Sunteți pe pagina 1din 32

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Defenisi Penyakit Lupus


Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh
pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri,
seperti, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ
tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal
dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang
rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang
persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem
yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).

1.2 Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak
normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan
obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita.
Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau
bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini
masih dalam kajian.

1.3 Patofis (Patofisiologis)


Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi

Page 1
antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor
pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan
tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T
terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel
B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet
dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein
dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral
semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurun
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,
kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme

Page 2
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang
resisten.

1.4 Manifestasi Klinis


Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit
lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala
mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap
penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa
kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
a) Artralgia
b) artritis (sinovitis)
c) pembengkakan sendi,
d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
e) rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi, dan
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

Page 3
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

1.5 Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi.
Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala
yang dapat berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis
penyakit ini semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika
inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.
Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obatakan
menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

1.6 Evaluasi Diagnostik


Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
 Batas normal : 70 _ 200 IU/mL
 Negatif : < 70 IU/mL
 Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif
pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada
dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-

Page 4
DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang
sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks
antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA
cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95%
penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan
dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan
kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka
penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes
negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan
juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka
sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin
kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

Page 5
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura
atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau
+++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.

1.7 Tinjauan Pengobatan


Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang
ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta
memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang
diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan
yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000),
sebagai berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga
juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang
spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada
pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).

Page 6
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya
pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan
selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-
2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator
inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal.
COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus
collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan
saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib
merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non
selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal,
2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID
yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang
lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak
meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan
seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal
et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting.

Page 7
Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan
antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T,
serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika
pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya
dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali
per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al.,
2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik
atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.
Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim
fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk
mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan
tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat
terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag
jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon
antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α,
metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian
kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan
gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi
klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3
sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan
potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan

Page 8
adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).
Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan
perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang
menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria
membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan
antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa
manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS
umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu
paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika
tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan
gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling
sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah
asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-
day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan
adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan
penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam,
atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan
penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ
besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan
tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala
(Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus
atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa
darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab
kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima
kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan

Page 9
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang
kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering
dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat
sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas
mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan
sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G)
sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai
imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena
itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang
perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse
therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin
dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita
lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit
ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah,
diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian
obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada
wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7. Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang
diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif
diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring
bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon
ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping
jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA
mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan

Page
10
sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun
demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus
herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster
dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima
kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan
kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan
golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang
sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya
infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan
itrakonazol (Katzung, 2002).

1.8 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon
1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering
off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas
permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

Page
11
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.

Page
12
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Uraian Masalah Keperawatan
a) Nyeri
b) Kerusakan intergritas kulit
c) Resiko penyebaran infeksi
Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.
Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

2.3 Intervensi (Rencana Tindakan)


1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Gangguan nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :
Skala Nyeri : 1-10
c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas
(skala nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian
balutan dan debridemen.

Page
13
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode
pemajanan pada udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup
tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas
eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat
dan/atau pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan
penggantian balutan dan debridemen.
5) I: Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan
mekanisme koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif,
napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan
rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan
kembali perhatian.
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional

Page
14
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier
infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif,
mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.


Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga
klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).

b) Kriteria Hasil :
Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi
yang diberikan
c) Rencana Tindakan dan Rasional
1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.

Page
15
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung
keamanan bagi pasien/orang lain.
3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.
5) I: Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit
sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung
pemulihan dan kemandirian.

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit
ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara
berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.

Page
16
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi
diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar
ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada
kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru
perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

3.2 Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :
1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik
sejak awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk
menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.

Page
17
TINJAUAN KASUS

I. PENGKAJIAN
1) IDENTITAS KLIEN
Nama : AN.N
Tempat/Tgl.Lahir : Gowa / 26-04-2016
Tanggal Masuk RS : 06 Juli 2018
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Borong Bilalang Kab. Gowa
Pendidikan : SMP
Sts. Perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam

II. Keluhan utama


Kulit terkelupas pada wajah dan pada kedua tangan dan kaki

III. Riwayat Penyakit


Klien masuk rumah sakit karena luka-luka disertai gatal dan perih seluruh badan. Yang dialami
sejak 1 bulan terakhir.Pasien riwayat terdiagnosa SLE sudah kurang lebih 2 tahun, dan teratur
mengkonsumsi methylprednisolon 1 x 4 mg yang diperoleh dari dr, spesialis anak.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Klien pernah dirawat dirumah sakit wisata UIT pada tahun 2014 dengan didiagnosa SLE

Page
18
V. Riwayat Penyakit kluarga

Ibu klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang sakit seperti dia

VI. Primary Survey


11 Fungsi Gordon :
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit : -
2. Pola Nutrisi Dan Metabolisme
a. Diet/ supplement Khusus : -
b. Intruksi Diet Sebelumnya : -
c. Nafsu Makan (Normal, Meningkat, Menurun) : Menurun
d. Penrunan Sensasi Kecap, Mual-Muntah, stomatitis : Muntah ( >6x )
e. Fluktuasi BB 6 Bulan Terakhir (Naik/ Turun) : Turun
f. Kesulitan Menelan (Disfagia) : Tidak
g. Gigi (Lengkap/ tidak, Gigi palsu) : Lengkap 32 buah
h. Frekuensi Makan : 3 X Sehari
i. Jenis Makanan : Nasi Sayur
j. Pantangan atau Alergi :-
3. Pola eliminasi
a. Buang Air Besar (BAB)
frekuensi : 4 X Sehari Waktu : Pagi
Warna : kekuningan
Kesulitan (Diare, Konstipasi, Inkontinensia) : -

Page
19
b. Buang Air Kecil (BAK)
Frekuensi : 5 X Sehari Warna : Kekuningan

4. Kemampuan Perawatan Diri


0 = mandiri
1 = dengan alat bantu
2 = dibantu orang lain
3 = dibantu orang lain dan peralatan
4 = ketergantungan / ketidak mampuan

Kegiatan / Aktivitas 0 1 2 3 4
Makan Dan Minum √
Berpakain Dan Berdandan √
Toileting √
Mobilisasi Ditempat Tidur √
Berpindah √
Berjalan √
Menaiki Tangga √
Berbelanja -
Memasak -
Pemeliharaan Rumah -

5. Alat Bantu (Pispot, Tongka, Kursi roda)


a. Kekuatan Otot :5
b. Kemampuan ROM : Terbatas
1. Pola istirahat dan Tidur
Lama Tidur : 8 Jam / hari
Waktu : Jam 21.00
Kebiasaan Menjelang Tidur : Menonton TV
Masalah Tidur / Insomnia : -

Page
20
2. Pola Kognitif Dan Persepsi
Status Mental (Sadar / Tidak, Orientasi Baik / Tidak) : Sadar
Bicara : Normal ( √ ) Gagap ( ) Aphaksia Ekpresif ( )
Kemampuan Berkomunikasi : Ya ( √ ) Tidak ( )
Kemampuan Memahami : Ya ( √ ) Tidak ( )
Tingkat Ansietes : Ringan ( ) Sedang ( √ ) Berat ( ) Panik ( )
Pendengran : DBN ( √ ) Tuli ( ) Kanan / Kiri, Tinitis ( ) Alat Bantu Dengar ( )
Penglihatan (DBN, Buta, Katarak, Kacamata, Lensakontak, DLL) : Normal
3. Persepsi Diri dan Konsep Diri
Perasaan Klien Tentang Masalah Kesehatan : -

4. Pola Peran Hubungan


Sistem Pendukung : Pasangan ( ), Tetangga ( ), Keluarga Serumah ( √ ), Keluarga
Tinggal Berjauhan ( ).
Masalah Keluarga Berkenaan Dengan Perawatan RS : Setuju
Kegiatan Sosial : gotong royong
5. Pola Seksual dan Reproduksi
Tanggal Menstruasi Terakhir (TMA) : -
Masalah Menstruasi : -
6. Pola Koping dan Toleransi Stress :
Perhatian Utama Tentang Perawatan Di RS Atau Penyakit ( Finansial, Perawatan Diri ) :
finansial
Penggunaan Obat Untuk Menghilangkan Stress : tidak
Keadaan Emosi Dalam Sehari – Hari (Santai/Tegang) : santai
7. Keyakinan Dan Kepercayaan
Agama : islam
Pengaruh Agama Dalam Kehidupan : berpengaruh positif
8. Pengkajian Head To Toe
a. Kepala :
 Bentuk : Mecocepalus
 Lesi / Luka : Tidak ada

Page
21
b. Rambut :
 Warna : Hitam
 Kelainan : -
c. Mata
 Penglihatan : Normal
 Sclera : Ikterik
 Konjungtiva : Normal
 Pupil : Unisokor
d. Hidung
 Penciuman : Normal
 Secret / Darah / Polip: -
 Tarikan Cuping Hidung : Tidak Ada
e. Telinga
 Pendengaran : Normal
 Secret / Cairan / Darah : -
f. Mulut & gigi
 Bibir : -
 Gusi : -
 Mulut dan Tenggorok : -
 Gigi : Lengkap 32
g. Leher
 Pembesaran Tyroid : Tidak
 Lesi : Tidak Ada
 Nadi Karotis : Teraba
h. Thorax
1. Jantung
 HR : 118 x /menit
 Palpasi : Normal
 Inspeksi : Tidak Ada Lesi
 Perkusi : Jantung terletak di interkosta 3 sampai 5
 Auskultasi : Sonor

Page
22
J. Paru-paru
 Irama nafas : teratur
 Inspeksi : tidak ada lesi
 Palpasi : vocal fremitus normal
 Perkusi : Normal
 Auskultasi : vesikuler
K. Abdomen
 Peristaltic usus : -
 Kembung : tidak
 Ascites : tidak
 Inspeksi : tidak ada lesi
 Auskultasi : timpani
 Perkusi : tidak ada kaku abdm
 Palpasi : -
M. Kulit
 Turgor : > 3 detik
 Warna kulit : sawo matang, kulit tampak luka dan terkelupas
, N. Ekstremitas
 Kekuatan otot : 5
 ROM : terbatas
 Akral : dingin
 Capillary refill time : > 3 detik
O. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium) :
Gamma GT : 432 U/L
GOT : 120 U/L
PLT : 230
5) Program terapi :
 Plaquinol 200 mg 1 x 1
 Methylprednisolon 4 mg 2 x 1
 cetirizine 10 mg 1 x 1

Page
23
 Ceftriaxone 1gr / 12 Jam / IV
 Fusilex Cream ( Pada Punggung )

Page
24
VII. ANALISI DATA
NO ANALISA DATA ETIOLOGI PROBLEM
DS : inflamasi Ganguan rasa nyaman
1. Pasien terkena alergi (nyeri)
2. Pasien mengatakan gatal-gatal dan
perih pada seluruh tubuh

1
DO :
1. Terdapat luka dan terkelupas pada
wajah , tangan dan kaki
2. Wajah sembab

DS : proses penyakit Kerusakan integritas


1. Pasien terkena alergi jaringan kulit
2. Pasien mengatakan gatal-gatal dan
perih pada seluruh tubuh
DO :
2.
1. Terdapat eritema pada wajah dan
badan
2. Wajah sembab
3. Terdapat edema palpebra

VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN PRIORITAS


1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d proses inflamasi
2. Kerusakan integritas jaringan kulit b/d Proses penyakit

Page
25
F. INTERVENSI KEPERAWATAN
N
DX KEP NOC NIC
O
Gangguan Setelah dilakukan tindakan  Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat
rasa keperawatan selama 3x24 jam lokasi, karakteristik, dan intensitas
nyaman diharapkan nyeri berkurang atau  Pertahankan suhu lingkungan nyaman,
(nyeri) b/d hilang berikan lampu penghangat, penutup
proses Dengan kriteria hasil : tubuh hangat.
inflamasi  Klien mengatakan nyeri berkurang  Dorong ekspresi perasaan tentang
s/d hilang nyeri.
 Skala nyeri 1-10  Dorong penggunaan teknik manajemen
 Tidak menyeringai stress, contoh relaksasi progresif,
 TTV dalam batas notmal napas dalam, bimbingan imajinasi dan
TD : 120-130/70-90mmhg visualisasi.
N : 60-90 x/s  Beri kompres hanggat pada sendi yang
sakit
 Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk
usia/kondisi.
 Observasi TTV dan skala nyeri
 Berikan analgesic sesuai indikasi.

Kerusakan Setelah dilakukan tindakan Monitoring :


integritas keperawatan selama 3x24 jam  Monitor warna dan suhu kulit
kulit b.d diharapkan kerusakan kulit  Monitor kulit dan membran mukosa
kerusakan berkurang atau hilang pada area yang memar atau
lapisan Dengan kriteria hasil : (Tissue mengalami kerusakan
kulit Integrity: Skin &Mucous  Monitor ruam dan abrasi pada kulit
Membranes 1101)  Monitor terjadinya infeksi khususnya
 Tidak ada luka padawajah, tangan dan pada area kulit yang mengalami
kaki gangguan

Page
26
 Tekstur dan ketebalan jaringan Intervensi mandiri perawat :
normal  Kaji adanya alergi obat
 Perfusi jaringan normal  Bersihkan area kulit yang mengalami
 Tidak ada tanda atau gejala infeksi gangguan
 Tidak ada lesi Pendidikan Kesehatan :
 Tidak terjadi nekrosis  Anjurkan pasien untuk menjaga
kebersihan di area sekitar edema
 Beri tahu klien agar menghindari
paparan matahari langsung
Kolaboratif :
 Pemberian injeksi ceftriaxone 1 gr /
12 jam / iv

Page
27
G. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Tgl
No DX Kep Implementasi Evaluasi TTD
/Jam
1 Gangguan  Mengkaji Keluhan Nyeri : S :
rasa Pencetus, catat lokasi, Klien mengatakan nyeri berkurang
nyaman karakteristik, dan O :
(nyeri) b/d intensitas
 Klien tidak meringis
proses  mempertahankan suhu
 Skala nyeri 9
infek lingkungan nyaman,
 TTV
memberikan lampu
 TD : 80/ 60mmHg
penghangat, penutup tubuh
 N : 100 x/mnt
hangat.
 S : 36,5 0 C
 mendorong ekspresi
 RR: 22
perasaan tentang nyeri.
 mendorong penggunaan
teknik manajemen stress,
contoh relaksasi progresif,
napas dalam, bimbingan
imajinasi dan visualisasi.
 memberikan aktivitas
terapeutik tepat untuk
usia/kondisi.
 memberikan analgesic
sesuai indikasi.

2 Kerusakan  Memonitor warna dan S :


integritas suhu kulit Klien mengatakan masih merah merah
kulit b.d  Memonitor kulit dan tapi gatalnya berkurang
kerusakan membran mukosa pada O :
lapisan kulit area yang luka atau gatal

Page
28
atau mengalami
 Masih terdapat luka pada wajah,
kerusakan
kaki dan tangan
 Memonitor ruam dan
 TD : 80/ 60mmHg
abrasi pada kulit
 N : 100 x/mnt
 Memonitor terjadinya
0
 S : 36,6 C
infeksi khususnya pada
 RR: 22 x/ menit
area luka dan gatal
 Wajah masih sembab : masalah
 Memersihkan area kulit
teratasi sebagian
yang mengalami gangguan
 Mengajurkan pasien untuk P : lanjut intervensi
menjaga kebersihan di
area sekitar luka
 Memberi tahu klien agar
menghindari paparan
matahari langsung
 menginjeksi ceftriaxone 1
gr / 12 jam / iv

Page
29
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Lupus Eritematosusadalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh terbentuknya
antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut
biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA,
protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit
2. Etiologi: Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.
3. Varian lupus: Lupus Sistemik dan lupus Diskoid
4. Manifestasi klinis:
a. Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
b. Demam akibat peradangan kronik
c. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung, kata Lupus berarti
serigala dan mengacu kepada penampakan topeng seperti serigala.
d. Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
e. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
f. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
h. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
i. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena serangan
terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).
5. Pemeriksaan penunjang:
a. ANA (anti nucler antibody).
b. Anti dsDNA (double stranded).
c. Antibodi anti-S (Smith).
d. Anti-RNP (ribonukleoprotein),
e. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
f. Tes sel LE.
g. Anti ssDNA (single stranded)

Page
30
h. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif Mansjoer, 2000).
6. Penatalaksanaan medis
Antiradang nonstreroid (AINS), Kortikosteroid, Antimalaria, Imunosupresif, ,Penatalaksanaan
keperawatan, Penatalaksanaan diet
7. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita adalah sebagai berikut:
a. Gagal ginjal
b. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung)
c. Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering terjadi
bronkhitis.
d. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
e. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. (Elizabeth, 2009).
8. Prognosa: Hingga saat ini penyakit lupus tak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan.

Page
31
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Gusti Pandi Liputo. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Imunologi
Lupus”, (Online), (http://gustinerz.wordpress.com/2012/04/06/pdf-asuhan-keperawatan-lupus-
les/, diakses 5 Mei 2015).
Johnson, Marion, dkk. 2000. IOWA Intervention Project Nursing OutcomesClassifcation (NOC),
Second edition. USA : Mosby.
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara
Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
McCloskey, Joanne C. dkk. 1996. IOWA Intervention Project Nursing InterventionClassifcation
(NIC), Second edition. USA : Mosby.
Sutopo Widjaja. 2013. ”Penyakit Lupus (Lupus Eritematosus Sistemik)”, (Online),
(http://dokita.co/blog/penyakit-lupus-lupus-eritematosus-sistemik/, diakses 6 Mei 2015).
Wilkinson, Judith M. dkk. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi
NIC, Kriteria Hasil NOC, Edisi Sembilan. Jakarta: EGC

Page
32

S-ar putea să vă placă și