Sunteți pe pagina 1din 15

Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

PENEMPATAN NARAPIDANA TERORIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN


(Putting Convicted Terrorists in Correctional Institution)
Insan Firdaus
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Jalan H.R Rasuna Said Kav.4-5 Kuningan Jakarta Selatan 12920
Telepon(081315684123)danFaksimili021-2526438
e-mail: firdaus_insan@yahoo.co.id
Diterima: 08-08-2017; Direvisi: 16-11-2017; DisetujuiDiterbitkan: 24-11-2017

ABSTRACT
Convicted terrorists are classified as high-risk prisoners who require special treatment and counsel, therefore,
the convicted terrorists should carefully be put in prisons as they would influence the success of the counsel
and de-radicalization processes. The issues raised by this research are firstly, whether the terrorist prisoners
have been placed in accordance with the applicable mechanisms? Secondly, the aspects that should be
considered in putting the convicted terrorists in prison and thirdly, the obstacles that may be encountered
during the processes. The research uses juridical empiric method and is descriptive with the aim to identify
the mechanisms of putting the convicted terrorists in correctional institutions, aspects and obstacles for
consideration. Placements of convicted terrorist in correctional institutions have been made in accordance with
the mechanisms prescribed by the penal law, i.e. by applying the security and counseling approaches through
the profiling and assessment processes in every stage of placement. Aspects to be considered in placing the
convicted terrorists are the levels of risks and radicalism, human resources development and infrastructures
and facilities of the prison. While the obstacles include over capacity, limited resources of wardens both in
quantity and quality and the institution’s infrastructure and facilities. Based on the study, the followings are,
among others, the recommendations for the Directorate General of Corrections: it is necessary to improve the
competence of the wardens, closer cooperation with the National Agency for Terrorist Countermeasures, and
the prison must be supported with adequate facilities and infrastructure.
Keywords: Convicted Terrorist, Correctional Institution

ABSTRAK
Narapidana teroris dikategorikan sebagai narapidana high risk yangmembutuhkan perlakuan dan pembinaan
khusus, oleh sebab itu proses penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan harus dilakukan
hati-hati karena hal tersebut akan berpengaruh pada keberhasilan pembinaan dan program deradikalisasi.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Pertama, apakah penempatan narapidana teroris sudah dilaksanakan
sesuai dengan mekanisme yang berlaku? Kedua, aspek apa yang harus dipertimbangkan dalam penempatan
narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan? Ketiga, apa hambatan dalam proses penempatan narapidana
teroris?. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris dan bersifat deskritif dengan tujuan untuk
mengetahui gambaran tentang mekanisme penempatan narapidana teroris, aspek yang harus dipertimbangkan
serta hambatannya. Penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan sudah sesuai dengan mekanisme
yang diatur dalam undang-undang pemasyarakatan yaitu menggunakan pendekatan keamanan dan pembinaan
yang dilakukan melalui proses profiling dan assesment dalam setiap tahapan penempatan. Aspek-aspek yang
menjadi pertimbangan dalam penempatan narapidana teroris yaitu tingkat resiko dan radikalisme, pembinaan
sumber daya manusia dan sarana prasarana lembaga pemasyarakatan. Sedangkanhambatannyaantara lain
over kapasitas, keterbatasan sumber daya petugas pemasyarakatan baik secara kuantitas dan kualitas serta
sarana prasarana. Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa saran untuk Direktorat Jendral Pemasyarakatan
antara lain, perlu peningkatan kompetensi petugas pemasyarakatan, peningkatan kerjasama dengan Badan
Nasional Penanggulangan Teroris, serta perlu didukung oleh sarana dan prasarana lembaga Pemasyarakatan
yang memadai.
Kata Kunci: Narapidana Teroris, Lembaga Pemasyarakatan

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 429
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

PENDAHULUAN Tabel.1. Jumlah NarapidanaTeroris


di Kantor Wilayah
Aksi terorisme yang terjadi di Bandung pada No Kantor Wilayah NapiTeroris
hari senin 27 Februari 2017 atau yang dikenal
1 Banten 73
aksi bom Panci menjadi sorotan masyarakat tidak
2 Jawa Tengah 73
hanya terkait dengan aksi bom tersebut, akan tetapi
terkait pelaku bom Panci tersebut yaitu Yayat 3 Jawa Barat 42
Cahdiat yang ternyata adalah mantan narapidana 4 JawaTimur 35
terorisme yang pernah divonis tiga tahun di 5 Sulawesi Selatan 11
Lembaga Pemasyarakatan Tangerang yang telah 6 Lampung 3
bebas pada 2015. Kejadian mantan narapidana 7 Nusa Tenggara Timur 3
teroris mengulang kembali perbuatanya bukan
8 DKI Jakarta 2
untuk pertama kalinya. Sebelumnya juga beberapa
9 Riau 2
mantan narapidana terorisme yang mengulang
kembali tindakan teror seperti Juhanda alias Jo 10 Sulawesi Tengah 2
bin Muhammad Aceng Kurnia yang melakukan 11 Sumatera Selatan 2
aksi teror Bom di Samarinda. Kemudian Afif alias 12 D.I. Yogyakarta 1
Sunakim dan Muhamad Ali alias Marwan adalah 13 Gorontalo 1
dua mantan napi yang ikut dalam aksi pengeboman 14 Jambi 1
dan penembakan brutal di Sarinah Thamrin Jakarta 15 Kalimantan Barat 1
pada 14 Januari 2016.
16 Kalimantan Tengah 1
Dari rentetan peristiwa terorisme tersebut
17 Sulawesi Barat 1
mengindikasikan bahwa mantan narapidana
18 Sulawesi Tenggara 1
atau residivis terorisme berpotensi besar untuk
mengulang kembali perbuatanya. Menurut catatan 19 Sumatera Barat 1
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Jumlah 256
(BNPT), setidaknya ada 15 persen dari 600 Keberadaan napi teroris memberikan
narapidana tindak pidana terorisme yang sudah permasalahan tersendiri bagi Lembaga
bebas kembali menjadi teroris dengan kualifikasi Pemasyarakatan, karena napi teroris memiliki
yang meningkat (Balitbang Hukum dan HAM, karakteristik yang berbeda dengan napi pada
2016). Tentunya hal tersebut berkaitan erat umumnya. Napi Teroris cenderung tidak mau
dengan keberhasilan program deradikalisasi yang berbaur dan tidak kooperatif dengan petugas dan
dilakukan oleh BNPT dan Kementerian Hukum berpotensi menyebarkan paham radikalisme ke
dan HAM terhadap narapidana terorisme. Karena narapidana lainnya atau bahkan kepada petugas
salah satu indikator berhasilnya deradikalisasi pemasyarakatan. Oleh sebab itu pembinaan
terhadap narapidana teroris adalah bahwa terhadap narapidana teroris harus mendapatkan
narapidana teroris menyadari kesalahannya dan perlakuan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa
tidak lagi mengulang perbuatan terorisme setelah perlakuan terhadap narapidana kasus terorisme
bebas dari Lembaga Pemasyarakatan. tidak dapat dipersamakan dengan perlakuan
Berdasarkan data Direktorat Jenderal terhadap narapidana kasus lainnya.
Pemasyarakatan narapidana teroris sampai dengan Perlakuan khusus atau perlakuan yang
Maret 2017 berjumlah 256 orang yang tersebar 19 berbeda terhadap narapidana teroris dikarenakan
kantor wilayah (http://smslap.ditjenpas.go.id). adanya kebutuhan dan resiko yang melekat pada
Persebaran Narapidana Teroris terbanyak terdapat dirinya. Salah satu perlakukan khusus dalam
di pulau Jawa yaitu 226 Narapidana teroris di 6 pembinaan narapidana teroris adalah dalam
kantor wilayah (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, hal penempatan narapidana teroris di lembaga
Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta), pemasyarakatan. Sebagaimana diketahui bahwa
sedangkan selebihnya 30 Narapidana Teroris karakteristik narapidana teroris berbeda dengan
tersebar di 13 kantor wilayah. napi lainnya, yaitu terdapatnya paham radikal
yang kuat dan menjadi ideologi bagi narapidana
teroris sebagai dasar dalam melakukan terorisme.

430 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Proses deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan PEMBAHASAN


menghadapi beberapa hambatan antara lain
kelebihan kapasitas lapas, keterbatasan sumber
A. Tujuan Pemidanaan Narapidana Teroris
daya aparat baik secara kuantitas dan keahlian
dalam proses deradikalisasi, sarana prasarana dan Terorisme merupakan kejahatan terhadap
prilaku narapidana teroris dilapas. Hambatan- kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah
hambatan tersebut menyebabkan lembaga satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap
pemasyarakatan kesulitan dalam menempatkan negara,karenaterorismesudahmerupakankejahatan
narapidana teroris di lapas yang memiliki yang bersifat internasional yang menimbulkan
karakteristik khusus dan tingkat resiko yang cukup bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
tinggi (high risk). Penempatan narapidana teroris merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga
di lembaga pemasyarakatan harus dilakukan perlu dilakukan pemberantasan secara berencana
secara hati-hati dengan mempertimbangkan dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang
tingkat resiko setiap individu narapidana teroris, banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
pelaksanaan program pembinaan dan kemampuan Terorisme sebagai suatu kejahatan maka harus
lembaga pemasyarakatan dalam membina napi diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa
teroris. karena hal tersebut akan mempengaruhi tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh
keberhasilan proses deradikalisasi untuk karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-
menyadarkan dan meluruskan ideologi narapidana akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya
teroris sehingga tidak mengulangi tindakan teroris. pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin
akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk
Berdasarkan uraian di atas permasalahan
memidana suatu kejahatan (Priyanto, 2009:24).
yang akan diteliti pada tulisan ini, Pertama, Apakah
penempatan narapidana teroris sudah dilaksanakan Penempatan narapidana teroris merupakan
sesuai dengan mekanisme yang berlaku? Kedua, salah satu bentuk pemidanaan atas perbuatan yang
aspek apa yang harus dipertimbangkan dalam telah dilakukan. Dalam dunia ilmu hukum pidana
penempatan narapidana teroris di Lembaga itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang
Pemasyarakatan? Ketiga, Apa hambatan dalam tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif),
proses penempatan narapidana teroris? Tujuan teori relatif (deterrence/utilitarian), teori
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggabungan (integratif), teori treatment dan
pelaksanaan dan pertimbangan dalam penempatan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-
narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai
serta untuk mengetahui hambatan yang dihadapi. aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam
penjatuhan pidana (Priyanto, 2009:22).
METODE PENELITIAN Teori absolut (teori retributif), memandang
bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
Penulis menggunakan metode yuridis kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi
empiris, yaitu cara prosedur yang dipergunakan pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu
untuk memecahkan masalah penelitian dengan sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku
meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk harus menerima sanksi itu demi kesalahannya.
kemudian dilanjutkan dengan mengadakan Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari
penelitian terhadap data primer di lapangan kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah
(Soekanto dan Sri Mamudji, 1985:52). menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai
Sumber data sekunder berupa peraturan imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi
perundang-undangan, data kepustakaan dan penderitaan (Marpaung, 2009:105).
literatur yang berkaitan dengan narapidana teroris. Sedangkan Teori relatif (deterrence), teori
Kemudian diperkuat dengan kegiatan focus ini memandang pemidanaan bukan sebagai
group discussion (FGD) dengan para pejabat di pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk
dan pengumpulan data lapangan ke Lembaga melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.
Pemasyarakatan Khusus Teroris Kelas IIB Sentul. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 431
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaaan
ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk
hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan seumur hidup atau untuk sementara waktu
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni (Setiady, 2010:92).
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai Bentuk pidana penjara adalah merupakan
akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) dengan menutup orang tersebut dalam sebuah
kejahatan (Marpaung, 2009:106). lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan
Teori tujuan pemidanaan yang digunakan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang
sebagai hukum positif adalah teori penggabungan berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang
(integratif) yaitu mendasarkan pidana pada dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi
asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata mereka yang melanggar peraturan tersebut
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan (Setiady, 2010:22).
itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada Teori relatif dalam pelaksanaan hukuman
dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori di Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang
absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995
mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam Undang-Undang tersebut memandang bahwa
masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan
(Marpaung, 2009:107) berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai
Dalam prakteknya tujuan pemidanaan dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan
berdasarkan teori absolut diwujudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
bentuk hukuman penjara, karena tujuan dari merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.
penjara adalah pembalasan, Secara etimologi, kata Penegakan hukum mempunyai tujuan agar warga
penjara berasal dari kata penjoro ( kata dari bahasa binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
Jawa) yang berarti taubat atau jera, dipenjara memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
berarti dibuat jera (Koesnoen, 1964:9). Istilah pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
Penjara masih digunakan dalam Kitab Undang- lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
Undang Hukum Pidana sebagai jenis sanksi dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
pidana. Hal ini dapat dilihat pada rumusan jenis sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Dari kedua peraturan perundangan-undangan
KUHP yang menyatakan bahwa: Pidana terdiri baik KUHP dan Undang-Undang Pemasyarakatan
atas: yang dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan,
a. pidana pokok: diketahui bahwa tujuan pemidanaan teroris
1. pidana mati; menggunakan teori gabungan (integratif), dimana
narapidana teroris yang ditahan di lembaga
2. pidana penjara;
pemasyarakatan di satu sisi merupakan bentuk
3. pidana kurungan; hukuman dan pembalasan atas perbuatan terorisme
4. pidana denda; yang telah dilakukannya, dan di sisi lain bertujuan
5. pidana tutupan. untuk membina agar terpidana menjadi orang
b. pidana tambahan baik dan menyadari kesalahannya. Oleh karena
itu dalam menempatkan narapidana teroris harus
1. pencabutan hak-hak tertentu;
sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan.
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim. B. Pembinaan Narapidana Teroris
Pidana penjara, berdasarkan ketentuan Pasal Penempatan narapidana teroris di lembaga
10 KUHP tersebut merupakan pidana pokok yang pemasyarakatan merupakan salah satu bagian
dapat dijatuhkan seumur hidup atau selama waktu proses pembinaan narapidana. Paradigma
tertentu. Mengenai pidana penjara ini, Roeslan pemasyarakatan pada saat ini menitikberatkan
Saleh menyebutkan bahwa pidana penjara adalah pada pola pembinaan kepada narapidana, tidak

432 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

semata-mata hanyasebagai bentuk penghukuman pemasyarakatan narapidana harus diayomi dengan


atau pembalasan atas perbuatan yang telah cara memberinya bekal hidup supaya ia menjadi
dilakukan, karena perlakuan terhadap warga binaan warga yang berguna dalam masyarakat. Dengan
pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan memberikan pengayoman tersebut jelas bahwa
tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan penjatuhan pidana penjara bukanlah dimaksud
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai tindakan balas dendam dari negara
1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem (Surjobroto, 1991:5).
pemidanaan. Hal ini kemudian diiringi dengan Menurut Pasal 5 UU Pemasyarakatan, sistem
perubahan nama “penjara” menjadi lembaga pembinaan terhadap narapidana harus dilaksanakan
pemasyarakatan. Meskipun dalam KUHP masih berdasarkan asas: pengayoman, persamaan
memakai istilah penjara. perlakuan dan pelayanan, penghormatan harkat
Paradigma pemasyarakatan yang lebih dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan
berorientasi pada pembinaan dapat dilihat merupakan satu-satunya penderitaan dan
dalam Surat Keputusan Kepala Direktorat terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
Pemasyarakatan Nomor.K.P.10.13/3/1, tanggal keluarga dan orang-orang tertentu.
8 Februari 1985, menentukan suatu konsepsi Asas-asas pembinaan tersebut pada
tentang Pemasyarakatan sebagai suatu proses prinsipnya mencakup 3 pikiran pemasyarakatan
theurapeuntie yaitu dimana narapidana pada yaitu sebagai tujuan, proses dan metode
waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan berada (Atmasasmita, 1996:12).
dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat
a. Sebagai tujuan berarti dengan pembimbingan
sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif
pemasyarakatan diharapkan narapidana
dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu
dapat menyadari perbuatannya dan kembali
mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-
menjadi warga yang patuh dan taat pada
unsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan
hukum yang berlaku.
tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana
dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu b. Sebagai proses berarti berbagai kegiatan
keutuhan dan keserasian (keharmonisan hidup dan yang harus dilakukan selama pembinaan dan
penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang pembimbingan berlangsung.
merugikan). c. Sebagai metode merupakan cara yang
Bahrudin Surjobroto menyatakan dengan harus ditempuh untuk mencapai tujuan
menerapkan sistem pemasyarakatan narapidana pembinaan dan pembimbingan dengan sistem
harus diayomi dengan cara memberinya bekal pemasyarakatan
hidup supaya ia menjadi warga yang berguna dalam Kemudian secara khusus pembinaan
masyarakat. Dengan memberikan pengayoman narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersebut jelas bahwa penjatuhan pidana penjara No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
bukanlah dimaksud sebagai tindakan balas Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan
dendam dari negara (Surjobroto, 1991:5). yang menyebutkan pengertian Pembinaan adalah
Sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,
Pemasyarakatan bahwa lembaga pemasyarakatan sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
sebagai tempat pembinaan narapidana mempunyai jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik
tujuan dan fungsi membina warga binaan agar Pemasyarakatan. Bentuk pembinaan tersebut
menyadari kesalahannya dan menyiapkan warga adalah pembinaan kepribadian dan kemandirian
binaan pemasyarakatan dapat berintegrasi yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan.
dengan masyarakat, sehingga ketika narapidana Pembinaan dilakukan melalui 3 tahap yaitu
bebas dapat kembali diterima oleh masyarakat. pertama tahap awal (adminisi/orientasi), Tahap
Dengan demikian prinsip pemenjaraan dalam Lanjutan (pembinaan, asimilasi) dan Tahap Akhir
lembaga pemasyarakatan tidak semata-mata untuk (reintegrasi).
membalas perbuatan yang dilakukan narapidana
tersebut. Masih menurut Bahrudin Surjobroto
menyatakan dengan menerapkan sistem

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 433
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Tabel.2. Tahapan danWaktu Pembinaan yang tampak puas dan bangga setelah melakukan
Tahapan Pembinaan Waktu Pelaksanaan tindakan-tindakan yang oleh masyarakat atau
tahap awal 0 s.d. 1/3 Masa pidana negara dianggap sebagai tindakan teroris. Mereka
(adminisi/orientasi juga tidak merasa tertekan oleh kerasnya kecaman
Tahap Lanjutan 1/3. S.d 2/3 Masa Pidana dunia internasional terhadap sejumlah peristiwa
(pembinaan, asimilasi) pemboman yang menimbulkan kerusakan parah
Tahap Akhir (reintegrasi) 2/3 masa pidana s.d. Bebas dan mengakibatkan sejumlah korban menderita,
luka- luka, ratusan meninggal, serta menimbulkan
Pembinaan terhadap narapidana di dalam dampak yang teramat luas (Direktorat Jenderal
lapas memerlukan perhatian serius dengan Pemasyarakatan, Standar Pembinaan
memperhatikan kondisi setiap individu pelaku Narapidana Teroris, 2015:1)
kejahatan, keluarga maupun lingkungan Perlakuan khusus atau perlakuan yang
sosialnya. Permasalahan yang dihadapi saat ini berbeda terhadap narapidana teroris juga
khususnya dalam menangani narapidana tindak dikarenakan adanya kebutuhan dan resiko yang
pidana terorisme adalah belum terintegrasinya melekat pada dirinya. Adapun yang menjadi
penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme, landasan moral dari perlakuan tersebut adalah
dalam arti bahwa penanganan terhadap pelaku perlakuan yang berbeda tidak selamanya dapat
terorisme seakan berhenti pada saat mereka telah diartikan telah melanggar asas persamaan
tertangkap atau dijatuhi pidana. Pembinaan perlakuan dan pelayanan (asas non diskriminasi).
narapidana kategori ini tidak bisa dipandang Di samping itu, perlakuan yang berbeda ini sudah
sama permasalahannya dengan narapidana- sesuai dengan prinsip individualisasi pembinaan
narapidana lain seperti pelaku tindak pidana seperti yang telah direkomendasikan dalam Poin
kriminal korupsi atau narkoba. Narapidana 52 Implementation of The Standard Minimum
teroris lahir dari rahim radikalisme dan terorisme Rules for The Treatment of Prisoners (Direktorat
(Dirjen Pemasyarakatan, Standar Pembinaan Jenderal Pemasyarakatan, Standar Pembinaan
Narapidana Teroris, 2015:1). Narapidana Teroris, 2015:1) dan sesuai pula
Narapidana teroris harus mendapatkan dengan Pasal 12 (1) Undang-Undang Nomor 12
perlakuan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
perlakuan terhadap narapidana kasus terorisme Berdasarkan kekhususan napi teroris tersebut
tidak dapat dipersamakan dengan perlakuan Direktorat Jenderal menyusun standar pembinaan
terhadap narapidana kasus lainnya. Perlakuan narapidana teroris sebagai suatu panduan
terhadap mereka harus sedapat mungkin wajib bagi petugas pemasyarakatan di cabang
menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk rutan, rutan,dan lapas dalam penyelenggaraan
terlibat dalam aktivitas terorisme baik di dalam pembinaan narapidana teroris. Standar tersebut
maupun di luar Lapas. Bahkan, pada tataran tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal
ideal, perlakuan terhadap narapidana terorisme Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
sedapat mungkin dapat mengubah paham radikal Asasi Manusia Republik Indonesia No: PAS-
yang meraka anut (http:lembagakajianpemasy 172.PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang Standar
arakatan.blogspot.co.id/2011/06/pembinaan- Pembinaan Narapidana Teroris.
narapidana terorisme.html) .
Pendekatan pembinaan yang diberikan
Motif perbuatan narapidana teroris kepada narapidana teroris, baik yang bersifat
dibandingkan motif perbuatan narapidana lain pembinaan kepribadian maupun kemandirian
jelas sangat berbeda. Motif perbuatan narapidana sejalan dengan tujuan dari sistem pemasyarakatan
teroris adalah keyakinan, ideologi atau paham yang menjembatani dan merehabilitasi suatu proses
tertentu yang diaktualisasikan secara fanatik perubahan sikap, mental dan perilaku narapidana
sebagai pilihan hidup. Demi keyakinan, ideologi teroris menuju kehidupan yang positif melalui
atau paham, “mati sahid” adalah pilihan hidup pendekatan agama, sosial budaya dan ekonomi.
para narapidana, dan mereka tidak ragu melakukan Selain itu, pembinaan tersebut dapat memberikan
tindakan-tindakan untuk mengaktualisasikan pencerahan pemikiran kepada narapidana teroris
keyakinan, ideologi atau paham tersebut. Bahkan dengan pengetahuan agama yang damai dan
di antara para pelaku tindak pidana teroris, ada

434 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

toleran serta wawasan kebangsaan dalam kerangka dan tindakan radikal terorisme melalui
Negara Kesatuan Republik Indonesia. pendekatan agama, sosial, budaya, dan
Bagi Napi Teroris ada tambahan dalam ekonomi;
proses pembinaanya selama di Lapas yaitu 2. Memberikan pencerahan pemikiran kepada
deradikalisasi yang merupakan program dari narapidana terorisme dengan pengetahuan
Badan Nasional Penanggulang Teroris (BNPT). agama yang damai dan toleran serta wawasan
Secara lebih luas, deradikalisasi merupakan segala kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan
upaya untuk menetralisir paham-paham radikal Republik Indonesia;
melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, 3. Membina kemandirian kepada narapidana
psikologi, agama dan sosial budaya bagi mereka terorisme berupa pembekalan keterampilan,
yang dipengaruhi paham radikal dan/atau pro keahlian, dan pembinaan kepribadian;
kekerasan (Golose, 2009:63).
4. Mempersiapkan narapidana terorisme
Dalam pandangan International Crisis sebelum kembali dan hidup berdampingan
Group, deradikalisasi adalah proses meyakinkan dengan masyarakat;
kelompok radikal untuk meninggalkan penggunaan
5. Membina dan memberdayakan keluarga
kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan
narapidana terorisme dan masyarakat agar
proses menciptakan lingkungan yang mencegah
dapat menerima kembali mantan narapidana
tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara
teroris untuk dapat bersosialisasi di tengah
menanggapi “root causes” (akar-akar penyebab)
masyarakat;
yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini
(International Crisis Group, 2007:1). 6. Memberdayakan mantan narapidana
terorisme, keluarga, dan masyarakat dengan
Tujuan umum deradikalisasi adalah untuk
pendekatan agama, sosial, pendidikan,
membuat para teroris atau kelompok yang
budaya, dan ekonomi;
melakukan kekerasan bersedia meninggalkan
atau melepaskan diri mereka dari aksi dan 7. Memberdayakan masyarakat dalam rangka
kegiatan terorisme. Secara khusus, tujuan meninggalkan paham dan sikap radikal
deradikalisasi adalah: pertama, membuat para terorisme yang berkembang di tengah
teroris mau meninggalkan aksi terorisme dan masyarakat;
kekerasan. Kedua, kelompok radikal mendukung Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia
pemikiran yang moderat dan toleran. Ketiga, dirumuskan sebagai suatu program yang utuh,
kaum radikalis dan teroris dapat mendukung integratif, dan berkesinambungan dengan dua
program-program nasional dalam membangun klasiifikasi, yaitu deradikalisasi di luar Lapas
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai dan deradikalisasi di dalam Lapas. Deradikalisasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia(https:// di luar Lapas mencakup tahap identifikasi,
damailahindonesiaku.com/deradikalisasi). pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring
Secara spesifik, strategi di bidang dan evaluasi. Sementara Deradikalisasi di Dalam
deradikalisasi diarahkan kepada pencapaian Lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi,
dua tujuan utama: 1) Kelompok Inti dan Militan reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan
meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror evaluasi. Program Deradikalisasi dilaksanakan
dalam memperjuangkan misinya; 2) Kelompok secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat
Inti, Militan dan Pendukung memoderasi paham- dicapai secara efektif.
paham radikal mereka sejalan dengan semangat Upaya deradikalisasi sangat penting
kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi- dilakukan terhadap narapidana teroris di lembaga
misi kebangsaan yang memperkuat NKRI (https:// pemasyarakatan untuk meluruskan pemahaman
damailahindonesiaku.com/deradikalisasi. atau ideologi narapidana teroris yang bersifat
Tujuan Program Deradikalisasi yang dilaku- radikal. karena hukuman penjara tidak serta merta
kan oleh BNPT (https://damailahindonesiaku. membuat mereka sadar atau jera, bahkan sebaliknya
com/deradikalisasi) adalah: penjara menjadi tempat untuk mempelajari
lebih dalam ideologi yang mereka yakini dan
1. Membina narapidana terorisme agar
tidak menutup kemungkinnan menyebarluaskan
meninggalkan pandangan, pemikiran, sikap,
ideologinya ke sesama narapidana lainnya.

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 435
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Peter R Neumann pada penelitian yang berjudul dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa narapidana
Prisons and Terrorism Radicalisation and De- dapat dipindahkan dari satu lapas ke lapas lain
radicalisation in 15 Countries mengatakan bahwa untuk kepentingan: pembinaan; keamanan dan
salah satu permasalahan penjara yang menjadi ketertiban; proses peradilan; dan lainnya yang
sorotan adalah bahwa penjara memiliki peran dianggap perlu. Ketentuan tersebut menjadi dasar
besar dalam narasi gerakan radikal militan di dalam penempatan narapidana teroris.
era modern. Penjara merupakan tempat yang Pelaksanaan ketentuan Pasal 16 Ayat
rentan (vulnerable) bagi terjadinya radikalisasi. (1) tersebut diatur dalam beberapa aturan
Radikalisasi yang dimaksud adalah proses pelaksanannya yaitu :
dimana narapidana “biasa” terekrut dan terlibat
1. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999
dalam kelompok ekstrim dalam penjara atau
tentang Pembinaan dan Pembimbingan
proses dimana narapidana yang memang sudah
warga Binaan Pemasyarakatan.
terlibat dalam kelompok ekstrim menjadi lebih
radikal dan menyebarkan pemahaman tersebut 2. Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
kepada narapidana lain (https://ngakanyudha. No. PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 Tanggal
wordpress.com/2014/03/24/napi-terorisme- 23 April 2010 Tentang Prosedur Tetap
haruskah-mendapatkan-extra-pelayanan-di- Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi
penjara/). 3. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Terkait penempatan Narapidana teroris di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
lembaga pemasyarakatan merupakan bentuk Manusia Republik Indonesia No: PAS-172.
pelaksanaan hukuman terhadap perbuatan PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang Standar
pidana teroris yang dilakukanya. Dalam konsep Pembinaan Narapidana Teroris
pemasyarakatan penghukuman tersebut tidak Proses penempatan narapidana merupakan
hanya untuk membuat efek jera dan menghilangkan bagian dari pembinaan narapidana yang terdiri
hak kemerdekaan secara fisik, akan tetapi dari tiga tahapan yaitu tahap awal, lanjutan dan
merupakan bagian dari proses pembinaan yang akhir. Tahapan tersebut dibagi berdasarkan masa
dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan dan pemidanaan dan penempatan narapidana teroris
program deradikalisasi yang memiliki tujuan yang merupakan bagian dalam proses pembinaan
agar narapidana teroris menyadari kesalahannya, yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan
meluruskan paham radikal dan terorisme, dan secara sistematis dan bertahap. Berikut ini proses
tidak mengulangi lagi perbuatannya. bisnis pemasyarakatan dalam melaksanakan
pembinaan terhadap narapidana.
ANALISIS Gambar 1 Proses Bisnis Pemasyarakatan
PROSES BISNIS PEMASYARAKATAN
A. Mekanisme Penempatan Narapidana
INSTRUMENTAL INPUT
Teroris
TAHAP LANJUTAN 1/3 – 1/2 MP TAHAP AKHIR 2/3 MP - BEBAS
Berdasarkan pasal 12 Undang-Undang TAHAP AWAL 0 – 1/3 MP

Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan PEMBINAAN TAHAP AWAL


0 – 1/3
A. ADMISI ORIENTASI & OBSERVASI (AO)
TAHAPLANJUTAN I
PEMBINAAN
1/
3 – 1/2DALAM
MP
TAHAPLANJUTAN II
ASIMILASI
1/2 – 2/3 MP
TAHAP AKHIR
REINTEGRASI
2/3 MP – BEBAS

1. Registrasi

disebutkan bahwa terdapat penggolongan INP


UT
2. Pengenalanlingkungan
3. Pengamatan
4. Litmas (data dan informasi, Asesment,
A. RENCANA PROGRAM
1. Litmas (data dan informasi,
perkembanganpembinaandan re-
A. RENCANAPROGRAMASIMILASI
1. Litmas (data dan informasi,
perkembanganpembinaan, re-
A. RENCANA PROGRAM
REINTEGRASI
1. Litmas (data dan informasi,
OUTPUT

perkembanganpembinaan
narapidana dalam rangka pembinaan di LAPAS, Profiling)
5. Klasifikasidanpenempatan
6. Sidang TPP untuk rencana pembinaan
assesment)
2. Sidang TPP menentukan program
pembinaanlanjutan
assesmentdan perjanjian
pembimbinganasimilasi)
2. Sidang TPP menentukan program
asimilasi,re-assesment dan
perjanjian pembimbingan
tahap awal 3. Klasifikasi dan penempatan pembinaanlanjutan reintegrasi) TUJUAN
salah satu penggolongan tersebut atas dasar P
R B. PELAKSANAAN PEMBINAAN
1. Pembinaan kepribadian: T
berdasarkanhasil penilaianlanjuta

B. PELAKSANAAN PEMBINAAN T
3. Klasifikasi dan penempatan
berdasarkanhasil penilaianlanjuta
2. Sidang TPP menentukan
program pembinaanlanjutan
3. Klasifikasi dan penempatan A M
PEMASYARA
KATAN
O T f A
jenis kejahatan. Terorisme merupakan kejahatan S
E
a) Kesadaran beragama
b) Pembinaan Sikap & Perilaku;
c) Kesadaranhukumberbangsadan P
1. Pembinaan kepribadian:
a) Kesadaran beragama
b) Pembinaan Sikap & Perilaku; P
B. PELAKSANAAN PEMBINAAN
1. Asimilasi di lingkungan LAPAS
(mencakup program kepribadian
P
berdasarkan hasil penilaian
lanjutan
t S RE-
INTEGRASI
terhadap kemanusiaan dan peradaban serta S bernegara
d) Pembinaanintelektual
P
c) Kesadaranhukumberbangsadan
bernegara
Pembinaanintelektual P
dan kemandirian)
2. AsimilasiDILUAR LAPAS (mencakup
B. PEMBINAAN REINTEGRASI
1. Pembebasan bersyarat
2. Cuti menjelangbebas
e Y
r A SOSIAL
P program kepribadiandan P
E e) Konseling Psikososial d) kemandirian) 3. Cuti bersyarat R PEMULIHAN
merupakan salah satu ancaman serius terhadap R
A
f) Program kesegaran jasmani
g) Programrekreasi/hiburan
h) dll sesuai kebutuhan
e) Konseling Psikososial
f) Program kesegaran jasmani
g) Programrekreasi/hiburan
3. Perawatan
4. Pemenuhanhak-hak lain
4. Programlain sesuai dengan
kebutuhan
5. Perawatan
c A KESATUAN
a K HIDUP,
D
kedaulatan setiap negara. Berdasarkan hal tersebut I
L
2. Pembinaan kemandirian:
a) Program pembinaansesuai
kebutuhan,
h) dll sesuai kebutuhan
2. Pembinaan kemandirian:
a) Program pembinaansesuai
C. EVALUASI PELAKSANAAN
PROGRAM
6. Pemenuhanhak-hak lain

C. EVALUASI PELAKSANAAN
r A KEHIDUPAN
e
DAN
A b) Sesuai minat dan bakat kebutuhan,
N c) Sesuai potensidankebutuhan b) Sesuai minat dan bakat PROGRAM T PENGHIDUPA
maka penempatan narapidana teroris di lembaga masyarakat.
3. Perawatan
4. Pemenuhanhak-hak lain
c) Sesuai potensi dankebutuhan
masyarakat.
3. Perawatan
N

4. Pemenuhanhak-hak lain
pemasyarakatan harus diperlakukan secara khusus C. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM
C. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM

karena pelaku kejahatan narapidana teroris


BALAI PEMASYARAKATAN
merupakan ancaman serius yang perlu diwaspadai.
MAKSIMUM SECURITY MEDIUMSECURITY MINIMUMSECURITY
Penempatan narapidana juga diatur Pasal 16
Ayat (1) dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. ENVIRONMENTAL INPUT

436 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Berdasarkan gambar proses bisnis Sedangkan assessment yang digunakan


pemasyarakatan tersebut di atas terlihat adalah assessment resiko dan assessment kebutuhan
penempatan narapidana merupakan bagian assessment resiko adalah penilaian yang dilakukan
penting dalam setiap tahapan dimana penempatan untuk mengetahui tingkat kekerasan radikal dan
narapidana mengikuti perkembangan pembinaan ekstrem bagi narapidana teroris. Assessment
yang dilaksanakan. Tahapan yang menentukan dan kebutuhan adalah penilaian yang dilakukan
penting dalam penempatan teroris di lapas adalah untuk mengetahui kebutuhan pembinaan atau
tahap profiling dan assessment sebagaimana diatur pembimbingan yang paling tepat bagi narapidana
dalam Keputusan Dirjenpas tentang Standar atau klien pemasyarakatan berdasarkan faktor-
Pembinaaan Narapidana Teroris yang menjelaskan faktor yang berkontribusi terhadap tindak pidana
bahwa penempatan narapidana didasarkan hasil yang dilakukannya.
penilaian melalui proses profiling dan assessment Tujuan program assessment narapidana
yang kemudian hasil tersebut diputuskan dalam teroris adalah sebagai berikut:
sidang tim pengamat pemasyarakatan.
1) Menilai resiko pengulangan tindak pidana
Secara umum kegiatan profiling warga binaan narapidana teroris.
pemasyarakatan tindak pidana terorisme adalah
2) Menentukan penilaian mengenai faktor-
kegiatan pencatatan identitas, latar belakang kasus
faktor kebutuhan narapidana teroris.
dan perilaku untuk mendapatkan suatu informasi
yang komprehensif dalam rangka menentukan 3) Sebagai Pedoman dalam menyusun program
program penempatan dan pembinaan. Tujuan pembinaan.
profiling narapidana teroris adalah sebagai berikut: Gambar 2 Proses Penempatan Napi Teroris
1) Untuk mengetahui pandangan idealisme
narapidana teroris terhadap jihad;
2) Untuk mengetahui tingkat radikalisme
narapidana teroris;
3) Untuk menentukan penempatan yang sesuai
di dalam lapas, sehingga diharapkan dapat
mencegah gangguan keamanan;
4) Dapat dilakukan pemetaan jaringan
(kelompok), berdasarkan faksi-faksi dan
aliran narapidana teroris.
Profiling tidak hanya dilakukan pada saat
pertama kali napi teroris masuk ke Lapas, tetapi
dilakukan secara berkala seiring dengan tahapan
pembinaaan, hal ini perlu dilakukan untuk
pembinaan yang telah dan yang akan dilakukan.
Penempatan dan pembinaan teroris yang tepat akan
sangat bergantung pada hasil profilling oleh karena
itu diperlukan petugas yang dapat melakukannya
secara baik.
Pada dasarnya semua petugas lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan negara
melakukan tugas pembinaan kepada narapidana.
Namun untuk pembinaan narapidana teroris perlu
ada pegawai yang ditugaskan khusus mendampingi Menurut Ilham Djaya, Direktur Pembinaan
untuk mencatat, mengamati, mengawasi Narapidana dan Latihan Kerja Produk Direktorat
narapidana teroris dalam aktivitas sehari-hari Jenderal Pemasyarakatan (dalam acara focus
dan dalam mengikuti program pembinaan serta group disscusion tentang penempatan narapidana
menyusun profiling. teroris, Jakarta, 12 Juni 2017) penempatan napi
teroris terdiri dari 3 tahapan, yaitu:

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 437
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

1. Penempatan Narapidana Teroris dari Gambar 3


cabang rutan Mako Brimob ke lembaga
Pemasyarakatan.
Pada umumnya tersangka atau terdakwa
tindak pidana teroris ditahan di Cabang Rutan
Negara Kelas I Jakarta Pusat Di Mako Brimob dan
setelah adanya putusan pengadilan diadakan rapat
koordinasi yang diikuti oleh 4 Instansi yaitu BNPT,
Kejaksaan Agung, Densus 88 Polri dan Dirjen
Pemasyarakatan. Dalam penentuan penempatan
narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan
berdasarkan hasil rapat koordinasi tersebut yang
menghasilkan 3 rekomendasi yaitu: rekomendasi
wilayah (dari Densus 88), rekomendasi karena
masih dibutuhkan di persidangan (dari Kejaksaaan)
dan rekomendasi lapas yang akan ditempatkan
(dari Ditjen PAS).
Dalam menentukan penempatan narapidana 2. Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga
teroris dari Mako Brimob ke lembaga Pemasyarakatan.
pemasyarakatan melalui proses profiling dengan Sesuai dengan standard operational
memperhatikan beberapa pertimbangan yaitu: procedure yang berlaku, bagi setiap narapidana
1) Daerah jaringan narapidana yang teroris yang masuk di lembaga pemasyarakatan
bersangkutan. harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik
2) Terdapat anggota jaringan yang sama di dan berkas yang kemudian didaftar dan dicatat.
Lapas tersebut. Kemudian dilakukan penelitian kemasyarakatan
berupa profiling dan assessment terhadap
3) Banyaknya narapidana tindak pidana
narapidana teroris yang berdasarkan data hasil
terorisme di Lapas tersebut.
wawancara dan sumber data lainnya seperti salinan
4) Apakah masih diperlukan sebagai saksi putusan, berita acara pemeriksaan dan sikap
dalam persidangan. prilaku. Hasil profiling dan assessment tersebut
5) Pengembangan kasus lebih lanjut. menjadi pedoman dalam penempatan narapidana
6) Daerah asal narapidana/domisili. teroris.
7) Faktor keadaaan Lapas seperti: bangunan, Penempatan napi teroris di lembaga
sarana dan prasarana. pemasyarakatan dibagi dua yaitu pertama
8) Kategori narapidana teroris (Ideolog, militan ditempatkan di blok/sel khusus, kedua disatukan
dan simpatisan). dengan napi lainnya. Pada tahap awal atau semua
napi teroris ditempatkan di blok khusus, hal ini
Berdasarkan hasil pertimbangan tersebut
dikarenakan sesuai dengan SOP dan peraturan
penempatan napi teroris disebar ke beberapa
bahwa napi teroris termasuk kategori high risk
lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia,
sehingga harus dipisahkan dari narapidana lainnya.
hingga bulan Juni napi teroris terdapat di 21
Sedangkan penempatan napi teroris yang disatukan
lembaga pemasyarakatan.
dengan narapidana lainnya apabila hasil evaluasi
pembinaan yang dilakukan oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan napi teroris sudah menunjukan
sikap dan prilaku yang baik dan dapat mengikuti
progam pembinaan sehingga bisa berbaur dengan
napi lainnya.

438 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Gambar 4 Gambar 5 Tahapan Penempatan


narapidana teroris

Tahap 1 - Rencana
Penempatan
Narapidana
Rutan Mako Teroris sudah
mulai dlakukan
Brimob Kelapa sejak dalam masa
Dua tahanan dengan
melibatkan 3
Institusi

Tahap 2 - Pada umumnya


Napi Teroris di
Tempatkan di
Lembaga Blok Khusus
- Penempatan
Pemasyarakatan Narapidana
Teroris
3. Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga disesuaikan
Pemayarakatan Khusus Teroris di Sentul dengan kebutuhan
pembinaan dan
Direktorat Jendreral Pemasyarakatan, faktor Keamanan
Kementerian Hukum dan HAM bekerjasama
dengan Deputi Bidang Pencegahan, Tahap 3
Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional - Diperuntukan

Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia, Lembaga bagi napi teroris


yang bersedia
Pemasyarakatan mengikuti
membentuk Lapas Khusus Khusus Kelas IIB Khusus Teroris program
Sentul Bagi Narapidana terorisme sebagai pusat deradikalisasi
oleh BNPT
deradikalisasi yang diperuntukan bagi narapidana
teroris yang kooperatif dan akan segera bebas
untuk mengikuti program deradikalisasi.
Dalam proses penempatan napi teroris
Penempatan Narapidana teroris di Lapas Kelas terdapat ada dua faktor yang sangat menentukan
IIB sentul merupakan program lanjutan program dalam penempatan napi teroris yaitu:
deradikalisasi di dalam lapas yang dilakukan oleh
BNPT. Gedung dan sarana prasarana disediakan 1) Proses profiling dan assessment harus
oleh BNPT, sedangkan Lapas melakukan tugas dapat menghasilkan suatu kesimpulan atau
administrasi narapidana dan pengamanan di dalam hasil yang benar dan komprehensif tentang
lapas. Pembinaan terhadap narapidana teroris narapidana teroris, sehingga bisa diketahui
sebagian besar dilakukan oleh BNPT sehingga penempatan dan model pembinaan yang
narapidana tersebut mendapatkan program yang harus dilakukan berdasarkan tingkat resiko
lebih fokus dan komprehensif terkait deradikalisasi dan kebutuhan seorang napi teroris;
yang diharapkan setelah bebas benar-benar telah 2) Kemampuan Lembaga Pemasyarakatan
sadar, tidak mengulangi perbuatannya dan dapat dalam menindaklanjuti dan melaksanakan
berbaur dengan masyarakat kembali. rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan
Mekanisme penempatan napi teroris di Lapas sesuai dengan hasil profiling dan assessment
Khusus ditentukan hasil rapat koordinasi profiling yang dilakukan.
dan assessment oleh tiga institusi yaitu Densus 88, Kedua faktor tersebut saling berkaitan
BNPT dan Dirjen Pemasyarakatan. Narapidana dan menentukan keberhasilan pembinaan
teroris yang ditempatkan di Lapas Khusus Kelas narapidana teroris. Jika profiling dan assessment
IIB sentul adalah Napi teroris yang sudah termasuk tidak dilakukan secara benar akan berdampak
kategori level 3 dan 4 yaitu Napi yang kooperatif, rekomendasi pola pembinaan dan penempatan
tingkat radikalisme rendah dan menjelang bebas. yang keliru. Sebaliknya jika hasil profiling dan
Jumlah Warga Binaan sampai dengan 30 Mei 2017 assessment sudah tepat tetapi tidak dilanjuti atau
berjumlah 13 Warga Binaan. dilaksanakan maka pembinaanya dan penempatan
tidak akan berjalan semestinya.

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 439
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Ada 3 faktor yang memdukung keberhasilan Tabel.3. Tingkat Radikalisme dan Kekoperatifan
tahapan profiling dan assessment yaitu: Level Tingkat Kekoperatifan
1) Kompetensi Petugas pemasyarakatan yang Radikalisme
melakukan profiling dan assessment. 1 Tinggi Rendah (Tidak bersedia ditemui
dan berkomunikasi dengan Aparat)
2) Ketersediaan dan kemudahan petugas dalam
2 Tinggi Masih rendah (Bersedia ditemui
memperoleh data seorang napi teroris.
dan komunikasi dengan Aparat
3) Kemampuan lembaga pemasyarakatan yang namun masih tertutup dan pasif)
dilengkapi sarana dan prasarana pendukung 3 Sedang Sedang (Bersedia ditemui dan
untuk menindaklanjuti hasil profilling dan komunikasi dengan Aparat dan
assessment. mulai terbuka)
4 Rendah Bersedia ditemui dan komunikasi
B. Pertimbangan dalam Penempatan dengan semua pihak dan mengikuti
Narapidana Teroris program pembinaan)
Pada prakteknya semua napi teroris ketika pertama
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
kali masuk ke dalam Lapas digolongkan pada
bahwa penempatan napi teroris ditentukan
narapidana kategori high risk hal ini sesuai dengan
berdasarkan hasil profiling dan assessment
Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
yang kemudian diputuskan dalam rapat Tim
No. PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23
Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Dalam proses/
April 2010 Tentang Prosedur Tetap Perlakuan
tahapan tersebut terdapat 3 aspek yang menjadi
Narapidana Resiko Tinggi sehingga pembinaan
pertimbangan penempatan napi teroris yaitu
dan penempatannya diperlakukan secara
1. Tingkat Resiko dan Radikalisme khusus. Terhadap narapidana terorisme yang
Tingkat resiko napi teroris terdiri dari memiliki resiko tinggi dan berpotensi untuk
tingkatan yaitu high risk, medium risk dan low risk. menyebarluaskan paham radikalisme, mengatur
Resiko tersebut meliputi resiko terhadap gangguan dan merencanakan tindakan teroris kembali atau
keamanan dan ketertiban lapas serta potensi napi menganggu keamanan dan ketertiban di lembaga
teroris untuk mengulang kembali perbuatannya. pemasyarakatan, maka ditempatkan di lapas
Tingkat resiko napi teroris tersebut dipengaruhi memiliki tingkat keamanan yang tinggi, seperti
juga oleh tingkat radikalisme yang dianut oleh Lapas khusus Gunung Sindur dan Lapas di Nusa
seorang napi teroris. Kambangan. Sedangkan bagi narapidana teroris
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membagi yang sudah kooperatif diberi kesempatan untuk
tingkat radikal napi teroris menjadi 3 kategori mengikuti program deradikalisasi di Lapas Kelas
yaitu ideolog, militan dan simpatisan. Penempatan IIB sentul.
narapidana terorisme yang termasuk kategori Tabel.4. Penempatan Narapidana Teroris
ideolog harus dipisahkan dengan narapidana Berdasarkan tingkat kekoperatifan
kategori militan dan pengikut. Demikian pula pula
Penempatan Napi Teroris
untuk narapidana tindak terorisme kategori militan
Lapas
dipisahkan dengan narapidana kategori pengikut. Level Tingkat Lapas
dengan
Lapas Khusus
Sedangkan BNPT membagi 4 kategori napi Kekoperatifan Resiko Super
Umum Teroris
teroris berdasarkan tingkat kekoperatifan. Ciri- Maksimun
Sentul
ciri narapidana teroris yang kooperatif, antara lain Security
mau bertegur sapa dengan petugas, mau mengikuti 1 Tinggi  
program pembinaan dan mau shalat berjamaah 2 Tinggi  
di mesjid utama lapas, sedangkan yang non 3 sedang  
kooperatif tidak mau bertegur sapa dengan petugas 4 Rendah  
(jika ada perlu saja), tidak mau mengikuti program
pembinaan (khususnya pembinaan kepribadian) 2. Pembinaan dan Deradikalisasi
dan biasanya tidak mau shalat berjamaah di Mesjid Terdapat 2 pola pembinaan narapidana
utama Lapas: teroris yaitu Pertama, pembinaan yang dilakukan
Kementerian Hukum dan HAM yang meliputi
pembinaan kepribadian, kemandirian dan

440 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

reintegrasi, pembinaan tersebut dilakukan oleh C. Hambatan Penempatan Narapidana


lapas. Pembinaan ini menentukan penempatan Teroris
narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan Kondisi saat ini proses penempatan napi
yang berdasarkan hasil kemajuan pembinaan dan teroris masih terkendala oleh beberapa hal antara
rencana pembinaan selanjutnya. lain:
Kedua, Pembinaan program deradikalisasi 1. Terbatasnya sumber daya manusia petugas
oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris pemasyarakatan baik secara kuantitas,
meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, kualitas dan kompetensi untuk melakukan
resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi. Program pembinaan napi teroris, khususnya untuk
deradikalisasi dapat dilakukan di lapas umum melakukan profiling dan assesment. Sebagai
dan lapas khusus teroris di Sentul. Oleh sebab itu contoh sesuai dengan ketentuan standar
penempatan napi teroris harus sejalan dan sesuai pembinaan narapidana teroris bahwa Pada
kebutuhan progam pembinaan dan deradikalisasi. lembaga pemasyarakatan yang membina 10
Tabel.5. Penempatan Napi Teroris Berdasarkan – 20 orang narapidana teroris minimal harus
Program Pembinaan ada 4 (empat) orang pegawai untuk petugas
Penempatan Napi Teroris khusus tersebut. Pegawai yang diberi tugas
Lapas khusus tersebut harus memiliki kompetensi
Lapas dan latar belakang pendidikan antara lain
Pembinaan dengan
Lapas Khusus
Super sarjana hukum, sarjana agama dan sarjana
Umum Teroris
Maksimun psikologi. Namun pada kenyataan pegawai
Sentul
Security
yang memiliki keahlian khusus tersebut
Pembinaan oleh
Lapas
  relatif sedikit dan tidak merata ada di semua
lembaga pemasyarakatan.
Deradikalisasi
 2. Sebagian besar kondisi lembaga
oleh BNPT
pemasyarakatan belum ideal untuk membina
Sumber Daya Manusia dan Sarana Prasarana dan penempatan napi teroris sesuai dengan
Lembaga Pemasyarakatan kebutuhan dan standar keamanan yang
memadai, hal ini disebabkan karena
Untuk melaksanakan pembinaan napi teroris kelebihan kapasitas, tata ruang bangunan
di Lapas dibutuhkan sumber daya manusia yang model lama, kelengkapan keamanan, sarana
memiliki kompetensi, kemampuan, terdidik dan dan prasarana pendukung yang minim.
terlatih serta pengalaman dalam menangani napi
teroris, karena karakteristik napi teroris yang 3. Belum tersosialisasikan dan diimplentasikan-
berbeda dengan narapidana lainnya diperlukan nya sistem pembinaan dan penempatan napi
cara perlakukan dan pengamanan yang khusus teroris oleh petugas pemasyarakatan. Pola
pula. Oleh sebab itu pembinaan narapidana teroris dan mekanisme pembinaan narapidana teroris
tidak bisa dilakukan sepihak oleh Lapas tetapi diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal
memerlukan kerjasa sama dengan instansi lainnya Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
yang terkait. Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No:
PAS-172.PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang
Kondisi saat ini, sebagian besar lembaga Standar Pembinaan Narapidana Teroris,
pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana namun demikian sebagian besar petugas
teroris menggunakan sarana dan prasarana yang lembaga pemasyarakatan belum mengetahui
diperuntukan bagi narapidana umum, padahal dan mengimplementasikan, sehingga pola
kebutuhan pembinaan narapidana teroris pembinaan narapidana teroris cenderung
berbeda dengan narapidana lainnya, sehingga sama dengan narapidana pada umumnya.
membutuhkan sarana dan prasarana pendukung
yang sesuai kekhususan narapidana teroris, seperti 4. Belum optimalnya kerjasama antar
ketersediaan blok khusus, peralatan pengamanan Kementerian Hukum dan HAM dengan
dan anggaran pembinaan. Hal tersebut berdampak instansi lainnya khususnya dengan BNPT
pada belum optimalnya pembinaan narapidana dalam rangka pembinaan narapidana teroris,
teroris. Dibeberapa lembaga pemasyarakatan
metode pembinaan bagi napi teroris yang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 441
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

belum diketahui oleh petugas lembaga Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan


pemasyarakatan, selain itu terbatasnya data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
dan informasi terpidana terorisyang dimiliki Republik Indonesia No: PAS-172.PK.01.06.01
oleh lembaga pemasyarakatan menyebabkan Tahun 2015 tentang Standar Pembinaan Narapidana
pola pembinaan narapidana tidak berjalan Teroris yang mengatur mekanisme penempatan
optimal. narapidana teroris, hambatan lainnya merupakan
5. Perilaku narapidana teroris yang sebagian masalah yang umum terjadi semua lembaga
besar tidak kooperatif, tidak mau mengikuti pemasyarakatan, seperti kelebihan kapasitas,
program pembinaan, bersikap ekslusif, kekurangan petugas pemasyarakatan, minimnya
tertutup, dan berpotensi menyebarkan paham kompetensi petugas dalam membina napi teroris,
radikalisme ke narapidana lainnya atau dan anggaran serta sarana prasarana. Hambatan
bahkan kepada petugas. tersebut harus segera diatasi agar penempatan
narapidana teroris dapat selaras dengan program
KESIMPULAN pembinaan deradikalisasi sehingga narapidana
teroris dapat menyadari kesalahannya dan tidak
Menurut penulis, mekanisme penempatan mengulangi perbuatannya.
narapidana teroris oleh Dirjen Pemasyarakatan
sudah dilakukan mengikuti ketentuan Pasal 16 SARAN
Undang-Undang Pemasyarakatan dan ketentuan
pelaksanaan lainnya, yaitu dengan menggunakan Perlu disosialisasikan secara berkala dan
pendekatan keamanan dan pembinaan. Aspek diimplementasikan mekanisme penempatan
keamanan dan ketertiban menjadi pertimbangan narapidana teroris yang diatur dalam Keputusan
yang diutamakan dalam setiap tahapan penempatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian
narapidana teroris. Semua napi teroris pada saat Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
masuk lembaga pemasyarakatan dikategorikan Indonesia No: PAS-172.PK.01.06.01 Tahun 2015
sebagai narapidana yang mempunyai resiko tentang Standar Pembinaan Narapidana Teroris
tinggi yang berpotensi menganggu keamanan dan kepada seluruh pegawai lembaga pemasyarakatan
ketertiban di lembaga pemasyarakatan, sehingga terutama yang membina Napi Teroris.
diperlukan keakuratan petugas pemasyarakatan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
dalam melakukan profiling dan assessment serta Hukum dan HAM perlu menyelenggarakan
kemampuan lembaga pemasyarakatan untuk pendidikan dan pelatihan bagi petugas
menindaklanjuti hasil profiling dan assessment pemasyarakatan tentang profiling dan assessment
tersebut. Namun dari aspek pembinaan dan narapidana teroris.
deradikalisasi terhadap narapidana teroris belum Perlu mengoptimalkan peran pembimbing
berjalan optimal, yang disebabkan banyak faktor kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan
antara lain kompetensi petugas pemasyarakatan, dalam penanganan napi teroris untuk melakukan
sarana dan prasarana serta anggaran yang kurang profiling dan assessment napi teroris.
mencukupi.
Dirjen Pemasyarakatan meningkatkan
Terdapat 3 aspek utama yang harus kompetensi petugas pemasyarakatan untuk
dipertimbangkan dalam penempatan narapidana melakukan pembinaan dan deradikalisasi terhadap
teroris yaitu tingkat resiko, program pembinaan narapidana teroris.
dan kemampuan sumber daya manusia serta
Dirjen Pemasyarakatan meningkatkan dan
sarana prasarana lembaga pemasyarakatan. ketiga
menyediakan sarana dan prasarana yang memadai
aspek tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi
untuk mendukung penempatan dan pembinaan
keberhasilan lembaga pemasyarakatan dalam
narapidana teroris seperti penambahan blok khusus,
melakukan pembinaan narapidana. Oleh karena
peningkatan sistem dan peralatan keamanan.
itu penempatan narapidana teroris harus dilakukan
secara hati-hati dan disesuaikan dengan kebutuhan Perlu ditingkatkan kerjasama antara
pembinaan. Direktorat Jendral Pemasyarakatan dengan BNPT
dalam pelaksanaan program deradikalisasi di
Hambatan dalam penempatan narapidana
lembaga pemasyarakatan.
teroris antara lain belum tersosialisasinya

442 Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan... (Insan Firdaus)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

DAFTAR KEPUSTAKAAN Peraturan Perundang-undangan


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Buku Pemasyarakatan
Surjobroto, Bahrudin, Suatu Tinjauan Tentang Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Sistem Pemasyarakatan, Departemen Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Kehakiman RI, Jakarta, 1991. Manusia Republik Indonesia No: PAS-172.
Balitbang Hukum dan HAM, Pembinaan PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang Standar
Narapidana Teroris Dalam Upaya Pembinaan Narapidana Teroris
Deradikalisasi, Jakarta, 2016.
Priyanto, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana
Penjara di Indonesia, Bandung, PT. Rafika
Aditama, 2009.
International Crisis Group, “Deradikalisasi dan
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia,”
Asia Report N°142 – 19 November 2007.
Marpaung, Leden , Asas-Teori-Praktek Hukum
Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Moeljatno, KUHP, Jakarta : PT Bumi Aksara, Cet
– 25, 2006.
Golose, Petrus Reindhard, Deradikalisasi
Terorisme, Humanis, Soul Approach dan
Menyentuh Akar Rumput, Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian,
2009.
Koesnoen, R.A., Susunan Pidana Dalam Negara
Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung, 1964.
Atmasasmita, Romli, Beberapa Catatan Isi
Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka,
Bandung, 1996.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Rajawali Pers, Jakarta, 1985.
Setiady, Tolib , Pokok-pokok Hukum Penitensier
Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010.

Media Internet
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/
monthly/year/2017/month/3 (diakses 22
Maret 2017)
https://damailahindonesiaku.com/deradikalisasi
(diakses 22 Maret 2017)
https://ngakanyudha.wordpress.com/2014/03/24/
napi-terorisme-haruskah-mendapatkan-
extra-pelayanan-di-penjara (diakses 29 Maret
2017).

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 443

S-ar putea să vă placă și