Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
ABSTRACT
Convicted terrorists are classified as high-risk prisoners who require special treatment and counsel, therefore,
the convicted terrorists should carefully be put in prisons as they would influence the success of the counsel
and de-radicalization processes. The issues raised by this research are firstly, whether the terrorist prisoners
have been placed in accordance with the applicable mechanisms? Secondly, the aspects that should be
considered in putting the convicted terrorists in prison and thirdly, the obstacles that may be encountered
during the processes. The research uses juridical empiric method and is descriptive with the aim to identify
the mechanisms of putting the convicted terrorists in correctional institutions, aspects and obstacles for
consideration. Placements of convicted terrorist in correctional institutions have been made in accordance with
the mechanisms prescribed by the penal law, i.e. by applying the security and counseling approaches through
the profiling and assessment processes in every stage of placement. Aspects to be considered in placing the
convicted terrorists are the levels of risks and radicalism, human resources development and infrastructures
and facilities of the prison. While the obstacles include over capacity, limited resources of wardens both in
quantity and quality and the institution’s infrastructure and facilities. Based on the study, the followings are,
among others, the recommendations for the Directorate General of Corrections: it is necessary to improve the
competence of the wardens, closer cooperation with the National Agency for Terrorist Countermeasures, and
the prison must be supported with adequate facilities and infrastructure.
Keywords: Convicted Terrorist, Correctional Institution
ABSTRAK
Narapidana teroris dikategorikan sebagai narapidana high risk yangmembutuhkan perlakuan dan pembinaan
khusus, oleh sebab itu proses penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan harus dilakukan
hati-hati karena hal tersebut akan berpengaruh pada keberhasilan pembinaan dan program deradikalisasi.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Pertama, apakah penempatan narapidana teroris sudah dilaksanakan
sesuai dengan mekanisme yang berlaku? Kedua, aspek apa yang harus dipertimbangkan dalam penempatan
narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan? Ketiga, apa hambatan dalam proses penempatan narapidana
teroris?. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris dan bersifat deskritif dengan tujuan untuk
mengetahui gambaran tentang mekanisme penempatan narapidana teroris, aspek yang harus dipertimbangkan
serta hambatannya. Penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan sudah sesuai dengan mekanisme
yang diatur dalam undang-undang pemasyarakatan yaitu menggunakan pendekatan keamanan dan pembinaan
yang dilakukan melalui proses profiling dan assesment dalam setiap tahapan penempatan. Aspek-aspek yang
menjadi pertimbangan dalam penempatan narapidana teroris yaitu tingkat resiko dan radikalisme, pembinaan
sumber daya manusia dan sarana prasarana lembaga pemasyarakatan. Sedangkanhambatannyaantara lain
over kapasitas, keterbatasan sumber daya petugas pemasyarakatan baik secara kuantitas dan kualitas serta
sarana prasarana. Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa saran untuk Direktorat Jendral Pemasyarakatan
antara lain, perlu peningkatan kompetensi petugas pemasyarakatan, peningkatan kerjasama dengan Badan
Nasional Penanggulangan Teroris, serta perlu didukung oleh sarana dan prasarana lembaga Pemasyarakatan
yang memadai.
Kata Kunci: Narapidana Teroris, Lembaga Pemasyarakatan
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 429
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 431
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaaan
ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk
hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan seumur hidup atau untuk sementara waktu
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni (Setiady, 2010:92).
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai Bentuk pidana penjara adalah merupakan
akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) dengan menutup orang tersebut dalam sebuah
kejahatan (Marpaung, 2009:106). lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan
Teori tujuan pemidanaan yang digunakan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang
sebagai hukum positif adalah teori penggabungan berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang
(integratif) yaitu mendasarkan pidana pada dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi
asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata mereka yang melanggar peraturan tersebut
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan (Setiady, 2010:22).
itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada Teori relatif dalam pelaksanaan hukuman
dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori di Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang
absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995
mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam Undang-Undang tersebut memandang bahwa
masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan
(Marpaung, 2009:107) berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai
Dalam prakteknya tujuan pemidanaan dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan
berdasarkan teori absolut diwujudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
bentuk hukuman penjara, karena tujuan dari merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.
penjara adalah pembalasan, Secara etimologi, kata Penegakan hukum mempunyai tujuan agar warga
penjara berasal dari kata penjoro ( kata dari bahasa binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
Jawa) yang berarti taubat atau jera, dipenjara memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
berarti dibuat jera (Koesnoen, 1964:9). Istilah pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
Penjara masih digunakan dalam Kitab Undang- lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
Undang Hukum Pidana sebagai jenis sanksi dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
pidana. Hal ini dapat dilihat pada rumusan jenis sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Dari kedua peraturan perundangan-undangan
KUHP yang menyatakan bahwa: Pidana terdiri baik KUHP dan Undang-Undang Pemasyarakatan
atas: yang dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan,
a. pidana pokok: diketahui bahwa tujuan pemidanaan teroris
1. pidana mati; menggunakan teori gabungan (integratif), dimana
narapidana teroris yang ditahan di lembaga
2. pidana penjara;
pemasyarakatan di satu sisi merupakan bentuk
3. pidana kurungan; hukuman dan pembalasan atas perbuatan terorisme
4. pidana denda; yang telah dilakukannya, dan di sisi lain bertujuan
5. pidana tutupan. untuk membina agar terpidana menjadi orang
b. pidana tambahan baik dan menyadari kesalahannya. Oleh karena
itu dalam menempatkan narapidana teroris harus
1. pencabutan hak-hak tertentu;
sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan.
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim. B. Pembinaan Narapidana Teroris
Pidana penjara, berdasarkan ketentuan Pasal Penempatan narapidana teroris di lembaga
10 KUHP tersebut merupakan pidana pokok yang pemasyarakatan merupakan salah satu bagian
dapat dijatuhkan seumur hidup atau selama waktu proses pembinaan narapidana. Paradigma
tertentu. Mengenai pidana penjara ini, Roeslan pemasyarakatan pada saat ini menitikberatkan
Saleh menyebutkan bahwa pidana penjara adalah pada pola pembinaan kepada narapidana, tidak
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 433
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Tabel.2. Tahapan danWaktu Pembinaan yang tampak puas dan bangga setelah melakukan
Tahapan Pembinaan Waktu Pelaksanaan tindakan-tindakan yang oleh masyarakat atau
tahap awal 0 s.d. 1/3 Masa pidana negara dianggap sebagai tindakan teroris. Mereka
(adminisi/orientasi juga tidak merasa tertekan oleh kerasnya kecaman
Tahap Lanjutan 1/3. S.d 2/3 Masa Pidana dunia internasional terhadap sejumlah peristiwa
(pembinaan, asimilasi) pemboman yang menimbulkan kerusakan parah
Tahap Akhir (reintegrasi) 2/3 masa pidana s.d. Bebas dan mengakibatkan sejumlah korban menderita,
luka- luka, ratusan meninggal, serta menimbulkan
Pembinaan terhadap narapidana di dalam dampak yang teramat luas (Direktorat Jenderal
lapas memerlukan perhatian serius dengan Pemasyarakatan, Standar Pembinaan
memperhatikan kondisi setiap individu pelaku Narapidana Teroris, 2015:1)
kejahatan, keluarga maupun lingkungan Perlakuan khusus atau perlakuan yang
sosialnya. Permasalahan yang dihadapi saat ini berbeda terhadap narapidana teroris juga
khususnya dalam menangani narapidana tindak dikarenakan adanya kebutuhan dan resiko yang
pidana terorisme adalah belum terintegrasinya melekat pada dirinya. Adapun yang menjadi
penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme, landasan moral dari perlakuan tersebut adalah
dalam arti bahwa penanganan terhadap pelaku perlakuan yang berbeda tidak selamanya dapat
terorisme seakan berhenti pada saat mereka telah diartikan telah melanggar asas persamaan
tertangkap atau dijatuhi pidana. Pembinaan perlakuan dan pelayanan (asas non diskriminasi).
narapidana kategori ini tidak bisa dipandang Di samping itu, perlakuan yang berbeda ini sudah
sama permasalahannya dengan narapidana- sesuai dengan prinsip individualisasi pembinaan
narapidana lain seperti pelaku tindak pidana seperti yang telah direkomendasikan dalam Poin
kriminal korupsi atau narkoba. Narapidana 52 Implementation of The Standard Minimum
teroris lahir dari rahim radikalisme dan terorisme Rules for The Treatment of Prisoners (Direktorat
(Dirjen Pemasyarakatan, Standar Pembinaan Jenderal Pemasyarakatan, Standar Pembinaan
Narapidana Teroris, 2015:1). Narapidana Teroris, 2015:1) dan sesuai pula
Narapidana teroris harus mendapatkan dengan Pasal 12 (1) Undang-Undang Nomor 12
perlakuan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
perlakuan terhadap narapidana kasus terorisme Berdasarkan kekhususan napi teroris tersebut
tidak dapat dipersamakan dengan perlakuan Direktorat Jenderal menyusun standar pembinaan
terhadap narapidana kasus lainnya. Perlakuan narapidana teroris sebagai suatu panduan
terhadap mereka harus sedapat mungkin wajib bagi petugas pemasyarakatan di cabang
menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk rutan, rutan,dan lapas dalam penyelenggaraan
terlibat dalam aktivitas terorisme baik di dalam pembinaan narapidana teroris. Standar tersebut
maupun di luar Lapas. Bahkan, pada tataran tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal
ideal, perlakuan terhadap narapidana terorisme Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
sedapat mungkin dapat mengubah paham radikal Asasi Manusia Republik Indonesia No: PAS-
yang meraka anut (http:lembagakajianpemasy 172.PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang Standar
arakatan.blogspot.co.id/2011/06/pembinaan- Pembinaan Narapidana Teroris.
narapidana terorisme.html) .
Pendekatan pembinaan yang diberikan
Motif perbuatan narapidana teroris kepada narapidana teroris, baik yang bersifat
dibandingkan motif perbuatan narapidana lain pembinaan kepribadian maupun kemandirian
jelas sangat berbeda. Motif perbuatan narapidana sejalan dengan tujuan dari sistem pemasyarakatan
teroris adalah keyakinan, ideologi atau paham yang menjembatani dan merehabilitasi suatu proses
tertentu yang diaktualisasikan secara fanatik perubahan sikap, mental dan perilaku narapidana
sebagai pilihan hidup. Demi keyakinan, ideologi teroris menuju kehidupan yang positif melalui
atau paham, “mati sahid” adalah pilihan hidup pendekatan agama, sosial budaya dan ekonomi.
para narapidana, dan mereka tidak ragu melakukan Selain itu, pembinaan tersebut dapat memberikan
tindakan-tindakan untuk mengaktualisasikan pencerahan pemikiran kepada narapidana teroris
keyakinan, ideologi atau paham tersebut. Bahkan dengan pengetahuan agama yang damai dan
di antara para pelaku tindak pidana teroris, ada
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
toleran serta wawasan kebangsaan dalam kerangka dan tindakan radikal terorisme melalui
Negara Kesatuan Republik Indonesia. pendekatan agama, sosial, budaya, dan
Bagi Napi Teroris ada tambahan dalam ekonomi;
proses pembinaanya selama di Lapas yaitu 2. Memberikan pencerahan pemikiran kepada
deradikalisasi yang merupakan program dari narapidana terorisme dengan pengetahuan
Badan Nasional Penanggulang Teroris (BNPT). agama yang damai dan toleran serta wawasan
Secara lebih luas, deradikalisasi merupakan segala kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan
upaya untuk menetralisir paham-paham radikal Republik Indonesia;
melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, 3. Membina kemandirian kepada narapidana
psikologi, agama dan sosial budaya bagi mereka terorisme berupa pembekalan keterampilan,
yang dipengaruhi paham radikal dan/atau pro keahlian, dan pembinaan kepribadian;
kekerasan (Golose, 2009:63).
4. Mempersiapkan narapidana terorisme
Dalam pandangan International Crisis sebelum kembali dan hidup berdampingan
Group, deradikalisasi adalah proses meyakinkan dengan masyarakat;
kelompok radikal untuk meninggalkan penggunaan
5. Membina dan memberdayakan keluarga
kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan
narapidana terorisme dan masyarakat agar
proses menciptakan lingkungan yang mencegah
dapat menerima kembali mantan narapidana
tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara
teroris untuk dapat bersosialisasi di tengah
menanggapi “root causes” (akar-akar penyebab)
masyarakat;
yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini
(International Crisis Group, 2007:1). 6. Memberdayakan mantan narapidana
terorisme, keluarga, dan masyarakat dengan
Tujuan umum deradikalisasi adalah untuk
pendekatan agama, sosial, pendidikan,
membuat para teroris atau kelompok yang
budaya, dan ekonomi;
melakukan kekerasan bersedia meninggalkan
atau melepaskan diri mereka dari aksi dan 7. Memberdayakan masyarakat dalam rangka
kegiatan terorisme. Secara khusus, tujuan meninggalkan paham dan sikap radikal
deradikalisasi adalah: pertama, membuat para terorisme yang berkembang di tengah
teroris mau meninggalkan aksi terorisme dan masyarakat;
kekerasan. Kedua, kelompok radikal mendukung Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia
pemikiran yang moderat dan toleran. Ketiga, dirumuskan sebagai suatu program yang utuh,
kaum radikalis dan teroris dapat mendukung integratif, dan berkesinambungan dengan dua
program-program nasional dalam membangun klasiifikasi, yaitu deradikalisasi di luar Lapas
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai dan deradikalisasi di dalam Lapas. Deradikalisasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia(https:// di luar Lapas mencakup tahap identifikasi,
damailahindonesiaku.com/deradikalisasi). pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring
Secara spesifik, strategi di bidang dan evaluasi. Sementara Deradikalisasi di Dalam
deradikalisasi diarahkan kepada pencapaian Lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi,
dua tujuan utama: 1) Kelompok Inti dan Militan reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan
meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror evaluasi. Program Deradikalisasi dilaksanakan
dalam memperjuangkan misinya; 2) Kelompok secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat
Inti, Militan dan Pendukung memoderasi paham- dicapai secara efektif.
paham radikal mereka sejalan dengan semangat Upaya deradikalisasi sangat penting
kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi- dilakukan terhadap narapidana teroris di lembaga
misi kebangsaan yang memperkuat NKRI (https:// pemasyarakatan untuk meluruskan pemahaman
damailahindonesiaku.com/deradikalisasi. atau ideologi narapidana teroris yang bersifat
Tujuan Program Deradikalisasi yang dilaku- radikal. karena hukuman penjara tidak serta merta
kan oleh BNPT (https://damailahindonesiaku. membuat mereka sadar atau jera, bahkan sebaliknya
com/deradikalisasi) adalah: penjara menjadi tempat untuk mempelajari
lebih dalam ideologi yang mereka yakini dan
1. Membina narapidana terorisme agar
tidak menutup kemungkinnan menyebarluaskan
meninggalkan pandangan, pemikiran, sikap,
ideologinya ke sesama narapidana lainnya.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 435
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Peter R Neumann pada penelitian yang berjudul dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa narapidana
Prisons and Terrorism Radicalisation and De- dapat dipindahkan dari satu lapas ke lapas lain
radicalisation in 15 Countries mengatakan bahwa untuk kepentingan: pembinaan; keamanan dan
salah satu permasalahan penjara yang menjadi ketertiban; proses peradilan; dan lainnya yang
sorotan adalah bahwa penjara memiliki peran dianggap perlu. Ketentuan tersebut menjadi dasar
besar dalam narasi gerakan radikal militan di dalam penempatan narapidana teroris.
era modern. Penjara merupakan tempat yang Pelaksanaan ketentuan Pasal 16 Ayat
rentan (vulnerable) bagi terjadinya radikalisasi. (1) tersebut diatur dalam beberapa aturan
Radikalisasi yang dimaksud adalah proses pelaksanannya yaitu :
dimana narapidana “biasa” terekrut dan terlibat
1. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999
dalam kelompok ekstrim dalam penjara atau
tentang Pembinaan dan Pembimbingan
proses dimana narapidana yang memang sudah
warga Binaan Pemasyarakatan.
terlibat dalam kelompok ekstrim menjadi lebih
radikal dan menyebarkan pemahaman tersebut 2. Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
kepada narapidana lain (https://ngakanyudha. No. PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 Tanggal
wordpress.com/2014/03/24/napi-terorisme- 23 April 2010 Tentang Prosedur Tetap
haruskah-mendapatkan-extra-pelayanan-di- Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi
penjara/). 3. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Terkait penempatan Narapidana teroris di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
lembaga pemasyarakatan merupakan bentuk Manusia Republik Indonesia No: PAS-172.
pelaksanaan hukuman terhadap perbuatan PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang Standar
pidana teroris yang dilakukanya. Dalam konsep Pembinaan Narapidana Teroris
pemasyarakatan penghukuman tersebut tidak Proses penempatan narapidana merupakan
hanya untuk membuat efek jera dan menghilangkan bagian dari pembinaan narapidana yang terdiri
hak kemerdekaan secara fisik, akan tetapi dari tiga tahapan yaitu tahap awal, lanjutan dan
merupakan bagian dari proses pembinaan yang akhir. Tahapan tersebut dibagi berdasarkan masa
dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan dan pemidanaan dan penempatan narapidana teroris
program deradikalisasi yang memiliki tujuan yang merupakan bagian dalam proses pembinaan
agar narapidana teroris menyadari kesalahannya, yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan
meluruskan paham radikal dan terorisme, dan secara sistematis dan bertahap. Berikut ini proses
tidak mengulangi lagi perbuatannya. bisnis pemasyarakatan dalam melaksanakan
pembinaan terhadap narapidana.
ANALISIS Gambar 1 Proses Bisnis Pemasyarakatan
PROSES BISNIS PEMASYARAKATAN
A. Mekanisme Penempatan Narapidana
INSTRUMENTAL INPUT
Teroris
TAHAP LANJUTAN 1/3 – 1/2 MP TAHAP AKHIR 2/3 MP - BEBAS
Berdasarkan pasal 12 Undang-Undang TAHAP AWAL 0 – 1/3 MP
1. Registrasi
perkembanganpembinaan
narapidana dalam rangka pembinaan di LAPAS, Profiling)
5. Klasifikasidanpenempatan
6. Sidang TPP untuk rencana pembinaan
assesment)
2. Sidang TPP menentukan program
pembinaanlanjutan
assesmentdan perjanjian
pembimbinganasimilasi)
2. Sidang TPP menentukan program
asimilasi,re-assesment dan
perjanjian pembimbingan
tahap awal 3. Klasifikasi dan penempatan pembinaanlanjutan reintegrasi) TUJUAN
salah satu penggolongan tersebut atas dasar P
R B. PELAKSANAAN PEMBINAAN
1. Pembinaan kepribadian: T
berdasarkanhasil penilaianlanjuta
B. PELAKSANAAN PEMBINAAN T
3. Klasifikasi dan penempatan
berdasarkanhasil penilaianlanjuta
2. Sidang TPP menentukan
program pembinaanlanjutan
3. Klasifikasi dan penempatan A M
PEMASYARA
KATAN
O T f A
jenis kejahatan. Terorisme merupakan kejahatan S
E
a) Kesadaran beragama
b) Pembinaan Sikap & Perilaku;
c) Kesadaranhukumberbangsadan P
1. Pembinaan kepribadian:
a) Kesadaran beragama
b) Pembinaan Sikap & Perilaku; P
B. PELAKSANAAN PEMBINAAN
1. Asimilasi di lingkungan LAPAS
(mencakup program kepribadian
P
berdasarkan hasil penilaian
lanjutan
t S RE-
INTEGRASI
terhadap kemanusiaan dan peradaban serta S bernegara
d) Pembinaanintelektual
P
c) Kesadaranhukumberbangsadan
bernegara
Pembinaanintelektual P
dan kemandirian)
2. AsimilasiDILUAR LAPAS (mencakup
B. PEMBINAAN REINTEGRASI
1. Pembebasan bersyarat
2. Cuti menjelangbebas
e Y
r A SOSIAL
P program kepribadiandan P
E e) Konseling Psikososial d) kemandirian) 3. Cuti bersyarat R PEMULIHAN
merupakan salah satu ancaman serius terhadap R
A
f) Program kesegaran jasmani
g) Programrekreasi/hiburan
h) dll sesuai kebutuhan
e) Konseling Psikososial
f) Program kesegaran jasmani
g) Programrekreasi/hiburan
3. Perawatan
4. Pemenuhanhak-hak lain
4. Programlain sesuai dengan
kebutuhan
5. Perawatan
c A KESATUAN
a K HIDUP,
D
kedaulatan setiap negara. Berdasarkan hal tersebut I
L
2. Pembinaan kemandirian:
a) Program pembinaansesuai
kebutuhan,
h) dll sesuai kebutuhan
2. Pembinaan kemandirian:
a) Program pembinaansesuai
C. EVALUASI PELAKSANAAN
PROGRAM
6. Pemenuhanhak-hak lain
C. EVALUASI PELAKSANAAN
r A KEHIDUPAN
e
DAN
A b) Sesuai minat dan bakat kebutuhan,
N c) Sesuai potensidankebutuhan b) Sesuai minat dan bakat PROGRAM T PENGHIDUPA
maka penempatan narapidana teroris di lembaga masyarakat.
3. Perawatan
4. Pemenuhanhak-hak lain
c) Sesuai potensi dankebutuhan
masyarakat.
3. Perawatan
N
4. Pemenuhanhak-hak lain
pemasyarakatan harus diperlakukan secara khusus C. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM
C. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 437
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Tahap 1 - Rencana
Penempatan
Narapidana
Rutan Mako Teroris sudah
mulai dlakukan
Brimob Kelapa sejak dalam masa
Dua tahanan dengan
melibatkan 3
Institusi
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 439
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Ada 3 faktor yang memdukung keberhasilan Tabel.3. Tingkat Radikalisme dan Kekoperatifan
tahapan profiling dan assessment yaitu: Level Tingkat Kekoperatifan
1) Kompetensi Petugas pemasyarakatan yang Radikalisme
melakukan profiling dan assessment. 1 Tinggi Rendah (Tidak bersedia ditemui
dan berkomunikasi dengan Aparat)
2) Ketersediaan dan kemudahan petugas dalam
2 Tinggi Masih rendah (Bersedia ditemui
memperoleh data seorang napi teroris.
dan komunikasi dengan Aparat
3) Kemampuan lembaga pemasyarakatan yang namun masih tertutup dan pasif)
dilengkapi sarana dan prasarana pendukung 3 Sedang Sedang (Bersedia ditemui dan
untuk menindaklanjuti hasil profilling dan komunikasi dengan Aparat dan
assessment. mulai terbuka)
4 Rendah Bersedia ditemui dan komunikasi
B. Pertimbangan dalam Penempatan dengan semua pihak dan mengikuti
Narapidana Teroris program pembinaan)
Pada prakteknya semua napi teroris ketika pertama
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
kali masuk ke dalam Lapas digolongkan pada
bahwa penempatan napi teroris ditentukan
narapidana kategori high risk hal ini sesuai dengan
berdasarkan hasil profiling dan assessment
Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
yang kemudian diputuskan dalam rapat Tim
No. PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23
Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Dalam proses/
April 2010 Tentang Prosedur Tetap Perlakuan
tahapan tersebut terdapat 3 aspek yang menjadi
Narapidana Resiko Tinggi sehingga pembinaan
pertimbangan penempatan napi teroris yaitu
dan penempatannya diperlakukan secara
1. Tingkat Resiko dan Radikalisme khusus. Terhadap narapidana terorisme yang
Tingkat resiko napi teroris terdiri dari memiliki resiko tinggi dan berpotensi untuk
tingkatan yaitu high risk, medium risk dan low risk. menyebarluaskan paham radikalisme, mengatur
Resiko tersebut meliputi resiko terhadap gangguan dan merencanakan tindakan teroris kembali atau
keamanan dan ketertiban lapas serta potensi napi menganggu keamanan dan ketertiban di lembaga
teroris untuk mengulang kembali perbuatannya. pemasyarakatan, maka ditempatkan di lapas
Tingkat resiko napi teroris tersebut dipengaruhi memiliki tingkat keamanan yang tinggi, seperti
juga oleh tingkat radikalisme yang dianut oleh Lapas khusus Gunung Sindur dan Lapas di Nusa
seorang napi teroris. Kambangan. Sedangkan bagi narapidana teroris
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membagi yang sudah kooperatif diberi kesempatan untuk
tingkat radikal napi teroris menjadi 3 kategori mengikuti program deradikalisasi di Lapas Kelas
yaitu ideolog, militan dan simpatisan. Penempatan IIB sentul.
narapidana terorisme yang termasuk kategori Tabel.4. Penempatan Narapidana Teroris
ideolog harus dipisahkan dengan narapidana Berdasarkan tingkat kekoperatifan
kategori militan dan pengikut. Demikian pula pula
Penempatan Napi Teroris
untuk narapidana tindak terorisme kategori militan
Lapas
dipisahkan dengan narapidana kategori pengikut. Level Tingkat Lapas
dengan
Lapas Khusus
Sedangkan BNPT membagi 4 kategori napi Kekoperatifan Resiko Super
Umum Teroris
teroris berdasarkan tingkat kekoperatifan. Ciri- Maksimun
Sentul
ciri narapidana teroris yang kooperatif, antara lain Security
mau bertegur sapa dengan petugas, mau mengikuti 1 Tinggi
program pembinaan dan mau shalat berjamaah 2 Tinggi
di mesjid utama lapas, sedangkan yang non 3 sedang
kooperatif tidak mau bertegur sapa dengan petugas 4 Rendah
(jika ada perlu saja), tidak mau mengikuti program
pembinaan (khususnya pembinaan kepribadian) 2. Pembinaan dan Deradikalisasi
dan biasanya tidak mau shalat berjamaah di Mesjid Terdapat 2 pola pembinaan narapidana
utama Lapas: teroris yaitu Pertama, pembinaan yang dilakukan
Kementerian Hukum dan HAM yang meliputi
pembinaan kepribadian, kemandirian dan
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 441
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Media Internet
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/
monthly/year/2017/month/3 (diakses 22
Maret 2017)
https://damailahindonesiaku.com/deradikalisasi
(diakses 22 Maret 2017)
https://ngakanyudha.wordpress.com/2014/03/24/
napi-terorisme-haruskah-mendapatkan-
extra-pelayanan-di-penjara (diakses 29 Maret
2017).
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 429 - 443 443