Sunteți pe pagina 1din 9

Biosfera Vol 34, No 2 Mei 2017 : 80-88 DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.2.

490

Biodiversitas Belalang (Acrididae: ordo Orthoptera) pada Agroekosistem ( zea


mays l.) dan Ekosistem Hutan Tanaman di Kebun Raya Baturaden, Banyumas
Bagas Prakoso1
1
Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama (UMNU) Kebumen
Email : bgsprks@gmail.com

Abstarct
This study aims to determine the diversity of grasshoppers (Acrididae: Orthoptera Order) on agro-ecosystems (Zea
mays L.) and plants of forest ecosystems and to determine the role of locusts on both ecosystems. This research was
conducted by field survey method. The parameters were observed at each site included the diversity of vegetation,
the collection of the order Orthoptera Acrididae grasshoppers and locusts Acrididae direct observation of the order
Orthoptera. Grasshopper diversity found in ecosystems diversity indices analyzed include: diversity index (H '),
evenness (E) and Sorensen similarity index (C) as well as correlation and regression analysis. Samples were taken
from agroecosystem (Zea mays L.) and forest plant ecosystem which was repeated four times. The results of this
study found as many as 3,097 individuals were included in the Family Orthoptera Tetrigidae, Acrididae and
Pyrgomorphidae consisting of 7 genus that is Atractomorpha, Criotettix, Gesunola, Hesperotettix, Miramella, Oxya,
and Valanga with 7 Species. In agro-ecosystem, 3 species were found with 1,030 individuals, while in plantation
forest were found 5 species with 2,067 individuals. The results of the Shannon diversity index value-Weinner on
forest ecosystem diversity a higher value (0.6307) when compared to the agro-ecosystem (0.5325). Under these
conditions, forests ecosystems grasshopper plant has a higher biodiversity than agroekosistem (Zea mays L.).
Key words: Acrididae, Agroecosystem, Grasshopper, Biodiversity, Forest Ecosystem

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman belalang (Acrididae: Ordo Orthoptera) pada
agroekosistem (Zea mays L.) dan ekosistem hutan tanaman serta menentukan peran belalang pada kedua
ekosistem. Penelitian ini dilakukan dengan metode survai lapangan. Parameter yang diamati pada setiap lokasi
meliputi keanekaragaman vegetasi tumbuhan, pengumpulan belalang Acrididae ordo Orthoptera dan pengamatan
langsung terhadap belalang Acrididae ordo Orthoptera. Keanekaragaman belalang yang ditemukan pada ekosistem
dianalisis dengan indeks keanekaragaman meliputi: indeks keanekaragaman (H’), kemerataan (E) dan indeks
kesamaan sorensen (C) serta analisis korelasi dan regresi. Sampel diambil dari agroekosistem (Zea mays L.) dan
ekosistem hutan tanaman yang selanjutnya diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian ini ditemukan sebanyak
3.097 individu Orthoptera yang termasuk dalam Famili Tetrigidae, Acrididae dan Pyrgomorphidae yang terdiri dari 7
genus yaitu Atractomorpha, Criotettix, Gesunola, Hesperotettix, Miramella, Oxya, dan Valanga dengan 7 spesies.
Pada agroekosistem ditemukan 3 spesies dengan 1.030 individu sedangkan pada hutan tanaman ditemukan 5
spesies dengan 2.067 individu. Hasil nilai indeks keanekaragaman Shannon-Weinner pada ekosistem hutan
tanaman nilai keanekaragamannya lebih tinggi (0,6307) jika dibandingkan dengan agroekosistem (0,5325).
Berdasarkan hal tersebut maka ekosistem hutan tanaman memiliki biodiversitas belalang yang lebih tinggi daripada
agroekosistem (Zea mays L.).
Kata kunci: Acrididae, Agroekosistem, Belalang, Biodiversitas, Ekosistem Hutan

Pendahuluan Bhargava (1996), keragaman belalang


dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologis
Belalang adalah serangga herbivor yang diantaranya adalah pola curah hujan, suhu
termasuk dalam Ordo Orthoptera dengan jumlah atmosfer, kelembaban relatif, jenis tanah,
spesies 20.000 (Borror, 2005). Menurut Rowell perlindungan dari musuh-musuh eksternal dan
(1987), belalang dapat ditemukan hampir di struktur vegetasi.
semua ekosistem terestrial. Sebagian besar Fielding and Bruseven (1995) menyatakan
spesies belalang berada di ekosistem hutan bahwa vegetasi sangat mempengaruhi komposisi
(Rowell, 1987). Mereka makan hampir setiap dan keberadaan spesies belalang dalam suatu
tanaman yang liar ataupun yang dibudidayakan ekosistem. Semakin tinggi keanekaragaman
(Probe dan Scalpel, 1980). vegetasi pada suatu habitat maka semakin tinggi
Beberapa hasil penelitian Baldi dan pula sumber pakan bagi belalang dalam suatu
Kisbenedek (1997) menunjukkan bahwa kenaeka- habitat, sehingga keberadaanya akan melimpah.
ragaman belalang lebih stabil pada ekosistem Morris (2000) menyatakan bahwa struktur
yang tidak terganggu. Saha et al., (2011) vegetasi merupakan parameter penting untuk
menambahakan bahwa keanekaragaman dan mengetahui kenaekaragaman belalang di suatu
kelimpahan spesies (Acrididae: Ordo Orthoptera) habitat dalam skala besar. Guo (2006)
di ekosistem yang tidak terganggu lebih tinggi menambahkan bahwa perubahan keaneka-
dibandingkan ekosistem yang terganggu. Menurut
80
Biodiversitas Belalang (Acrididae: ordo Orthoptera)... Prakoso, B.

ragaman komunitas vegetasi dapat menyebabkan kepadatan (density). Keragaman mencakup jenis
variasi dalam pola khusus keanekaragaman dan peran dari Belalang tersebut, sedangkan
hayati belalang karena menurut Sanger (1977) kepadatan adalah jumlah dari spesies Belalang.
dan Ingrisch (1980) belalang biasanya Selanjutnya, mengamati dan mengidentifikasi
mempunyai ketergantungan khusus terhadap secara langsung Belalang yang terdapat di
vegetasi dan microclimate. masing-masing tipe ekosistem. Setiap Belalang
Belalang di Indonesia menjadi salah satu dikelompokan sampai tingkat spesies. Belalang
hama yang memberikan kontribusi dalam (Acrididae) dewasa dikoleksi dengan sweep net
kehilangan hasil tanaman jagung (Adnan, 2009). yang merupakan metode baku yang digunakan
Agroekosistem (Zea mays .L) merupakan untuk mengukur komposisi spesies belalang
penyederhanaan dari keanekaragaman hayati (Joshi et al.,1999; Larson et al., 1999; Saha dan
alami menjadi tanaman dalam bentuk monokultur Halder, 2008). Metode yang digunakan untuk
yang memerlukan perlakuan secara konstan mengoleksi belalang: Sweep Netting dan Hand
berupa pemberian agrokimia (terutama pestisida Piercing (Ogedegbe dan Amadasun, 2011). Selain
dan pupuk) (Altieri, 1999). Menurut Widhiono itu, populasi Belalang juga diamati secara
(2003) modifikasi hutan di Gunung Slamet adalah langsung dengan cara melihat dan menghitung
merubah hutan alam menjadi hutan tanaman, Belalang yang terdapat di masing-masing
kombinasi hutan dengan pertanian (agroforestry) ekosistem. Parameter yang diamati meliputi
dan hutan wisata. Dalam jangka panjang variabel utama yaitu keanekaragaman dan
modifikasi hutan akan merubah iklim mikro dalam kelimpahan Belalang (Acrididae: Orthoptera)
hutan serta menghasilkan komposisi tumbuhan sedangkan variabel pendukungnya adalah struktur
bawah yang berbeda dengan hutan alam (Hartley, dan tipe vegetasi, temperatur, kelembaban,
2002). Sehingga menurut Van dan Con (2011) kecepatan angin, dan ketinggian.
bahwa habitat hutan dengan lapisan kanopi hutan Pengukuran keanekaragaman dan
yang banyak dan keragaman vegetasi yang tinggi kelimpahan Belalang (Acrididae) serta struktur
lebih mendukung spesies serangga daripada vegetasi (Benefikih dan Petit, 2010) disurvai pada
habitat hutan dengan lapisan kanopi hutan dan area yang berukuran ± 300 m 2 (10 m x 30 m)
vegetasi keanekaragaman yang sedikit. Hutan pada setiap titik. Pengamatan dilakukan dari 07.00
tanaman adalah hutan yang ditanami dengan pagi – 10.00 pagi dari setiap titik sampling.
tanaman industri dengan tujuan untuk memenuhi Pengamatan satu minggu sekali. Pengamatan
kebutuhan bahan baku industri. Hutan tanaman dengan menggunakan metode mutlak dan relatif.
yang bersifat monokultur dan adanya dominasi Metode mutlak yaitu dengan cara melihat,
campur tangan manusia menyebabkan tidak menghitung dan mengidentifikasi Belalang yang
seimbangnya faktor-faktor lingkungan di hutan terdapat di lokasi penelitian dan yang mendatangi
tanaman. Hutan tanaman di Kebun Raya tanaman. Metode relatif dengan cara jaring ayun
Baturaden didominasi oleh damar (Agathis sebanyak 200 kali ayunan atau dengan hand
lorantifolia Salisb). Perubahan struktur dari hutan piercing dan juga diambil gambarnya
alam menjadi hutan tanaman diduga berdampak menggunakan camera digital untuk identifikasi
terhadap perubahan ekosistem yang pada lebih lanjut.
akhirnya berdampak terhadap keragaman flora Spesies Belalang yang tertangkap diamati
maupun faunanya (Wagner et al., 1998). di laboratorium dan ditentukan peranannya.
Identifikasi spesimen dilakukan dilaboratorium
Metode Parasitologi dan Entomologi Universitas Jenderal
Soedirman. Spesimen didentifikasi berdasarkan
Bahan yang digunakan adalah Belalang Borror et al., 1989 dengan dibantu beberapa
(Acrididae) hasil tangkapan dari Agroekosistem publikasi (Ogedegbe dan Amadasun, 2011),
(Zea mays L.) dan Hutan Tanaman di Kebun Raya (Hochkirch, 1996), (Carbonell, 2002), (Gandar,
Baturaden. Sampling dilakukan dari April– Juli, 1983), (Johnson, 2008), (Haes, 1997), (Catling,
2014. Penelitian ini dibagi ke dalam 3 lokasi titik, 4 2008) dan (Kirk dan Bomar, 2005).
kali untuk setiap ekosistem. Pengukuran peran belalang pada ekosistem
Berikut alat-alat yang digunakan untuk yaitu dengan mengambil gambar belalang yang
melakukan penelitian: sweep net, kantong jaring berada pada suatu tanaman menggunakan
Belalang, Global Position Station (GPS), camera digital. Pada petak yang sama dengan
Termometer, Higrometer, Barometer, Altimeter, yang digunakan, dilakukan juga pengukuran
botol koleksi, tali meteran, Camera digital, alkohol temperatur, kelembaban, kecepatan angin, dan
70%, dan baki . ketinggian.
Metode yang digunakan dalam Jenis dan jumlah Belalang yang diperoleh
pengamatan belalang (Acrididae) ialah scan dianalisis secara deskriptif dan diidentifikasi
sampling (Martin dan Bateson, 1993). Teknik sampai tingkat spesies kemudian ditentukan
pengambilan sampel dilakukan melalui perannya untuk ekosistem tersebut. Metode
pengamatan keragaman (diversitas) dan pengukuran kenaekaragaman yang digunakan

81
Biosfera Vol 34, No 2 Mei 2017 : 80-88 DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.2.490

menggunakan indeks keanekaragaman Shanon- a = jumlah jenis yang ditemukanpada lokasi a


Wienner, indeks kemerataan (E), dan indeks b = jumlah jenis yang ditemukan pada lokasi b
kesamaan Sorensen (C) pada masing-masing tipe
habitat (Magurran, 1988) dan kelimpahan relatif 4) Kelimpahan Relatif
(KR). Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan (KR) = ni/N x 100%
ANOVA yang dilanjutkan dengan analisis korelasi
serta regresi yang digunakan untuk membuktikan Penelitian dilakukan di dua ekosistem:
hubungan antara kondisi ekosistem dengan Agroekosistem (Zea mays L.) dan di Hutan
keragaman belalang (Acrididae: ordo Orthoptera). Tanaman yang terdapat di Kebun Raya
Persamaan dalam perhitungan indeks tersebut Baturaden, Banyumas. Sedangkan sampling
adalah sebagai berikut : dilakukan dari April – Juli, 2014 (4 bulan).
Penelitian ini dibagi ke dalam 3 lokasi titik, 4 kali
1) Indeks Shannon - Winner

untuk setiap ekosistem.
=−∑ ln

2) Indeks Shannon – Evennes Hasil dan Pembahasan



=

Keanekaragaman dan Kelimpahan Belalang


ln

3) Indeks Kesamaan Sorensen


(Acrididae: Ordo Orthoptera)
C = 2 W x 100% Pada penelitian ini ditemukan sebanyak
A+B 3.097 individu Orthoptera yang termasuk dalam
Famili Tetrigidae, Acrididae dan Pyrgomorphidae
Keterangan: yang terdiri dari 7 genus yaitu Atractomorpha,
C = indeks kesamaan Criotettix, Gesunola, Hesperotettix, Miramella,
W = jumlah spesies yang sama pada kedua Oxya, dan Valanga dengan 7 spesies. Pada
ekosistem agroekosistem ditemukan 3 spesies dan 5 spesies
ni = jumlah individu pada i jenis ditemukan pada ekosistem hutan tanaman. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesies belalang yang ditemukan di agroekosistem dan hutan tanaman.

No Jenis Agroekosistem N Hutan Tanaman N


u1 u2 u3 u4 u1 u2 u3 u4
1 Atractomorpha crenulata 0 58 96 6 160
2 Criotettix cf. robustus (Hancock) 0 18 63 114 69 264
3 Gesonula mundata (Walker) 330 186 168 123 807 0
4 Hesperotettix viridis pratensis 0 114 225 542 288 1169
5 Miramella alpina 0 6 9 3 18
6 Oxya hyla intricata (Stal) 1 6 2 9 60 54 219 123 456
7 Valanga nigricornis (Burmeister) 51 46 63 54 214 0
Jumlah 1030 2067

Gesonula mundata (Walker), Oxya hyla individu yang termasuk dalam 1 famili dan 3
intricata (Stal) dan Valanga nigricornis spesies dan pada hutan tanaman diperoleh 2067
(Burmeister) merupakan spesies yang dapat individu yang termasuk dalam 3 famili dan 5
ditemukan pada agroekosistem (Zea mays L.) spesies (Tabel 1).
Sedangkan Criotettix robustus (Hancock), Jumlah spesies yang ditemukan di
Miramella alpina (Kollar), Hesperotettix viridis agroekosistem berbeda dengan yang ditemukan
pratensis, Oxya hyla intricata (Stal), dan di ekosistem hutan tanaman. Pada ekosistem
Atractomorpha crenulata merupakan spesies hutan tanaman ditemukan jumlah spesies lebih
yang ditemukan di ekosistem hutan tanaman. banyak dibandingkan dengn agroekosistem. Hal
Jumlah individu, spesies, dan famili di ini disebabkan karena pada ekosistem hutan
agroekosistem (Zea mays L.) lebih rendah tanaman memiliki kenakeragaman flora yang lebih
daripada ekosistem hutan tanaman. Di tinggi daripada agroekosistem. Pada ekosistem
agroekosistem (Zea mays L.) diperoleh 1030 hutan tanaman ditemukan ada 10 spesies yaitu,

82
Biodiversitas Belalang (Acrididae: ordo Orthoptera)... Prakoso, B.

Ageratina riparia (Regel) R.M.King & H.Rob, Formicidae dan Tenebrionidae yang akan lebih
Thelypteris sp, Polytrias sp, Nephrolepis sp, banyak ditemukan di permukaan tanah pada
Kyllinga sp, Sphagneticola trilobata (L.) Pruski, musim hujan.
Cheilocostus sp, Pilea melastomoides (Spreng) Berdasarkan analisis korelasi dan regresi
Urb, Ageratum sp, Impatiens platypetala Lindl. antara suhu udara dengan keanekaragaman
Sedangkan pada agroekosistem ditemukan belalang yang ditemukan di lokasi penelitian, baik
tanaman jagung (Zea mays L.). itu pada agroekosistem dan ekosistem hutan
Perbedaan struktur vegetasi yang tanaman, faktor lingkungan ini berpengaruh positif
ditemukan pada kedua ekosistem ternyata terhadap jumlah individu serangga, sedangkan
mempengaruhi banyaknya jumlah spesies kelembaban, ketinggian tempat dan kecepatan
belalang. Menurut Lachat et al., (2006) bahwa angin berpengaruh negatif terhadap jumlah
banyaknya keanekaragaman vegetasi di hutan individu serangga.
alam sangat diperlukan oleh serangga sebagai Selanjutnya data hasil pengukuran
sumber makanan ataupun sebagai sarang. ketinggian pada lokasi penelitian di agroekosistem
Selain itu, keanekaragaman belalang berkisar antara 225-1015 m dpl (diatas
secara umum juga ditentukan oleh faktor permukaan laut) dengan rata-rata 573,3 m,
lingkungan. Dari data hasil penelitian di dapat sedangkan pada ekosistem hutan tanaman
bahwa suhu pada agroekosistem berkisar antara ketinggian berkisar antara 790-2.647 m dengan
28-39 ºC dengan rata-rata sebesar 32,16 ºC. rata-rata 1.262,75 m. Dibandingkan dengan lokasi
Sedangkan suhu pada ekosistem hutan berkisar penelitian yang dilakukan oleh Fajarwati et al.,
antara 21-39 ºC dengan rata-rata sebesar 30 ºC (2009) pada ketinggian 800-1.100 m maka terjadi
cocok untuk serangga (Ordo Orthoptera) serta selisih ketinggian sekitar 162,75 m.
berbagai jenis tumbu-tumbuhan yang ada di area Hasil studi Hanski dan Krikken (1991)
juga menjadi penentu keanekaragaman serangga. menunjukkan adanya penurunan kelimpahan
Dibandingkan dengan data hasil penelitian kumbang tinja, walaupun tidak terlalu nyata
Pudjiharta (1979) di area Kebun Raya Baturaden mengikuti peningkatan ketinggian tempat di
menunjukkan bahwa suhu udara dalam hutan Sulawesi Utara. Sampai pada ketinggian 800 m
damar sebesar 19,5-21,4ºC dan penelitian dpl ditemukan sekitar 18 spesies dan sampai
Fajarwati et al., (2009) pada agroekosistem tomat pada ketinggian 1.150 m dpl tetap ditemukan lebih
didapatkan suhu harian berkisar 14-26 0C dimana dari 10 spesies. Fenomena yang sama juga
pada ekosistem hutan tanaman terjadi ditemukan di dataran rendah Sarawak. Tetapi di
peningkatan sebesar 2 ºC Gunung Mulu Sarawak terjadi penurunan jumlah
sedangkan pada agroekosistem terjadi spesies mulai pada ketinggian diatas 300 m, pada
peningkatan sebesar 10 ºC. ketinggian 800 m hanya ditemukan 5-10 spesies
Sedangkan data hasil penelitian dan pada ketinggian 1.150 m kurang dari 5
kelembaban udara pada agroekosistem berkisar spesies yang ditemukan. Hal tersebut berbanding
46-81% dengan rata-rata sebesar 60%. terbalik dengan serangga belalang. Pada
Kelembaban udara di hutan tanaman berkisar 69- ekosistem hutan tanaman dengan ketinggian rata-
98% dengan rata-rata sebesar 77,6%. rata 1.262,75 m ditemukan 5 spesies. Sedangkan
Dibandingkan dengan Pudjiharta (1979) pada agroekosistem dengan ketinggian rata-rata
mengenai kelembaban udara dalam hutan damar 573,3 m ditemukan 3 speises belalang (Acrididae:
sebesar 87,5-93,2% dan penelitian Fajarwati et Ordo Orthoptera).
al., (2009) pada agroekosistem tomat didapatkan Pada agroekosistem didapatkan data
kelembaban udara 81,4%. Maka pada ekosistem kecepatan angin berkisar antara 222-1.017
hutan tanaman terjadi penurunan kelembaban Mbar/Hpa dengan rata-rata sebesar 948,5
udara sebesar 5% sedangkan pada Mbar/Hpa. Sedangkan pada hutan tanaman
agroekosistem terjadi penurunan sebesar 10%. didapatkan data kecepatan angin berkisar antara
Menurut Mock (1973) perubahan suhu ± 1.013-1.017 Mbar/Hpa dengan rata-rata sebesar
1ºC mempengaruhi evapotranspirasi sebesar 2- 1.015 Mbar/Hpa. Susniahti et al., (2005),
3%, perubahan kelembaban udara ± 5% menyatakan bahwa Valanga nigricornis Zehntneri
mempengaruhi evapotranspirasi sebesar 9%. Krauss., dapat terbang sejauh 3-4 km bila ada
Peningkatan suhu akan mempengaruhi aktivitas angin. Selain mendukung penyebaran, angin
serangga, penyebaran geografis lokal, kencang bisa menghambat bertelurnya kupu-
perkembangbiakan dan juga penguapan cairan kupu, bahkan sering menimbulkan kematian.
tubuh serangga (Haneda, et al., 2013). Disamping struktur vegetasi dan faktor
Faktor suhu dan kelembaban akan terlihat lingkungan, keanekargaman belalang juga
pengaruhnya terhadap kelimpahan dan dipengaruhi oleh faktor biologi seperti parasitoid,
keanekaragaman serangga jika pengambilan predator dan entomopatogen. Ketiga komponen
sampel dilakukan dengan waktu yang lama dan itu berpengaruh terhadap populasi, semakin tinggi
pada musim yang berbeda. Hal ini sesuai dengan faktor biologi tersebut sebaliknya populasi
hasil penelitian Ruslan dan Noor (2007) diacu
dalam Tofani (2008), Formicidae dan Nitidulidae
akan banyak ditemukan pada permukaan tanah 813
pada musim kemarau, sedangkan famili
Biosfera Vol 34, No 2 Mei 2017 : 80-88 DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.2.490

belalang akan semakin menurun (Susniahti et al., Sedangkan O. hyla merupakan spesies yang lebih
2005). menyukai rumput-rumputan yang termasuk Famili
Fajarwati et al., (2009), Borror & Long Poaceae daripada tanaman padi (Das and Ray,
(1998), dan Brockerhoff et al., (2008) 2013) sehingga O. Hyla lebih banyak ditemukan di
menambahkan bahwa keragaman serangga ekosistem hutan tanaman. Menurut Roy and
dapat bervariasi pada setiap ekosistem. Hal Ghosh, (2014) O. hyla merupakan salah satu
tersebut dipengaruhi oleh sifat serangga itu hama tanaman padi di Bukit Barak, Assam, India
sendiri (misalnya cara hidup, makan, dan bagian tenggara. O. hyla juga merupakan
berkembang biak) dan beberapa faktor belalang sawah dan hama utama tanaman padi
lingkungan, diantaranya adalah faktor geologi dan (Das and Ray, 2013).
ekologi, perbedaan suhu, iklim, kondisi geografis, V. nigricornis pada agroekosistem
ketinggian tempat, jenis makanan, kemampuan ditemukan dengan jumlah individu sebanyak 213.
serangga tersebut menyebar, seleksi habitat, V. nigricornis disebut juga belalang kayu, yang
cahaya, curah hujan, dan ketersediaan makanan mempunyai ciri-ciri antena pendek, sayap depan
serta vegetasi (kelimpahan jenis tumbuhan baik lurus dan agak keras, sayap belakang berbentuk
pohon maupun tumbuhan bawah) (Tofani, 2008). seperti selaput, memiliki panjang tubuh 6,2 cm.
Hasil penelitian ini jika dibandingkan serta mempunyai kaki belakang yang lebih
dengan penelitian lain menunjukkan perbedaan. panjang dari kaki depan (Sofyan, 2010). Nimfa
Penelitian yang dilakukan di ekosistem sawah, maupun imago belalang ini berwarna hijau muda
Coimbatore, India dari tahun 1997 ditemukan 50 kekuning-kuningan dengan panjang kurang lebih
spesies dari ordo Orthoptera diantaranya 8 44-72 mm (Kalshoven, 1981). V. nigricornis
spesies belalang antena panjang (Famili bersifat fitopagus atau memakan berbagai jenis
Tettiigonidae), 28 spesies belalang antena pendek tanaman. Dalam populasi yang tidak terkendali V.
(Famili Acrididae dan Pyrgomorphidae), 3 cricket, nigricornis akan merusak tanaman, sehingga
1 tree cricket dan 10 Famili Tetrigidae (Chitra et berpotensi besar sebagai hama tanaman (Sofyan,
al., 2000). Sedangkan penelitian 2010). Lee (2013) menambahkan bahwa V.
Erawati dan Kahono (2010) tentang nigricornis dapat menyerang bibit tanaman serta
keanekaragaman dan kelimpahan belalang dan tanamana yang baru ditanam sedangkan di
kerabatnya (Orthoptera) pada dua ekosistem Malaysia V. nigricornis bukan merupakan hama
hutan (Gunung Kendeng dan Gunung Botol) di utama pada tanaman.
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Menurut Rukmana (1997), warna belalang
ditemukan 25 spesies dari 5 famili dengan 414 V. nigricornis abu-abu kecoklatan, paha berwarna
total individu. coklat dan betis kemerahan atau ungu. Panjang
Selanjutnya jika dibandingkan dengan hasil tubuh betina 58-71 mm, sedangkan jantan 49-63
penelitian yang dilakukan oleh Akhtar et al., mm. Sedangkan Sudarmo (2000) menyatakan
(2012), di ekosistem sawah (ladang padi), Rabi bahwa V. nigricornis betina dewasa memiliki alat
dan Kharif, Kota Uttar Pradesh, India selama peletak telur atau yang disebut ovipositor. Telur-
tahun 2010-2011. Hasilnya ditemukan hampir telur tersebut lalu dimasukkan ke dalam tanah
sama bahwa keanekaragaman yang melimpah sedalam 5-8 cm yang dibungkus dengan massa
dari Famili Acrididae diikuti Pyrgomorphidae. Hal busa yang kemudian mengering dan memadat.
ini karena spesies dari subfamili Acrididae Telur berwarna coklat dengan panjang 2-3 cm.
Oxyinae dan Truxalinae mudah mendapatkan Setelah 5-7,5 bulan telur menetas. Biasanya
sumber makanan berupa rumput (Das and Ray, terjadi pada awal musim hujan (Oktober-
2013). November).
Gesonula mundata (Walker) merupakan Hasil penelitian Leatemia dan Rumthe
spesies yang paling banyak di temukan di (2011) yang dilakukan di areal pertanaman jagung
agroekosistem dengan jumlah individu sebanyak di UPT-Y dan desa Jakarta Baru juga ditemukan
807. Berbeda dengan Hesperotettix viridis V. nigricormis. Selain itu, menurut Leatemia dan
pratensis merupakan spesies yang paling banyak Rumthe (2011) intensitas kerusakan tanaman
ditemukan di ekosistem hutan tanaman dengan jagung akibat V. nigricornis di Kecamatan Bula
jumlah individu sebanyak 1.199. Sedangkan Oxya adalah 10,65% yang termasuk kategori ringan.
hyla intricata (Stal) merupakan spesies yang Gejala dari serangan V. nigricornis yaitu terdapat
ditemukan pada kedua ekosistem, sebanyak 9 bekas-bekas gigitan pada tepi daun sampai ke
individu ditemukan di agroekosistem dan 456 bagian tengah daun sehingga daun berlobang-
individu ditemukan di ekosistem hutan tanaman. lobang.
Chitra et al., (2000) menyatakan bahwa H. Pada ekosistem hutan tanaman Miramella
viridis, H. alba, dan H. speciosus (Scudder) alpina merupakan spesies yang ditemukan
merupakan spesies yang lebih memilih makanan dengan jumlah individu paling sedikit yaitu
pada kelompok tanaman tertentu. Meskipun H. sebanyak 18 dan tidak ditemukan pada
viridis memakan banyak spesies forb, mereka agroekosistem. Hal ini disebabkan karena habitat
lebih suka tanaman snakeweed (Gutierrezia spp.). M. alpina terdapat di padang rumput pegunungan

824
Biodiversitas Belalang (Acrididae: ordo Orthoptera)... Prakoso, B.

yang lembab, basah dan di hutan. Selain itu, Peranan Belalang (Acrididae: ordo Orthoptera)
sumber pakan M. alpina seperti rumput, lichen, di Ekosistem
lumut, dan tanaman herbaceous hanya terdapat
Peranan di alam dari spesies-spesies ordo
di hutan (Galvagni, 1986). Spesies M. alpina juga
ditemukan di Banat, Romania (Iorgu et al., 2008). Orthoptera di agroekosistem dan ekosistem hutan
tanaman berperan sebagai herbivora. Orthoptera
Titik 1 pada agroekosistem ditemukan
herbivora di agroekosistem dan ekosistem
jumlah individu belalang lebih banyak
tanaman terdiri dari Famili Acrididae, Tetrigidae
dibandingkan dengan titik 2 dan titik 3. Hal ini
dan Pyrgomorphidae. Berdasarkan hasil
disebabkan karena jarak tanam anatar tanaman
pengamatan dapat ditunjukkan dengan
Zea mays L. tidak berjauhan sehingga pada titik 1
ditemukannya belalang di tanaman Ageratina
jumlah spesies tanaman Zea mays L. lebih
riparia (Regel) R.M.King & H.Rob, Thelypteris sp,
banyak dibandingkan dengan titik 2 dan 3. Oleh
Polytrias sp, Nephrolepis sp, Kyllinga sp,
karenanya berdampak pada banyakanya jumlah
Sphagneticola trilobata (L.) Pruski, Cheilocostus
individu belalang yang berada di titik 1.
sp, Pilea melastomoides (Spreng) Urb, Ageratum
Sedangkan pada ekosistem hutan tanaman, pada
sp, Impatiens platypetala (Lindl) pada ekosistem
titik 1 ditemukan jumlah individu belalang lebih
hutan tanaman sedangkan pada agroekosistem
banyak dibandingkan dengan titik 2 dan titik 3. Hal
dapat ditunjukkan dengan daun tanaman Zea
ini disebabkan karena pada titik 1 ditemukan
mays L. yang rusak karena dimakan belalang. Hal
keanekaragaman flora lebih tinggi dan spesies
tersebut sesuai dengan pernyataan Ullah (2012),
Impatiens platypetala Lindl. (Balsaminaceae) lebih
bahwa belalang (Acrididae: ordo Orthoptera)
banyak dibandingkan dengan titik 2 dan 3.
merupakan herbivora penting dalam rangelands di
Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman
Amerika Serikat bagian barat.
Shannon-Weinner pada ekosistem hutan tanaman
Semua spesies belalang yang ditemukan di
nilai keanekaragamannya lebih tinggi (0,6307) jika
dibandingkan dengan agroekosistem (0,5325). agroekosistem adalah dari famili Acrididae
sedangkan pada ekosistem hutan tanaman
Hal ini disebabakan karena ekosistem hutan lebih
komplek (jenis tumbuhannya, iklim, dan spesies belalang yang paling banyak ditemukan
adalah dari famili Acrididae kemudian disusul
landscape) sedangkan agroekosistem jenis
tumbuhannya homogen (Zea mays L.) dan lebih berturut-turut dari famili Tetrigidae dan famili
Pyrgomorphidae. Secara umum belalang yang
rentan karena dilakukan pemberian pupuk dan
penggunaan insektisida (Philpott dan Armbrecht, berperan sebagai herbivora dari famili Acrididae
ditemukan pada kedua ekosistem namun dengan
2006).
KR yang berbeda. Sedangkan spesies dari famili
Penelitian ini memiliki jumlah spesies
Tetrigidae dan Pyrgomorphidae tidak ditemukan
belalang yang lebih sedikit dibandingkan yang
pada agroekosistem. Hal ini sependapat dengan
dilakukan oleh Erawati dan Kahono, (2010).
Rizali et al., (2002) yang mengemukakan bahwa
Namun mempunyai informasi baru tentang
serangga yang ditemukan di lahan persawahan
perbedaan keanekaragaman dan kelimpaan
tepian hutan dalam wilayah Taman Nasional
Orthoptera pada dua ekosistem yang berbeda
Gunung Halimun-Salak didominasi oleh serangga
yaitu di agroekosistem dan ekosistem hutan
herbivora.
tanaman di Kebun Raya Baturaden, Banyumas,
Indonesia.
Berdasarkan nilai indeks kesamaan
Simpulan dan Saran
Sorrensen kedua habitat yaitu agroekosistem dan Berdasarkan hasil yang telah diperoleh
hutan tanaman mempunyai indeks kesamaan dapat disimpulkan bahwa kenaekaragaman family,
25% (0,25) atau sekitar 25% spesies yang spesies, dan jumlah individu dari belalang
ditemukan pada kedua habitat (agroekosistem (Acrididae: Ordo Orthoptera) paling banyak
dan hutan tanaman). Spesies yang ditemukan ditemukan pada ekosistem hutan tanaman (3
pada kedua ekosistem adalah adalah O. hyla. family, 5 spesies dan 2096 individu) daripada
Spesies O. hyla merupakan spesies yang lebih agroekosistem (1 family, 3 spesies dan 1029
menyukai rumput-rumputan yang termasuk Famili individu). Spesies yang ditemukan di ekosistem
Poaceae daripada tanaman padi (Das and Ray, hutan tanaman diantaranya adalah Atractomorpha
2013). Sehingga keberadaaan O. hyla lebih crenulata, Criotettix cf. robustus (Hancock),
banyak ditemukan di ekosistem hutan tanaman Hesperotettix viridis pratensis, Miramella alpina,
dibandingkan di agroekosistem. dan Oxya hyla intricata (Stal). Sedangkan pada
Berdasarkan hasil uji ANOVA (lampiran 1), agroekosistem ditemukan spesies Gesonula
menunjukkan bahwa ada perbedaan mundata (Walker), Oxya hyla intricata (Stal), dan
keanekaragaman yang nyata antar kedua Valanga nigricornis (Burmeister). Spesies Oxya
ekosistem, sedangkan perbandingan hyla intricata (Stal) dari (Family: Acrididae)
keanekargaman antar stasiun pada masing- merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan
masing ekosistem tidak berbeda nyata. pada kedua ekosistem.

83
85
Biosfera Vol 34, No 2 Mei 2017 : 80-88 DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.2.490

Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan aspek konservasi spesies belalang punya peran
membandingkan beberapa tipe habitat yang cukup penting dalam ekosistem, sehingga
berbeda atau pada ketinggian yang berbeda pada penelitian ini perlu terus dikembangkan untuk
kawasan hutan alam, hutan tanaman dan mendapatkan informasi yang lebih banyak dan
agroekosistem untuk mengethui potensi belalang mendalam tentang belalang.
(Acrididae: Ordo Orthoptera) sebagai hama. Dari

Daftar Referensi Catling, P.M. 2008. Grasshoppers and Related


Insects of Northwest Territories and
Adnan, A. M. 2009. Tekhnologi Penanganan Adjacent Regions. Government of the
hama Utama Tanaman Jagung. Prosiding Nortwest Territories.
Seminar Nasional Serealia.
Chitra, N., Soundararajan, R.P. dan
Akhtar, Md. H., Usmani, M. K., Nayeem, Md. R Gunathilagaraj, K. 2000. Orthoptera in rice
dan Kumar, H. 2012. Species diversity and fields of Coimbatore. Zoo’s Journal. Vol XV
abundance of Grasshopper fauna (8). Pp 309-311.
(Orthoptera) in rice ecosystem. Annals of
Das, M. and Ray, D. C. 2013. An alternative host
Biological Research. Vol. 3 (5): 2190-2193.
preference study by Oxya hyla hyla
Altieri, M.A. 1999. The Ecological Role of (Orthoptera: Acrididae) – a non insecticidal
Biodiversity in Agroecosystem. Agriculture, method of pest management. Indian
Ecosystems and Environment. 74:19-31. Journal of Applied Research. Vol 3 (8). Pp
315-316.
Baldi, A. and Kisbenedek, T. 1997. Orthopteran
assemblages as indicators of grassland Das, M. and Ray, D. C. 2013. Studies on the
naturalness in Hungary. Agr. Ecosys. varietal preference and diurnal activity of
Environ, 66: 121-129. Oxya hyla hyla (Serville) (Orthoptera:
Acrididae) on rice agroecosystem. Indian
Benefekih, L. and Petit, D. 2010. The Annual Journal of Applied Research. Vol 3 (6). Pp
Cycle of Saharan Populations of Locusta
249-250.
migratoria cinerascens (Orthoptera:
Acrididae: Oedipodinae) in Algeria. 46 (3- Erawati, N. V dan Kahono, S. 2010.
4) : 351–358. (jurnal) Keanekaragaman dan Kelimpahan
Belalang dan kerabatnya (Orthoptera) pada
Bhargava, R.N. 1996. Grylloid Fauna of Thar
dua ekosistem pegunungan di Taman
Desert. In: Faunal Diversity in the Thar
Nasional Gunung Halimun-Salak. J.
Desert: Gaps in Research. Eds. Ghosh,
Entomologi Indonesia. Vol. 7, No. 2, 100-
A.K., Baqri, Q.H. and Prakash, I. Scientific
115.
Publ., Jodhpur. pp. 410.
Fajarwati, M.R., Atmowidi, T. Dan Dorly. 2009.
Borror, D. J., Triplehor, N., and Johnson, N. F.
Keanekaragaman serangga pada bunga
Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi ke-
tomat (Mycopersicon esculentum Mill) di
Enam. Terjemahan oleh Dr. H Setiyono
lahan pertanian organik. Jurnal Entomologi
Partosoedjoyono. 1989. Gajah Mada
Indonesia. Vol 6 (2). Pp 77-85.
university Press, Yogyakarta.
Fielding, D. J. and Bruseven, M. A. 1995.
BorrorD.J. dan De Long D.M. 1998. An
Grasshopper densities on grazed and
Introduction to the Study of Insect.
ungrazed rangeland under drought
Sounders College Publishing.
conditions in Southern Idaho. Great Basin
Borror, D. J., Triplehor, N., and Johnson, N. F. Naturalist., 55(4), 352-358.
2005. Study of Insect.Ed-7. Amerika:
Galvagni, A. 1986. The situation of the genus
Thomson Brook/ Cole.
Miramella Dovnar-Zapolskij, 1933, in the
Brockerhoff E.G; Hervé Jactel H; Parrotta J.A; Balcanic and Carpathic regions (Insecta:
Christopher P. Quine C.P dan JeVrey Sayer Caelifera: Catantopidae). Studi Trentini di
J.V. 2008. Plantation forests and Scienze Naturali, Acta Biol. 62.
biodiversity: oxymoron or opportunity.
Gandar, M.V. 1983. Ecological notes and
Biodivers Conserv. Pp.17:925–951.
annotated checklist of the grsshoppers
Carbonell, C.S. 2002. The grasshopper Tribe (Orthoptera: Acridoidea) of the Savanna
Phaepariini (Acridoidea: Romaleidae). The Ecosystem Project Study Area, Nylsvley.
Orthopterists’ Society. Philadelphia, Graphic Arts Division of the CSIR. THE
Pennsylvania. Republic of South Africa.

846
Biodiversitas Belalang (Acrididae: ordo Orthoptera)... Prakoso, B.

Guo, Z.; Hong, L.; Gan, Y. 2006. Grasshopper Lachat, T., Attignon, S. Djego, Joergen, G., Nagel,
(Orthoptera: Acrididae) biodiversity and P., Sinsin, B dan Peveling, R. 2006. Arthropod
grassland ecosystems. Insect Science., 13, Diversity in Lama Forest Reserve (South
221-227. Benin), a Mosaic of Natural,
Degraded and Plantation Forests.
Haes, E.C.M. 1997. Atlas of Grasshoppers,
Biodiversity and Conservation. pp.15:3–23.
Crickets and Allied Insects in Britain and
Ireland. The Stasionery office. London. Larson, D.P., O’neil, K.M., Kemp, W.P. 1999.
Evaluation of the Accuracy of Sweep
Haneda, N.F., Kusmana, C., dan Kusuma, F.D.
Sampling in Determining Grasshopper
2013. Keanekaragaman serangga di
(Orthoptera: Acrididae) Community
ekosistem mangrove. Jurnal Silvikultur
Composition. Journal of Agricultural and
Tropika. Vol. 4(1). Pp 42-46.
Urban Entomology., 16, pp 207-214.
Hanski, I. and J. Krikken. 1991. Dung beetles in
Leatemia, J. A dan Rumthe, R. Y. 2011. Studi
tropical forests in South-East Asia. In:
Hanski, I. and Y. Cambefort (eds.). Dung kerusakan akibat serangan hama pada
Beetle Ecology. Princeton: Princeton tanaman pangan di Kecamatan Bula,
University Press. Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi
Maluku, Jurnal Agroforestri. Vol. VI (1); 52-
Hartley, M.J. 2002. Rational and Methods for 56.
Conserving Biodiversity in Plantation
Forest. Forest Ecology and Management, Lee, C. Y. 2013. Urban forest insect pests and
155: 81-95. their management in Malaysia. Makalah
disampaikan dalam International
Hochkirch, A. 1996. Habitat Preferences of Symposium on forest health management.
Grasshoppers (Orthoptera: Acridoidea, Universiti sains Malaysia, Malaysia.
Eumastacoidea) in the East Usambara
Mountains, ne Tanzania, and Their Use for Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and its
Bioindication. Ecotropica. 2: 195-217. Measurement. Princeton University Press,
New Jersey.
Ingrisch, S. 1980. Zur Feuchte-Praferenz von
Martin and Bateson. 1993. Measuring Behaviour.
Feldheuschrekken und ihren Larven. Verh.
Ges. Okol. 8: 403-410. An Introductory Guide. Ed 2. Cambridge
University Press, Cambridge.
Iorgu, I., Pisica, E. Pais, L., Lupu, G and Iusan, C.
Mock, F.J. 1973. Land Capability Appraisal
2008. Checklist of Romanian Orthoptera
Indonesia Water Availability Appraisal.
(Insecta) and their distribution by eco-
FAC. 1-55.
regions. Travaux du Museum National de
Histoire Naturelle, Grigore Antipa. Vol. LI. Morris, M.G. 2000. The Effects of Structure and its
Pp 119–135. Dynamics on the Ecology and Conservation
of Arthropods in British Grasslands. Biological
Johnson, D.L. 2008. Grasshopper Identification
Conservation . 95. 129–142.
and Control methods to Protect Crops and
the Environment. Pulse Canada and Ogedegbe, A. B.O., and Amadasun, G.I. 2011.
Saskatchewan Agriculture and Food, Diversity of Grasshoppers in Two Forest
Canada. Ecosystems in Southern Nigeria. African
Scientist Vol. 12. No 3.
Joshi, P.C., Lockwood, J.A., Vashishth, N., Singh,
A. 1999. Grasshopper (Orthoptera: Philpott, S. M., and I. Armbrecht. 2006.
Acridoidea) Community Dynamics in a Biodiversity in tropical agroforests and the
Moist Deciduous Forest in India. Journal of ecological role of ants and ant diversity in
Orthoptera Research., 8, pp 17-23. predatory function. Ecological Entomology.
31: 369-377.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in
Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Probe and Scalpel, 1980. How To Dissect, William
Jakarta : PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Berman, Arco Publishing Company.
Terjemahan dari : De Plagen van de
Cultuurgewassen in Indonesie. Pp. 701. Pudjiharta, A. 1979. Pengaruh Tegakan Damar
(Agathis alba Foxw.) terha-dap Beberapa
Kirk, K. and Bomar, C.R. 2005. Guide to the Faktor Iklim Mikro dalam Hutan di
Grasshoppers of Wisconsin. Bureau of Baturaden. Laporan 317: 1-26. Lembaga
Integrated Science Services. Wisconsin Penelitian Hutan, Bogor.
Department of Natural Resources,
Madison. Rizali, A., D. Buchori., dan H. Triwidodo. 2002.
Kenaekargaman serangga pada lahan
persawahan-tepian hutan: indikator untuk
1
8
7
Biosfera Vol 34, No 2 Mei 2017 : 80-88 DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.2.490

kesehatan lingkungan. Hayati. Vol. 9. No. 2: Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas
41-48. Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Rowell, C.H.F. 1987. The biogeography of Costa Tofani, D.P. 2008. Keanekaragaman serangga di
Rican acridid grassoppers in relation to hutan alam resort Cibodas, Gunung Gede
their putative phylogenetic origins and pangrango dan hutan tanaman jati di KPH
ecology. Pp. 470-482 in Baccetti, B. (eds). Cepu [skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut
Evolutionary biology of Orthopteroid Pertanian Bogor.
insects, Chichester.
Ullah, M. 2012. Investigations on rangeland
Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu Budi daya dan grasshoppers: Ecoregion level Distribution,
Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Identification, feeding performance, and
Vegetation Clipping. Dissertation. University
Saha, H.K., Sarkar, A. and Haldar, P. 2011. Effects of Nebraska, Lincoln Nebraska.
of Antrophogenic Disturbance on the
Diversity and Composition of the Acridid Van, L.V. and Con, Q.V. 2011. Diversity Pattern of
Fauna of Sites in the Dry Deciduous Forest Butterfly Communities (Lepidoptera,
of West Bengal, India. Jornal of Biodiversity Papilionoidae) in Different Habitat Types in
and Ecological Science. No 1. Issue 4. 313- a Tropical Rain Forest of Southern
320. Vietnam.
Sanger, K. 1977. Uber die Beziehungen zwischen Wagner, R.G., Flynn, J., Gregory, R.,Metz,C.K.
Heuschrecken und der Raumstruktur ihrer and Slovic, P. 1998. Acceptable practices in
Habitate. Zool jahrb. Abt. Syst. Oekol. Ontario’s forest: differences between the
Geogr. Tiere 108: 433-488. public and forestry professionals. New
Forester. 16, 139-154.
Sudarmo, S. 2000. Tembakau, pengendalian
hama dan penyakit. Kanisius, Yogyakarta. Widhiono, I. 2003. Impact of Forest Modification
Hal 53. on Butterfly Along an Elevation Gradient at
Slamet Mountain, Central Java, Indonesia.
Cuvillier Verlag Gottingen, Germany.
Susniahti, N., Sumeno., dan Sudarjat. 2005.
Bahan ajar ilmu nama tumbuhan. Jurusan

82
88

S-ar putea să vă placă și