadits tentang menghilangkan kesulitan seseorang
- Hadits tentang anjuran meninggalkan ahli waris yang kaya (dengan cara
mempersiapkan sejak dini)
- Hadits tentang mengurus anak yatim
- Hadits tentang menghindari resiko (harus selalu bersikap waspada
terlebih dahulu sebelum pada akhirnya bersikap tawakal)
- Hadits tentang piagam madinah (keharusan membayar tebusan tawanan
dan uang darah pada aqiilah)

3. Ijtihad
- Fatwa sahabat pada masa khalifah umar bin khatab dikenal adanya
pembayaran diwan untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas
pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang diantara
mereka.
- Ijma’: Ijma’ tentang ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang
dilakukan khalifah umar tidak dipertentangkan oleh sahabat lain.
Dengan tidak dipertentangkan maka dianggap telah terjadi ijma’.
- Qiyas: kesiapan pembayaran kontribusi keuangan dalam aqilah kesiapan
pembayaran kontribusi keuangan dalam aqilah sama prinsipnya dengan
asuransi syariah.
- Istihsan: kebiasaan aqilah pada suku arab kuno bertentangan dengan
hukum namun dilakukan untuk mencapai keadilan dan kepentingan
sosial, yaitu menghindari balas dendam berdarah yang berkelanjutan.

4. Pendapat Ulama tentang Asuransi


Pendapat yang mengharamkan:
- Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang didalam Islam
- Asuransi mengandung unsur ketidakpastian
- Asuransi mengandung unsur riba
- Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak secara
tunai
- Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang
(mendahului takdir Allah)
Pendapat yang membolehkan:
- Tidak terdapat nash Al-Quran atau hadist yang melarang asuransi
- Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah
pihak
- Asuransi menguntungkan kedua pihak
- Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul
dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan
- Asuransi termasuk akad mudharobah antara pemegang polis dengan
perusahaan asuransi
- Asuransi termasuk syirkah at-ta’awuniyah(usaha bersama yang
didasarkan pada prinsip tolong-menolong

Pendapat Ulama tentang Asuransi


- Dari kontroversi tersebut dilakukan alternatif,yaitu dengan
membentuk asuransi berdasarkan prinsip syariah,yaitu asuransi
takaful
- Indonesia telah melakukan asuransi takaful sejak tahun 1994

5. Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi

a. Fatwa No 21 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah


b. Fatwa No 39 tentang Asuransi Haji
c. Fatwa no 51 tentang Mudharobah Musyarakah pada Asuransi Syari’ah
d. Fatwa No 52 tentang akad Wakalah bil- Ujrah pada Asuransi dan
Reasuransi Syari’ah
e. Fatwa No 53 tentang Akad Tbarru’pada Asuransi dan Reasuransi
Syari’ah

6. Landasan Hukum Positif

Peraturan Perundang-undangan Asuransi

1. Undang- undang N0.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian


2. Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 1992 Tentang penyelenggaraan Usaha
Perasuransian,sebagaimana telah dirubah dengan peratuturan pemerintah
No 63 Tahun1992
3. Keputusan Mentri Keuangan N0: 421/KMK.06/2003 Tanggal 30
September 2003 Tentang penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
direksi dan komisaris perusahaan perasuransian;
4. Keputusan Mentri keuangan No;422/KMK.06/2003 Tanggal 30
September 2003 tentang penyelenggaraan Usaha perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi:
5. Keputusan Mentri Keuangan N 0: 423/KMK.06/2003 Tanggal 30
September 2003 Tentang pemeriksaan perusahaan perasuransian
6. Keputusan Mentri Keuangan N0: 421/KMK.06/2003 Tanggal 30
September 2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi
7. Keputusan Mentri Keuangan N0: 421/KMK.06/2003 Tanggal 30
September 2003 Tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi

Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2003 yang berkenan dengan


Penyelengaraan Usaha asuransi dengan prinsip Syari’ah

1. Keputusan Menteri Keuanagan Nomor: 422/KMK.06/2003 tanggal 30 September


2003 tentang penyelengaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor:422/KMK.O6/2003 TANGGAL 30
September 2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor:422/KMK.06/2003 tanggal 30 September
2003 tentang Perizinan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

4. Pelaksanaan Asuransi Syariah


FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001
TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum

1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan),
maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan
maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: Akad dalam Asuransi

1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib


(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak
sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan
haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba
dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi
yang berlandaskan prinsip syari'ah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang
terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad
tabarru’ (hibah).
5. Prinsip Operasional Asuransi Syariah
1. Menghindari gharar:

- Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis, yaitu dengan akad takaful.
Dalam asuransi konvensional menjadi gharar karena sudah tahu berapa yang akan
diterima tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (premi).
- Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar‟i penerima uang klaim itu sendiri.
Pembayaran pada takaful dibagi menjadi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan
rekening khusus peserta yang diniatkan dengan tabarru’.
2. Menghindari maisir (gambling) Jika peserta tidak mengalami musibah maka ia tetap
berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana
tabarru’.
3. Menghindari unsur riba dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip
bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.

2.2 Aspek Hukum Regulasi Asuransi Konvensional


1. Pengertian dan Unsur Asuransi
Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD, Asuransi atau Pertanggungan adalah
Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya
akibat dari suatu evenemen(peristiwa tidak pasti).
Menurut Ketentuan Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari
1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk
perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-
untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-
overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik
bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian
yang belum tentu”.

Beberapa hal penting mengenai asuransi:

1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh
Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan
ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat
juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima
tanggungan;
4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk
diadakan perjanjian asuransi;
5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk
melaksanakan kewajibannya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:

1. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);


2. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
3. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
4. Tujuan yang ingin dicapai;
5. Resiko dan premi;
6. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
7. Syarat-syarat yang berlaku;
8. Polis asuransi.
2. Tujuan Asuransi
a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang
mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada
perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.

b. Pembayaran Ganti Kerugian


Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan
ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya
kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa
kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi
bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh
diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip
subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per) dimana penggantian hak si berpiutang
(tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) – yang
membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) – terjadi baik karena persetujuan
maupun karena undang-undang.

3. Berlakunya Asuransi

Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya
asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya
dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara
(cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-
undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis
asuransi (Pasal 255 KUHD).

4. Polis Asuransi
 Fungsi Polis
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara
tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-
syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan
kewajiban para pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan
asuransi. Dengan demikian, polismerupakan alat bukti tertulis tentang telah
terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya
Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak
mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi
sehingga dapat menimbulkan perselisihan (dispute).
 Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi
jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b. Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d. Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e. Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f. Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g. Premi asuransi;
h. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala
janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain
mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang
menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau
pemegang hak.

Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam
polisnya harus pula menyebutkan:

1. Letak barang tetap serta batas-batasnya;


2. Pemakaiannya;
3. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap
obyek pertanggungan;
4. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
5. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang
bergerak yang dipertanggungkan itu berada.

Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu
diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:

1. Bencana yang ditutup;


2. Yang ditutup;
3. Kerugian yang ditutup;
4. Orang-orang yang ditutup;
5. Lokasi-lokasi yang ditutup;
6. Jangka waktu yang ditutup;
7. Bahaya-bahaya yang dikecualikan.

 Jenis Klausula Asuransi


Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan
secara tegas dalam polis, yang lazim disebut Klausula asuransi yang maksudnya untuk
mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian
apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut
ditentukan oleh sifat objek asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi.
Klausula-klausula yang dimaksud antara lain:

a. Klausula Premier Risque


Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda
terjadi kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai
maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa
digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.

b. Klausula All Risk


Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda
yang diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang
timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan
tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249
KUHD).

c.Klausula Total Loss Only (TLO)


Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian
yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
d. Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa
penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian
bangunan yang diasuransikan.

e. Klausula Renunsiasi (Renunciation)


Menurut Klausula penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan
alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus
diberlakuan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. berarti apabila
timbul kerugian akibat evenemen tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda
objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal
251 KUHD dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.

f.Klausula Free Particular Average (FPA)


Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang
timbul akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam
pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian
yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus
yang sudah dibebaskan klausula FPA.

g. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)


Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12
orang, yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana
gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta
pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh
sekelompok pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam
hal jumlah seluruh pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana
biasanya dalam usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau
dalam melakukan protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan
oleh majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah
besar massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan
suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan
menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda,
sedemikian rupa sehingga timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya
lebih dari separuh kegiatan normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau
sekolah atau transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus
menerus yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
 Hal yang harus diperhatikan:
Banker’s Clause atau Klausula Bank adalah suatu klausula yang tercantum
dalam Polis yang hanya dicantumkan atas permintaan pihak Bank dimana dalam polis
secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi atas
peristiwa yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam
perjanjian asuransi (polis).
Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang piutang antara Debitur
dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank; sehingga
klausula ini bukan merupakan standard yang pada umumnya tercantum dalam Polis.

5.Jenis Asuransi

Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi
Kerugian dan Asuransi Jiwa.

1. Asuransi Kerugian terdiri dari:


a. Asuransi Kebakaran;
b. Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
c. Asuransi laut;
d. Asuransi Pengangkutan;
e. Asuransi Kredit.

2. Asuransi Jiwa terdiri dari


a. Asuransi Kecelakaan;
b. Asuransi Kesehatan;
c. Asuransi Jiwa Kredit.

6. Batalnya Asuransi

Suatu pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan


suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan
apabila tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:

1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan
kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut
(Pasal 251 KUHD);
2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi
ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui pengadilan
membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal
272 KUHD);
4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal
282 KUHD);
5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak
boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing
yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan
perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
7.Sanksi
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung
dapat dikenakan sanksi berupa:

1.Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada


tertanggung); dan
2.Sanksi Pidana.

1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan
pelaksanaannya yang berkenaan dengan:

1. Perizinan usaha;
2. Kesehatan keuangan;
3. Penyelenggaraan usaha;
4. Penyampaian laporan;
5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan
izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).

Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:

1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan


keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan
neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan,
dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan;
2. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).

2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal
21 UU Asuransi, berikut ini:

a. Terhadap pelaku utama


Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa
izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).

b. Terhadap pelaku pembantu


Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal
kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang
diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).

c. Terhadap pemalsu dokumen


Orang yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan
atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda
paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).

2.3 Lembaga Regulator

1. Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan
badan hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum. Sehubungan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat atas produk
asuransi, yang diikuti dengan peningkatan pemasaran produk asuransi melalui aktivitas
kerjasama pemasaran antara perusahaan asuransi dengan Bank (bancassurance), dan
dengan melihat perkembangan yang terjadi, maka diperlukan beberapa penyesuaian
terkait pengaturan mengenai bancassurance.
Hal ini diperlukan mengingat selain bermanfaat, bancassurance juga berpotensi
menimbulkan berbagai Risiko bagi Bank, terutama Risiko Hukum dan Risiko Reputasi.
Untuk itu, dalam rangka mendukung perkembangan pasar keuangan, meningkatkan
penerapan Manajemen Risiko oleh Bank, melindungi kepentingan nasabah Bank, dan
sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal - hal yang terkait
dengan pemasaran produk asuransi melalui kerjasama dengan Bank (bancassurance),
serta sebagai pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), dipandang
perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai penerapan Manajemen Risiko pada
Bank yang melakukan aktivitas kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi
(bancassurance) dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan badan
hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan
dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat atas produk asuransi, yang
diikuti dengan peningkatan pemasaran produk asuransi melalui aktivitas kerjasama
pemasaran antara perusahaan asuransi dengan Bank (bancassurance), dan dengan
melihat perkembangan yang terjadi, maka diperlukan beberapa penyesuaian terkait
pengaturan mengenai bancassurance.
Hal ini diperlukan mengingat selain bermanfaat, bancassurance juga berpotensi
menimbulkan berbagai Risiko bagi Bank, terutama Risiko Hukum dan Risiko Reputasi.
Untuk itu, dalam rangka mendukung perkembangan pasar keuangan, meningkatkan
penerapan Manajemen Risiko oleh Bank, melindungi kepentingan nasabah Bank, dan
sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal - hal yang terkait
dengan pemasaran produk asuransi melalui kerjasama dengan Bank (bancassurance),
serta sebagai pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), dipandang
perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai penerapan Manajemen Risiko pada
Bank yang melakukan aktivitas kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi
(bancassurance) dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.
3. Fatwa DSN MUI
Pada saat ini Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Binis Syariah dan Lembaga
Perekonomian Syariah di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Untuk
mendukung perkembangan tersebut diperlukan dukungan para pihak terkait guna
memberikan pembinaan, pengawasan dan arahan yang memungkinkan pengembangan
lembaga-lembaga tersebut berjalan dengan sehat dan berkelanjutan.

Salah satu bentuk dukungan yang diberikan Majelis Ulama Indonesia adalah
dibetuknya Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada
tanggal 10 Februari 1999. DSN-MUI dibentuk untuk melaksanakan tugas MUI dalam
menetapkan fatwa dan mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha
bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah di Indonesia.
Dijelaskan dalam fatwa dewan syariah nasional tentang Pedoman asuransi syariah
bahwa
menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya resiko
dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana
tertentu sejak dini melalui asuransi.

2.4 Budaya Masyarakat Indonesia


Praktik asuransi dalam budaya masyarakat Indonesia secara non formal
sebenarnya sudah sering dilakukan. Hal itu bisa kita lihat, misalnya pada waktu salah
satu anggota masyarakat mengalami kematian, maka anggota masyarakat yang lain
akan memberikan bantuan berupa sumbangan kematian. Sumbangan kematian ini
biasanya ditarik secara rutin dari semua anggota masyarakat dan dikordinir oleh yang
ditunjuk. Setiap ada kematian, maka akan diberikan sumbangan itu sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat secara bersama. Masih banyak praktik asuransi yang lain
yang terjadi dalam masyarakat, diantaranya sumbangan hajatan dan sumbangan lainnya
yang lebih bersifat sosial.
Praktik-praktik asuransi non formal tersebut, sudah lama dipraktekkan oleh
masyarakat Indonesia dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Masyarakat menyadari
bahwa sumbangan kematian dan sumbangan lainnya mempunyai manfaat yang besar
untuk membantu meringankan beban seseorang yang sedang kena musibah atau
mempunyai hajatan. Oleh karenanya praktek asuransi non formal tersebut secara
mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya adalah bagaimana sikap masyarakat terhadap praktik asuransi
formal atau yang sudah dilembagakan? Masyarakat Indonesia ternyata masih belum
memanfaatkan keberadaan perusahaan asuransi sebagai sarana melindungi diri dan
keluarga serta harta benda dari kejadian-kejadian yang tak terduga. Masyarakat masih
sangat awam dengan asuransi dan belum banyak mengenal jenis-jenis produksi asuransi
yang tersedia. Belum lagi, ditambah dengan pemahaman sebagain besar umat Islam
Indoesia yang merupakan mayoritas pemeluk agama di Indonesia yang setengah-
setengah atau tanggung tentang hukum asuransi dalam pandangan ajaran Islam. Hal itu
lebih didasarkan pada opini umum umat Islam Indonesia dan ulamanya bahwasanya
hukum asuransi adalah haram secara mutlak.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang
yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-
Nya. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” dan siapa yang
memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada
Tuhan ?” “Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup
dan makhlukmakhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” Dari
ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-
galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya termasuk manusia sebagai khalifah di
muka bumi.
Memang Allah telah menyiapkan bahan mentah, namun bukan bahan matang.
Manusia masih perlu mengolahnya mencarinya dan mengikhtiarkannya. Dalam hal ini
manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Adapun salah satu caranya adalah
dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa yang akan datang agar
segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan,
kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal ini semacam
dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir
tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus. Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as tersebut merupakan pelajaran berharga
bagi manusia pada saat ini yang secara ekonomi dituntun untuk mengadakan persiapan
secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada
waktu yang akan datang. Praktik asuransi ataupun bisnis pertanggungjawaban dewasa
ini mengadopsi nilai-nilai dari nilai-nilai Nabi Yusuf tersebut dan juga penjelasan al-
Qur’an dan al-hadis. Orang yang melibatkan diri ke dalam asuransi ini adalah
merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan masa tua yang tidak
memberatkan jika suatu hari nantinya mendapatkan kerugian dalam aktivitas ekonomi.
Asuransi banyak memiliki manfaat yang luas dan kompleks (secara mikro dan
makro). Asuransi adalah sebuah ekosistem perputaran ekonomi simbiosis antar pelaku
ekonomi (simbiosis mutualisme). Disebut simbiosis karena selain mampu memberikan
perlindungan dan jaminan nasabah, asuransi juga menawarkan berbagai manfaat,
misalnya meminimalisasi terjadinya risiko. Apalagi kalau kita melihat kondisi
geografis Indonesia yang banyak memiliki gunung berapi, bisa memicu terjadinya
banyak musibah, seperti gempa vulkanik, gunung meletus, banjir banding dan tanah
longsor. Selain itu, sebagian besar wilayah Indonesia berada di lintasan patahan
lempengan tektonik yang dapat menyebabkan gempa tektonik yang seringkali diiringi
tsunami. Semua bencana lama ini menghabiskan harta benda dengan cepat dan seketika.
Belum lagi jika ditambah musibah lain yang rutin tiap tahun di sebagian kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya, seperti banjir atau kebakaran. Sedangkan musibah karena
manusia juga sering terjadi di Indonesia yang biasanya disebabkan oleh pertikaian dan
konflik antar ras, suku agama dan kelompok. Kondisi sosiologis bangsa Indonesia yang
hiterogen ini mampu menciptakan gesekan dan konflik yang sebetulnya tidak
diharapkan. Oleh karena itu, dengan banyaknya musibah yang terjadi di tanah air ini,
ikut menciptakan kesadaran diri akan pentingnya asuransi.
Dalam dunia perekonomian sekarang ini, lembaga asuransi juga mampu
berperan sebagai lembaga keuangan non bank yang dapat mengatur, menghimpun dan
menyalurkan dana dari masyarakat untuk tujuan dan kepentingan masyarakat. Asuransi
juga bisa berfungsi sebagai tabungan. Hal ini tampak dalam manfaat yang ditawarkan
oleh asuransi jiwa. Pada dasarnya, hasil yang diterima pada akhir masa jatuh tempo
merupakan kumpulan dari tabungan premi ditambah dengan bunga.
Disamping memberikan manfaat pada nasabah, asuransi secara tidak langsung
memberikan manfaat bagi para pelaku bisnis yang sudah pasti membutuhkan kredit dari
bank untuk modal usahanya, karena premi premi yang dibayar oleh para nasabah
asuransi akan disimpan pada bank-bank nasional dalam bentuk deposito atau lainnya.
Kemudian uang yang sudah terkumpul itu, baik dari nasabah bank secara personal atau
perusahaan, dikreditkan oleh pihak bank kepada para pengusaha.

2.5 Contoh Kasus Sengketa Hukum Asuransi

1. Contoh Kasus Asuransi Syariah


a. Kronologi Kasus
(September 2016) PT. Asuransi Syariah Mubarakah pailit, Direktur Litigasi dan
Bantuan Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rizal Ramadhani menilai putusan pailit
memang sudah layak diberikan kepada PT Asuransi Syariah Mubarakah. Terlebih,
debitur memang sedang dalam keadaan tidak bisa membayar klaim asuransi. Dia
menambahkan dana pemegang polis bisa didapatkan kembali melalui penjualan aset
debitur yang akan dilakukan oleh tim kurator. Namun, pembagian hasil penjualan akan
dilakukan secara prorata sesuai nilai utang.
Pihaknya juga mengapresiasi putusan majelis hakim yang menolak eksepsi debitur
dengan mendalilkan permohonan pailit tidak diperlukan. Berdasarkan Undang-undang
No. 40/2007 tentang Perusahaan Terbatas, perusahaan perbankan bisa melakukan
likuiditas sendiri sebelum dijatuhkan dalam kepailitan.
Menurutnya, undang-undang tersebut tidak berlaku bagi perusahaan yang telah
menghimpun dana dari masyarakat. Dirinya berharap debitur bisa bersikap kooperatif
saat menjalani proses kepailitan.
Dalam persidangan, ketua majelis hakim Mas'ud mengatakan OJK telah
memenuhi syarat formil sebagai pemohon yang mempunyai kewenangan.
Pertimbangan tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang No. 37/2004
tentang Kepailitan. tingkat pencapaian solvabilitas debitur terbukti kurang dari 120%,
sehingga melanggar peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Jumlah
kekayaan ASM sebesar Rp62,53 miliar, sedangkan jumlah cadangan teknis ditambah
utang klaim retensi sendiri Rp76,31 miliar.
Debitur dinilai tidak memenuhi Pasal 11 ayat 1a dan 1b Undang-undang No.
2/1992 tentang Perasuransian. Perusahaan asuransi wajib menjaga solvabilitas atau
kesehatan keuangan dalam menjalankan usahanya agar dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya kepada pemegang polis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, lanjutnya, perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120% dari
resiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan
kekayaan dan kewajiban.
b. Penyelesaian Kasus
PT. Asuransi Syariah Mubarak diputuskan pailit oleh majelis hakim pada 2016.
2. Contoh Kasus Asuransi Konvensional
a. Kronologi Kasus

(Januari 2018) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera mengaku mengalami


keterlambatan klaim dalam 1-2 bulan. Hal ini disebabkan karena tidak ada premi yang
dihasilkan oleh AJB Bumiputera karena produksi yang dialihkan ke Bhinneka Life.
Munculnya nama Bhinneka Life bermula dari gagalnya perjanjian antara AJB
Bumiputera dengan PT Evergreen Invesco Tbk (GREN). Awalnya GREN memang
menjadi salah satu investor yang siap membantu AJB Bumiputera. Namun, perjanjian
batal karena GREN mulanya menjanjikan keuntungan bersih 40% dari produksi premi
hasil bentukan anak usaha baru, yakni PT Asuransi Jiwa Bumiputera sebesar Rp 16
triliun dalam waktu 12 tahun, namun kenyataannya yang bisa dipenuhi hanya Rp 1,7
triliun.
Setelah mengalami kegagalan, pihak AJB Bumiputera menyatakan tetap melakukan
penguatan usaha dalam waktu dua tahun ini. Pasalnya, apabila perusahaan tidak kuat
maka akan sulit untuk menerima investor baru. Perusahaan pun menunggu peraturan
pemerintah mengenai usaha bersama. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya merilis
peraturan mengenai asuransi bersama pada Maret. Peraturan yang diperuntukkan
khusus untuk Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 ini tersebut dalam
Peraturan OJK (POJK) No.1/POJK. 05/2018 tentang Kesehatan Keuangan bagi
Perusahaan Asuransi berbentuk Badan Hukum Asuransi Bersama. AJB Bumiputera
1912 mulai membuka kembali operasionalnya kepada masyarakat. Namun seruan
meminta polis agar segera cair menggema. OJK mengklaim AJB Bumiputera 1912
sudah menyelesaikan pembayaran dana kepada investor sebesar Rp 436 miliar. Dana
ini sempat diterima oleh AJB Bumiputera ketika menjalani proses restrukturisasi
sebelumnya.

Setidaknya butuh enam bulan bagi OJK untuk bisa menyelesaikan kisruh yang
ada di AJB Bumiputera. Dalam tempo waktu tersebut, OJK harus membentuk
manajemen baru di AJB Bumiputera. OJK bekerjasama dengan Badan Perwakilan
Anggota (BPA) berencana mengganti pengelola statuter AJB Bumiputera 1912 dengan
direksi yang baru.

Pimpinan barunya ini antara lain Sutikno Sjarif ditunjuk sebagai direktur utama, Yusuf
Budi Baik menjadi direktur bisnis dan pemasaran dan Sri Rahayu menjabat sebagai
direktur teknik. Ketiganya merupakan alumni dari Asuransi Zurich Life. Selain itu ada
Dena Chaerudin, yang ditunjuk sebagai direktur sumber daya manusia. Selain itu,
Achmad Jazidie ditunjuk sebagai komisaris utama AJB Bumiputera 1912.
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyatakan AJB Bumiputera 1912 harus
melakukan penjualan aset untuk membayar kewajiban membayar
klaim nasabah yang jatuh tempo. Direktur Utama AJB Bumiputera Sutikno Widodo
Sjarif mengatakan manajemen baru sedang melakukan proses due diligence yang
menyeluruh dan komprehensif, termasuk mendata seluruh aset yang dimilikinya.
Untuk periode Januari hingga pertengahan Oktober 2018 ini perusahaan sudah
membayarkan klaim sebanyak Rp 3,3 triliun. Namun, isu yang beredar AJB
Bumiputera siap menjual aset demi membayar klaim nasabah. (source:
www.cnbcindonesia.com )

b. Penyelesaian Kasus

AJB Bumiputera membuka layanan Crisis Center, di mana nasabah atau


pemegang polis yang ingin mengklaim asuransinya dapat mengajukan klaimnya pada
hari Senin sampai Jumat dari pukul delapan pagi hingga pukul empat sore. Dan pada
Mei 2018, AJB Bumiputera menerbitkan surat permohonan maaf atas keterlambatan
klaim asuransi kepada pemegang polis.
Setelah diisi sejumlah manajemen baru, AJB Bumiputera telah melakukan
beberapa akselerasi untuk mengembalikan kepercayaan nasabah. AJB Bumiputera juga
mengeluarkan produk baru terkait dengan digitalisasi asuransi untuk memudahkan
nasabah dan calon nasabah. Manajemen juga menambahkan nasabah dengan bekerja
sama dengan perusahaan BUMN seperti Telkom dan PLN. Diharapkan dengan adanya
mitra yang digandeng ini akan memperkuat kondisi AJB Bumiputera. OJK optimis
bahwa kondisi AJB Bumiputera akan kembali normal karena aset dari perusahaan ini
masih cukup besar.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dsar-dasar-hukum-asuransi/

https://hukumasuransi2014.wordpress.com/2014/12/30/iii-dasar-hukum-regulasi-terkait-
asuransi/

https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/asuransi/regulasi-asuransi-
syariah/default.aspx

http://sbwicaksono.blogspot.com/2012/03/aspek-hukum-perbankan-dan-asuransi.html

https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/asuransi/peraturan-pemerintah/Default.aspx

https://finansial.bisnis.com/read/20160906/232/581771/pt-asuransi-syariah-
mubarakah-pailit-begini-nasib-pemegang-polis

https://keuangan.kontan.co.id/news/apa-kabar-ajb-bumiputera-ini-keterangan-ojk

https://www.cnbcindonesia.com/investment/20181225095113-21-47838/belum-
selesai-kasus-ajb-bumiputera-kini-asuransi-jiwasraya
DAFTAR PUSTAKA

S-ar putea să vă placă și