Sunteți pe pagina 1din 45

MAKALAH Commented [u1]: Acc siap print

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TBC

Oleh :

MUHAMMAD ALI SOBRI (14.401.16.062)

WIWIN APRILIA (14.401.16.090)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA

2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia adalah negeri dengan pravealensi TB ke-3 tertinggi didunia


setelah Cina dan India pada tahun 1998 diperkirakan TB di Cina, India, dan
Indonesia berturut-turut 1828 dan 591 kasus. Perkiraan kejadian BTA
disputum yang positif di Indonesia adalah 266 tahun 1998. Berdasarkan
survei kesehatan rumah tangga 1885 dan survei kesehatan nasional 2001, TB
menepati rsnking nomer 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di indonesia.
(Setiati, 2014 , hal. 864)

Penderita tuberculosisi dikawasan asia terus bertambah. Sejauh ini,


asia termasuk kawasan dengan penyebaran tuberculosis (TB) tertingi didunia.
Setiap 30 detik, ada satu pasien di asia meninggal dunia akibat penyakit ini.
11 dari 22 negara dengan angka kasus tertinggi berada di asia, diantaranya
Bangladesh, Cina, India, Indonesia, dan Pakistan. 4 dari 5 penderita TB di
Asia termasuk kelompok usia produktif. Di Indonesia, angka kematian akibat
TB mencapai 140.000 orang per tahun atau 8% dari korban meninggal
diseluruh dunia. Setiap tahun, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru TB, dan
75% penderita termasuk kelompok usia produktif. Jumlah penderita TB di
Indonesia merupakan ketiga terbesar diduni setelah di India dan Cina.
(Muttaqin, 2012, hal. 72)

B. Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada klien
yang mengalami TBC

C. Rumusan Masalah
1. Mengetahui secara lengkap tentang penuyakit TBC ?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menganalissi asuhan keperawatan pada klien yang mengalami TBC
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi penyakit TBC serta penyebabnya
b. Untuk mengetahui etiologi penyakit TBC
c. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit TBC
d. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit TBC
e. Untuk mengetahui manifestasi penyakit TBC
f. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien TBC
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP PENYAKIT TBC


1. Definisi

Tuberculosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama


menyerang parenkim paru. Tuberculosis paru adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh basil Mikrobacterium tuberkulosis yang
merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah yang
sebagian besar hasil tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru melalui
airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal
sebagai focus primer dari ghon. TBC adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman (Mycrobacterium Tuberculosis) yang
menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri
ini dapat masuk melalui pernapasan dan saluran pencernaan (GI) dan
luka terbuka pada kulit. Sebagian besar kuman TB menyerang paru
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tubercolosis.
Mycobacterium tubercolosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama diparu/berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial
tinggi. Penyakit tubercolosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat
menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,
tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah
pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena
gangguan atau ketidak efektifan respon imun B. (Wijaya & Putri, 2013)

2. Etiologi

Penyebab terjadinya TBC oleh Mycrobacterium tubercolosis


yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan
sensitive terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai
penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M.Avium.
(Muttaqin, 2012 , hal. 73)
Tuberkolosis digolongkan dua jenis yaitu :
a. Tuberkolosis Primer

Tuberkolosis primer adalah infeksi bakteri TB dari


penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap
bakteri TB . bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran
pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal saluran
pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh
makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini ditangkap
oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak
dalam tubuh makrofag yang lemah itudan menghancurkan
makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksit yang
menarik monisit (makrofag) dari aliran darah membentuk
tuberkel. Sebelum menhancurkan bakteri, makrofag harus
diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit
T. (Muttaqin, 2012 , hal. 73)

b. Tuberkolosis Sekunder

Setelah terjadi revolusi dari infeksi primer, sejumlah


kecil bakteri TB masih hidup dalam keadaan dorman di jaringan
parut. Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami
kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB pasca primer /TB
sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme,
keganasan, silikosis, diabetes melitus, dan AIDS. (Muttaqin,
2012, hal. 74)

Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar


limfe regional dan prgan lainnya jarang terkena, lesi lebih
terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi dengan
adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi
pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan
menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas dan disebut
tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif
akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara umum,
dapat dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi
lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang
dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed hipersensivity)
(Muttaqin, 2012, hal. 74)

Tubercolosis disebabkan oleh bakteri tumbuh-lambat yang


disebjt Mycrobacterium tubercolosis, yang menyerang orang
dengan faktor resiko :
1) Pasien dengan kelainan yang melemah sistem kekebalan.
2) Orang yang memiliki kontak dekat dengan penderita TB
aktif.
3) Orang yang hidup atau bekerja di daerah padat penduduk.
4) Mereka yang memiliki sedikit akses hingga tidak
mempunyai akses sama sekali terhadap pelayanan
kesehatan yang memadai.
5) Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Orang yang bepergian ke daerah dimana kasus TB
mewabah (Muttaqin, 2012, hal. 74)
3. Tanda dan Gejala
Pada stadium awal penyakit TB paru tidak menunjukan
tanda dan gejala yang spesifik. Namun seiiring perjalanan penyakit
akan menambah jaringan parunya mengalami kerusakan, sehingga
dapat meningkatkan dapat meningkatkan produksi sputum yang
ditunjukan dengan seringnya klien batuk sebagai bentuk
kompensasi pengeluaran dahak (Nixson Manurung, 2016, hal. 47).
Selain itu, klien dapat merasa letih, lemah berkeringat pada
malam hari dan mengalami penurunan berat badan yang berarti.
Secara rinci tanda dan gejala TB paru ini dapat dibagi atas 2 (dua)
golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik (Santa
Manurung S. M., 2013 , hal. 106)
a. Gejala sistemik adalah
1) Demam
Demam merupakan gejala pertama dari tuberkolosis
paru, biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai
dengan keringat mirip demam influenza yang segera
mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi
kuman, serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah
3 bulan, 6 bulan, 9 bulan. Demam. Demam dapat mencapai
suhu tinggi yaitu 40ᵒ-41℃.
2) Malaise
Kerena tuberkolosis bersifat radang menahun, maka
dapat terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu
makan berkurang , badan makin kurus, sakit kepala, mudah
lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi
gangguan siklus haid. (Santa Manurung S. M., 2013 , hal.
107)
b. Gejala respiratorik adalah
1) Batuk
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah
melibatkan bronkhus. Batuk mula-mula terjadi oleh karna
iritasi bronkhus; batuk akan menjadi produktif. Batuk akan
menjadi produktif ini berguna untuk membuang produktif.
Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk-
produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid
atau purulen.
2) Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembulu darah
berat dan ringannya batuk darah yang timbul, tergantung
besal kecilnya pembulu darah yang pecah, batuk darah
tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada
dinding kavitas, juga dapat terjadi karena ulserasi pada
mukosa bronkhus, batukdarah inilah yang paling sering
membawa penderita berobat kedokter.
3) Sesak nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut
dengan kerusakakn paru yang cukup luas. Pada awal
pemyakit gejala ini tidak pernah ditemukan.
4) Nyeri dada
Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang
terdapat dipleura, terkena, gejala ini dapat bersifat lokal
atau pleuritik (Santa Manurung S. M., 2013 , hal. 108).
4. Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya
dinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu dsampai tiga basil
karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung
dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus
(biasanya di bagian bawah lobus atas atau bagian atas lubus bawah)
basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri
tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama
maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit
atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui
kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi
lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung
selama 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran
yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan
granulasi disekitarnya yang teridir dari sel epiteloid dan fibroblas
menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,
membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya


kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon yang
mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang
kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang
terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas
ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari
paru atau basil dapat terbawa ke laring, telingan tengahatau usus. Kvitas
kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan
perbatasan bronkus. Bahan perkekejuan dapat mengental sehingga tidak
dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi
berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan
gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar
melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen).
Organisme yang lolos dari kelnjar limfe akan mencapai aliran darah
dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan
lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan
tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan
tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh (Wijaya &
Putri, 2013, p. 138).

5. Klasifikasi

Klasifikasi tuberkolosis dari system lama :


a. Pembagian secara patologis
1) Tuberkolosis primer (childhood tuberkolosis)
Bila penyakit terjadi infeksi pertama kali. Umumnya TBC
primer dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat dan ada juga
sembuh dengan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik tetapi ada
kemungkinan dikemudian hari dapat mengalami kekambuhan.
2) Tuberkolosis post-primer (adult tuberkulosis)
Bila penyakit timbul setelah beberapa waktu sesorang
terkenan infeksi primer menyembuh dan sering didapatkan kuman
dalam sputum merupakan sumber penularan. Dikenal dua
golongan TBC pasca-primer yaitu TBC sekunder dan tertier. TBC
sekunder berjalan akut manifestasi alergi lebih berat, sedangkan
TBC tertier berjalan kronik dan produktif. Penularan TB paru
erjadi karena kuman dibatukkan atau dibersihkan keluar menjadi
droplet nuclei dalam udara (airbone), partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama satu-dua jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan
kelembapan. Dalam udara suasana lembab dan gelap kuman dapat
bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi
ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas
atau paru-paru, setelah mengalami berbagai hambatan sepanjang
saluran nafas bagian atas dan bawah implantasi kuman terjadi
pada “Respiratory Broncial atau Alveoli”. (Nurarif & Kusuma,
2015, hal. 47)
Klasifikasi menurut American Thoracic Society :
a. Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat
kontak negativ, tes tuberculin negative.
b. Kategori 1 : terpajan tuberkolosis, tapi tidak terbukti ada infeksi.
Disini riwayat kontak positif, tes tuberculin negative.
c. Kategori 2 : terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin
positif, radiologis dan sputum negative.
d. Kategori 3 : terinfeksi tuberculosis dan sakit. (Nurarif & Kusuma,
2015, hal. 48)
Klasifikasi diindonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis,
dan makro biologis :
a. Tuberkulosisi Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b. Bekas Tuberkulosis Paru ( Tuberkulosis ekstra paru) adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
c. Tuberkulosisi Paru tersangka, yang terbagi dalam :
1) TB tersangka yang diobati : sputum BTA(-), tetapi tanda-tanda
lain positif.
2) TB tersangka yang tidak diobati : spurum BTA (-) dan tanda-
tanda lain juga meragukan. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 48)

Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu :


(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 48)
a. Kategori 1, ditunjukan terhadap :
1) Kasus batu dengan sputum positif.
2) Kasus baru dengan bentuk TB berat.
b. Kategori 2, ditujukan terhadap :
1) Kasus kambuh
2) Kasus gagal dengan sputum BTA positif
c. Kategori 3, ditujukan terhadap :
1) Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang luas.
2) Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori
d. Kategori 4, ditujukan terhadap : TB kronik

6. Kompilkasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada klien TB Paru :
a. Komplikasi Dini
Perluasan fokus primer ke jaringan paru (parenkim) lainnya
sehingga terbentuk suatu infiltrat yang luas, yang disebut
parenkim matous type atau tubercolosis neumonia. Bial fokus
primer berada dekat dengan cabang v. Pulmpnalis maka kuman
akan masuk dalam sirkulasi darah dan menyebabkan penyebaran
hematogen ke organ-organ dalam tubuh dan mengakibatkan
terjadinya TBC miliar. Bila masuk ke dalam cabang-cabang
bronkus akan terjadi penyebaran bronkogen ke jaringan paru
lainnya. Bila dekat fokus primer dekat dengan pleura, akan
menyebabkan pleuritis TBC. Pada tahap kronik akan ditemukan
nemfisema paru dan atelektasis. (Manurung, 2016 , hal. 47)
b. Komplikasi lanjut
1) Kerusakan tulang dan sendi
Nyeri tulang punggung dan kerusakan sendi bisa terjadi
ketika infeksi kuman TB menyebbar dari paru-paru ke
jaringan tulang. Dalam banyak kasus, tulang iga juga bisa
terinfeksi dan memicu nyeri di bagian.
2) Kerusakan otak
Kuman TB yang menyebar hingga ke otak bisa menyebabkan
meningitis atau peradangan pada selaput otak. Radang
tersebut memicu pengbengkakan pada membran yang
menyelimuti otak dan seringkali fatal atau mematikan.
3) Kerusakan hati dan ginjal
Hati dan ginjal membantu menyaring pengotor yang ada di
aliran darah. Fungsi ini akan mengalami kegagalan apabila
kedua organ tersebut terinfeksi oleh kuman TB.
4) Kerusakan jantung
Jaringan di sekitar jantung uga bisa terinfeksi oleh kuman
TB. Akibatnya bisa terjadi cardiac tamponade, atau
peradangan dan penumpukan cairan yang membuat jantung
jadi tidak efektif dalam memompa darah dan akibatnya bisa
sangat fatal.
5) Gangguan mata
Ciri-ciri mata yang sudah terinfeksi TB adalah berwarna
kemerahan, mengalami iritasi dan membengkak di retina atau
bagian lain.
6) Resitensi kuman
Pengobatan dalam jangka panjang seringkali membuat pasien
tidak disiplin, bahkan ada yang putus obat karena bosan.
Pengobatan yang tidak tuntas atau tidak disiplin akan
membuat kuman menjadi resitensi atau kebal, sehingga harus
diganti dengan obat lain yang lebih kuat efek samping yang
tentunya lebih berat (Nixson Manurung, 2016 , hal. 48)
7. Pathway
Microbacterium Droplet infection Masuk lewat jalan nafas
tuberkulosa

Menempel pada
paru

Keluar dari Dibersihkan oleh makrofag Menatap di jaringan paru


trancheobionchial
bersama sekret Terjadi proses peradangan

Sembuh tanpa
pengobatan Pengeluaran zat pirogen Tumbuh dan
berkembang di
Mempengaruhi sitoplasma makrofag
hipothalamus
Sarang primer/afek
Mempengaruhi sel point primer (fokus ghon)

Hipertermi

Komplek primer Limfangsit lokal Limfadinitas regional

Menyebar ke organ lain Sembuh sendiri tanpa Sembuh dengan bekas


(paru lain, saluran pengobatan fibrosis
pencernaan, tulang)
melalui media
(bronchogen
percontinuitum,
hematogen, limfogen)

Radang tahunan dibronkus Pertahanan primer tidak


adekuat
Berkembang
menghancurkan jaringan Pembentukan tuberkel Kerusakan membran
ikat sekitar alveolar
Bagian tengah nekrosis Pembentukan sputum Menurunnya permukaan
berlebihan efek paru
Membentuk jaringan keju
Ketidak efektifan Alveolus
bersihan jalan napas
Sekret keluar saat batuk
Alveolus mengalami
konsolidasi & eksudasi
Batuk produktif(batuk terus-
menerus)
Gangguan pertukaran
gas
Droplet
c infection Batuk berat

Terhirup orang sehat Distensi abdomen

Resiko infeksi Mual, muntah

Intake nutrisi kurang

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh

(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 49)


8. Penatalaksanaan
Pengobatan TBC di Indonesia sesuai program nasional menggunakan
panduan OAT yang diberikan dalam bentuk kombipak, sebagai berikut :
(Santa Manurung S. M., 2013, hal. 112)
Penatalaksanaan tuberkolosis paru
a. Diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein)
b. Pemberian obat-obatan :
1) OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
2) Bronkodilator
3) Ekspektoran
4) Obat batuk hitam (OBH)
5) Vitamin

Pengobatan yang teratur :

a. Isoniazid
b. Rifampisin
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Ethambutol
Cara pemberian (kombinasi pemberian)

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3. Dalam kategori jenis pertama ini


penderita selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid,
dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya
minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap
lanjutan). Pemberian obat TBC ini diberikan kepada pasien baru TBC
paru dengan hasil BTA positif, penderita TBC ekstra paru (TBC di
luar paru-paru) yang berat.

Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3. PengobatanDiberikan kepada


penderita yang kambuh. Pasien yng mengalami gagal terapi dan juga
kepada penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3. Pengobatan Tuberkulosis kategori ketiga
ini diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung
aktif.

INH 5 – 15 mg/kg BB/hari (maks.300 mg/hari)


Streptomisin 15-30 mg/kg BB/hari (maks 1 g/hari)
) Rifampisin 10-15 mg/kg BB/hari (maks 600 mg/hari)
Pirazinamid 25-35 mg/kg BB/hari (maks 2 g/hari)
diberikan 1 atau 2x
Etambutol 15-20 mg/kg BB/hari (maks 2,5 g/hari)
B. Konsep Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas :
Penyakit tuberkulosis (TB) dan dapat menyerang manusia mulai
dari usia amnak sampai dewasa dengan perbandingan yang
hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini
biasanya banyka ditemukan pada pasien yang tinggal didaerah
dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya
matahari ke dalam rumah sangat minim. (Somantri, 2012, hal. 68)
b. Status kesehatan saat ini
1) Keluhan Utama
a) Demam : subfebris, febris (40-41℃) hilang timbul.
b) Batuk : terjadi karena adanya iritasi bronkus. Batuk ini
terjadi untuk membuang/mengeluarkan produksi radang
yang dimulai dari batuk kering samapai dengan batuk
purulen (menghasilkan sputum).
c) Sesak napas : bila sudah lanjut di mana infiltrasi radang
sampai setengah paru-paru.
d) Nyeri dada : jarang di temukan, nyeri akan timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
e) Malaise : ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot,
dan keringat malam.
f) Sianosis, sesak napas, dan kolaps merupakan gejala
atelektasis. Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat
bernapas dan jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada
foto toraks, pada sisi yang sakit tampak bayangan hitam
dan diafragma menonjol ke atas.
g) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena
biasanya penyakit ini muncul bukan karena sebagai
penyakit keturunan tetapi merupakan penyakit infeksi
menular. (Muttaqin, 2012, hal. 82)
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
a) Batuk
b) Sesak napas
c) Nyeri dada (Muttaqin, 2012, hal. 82)
3) Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan


gangguan yang paling sering dikeluhkan, mula-mula
nonproduktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah
bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk akan timbul
apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus, di mana
terjadi iritasi jaringan. Batuk akan timbul apabila proses
penyakit telahmelibatkan bronkus, batuk akan menjadi
produktif yang berhuna untuk membuang produk ekskresi
peradangan dengan sputum yang bersifat mukoid atau
purulen. (Muttaqin, 2012, hal. 83)

Klien TB paru sering menderita batuk darah.


Adanya batuk darah menimbulkan kecemasan pada diri
klien karena batuk darah sering dianggap sebagai suatu
tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya. Kondisi
seperti ini seharusnya tidak terjadi jika perawat
memberikan pelayanan keperawatan yang baik pada klien
dengan memberi penjelasan tentang kondisi yang sedang
terjadi pada dirinya. Wilson-barnett dalam Nancy Roper
(1996) mengatakan bahwa adanya hubungan terapeutik
dengan menjelaskan kepada klien mengenai apa yang akan
terjadi pada dirinya dapat mengurangi kadar tingkat
kecemasannya. (Muttaqin, 2012, hal. 83)
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat penyakit sebelumnya
Pada riwayat dahulu biasanya keadaan atau penyakit-
penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin
sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA, efusi
pleura, serta tuberkulosis paru yang kembali aktif. (Joyce M.
Black, 2014, hal. 319)
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji
apakah sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan
bstuk lama pada masa kecil, tuberkolosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang
memperbesar TB paru seperti diabetes miletus (Muttaqin,
2012, hal. 86)
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh
klien pada masa yang lalu yang masih relevan, obat-obat ini
meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping
yang terjadi di masa lalu. Adanya alaergi obat juga harus
ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul. Sering kali klien
mengacaukan suatu alergi dengan efek samping obat. Kaji
lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan
(BB) dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien
dengan TB paru berhubungan erat dengan proses
penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang
sering disebabkan karena meminum OAT. (Muttaqin, 2012,
hal. 86)
2) Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perlu
menyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor pedisposisi penularan di
fdalam rumah. (Muttaqin, 2012, hal. 86)
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum :
a) Kesadaran : Compos mentis
b) Tanda-tanda vital : pada klien TB paru biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan,
frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas,
denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan
peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit
penyulit seperti hipertensi. (Muttaqin, 2012, hal. 86)
2) Body System
a) System Pernapasan
1. Inspeksi : bentuk dada dan gerakan pernapasan.
Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan
proporsi diameter bentuk dada antero-posterior
dibandingkan proporsi diameter lateral. (Muttaqin,
2012, hal. 87)
2. Palpasi : palpasi trakhea, adanya pergeseran trakhea
menunjukkan-meskipun tetapi tidak spesifik-penyakit
dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai
adanya efusi pleura masif dan oneumothoraks akan
mendorong posisi trakhea ke arah berlawanan dari sisi
sakit. Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi
pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat
palpasi, grerakan dada saat bernapas biasanya normal
dan seimbang anara bagian kanan dan kiri. Adanya
penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya
ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan
parenkim paru yang luas. Getaran suara (femkitus
vokal), getaran yang terasa ketika perawat meletakkan
tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah
bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring
arah distal sepanjang pohon bronkial untuk membuat
dinding dada dalam gerakan resonan, terutama pada
bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi
pada dinding dada disebut taktil fremitus. Adanya
penurunan taktil fremitus pada klien TB paru biasanya
ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi
pleura masif, sehingga hantaran suara menurun karena
transmisi getaran suara harus melewati cairan yang
berakumulasi di rongga pleura. (Muttaqin, 2012, hal.
87)
3. Perkusi : pada klien TB paru minimal tanpa
komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi resonan
atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak
pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi
cairan di rongga pleura. Apabila disertai
pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan
terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisi paru ke sisi yang sehat. (Muttaqin, 2012, hal.
88)
4. Auskultasi : pada klien dengan TB paru didapatkan
bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk
mendokumentasikan hasil auskultasi didaerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar
melalui stetoskop ketika klien berbicara disebut
sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang
disertai komplikasi seperti efusi pleura dan
pneumthoraks akan didapatkan penurunan resonan
vokal pada sisi yang sakit. (Muttaqin, 2012, hal. 88)
b) Sistem Kardiovaskuler
1. Inspeksi : inspeksi tentang adanya jaringan parut dan
keluhan kelemahan fisik.
2. Palpasi : denyut nadi perifer melemah.
3. Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB
paru dengan efusi pleura masih mendorong ke sisi
sehat.
4. Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi
jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
(Muttaqin, 2012, hal. 88)
c) Sistem Persyarafan
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya
sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat.
Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah
meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat.
Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan
adanya konjungtiva anemis pada TB paru dengsn
hemoptoe masif dan kronis, dan sklera ikretik pada TB
paru dengan gangguan fungsi hati. (Muttaqin, 2012, hal.
88)
d) Sistem Perkemihan
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan
intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor
adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal
dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine
yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan
fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena
meminum OAT terutama Rifampisin. (Muttaqin, 2012,
hal. 88)
e) Sistem Pencernaan
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat badan. (Muttaqin, 2012, hal.
89)
f) Sistem Integumen
1. Inspeksi : turgor kulit buruk, kering, bersisik, hilang
lemak subkutis.
2. Palpasi : suhu badan klien biasanya meningkat 400-
410 C. (Manurung, 2016 , hal. 107)
g) Sistem Muskuloskelet
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien TB
paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan,
kelelahan, insomnia, pola hidup mentetap, dan jadwal
olahraga menjadi tidak teratur. (Muttaqin, 2012 , hal. 89)
h) Sistem Endokrin
1. Inspeksi : terdapat pembengkakan pada kelenjar getah
bening persisten.
2. Palpasi : pembesaran getah bening teraba. (Joyce M.
Black, 2014, hal. 324)
i) Sistem Reproduksi
Tidak terjadi kelainan pada sistem reproduksi kecuali jika
adanya penyakit yang menyertai. (Joyce M. Black, 2014,
hal. 321)
j) Sistem Pengindraan
1. Mata
Sklera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi
hati. (Muttaqin, 2012 , hal. 88)
2. Telinga
Tidak terdapat kelainan pada telinga kecuali jika
adanya komplikasi penyakit telinga yang menyertai.
(Manurung, 2016 , hal. 106)
3. Hidung
Tidak terdapat kelainan pada hidung kecuali jika
adanya komplikasi penyakit hidung yang menyertai.
(Manurung, 2016 , hal. 106)
k) Sistem Imun
Sistem imun yang non spesifik dapat menyebabkan
bakteri mycrobacterium tuberkulosis berkembang baik
karena sistem imun merupakan yang paling berperan
dalam penyebaran bakteri. (Joyce M. Black, 2014, hal.
321)
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah
TB Paru aktif biasanya ditemukan peningkatan leukosit
dan laju endap darah (LED)
b) Sputum BTA
Pemeriksaan bakteriologi dilakukan untuk menemukan
kuman tubaerkolosis. Diagnosa pasti ditegakkan bila pada
biakan ditemukan kuman tuberkolosis. Pemeriksaan
penting untuk diagnosa definitive dan menilai kemajuan
klien. Dilakukan 3 kali berturut-turut dan biakan atau
kultur BTA selama 4-8 minggu
c) Test tuberculin (Mantoux Test)
Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakkan
diagnosa terutama pada anak-anak. Biasanya diberikan
suntikan PPD (protein perified Derivation) secara
intracutan 0,1 cc. Lokasi penyuntikan umumnya pada ½
bagian atas lengan bawah sebelah kiri bagian depan.
Penilaian test tuberkolosis dilakukan setelah 48-72 jam
penyuntikan dengan mengukur diameter darp
pembengkakan (indurasi) yang terjadi pada lokasi
suntikan. Indurasi berupa kemerahan dengan hasil sebagai
berikut :
1. Indurasi 0,5 mm : negatif
2. Indurasi 6-9 mm : meragukan
3. Indurasi > 10 mm : positif. (Manurung, 2016 , hal.
110)
Pemeriksaan tambahan
1. Sputum culture : untuk memastikan apakah keberadaan M.
Tuberkolosis pada stadium aktif.
2. Ziehl neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body
fluid) : positif untuk BTA.
3. Skin test (PPD, mantoux, tine, and vollmer patch) : reaksi
positif (area indurasi 10 mm atau lebih, timbul 48-72 jam
setelah injeksi antigen intradermal) mengidentifikasi penyakit
sedang aktif.
4. Chest X-ray : dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi
awal di bagian atas paru-paru, deposit kalsium pada lesi
primer yang membaik atau cairan pleura. Perubahan yang
mengidentifikasi TB yang lebih berat dapat mencakup area
berlubang dan fibrosa.
5. Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung,
urine dan CSF, serta biopsi kulit) : positif untuk M.
Tuberkolosis.
6. Needle biopsi of lung tissue : positif untuk granuloma TB,
adanya sel-sel besar yang mengindikasi nekrosis.
7. Elektrolit : mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan
beratnya; misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air,
dapat ditemukan pada TB paru-paru kronis lanjut.
8. ABGs : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat, dan sisa
kerusakan paru-paru.
9. Bronkografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat
kerusakan paru-paru karena TB.
10. Darah : lekositosis, LED meningkat.
11. Test fungsi pau-paru : VC menurun, dead space meningkat,
TLC meningkat, dan menurunnya saturasi O2 yang merupakan
gejala sekunder dari fibrosis/infiltrasi parenkim paru-paru dan
penyakit pleura. (Manurung, 2016 , hal. 108)
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien dengan
TBC sebagai berikut : (PPNI, 2016)
a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
1) Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi
saluran napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.
2) Penyebab
Fisiologis
a) Spasme jalan napas
b) Hipersekresi jalan napas
c) Disfungsi neuromuskuler
d) Benda asing dalam jalan napas
e) Adanya jalan naps buatan
f) Sekresi yang tertahan
g) Hiperplasia dinding jalan napas
h) Proses infeksi
i) Respon alergi
j) Efek agen farmakologis (mis. Anastesi)
Situasional
a) Merokok aktif
b) Merokok pasif
c) Terpajan polutan
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif
(tidak ada)
Objektif :
a) Batuk tidak efektif
b) Tidak mampu batuk
c) Sputum berlebih
d) Mengi, wheezing dan/ronkhi kering
e) Mekonuim dijalan napas (pada neonatus)
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif
a) Dispnea
b) Sulit bicara
c) Ortopnea
Objektif
a) Gelisah
b) Sianosis
c) Bunyi napas menurun
d) Frekuensi napas berubah
e) Pola napas berubah
5) Kondisi klinis terkait
a) Gullian barre syndrome
b) Sklerosis multipel
c) Myasthenia gravis
d) Prosedur diagnostik (mis. Bronkoskopi, transesophageal
echocardiography (TEE)
e) Depresi sistem saraf pusat
f) Cedera kepala
g) Stroke
h) Kuadriplegia
i) Sindrom aspirasi mekonium
j) Infeksi saluran napas (PPNI, 2016, hal. 18)

b. Gangguan pertukaran gas


1) Definisi : kelebihan atau kekurangan oksigen dan/atau
eliminasi karbondioksida pada membran kapiler alveolus-
kapiler.
2) Penyebab :
a) Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
b) Perubahan membran alveolus-kapiler
3) Gejala dan tanda mayor :
Subjektif
a) Dipsnea
Objektif
a) PCO2 meningkat/menurun
b) PO2 menurun
c) Takikardi
d) Ph arteri meningkat/menurun
e) Bunyi napas tambahan
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif
a) Pusing
b) Penglihatan kabur
Objektif :
a) Sianosis
b) Diaforesis
c) Gelisah
d) Napas cuping hidung
e) Pola napas abnormal (cepat/lambat. Regular/iregular,
dalam/dangkal)
f) Warna kulit abnormal (mis.pucat, kebiruan)
g) Kesadaran menurun
5) Kondisi klinis terkait
a) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
b) Gagal jantung kongestif
c) Asma
d) Pneumonia
e) Tuberkulosis paru
f) Penyakit membran hialin
g) Asfiksia
h) Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPNH)
i) Prematuritas
j) Infeksi saluran napas (PPNI, 2016, hal. 22)
c. Defisit Nutrisi
1) Definisi :
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme
2) Penyebab :
a) Ketidakmampuan menelan makanan
b) Ketidakmampuan mencerna makanan
c) Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
d) Peningkatan kebutuhan metabolisme
e) Faktor ekonomi (mis, finansial tidak mencukupi)
f) Faktor psikologis (mis, stress, keengganan untuk makan)
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
a) Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif
a) Cepat kenyang setelah makan
b) Kram/nyeri abdomen
c) Nafsu makan menurun

Objektif

a) Bising usus hiperaktif


b) Otot pengunyah lemah
c) Otot menelan lemah
d) Membran mukosa pucat
e) Sariawan
f) Serum albumin turun
g) Rambut rontok berlebihan
h) Diare
5) Kondisi klinis terkait
a) Stroke
b) Parkinson
c) Mobius syndrome
d) Cerebral palsy
e) Cleft lip
f) Cleft palate
g) Amvotropic lateral sclerosis (PPNI, 2016, hal. 56)

d. Hipertermi
1) Definisi :
Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh
2) Penyebab :
a) Dehidrasi
b) Terpapar lingkungan panas
c) Proses penyakit (mis.infeksi, kanker)
d) Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
e) Peningkatan laju metabolisme
f) Respon trauma
g) Aktivitas berlebihan
h) Penggunaan inkubator
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif
(tidak ada)
Objektif
a) Suhu tubuh diatas nilai normal
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif :
a) Kulit merah
b) Kejang
c) Takikardi
d) Takipnea
e) Kulit terasa hangat
5) Kondisi klinis terkait
a) Proses infeksi
b) Hipertiroid
c) Stroke
d) Dehidrasi
e) Trauma
f) Prematuritas (PPNI, 2016, hal. 284)

3. Intervensi
a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
1) Tujuan
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x 24 jam
diharapkan bersihan jalan nafas yang efektif.
2) Kriteria hasil
Menunjukkan bersihan jalan napas yang efektif, yang
dibuktikan oleh pencegahan aspirasi ; Status ; Pernapasan ;
Kepatenan Jalan Napas ; dan Status Pernapasan ; Ventilasi tidak
terganggu. (Wilkinson, 2016)
Menunjukkan status pernapasan ; kepatenan jalan napas, yang
dibukyikan oleh indikator gangguan sebagai berikut :
a) Frekuensi dan irama pernapasan
b) Kedalaman inspirasi
c) Kemampuan untuk mebersihkan sekresi
d) Batuk efektif
e) Mengeluarkan sekeret secara efektif
f) Mempunyai jalan napas yang paten
g) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang
jernih
h) Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang
normal
i) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
j) Mampu mendiskripsikan rencana untuk perawatan dirumah
3) Intervensi (NIC)
Aktivitas Keperawatan
Kaji dan dokumentasi hal- hal berikut ini :
a) Ketidakefektifan pemberian oksigen dan terapi lain
b) Ketidakefektifan obat yang diprogramkan
c) Hasil oksimetri nadi
d) Kecenderungan pada gas darah arteri, jika tersedia
e) Frekuensi kedalaman, dan upaya pernapasan
f) Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif,
mukus kental, dan keletihan.
Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napa
tambahan.
Pengisapan jalan napas (NIC)
Tentukan pengisapan oral atau trakea pantau status oksigen
pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (tingkat
MAP dan irama jantung segera sebelum, selama, dan stelah
penghisapan.
Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan
Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
a) Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (mis,
oksigen, mesin pengisapan, spirometer, inhalare, dan
intermittent positive prssure breathing (IPPB)
b) Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan
merokok di dalam reuang perawatan, beri penyuluhan
tentang pentingnya berhenti merokok.
c) Intruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas
dalam untuk memudahkan pengeluaran sekret.
d) Ajarkan pasiwn untuk membebat/mengganjal luka insisi
pada saat batuk.
e) Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada
sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau.
f) Pengisapan Jalan Napas (NIC) instruksikan kepada pasien
dan/atau keluarga tentang cara pengisaan jalan napas, jika
perlu.
Aktivitas Lain
a) Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran
sekret
b) Anjurkan penggunaan spirometer insentif
c) Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari
satu sisi tempat tidur ke sisi tempat tidur yang lain
sekurangnya setiap dua jam sekali
d) Informasikan kepada pasien sebelum sebelum memulai
prosedur, untuk menurunkan kecemasan dan menungkatkan
kontrol diri.
e) Berikan pasien dukungan emosi (misalnya meyakinkan
pasien bahwa batuk tidak akan menyebabkan robekan atau
“kerusaka” jahitan)
f) Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk
pengembangan maksimal rongga dada (misalnya bagian
kepala tempat tidur di tinggikan 450C kecuali ada
kontraindikasi
g) Pengisapan nasofaring atau orofaring untuk mengeluarkan
sekret setiap,.
h) Lakukan pengisapan endotrakea atau nasotrakea, jika perlu
(hiperoksigenasi dengan ambu bag sbelum dan stelah
pengisapan selang endotrakea atau trakeostomi)
i) Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan
sekret
j) Singkirkan atau tangani faktor penyebab, seperti nyeri,
keletihan, dan sekret yang kental
Aktivitas Kolaboratif
a) Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
b) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk
perkusi atau peralatan pendukung.
c) Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi
(dilembapkan) sesuai dengan kebijakan institusi
d) Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer
ultrasonik, dan perawatn paru lainnya sesuai dengan
kebijakan dan protokol institusi
e) Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal
(Wilkinson, 2016, hal. 25)

b. Gangguan pertukaran gas


1) Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24
jam diharapkan tidak terjadi gangguan pertukaran gas.
2) kriteria evaluasi
a) Gangguan pertukaran gas akan berkurang, yang
dibuktijkan oleh tidak terganggunya respon alergi :
sistemik, keseimbangan elektrolit dan asam-basa, respon
ventilasi mekanis : orang dewasa, status pernapasan;
pertukaran gas, status pernapsan; ventilasi, perfusi
jaringan paru, dan tanda-tanda vital.
b) Status pernapasan : pertukaran gas tidak akan terganggu
yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai beriku
(sebutkan 1-5 gangguan ekstrem , berat , sedang, ringan,
atau tidak ada gangguan ( ; status kognitif PaO2, PaCO2,
Ph arteri, dan saturasi 02 , tidal akhir CO2
c) Status pernapasan : pertukaran gas tidak akan terganggu
yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut
(sebutkan 1-5 gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan,
atau tidak ada gangguan) :
Dispnea saat istirahat
Dispnea saat aktivitas berat
Gelisah, sianosis, dan somnolen
d) Status pernapasan : ventilasi tidak akan terganggu yang
dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (1-5 :
ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan) :
Frekuensi pernapasan
Irama pernapasan
Kedalam inspirasi
Ekspulasi udara
Dispnea saat istirahat
Bunyi napas auskultasi
3) Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Kaji suara paru; frekuensi anapa, kedalaman, dan usaha napas;
dan produksi sputum sebagai indikator kefektifan penggunaan
alat penunjang.
a) Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi.
b) Pantau hasil gas darah (mis., kadar PaO2 yang rendah, dan
PaCO2 yang tinggi menunjukkan perburukan pernapasan)
c) Pantau kadar elektrolit
d) Pantau status mental (mi., tingkat kesadran, gelisah, dan
konfusi)
e) Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampat
somnolen.
f) Observasi terhadap sianosis, terutama membran mukosa
mulut.
g) Management jalan napas (NIC)
Identitas kebutuhan pasien terhadap pemasangan jalan
napas aktual ataumpotensial
Auskultasi suara napas, tandai area penurunan atau
hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
Pantau status pernapasan dan oksigenasi, sesuai dengan
kebutuhan
h) Pengaturan Hemodinamik(NIC)
Auskultasi bunyi jzntung
Pantau dan dokumentasikan frekuensi, irama, dan denyut
jantung
Pantau adanya edema perifer, distensi vena jugularis, dan
bunyi jantung S3 dan S4
Pantau fungsi alat pacu jantung, jika sesuai.

Penyuluhan untuk Pasien/keluarga

a) Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen,


pengisap, spirometer, dan IPPB)
b) Ajarkan kepada pasien teknik bernapas dan relaksasi
c) Jelaskan kepada pasien dan keluarga alasan pemberian
oksigen dan tindakan lainnya.
d) Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa merokok
itu dilarang.
e) Management jalan napas (NIC)
Ajarkan tentang batuk efektif
Ajarkan kepada pasien bagaimana menggunakan inhaler
yang dianjurkan, sesuai dengan kebutuhan
Aktivitas Lain
a) Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelasanaaan
prosedur, untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan
rasa kendali
b) Beri penenangan kepada pasien selama periode gangguan
atau kecemasan
c) Lakukan higiene oral secara teratur
d) Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen
(mis,. Pengendalian demam dan nyeri, mengurangi ansietas)
e) Apabila oksigen diprogramkan bagi pasien yang memiliki
masalah pernapasan kronis, pantau aliran oksigen dan
pernapasan secara hati-hati karena adanya resiko depresi
pernapasan akibat iksigen
f) Buat rencana perawatan untuk pasien yang menggunakan
ventilator, yang meliputi :
Meyakinkan keadekuatan pemberian oksigen dengan
melaporkan ketidaknormalan gas darah arteri,
menggunakan Ambu bag yang dilekatkan pada sumber
oksigen di sisi tempat tidur, dan lakukan hiperoksigenasi
sebelum melakukan pengisapan
Meyakinkan keefektifan pola pernapasan dengan mengkaji
sinkronisasi dan kemungkinan kebutuhan sedasi
Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan melakukan
pengisapan dan mempertahankan slang endotrakea atau
penggantian slang endotrakea ditempat tidur
Memantau komplikasi (mis., pneumotoraks, aerasi
unilateral)
Memastikan ketepatan penempatan slang ET
g) Managemen jalan napas (NIC)
Atur posisi untuk memaksimalkan potensi ventilasi
Atur posisi untuk mengurangi dispnea
Pasang jalan napas melalui mulut atau nasofaring sesuai
dengan kebutuhan
Bersihkan secret dengan menganjurkan batuk atas melalui
pengisapan
Dukung untuk bernapas pelan, dalam; berbalik, dan batuk
Bantu dengan spirometer insentif, jika perlu
Lakukan fisioterapi dad, jika perlu
h) Pengaturan Hemodinsmik (NIC)
Tinggikan bagian kepala tempat tidur, jika perlu atur posisi
pasien ke posisi trendelenburg, jika perlu

Aktivitas Kolaborasi

a) Kolaborasikan dengan dokter tentang pentingnya


pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat
bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan
kondisi pasien
b) Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (mis.,
sensorium pasien, suara napas, pola napas, analisis gas
darah arteri, sputum, efek obat)
c) Berikan obat yang diresepkan (mis., natrium bikarbonat)
untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa
d) Persiapan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu
e) Management jalan napas (NIC)
Berikan udara yang dilembabkan atau oksigen, jika perlu
Berikan bronkodilator, jika perlu
Berikan terapi aerosol, jila perlu
Berikan terapi nebulasi ultrasonik, jika perlu
f) Pengaturan Hemodinamik (NIC): berikan obat anti aritmia,
jika perlu (Wilkinson, 2016, hal. 185)

c. Defisit nutrisi
1) Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24
jam diharapkan kebutuhan terpenuhi
2) Kriteria Hasil :
a) Memperlihatkan berat badan
b) Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat
c) Mungkapkan tekad untuk mematuhi diet
d) Menoleransi diet yang dianjurkan
e) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas
normal
f) Memiliki nilai laboratorium (mis, transferin, albumin, dan
elektrolit) dalam batas normal
g) Melaporkan tingkat energi yang adekuat
3) Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
a) Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
b) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi
c) Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin,
dan elektrolit
d) Managemen nutrisi (NIC)
Ketahui makanan kesukaan pasien
Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
Timbang pasien pada interval yang tepat
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Ajarkan metode untuk perencanaan makan
b) Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang bergizi dan
tidak mahal
c) Manajemen nutrisi (NIC) : berikan informasi yang tepat
tentang kebutuhaan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
Aktivitas lain
a) Buat perencanaan makan dengan pasien yang masuk dalam
jadwal makan, lingkungan makan, kesukaan dan
ketidaksukaan pasien, serta suhu makanan
b) Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan
kesukaan pasien dari rumah.
c) Bantu pasien menulis tujuan minggunya yang realistis untuk
latihan fisik dan asupan makanan
d) Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan
latihan fisik di lokasi yang terlihat jelas dan kaji ulang setiap
hari.
e) Tawarkan makanan porsi besar di siang hari ketika nafsu
makan tinggi.
f) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan
(mis, pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap
dipandang)
g) Hindari prosedur invasif sebelum makan
h) Suapi pasien, jika perlu
i) Manajemen nutrisi (NIC) :
Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi
protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila
memungkinkan.
Ajarkan pasien tentang cara membuat catatan harian
makanan, jika perlu
Aktivitas kolaboratif
a) Diskusikan dengan ahli gizi dalam menetukan kebutuhan
protein pasien yang mengalami ketidakadekuatan asupan
protein atau kehilangan protein (mis, pasien anoreksia
nervosa, penyakit glomerular atau dialisis peritoneal)
b) Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasikan nafsu
makan, makanan pelengkap, pemberian makanan melalui
slang, atau nutrisi parenteral total agar asupan kalori yang
adekuat dapat dipertahankan.
c) Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan
nutrisi.
d) Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien
tidak dapat membeli atau menyiapkan makanan yang
adekuat.
e) Manajemen nutrisi (NIC) : tentukan dengan melakukan
kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori
dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi(khususnya untuk pasien dengan kebutuhan
energi tinggi, sperti pasien pascabedah dan luka bakar,
trauma, demam, dan luka) (Wilkinson, 2016, hal. 282)
d. Hipertermi
1) Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24
jam diharapkan
2) Kriteria Hasil
Pasien akan menunjukkan Termoregulasi, yang dibuktikan oleh
indikator gangguan sebagai berikut:
a) Peningkatan suhu kulit
b) Hipertermia
c) Dehidrasi
d) Mengantuk
Pasien akan menunjukkan Termoregulasi, yang dibuktikan
oleh indikator sebagai berikut :
e) Berkeringat saat panas
f) Denyut nadi radialis
g) Frekuensi pernapasan
3) Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
a) Pantau aktivitas kejang
b) Pantau hidrasi (mis.turgor kulit, kelembapan membran
mukosa)
c) Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi
pernapasan
d) Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan
suhu lingkungan

Untuk pasien bedah :

a) Dapatkan riwayat hipertermia maligna, kematian akibat


anestesi, atau demam pasca bedah pada individu dan
keluarga
b) Pantau tanda hipertermia maligna (mis, demam.
Takipnea, aritmia, perubahan tekanan darah bercak pada
kulit, kekakuan, dan berkeringat banyak)
e) Regulasi suhu (NIC) :
a) Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan
kebutuhan
b) Pasang alat pantau suhu inti tubuh kontinu, jika perlu
c) Pantau warna kulit dan suhu.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
a) Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk
mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (mis,
stroke bahang dan keletihan akibat panas)
b) Regulasi suhu (NIC) : ajarkan indikasi keletihan akibat
panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan, jika
perlu.
Aktivitas Lain
a) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien
dengan selimut saja
b) Gunakan waslap dingin (atau kantong es yang dibalit
dengan kain) di aksila, kening, tengkuk, dan lipat paha.
c) Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter sehari,
dengan tambahan cairan selama aktivitas yang
berlebihan atau aktivitas sedang dalam cuaca panas.
d) Gunakan kipas yang berputar diruangan pasien
e) Gunakan selimut pendingin
f) Untuk hipertermia maligna :

Lakukan perawatan kedaruratan sesuai dengan protokol

Sediakan peralatan kedaruratan di area operasi sesuai


dengan protokol.

Aktivitas Kolaboratif
a) Regulasi suhu (NIC)

Berikan obat antipiretik, jika perlu


Gunakan matras dingin dan mandi air hangat untuk
mengatasi gangguan suhu tubuh, jika perlu (Wilkinson,
2016, hal. 48)
DAFTAR PUSTAKA

Judith, W. d. (2016). Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Buku kedokteran EGC.


Kusuma, A. (2015 : 00). Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
NANDA NIC-NOC Jilid 3. Jogjakarta.
Muttaqin, A. (2012 : 74). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta Selatan: Salemba Medika.
Nixson Manurung, S. (2016). Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory.
Jakarta.
Ns. Andra Saferi Wijaya, S. ,. (2013 : 137). KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH 1. Yogyakarta: Nuha Medika.
Santa Manurung, S. M. (2013 : 108). Asuhan Keperawatan Gangguaan Sistem
Pernapasan Akibat Infeksi. Jakarta.
Setiati, S. (2014 ). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat.

Joyce M. Black, J. H. (2014). Keperawatan Medika Bedah : Manajemen Klinis


untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 - Buku 3. Jakarta: Salemba
Medika.
Somantri. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah.
Yogyakarta: Nuha Medika.

S-ar putea să vă placă și