Sunteți pe pagina 1din 24

ANALISIS DETERMINASI KEPUTUSAN REVALUASI ASET TETAP

(Studi Perbandingan Perusahaan Manufaktur di Indonesia dan Singapura Tahun 2013-


2015)

NIA EGI RAMADHANI


niaegiramadhani@gmail.com
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACK
This study aimed to analyze the factors that influence the decision of fixed asset
revaluation. In particular, this research examines the effect of firm size, fixed asset intensity,
level of indebtedness, liquidity, and declining cash flow from operation of the decision fixed
asset revaluation. The sample was all manufacturing companies listed in Indonesia Stock
Exchange and Singapore Exchange in 2013-2015. Samples were selected by purposive
sampling technique. The method of analysis in this study using logistic regression analysis
because the dependent variable is dummy variables. The results showed that the variable
fixed assets intensity is significantly positive and liquidity significantly negative effect on the
decision revaluation of fixed assets in Indonesia. While variable firm size, level of
indebtedness, and declining cash flow from operations are not shown to affect the decision of
fixed assets revaluation in Indonesia. In contrast to what happened in Singapore, the results
showed the only variable fixed asset intensity is significantly positive influence on the
decision fixed assets revaluation in Singapore. While variable firm size, level of indebtness,
liquidity, and declining cash flow from operations are not shown to affect the decision of
fixed assets revaluation in Singapore.
Keywords: fixed assets revaluation, firm size, fixed asset intensity, level of indebtedness,
liquidity, declining cash flow from operation

1. PENDAHULUAN

Arus globalisasi yang berkembang pesat membuat negara-negara di dunia khususnya

di Indonesia terus berupaya untuk memperbaiki standar laporan keuangannya.

International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar akuntansi

internasional yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB).

Standar akuntansi keuangan Indonesia yang berbasis IFRS dianggap lebih bisa

meningkatkan kualitas standar laporan keuangan dan daya banding laporan keuangan

(Bank Indonesia, 2011 dalam Yulistia, dkk., 2015). Menurut Wondabio (2001)

konvergensi IFRS bertujuan untuk mengeliminasi perbedaan (gap) antara standar


akuntansi di Indonesia dengan IFRS. Pengadopsian IFRS di Indonesia telah

mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada PSAK, salah satunya adalah PSAK

No. 16 tentang aset tetap. Menurut Yulistia, dkk. (2015), ada perbedaan pengukuran aset

tetap setelah pengakuan awal yang sebelumnya pada PSAK 16 (Revisi 1994) aset tetap

disajikan berdasarkan nilai perolehan aktiva tersebut dikurangi akumulasi penyusutan

dan tidak memperbolehkan adanya revaluasi aktiva tetap (IAI, 2002 dalam Yulistia, dkk.,

2015). Namun selanjutnya pengukuran setelah pengakuan menurut PSAK No. 16 entitas

dapat memilih antara model biaya atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansinya

dan mengaplikasikan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok

yang sama. Penelitian Kurniawati (2013) mengatakan bahwa entitas yang memutuskan

merevaluasi asetnya, setelah pengakuan awal aset tetap dicatat sebesar jumlah

revaluasian yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi rugi penurunan

nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi dan akumulasi penyusutan.

Penelitian Seng dan Su (2010) menemukan bahwa faktor politis yang diproksi

dengan size (ukuran perusahaan) dapat mempengaruhi pilihan perusahaan untuk

merevaluasi asetnya. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Tay (2009) dan Barac dan

Sodan (2011) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan (firm size) secara signifikan

berkontribusi pada keputusan revaluasi. Lain halnya dengan penelitian Nurjanah (2013)

yang menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap revaluasi. Selain

itu, penelitian Manihuruk dan Farahmita (2015) dan Yulistia, dkk (2015) menemukan

bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh positif terhadap revaluasi, artinya

perusahaan yang berukuran besar lebih kecil kemungkinan menggunakan model

revaluasi pada pencatatan aset tetap mereka. Pada penelitian Seng dan Su (2010) dan Tay

(2009) intensitas aset tetap (fixed asset intensity) yang mewakili information asymmetri

factor ditemukan signifikan dalam pengujian univariate tetapi secara statistik tidak
signifikan dalam metode regresi logistik. Sedangkan penelitian Manihuruk dan

Farahmita (2015) menemukan bahwa intensitas aset tetap berpengaruh secara positif

terhadap revaluasi aset tetap dan hasil ini berlawanan dengan penelitian Yulistia, dkk.,

(2015) dan Barac dan Sodan (2011). Penelitian yang dilakukan Barac dan Sodan (2011)

membuktikan bahwa level of indebtedness tidak berpengaruh terhadap revaluasi aset

menaik, sedangkan perusahaan dengan rasio likuiditas rendah lebih mungkin untuk

melakukan revaluasi menaik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Black, Sellers dan

Manly (1998) dalam Manihuruk dan Farahmita (2015) yang menemukan bahwa

likuiditas mempunyai pengaruh yang signifikan negatif terhadap pilihan merevaluasi

aset. Sedangkan penelitian Manihuruk dan Farahmita (2015) dan Andison (2015) tidak

berhasil membuktikan bahwa liquidity berpengaruh negatif terhadap keputusan revaluasi

aset tetap. Declining cash flow from operation yang mewakili contracting factor pada

penelitian Seng dan Su (2010) tidak ditemukan signifikan terhadap revaluasi aset tetap

yang artinya declining cash flow from operation tidak berpengaruh terhadap revaluasi

menaik. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yulistia, dkk. (2015) yang menemukan bahwa

penurunan arus kas operasi tidak berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset

tetap.

Sedikitnya jumlah perusahaan yang memilih model revaluasi aset tetap membuat

topik ini menjadi menarik diteliti kembali untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dapat

mempengaruhi perusahaan melakukan revaluasi. Penelitian ini merupakan replikasi dari

penelitian Manihuruk dan Farahmita (2015). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya adalah penelitian ini merupakan penelitian komparatif yang mencoba

membandingkan perusahaan di Indonesia dan Singapura. Selain itu, peneliti juga

menambahkan satu variabel yaitu declining cash flow from operation dalam penelitian

ini.
Singapura dipilih karena sudah termasuk dalam negara maju. Peneliti berpikir

mungkin terjadi perbedaan hasil antara negara maju dan negara berkembang. Singapura

juga dipilih karena memiliki persamaan dengan Indonesia, yaitu mulai efektif melakukan

konvergensi IFRS pada 1 Januari 2012 dan cara pengadopsian IFRS dilakukan secara

gradual system (sistem bertahap). Adanya perbedaan hasil penelitian pada variabel firm

size (ukuran perusahaan), fixed asset intensity (intensitas aset tetap), liquidity (likuiditas)

pada penelitian Manihuruk dan Farahmita (2015), Yulistia, dkk (2015), Seng dan Su

(2010) membuat variabel ini menjadi menarik diuji kembali untuk mengetahui apakah

variabel tersebut berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan revaluasi aset

tetap. Sedangkan variabel declining cash flow from operation dan variabel level

indebtedness ditambahkan karena masih sedikit peneliti yang menggunakan variabel

tersebut dan supaya berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini

bertujuan untuk menguji secara empiris terkait pengaruh firm size, fixed asset intensity,

level of indetbtedness, liquidity, dan declining cash flow from operation terhadap

keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Singapura.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Akuntansi

Positive Accounting Theory yang dikemukakan oleh Watt dan Zimmerman

(1978) dalam Farahmita dan Siregar (2014) dapat menjelaskan mengapa suatu

perusahaan memilih metode akuntansi yang akan diterapkannya. Menurut Azouzi

dan Jarboui (2012) riset tentang revaluasi aset merupakan bagian dari penelitian

dalam teori positif akuntansi. Teori akuntansi positif diterapkan untuk

menjelaskan motivasi melakukan revaluasi aset. Ini berarti bahwa perusahaan


akan mengubah metode akuntansi mereka untuk mengakui asetnya dari biaya

historis ke nilai wajar untuk meminimalkan biaya kontrak.

Penelitian Seng dan Su (2010) mengklasifikasikan faktor yang dapat

mempengaruhi manajer dalam memutuskan kebijakan akuntansinya menjadi tiga

faktor, yaitu: (1) Contracting Factors, menjelaskan bahwa pemilihan kebijakan

akuntansi dilakukan untuk mempengaruhi kontrak utang; (2) Political Factors

yang erat kaitannya dengan political cost hypothesis, dimana tujuan perusahaan

mengurangi laba dalam laporan keuangan perusahaan untuk mengurangi

visibilitas politis dan biaya politis yang mungkin terjadi; (3) Information

Asymmetry, menjelaskan bahwa kebijakan akuntansi ditentukan oleh asimetri

informasi yang berusaha mempengaruhi penilaian atau harga dari suatu aset.

2.2 Revaluasi Aset Tetap

Revaluasi aset tetap adalah peninjauan kembali nilai dari suatu aset tetap.

Revaluasi sering dimaknai penilaian ulang yang menyebabkan nilai aset menjadi

lebih tinggi, padahal revaluasi dapat menghasilkan nilai yang lebih rendah

maupun lebih tinggi dari aset tercatat (Tay, 2009). PSAK No. 16 (Penyesuaian

2015) menyatakan bahwa ketika suatu aset tetap direvaluasi, maka jumlah tercatat

dari aset tetap tersebut disesuaikan pada jumlah revaluasiannya. Pada tanggal

revaluasi, aset diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini: (a) jumlah tercatat

bruto disesuaikan secara konsisten dengan revaluasi jumlah tercatat aset. Sebagai

contoh, jumlah tercatat bruto dapat disajikan kembali dengan mengacu pada data

pasar yang dapat diobservasi atau dapat disajikan kembali secara proporsional

terhadap perubahan jumlah tercatat. Akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi

disesuaikan untuk menyamakan perbedaan antara jumlah tercatat bruto dan


jumlah tercatat aset setelah memperhitungkan akumulasi rugi penurunan nilai;

atau (b) akumulasi penyusutan dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto aset.

2.3 Hasil Penelitian Terdahulu

Barac dan Sodan (2011) melakukan penelitan di Kroasia. Pada penelitiannya

ditemukan bahwa variabel liquidity, debt growth, return on equity, dan size secara

statistik signifikan pada tingkat 5% dan koefisien bertanda sesuai dengan

hipotesis. Artinya, variabel tersebut lebih mungkin untuk melakukan revaluasi

aset tetap. Sedangkan fixed assets intensity, operating income to income costs,

level of indebtedness, dan cash return on equity ditemukan tidak signifikan pada

tingkat 5%. Cash flow ratios secara statistik signifikan tetapi tidak memiliki arah

yang sesuai dengan hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan

pertumbuhan arus kas operasi lebih mungkin untuk merevaluasi aset mereka, yang

mana bertentangan dengan hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya. Hal ini

dapat dijelaskan dengan fakta bahwa pertumbuhan arus kas operasi tidak

mengindikasian likuiditas perusahaan baik. Yakni, arus kas bersih bisa menjadi

negatif karena perusahaan dapat memiliki arus kas negatif yang besar dari

aktivitas pendanaan dan investasi pada saat yang sama.

Penelitian Seng and Su (2010) yang dilakukan di Selandia Baru menemukan

bahwa ukuran perusahaan yang menjadi proksi contracting factors berpengaruh

secara signifikan terhadap revaluasi menaik. Artinya, revaluasi memang

digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengurangi biaya politik.

Sedangkan variabel leverage level, declining cash flow from operation, prior

revaluation, growth options, takeover offer, dan bonus issue tidak berpengaruh

terhadap revaluasi aset tetap. Hanya fixed asset intensity yang ditemukan
signifikan dalam pengujian univariate tetapi tidak signifikan dalam model regresi

logistik.

Manihuruk dan Farahmita (2015) melakukan penelitian pada perusahaan di

Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa variabel intensitas aset tetap dan leverage berpengaruh positif terhadap

revaluasi aset tetap. Artinya perusahaan dengan intensitas aset tetap yang lebih

besar akan semakin besar kemungkinan memilih menggunakan model revaluasi

pada pencatatan aset tetap mereka dan perusahaan dengan tingkat hutang yang

lebih besar akan semakin besar kemungkinan memilih menggunakan model

revaluasi pada pencatatan aset tetap mereka Sedangkan variabel ukuran

perusahaan dan likuiditas tidak berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap.

Penelitian Yulistia, Fauziati, Minovia, Khairati (2015) yang dilakukan pada

perusahaan manufaktur di Indonesia tahun 2012-2013 menemukan bahwa variabel

leverage, arus kas operasi, firm size, dan fixed asset intensity tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap revaluasi aset tetap menaik. Penelitian ini hanya

menemukan total 10 perusahaan pengguna model revaluasi di tahun 2012 dan

2013. Menurut peneliti, dengan diperbolehkannya perusahaan memilih model

biaya dan model revaluasi membuat perusahaan cenderung memilih model biaya.

Hal ini disebabkan karena walaupun model revaluasi dianggap lebih relevan,

tetapi dalam praktiknya masih sulit untuk diterapkan dan membutuhkan biaya

yang mahal misalnya saja untuk penggunaan tenaga penilai serta peningkatan

biaya audit.
2.4 Penurunan Hipotesis

Firm Size (ukuran perusahaan) sering menjadi proksi dari political factor. Hal

ini sesuai dengan political cost hypothesis dimana perusahaan besar berusaha

untuk menampilkan konservatisme pada profitabilitas mereka demi bisa

menghindar dari visibilitas politik yang dapat memberi dampak pada

meningkatnya biaya politik dan peraturan yang lebih ketat. Revaluasi aset dapat

menampilkan konservatisme yang bisa mengurangi visibilitas politik disebabkan

karena depresiasi yang semakin besar (Manihuruk dan Farahmita, 2015).

Penelitian di luar negeri menemukan bahwa perusahaan besar akan melakukan

revaluasi untuk mengurangi return on equity, aset, dan potensi keuntungan modal

yang diperoleh dari penjualan sehingga akan mengurangi biaya politik (Lin dan

Peasnell, 2000; Tay, 2009; Seng dan Su, 2010; Barac dan Sodan, 2011). Penelitian

ini memilih posisi yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

mengatakan bahwa karena ingin menurunkan tekanan politik pemerintah atau

serikat buruh, perusahaan besar akan cenderung melakukan revaluasi aset tetap.

H1a: Firm Size berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di

Indonesia.

H1b: Firm Size berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di

Singapura.

Tay (2009) berpendapat bahwa revaluasi penting untuk diperhatikan dimana

porsi terbesar dari total aset adalah aset tetap yang dapat meningkatkan nilai suatu

perusahaan dan karena itu memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan basis

aset. Tidak hanya itu, revaluasi juga diterapkan untuk mengurangi pelaporan
profitabilitas perusahaan, baik melalui depresiasi yang lebih besar, maupun

dengan peningkatan basis aset yang digunakan untuk mengukur return on equity.

Perusahaan yang memiliki intensitas aset tetap yang lebih besar cenderung

semakin besar kemungkinannya dalam memilih model revaluasi pada pencatatan

aset tetap mereka (Manihuruk dan Farahmita, 2015). Penelitian Lin dan Peasnell

(2000) menemukan bahwa intensitas aset tetap memiliki hubungan yang

signifikan positif terhadap pilihan model revaluasi aset tetap perusahaan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Tay (2009), Seng dan Su (2010),

Manihuruk dan Farahmita (2015).

H2a: Fixed Asset Intensity berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset

tetap di Indonesia.

H2b: Fixed Asset Intensity berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset

tetap di Singapura.

Perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi akan memutuskan merevaluasi

asetnya untuk meningkatkan kelayakan perusahaan dihadapan kreditur

(Manihuruk dan Farahmita, 2015). Barac dan Sodan (2011) mengatakan bahwa

perusahaan dengan rasio utang tinggi lebih mungkin untuk merevaluasi aset

mereka karena revaluasi dapat menurunkan nilai rasio utang. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Lin dan Peasnell (2000), Manihuruk dan Farahmita

(2015), Andison (2015) yang menemukan bahwa tingkat utang berpengaruh

positif terhadap revaluasi aset tetap.

H3a: Level of Indebtedness berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset

tetap di Indonesia.
H3b: Level of Indebtedness berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset

tetap di Singapura.

Menurut Andison (2015) rasio likuiditas menggambarkan kemampuan

perusahaan dalam melunasi kewajiban lancarnya. Perusahaan yang memiliki

likuiditas rendah akan memilih melakukan revaluasi agar dapat memperlihatkan

nilai aset tetap mereka yang sebenarnya dapat dikonversi dalam bentuk kas

(Manihuruk & Farahmita, 2015). Andison (2015) mengatakan bahwa kebijakan

revaluasi aset akan berdampak positif pada posisi keuangan, hal ini tentu

memberikan respon positif bagi kreditur dalam memberikan pinjaman.

Dalam penelitiannya, Tay (2009) berargumen bahwa revaluasi membantu

memberikan informasi secara lebih aktual mengenai jumlah kas yang diperoleh

dari penjualan aset, sehingga dapat membantu meningkatkan kapasitas pinjaman

perusahaan serta mengurangi biaya pinjaman. Black, Sellers dan Manly (1998)

dalam Manihuruk dan Farahmita (2015) menemukan bahwa likuiditas mempunyai

pengaruh yang signifikan negatif terhadap pilihan merevaluasi aset. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian Barac & Sodan (2011).

H4a: Liquidity berpengaruh negatif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di

Indonesia.

H4b: Liquidity berpengaruh negatif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di

Singapura.

Cotter & Zimmer (1995) dalam Seng & Su (2010) berpendapat revaluasi dapat

memberikan sinyal nilai yang lebih tinggi dari aset jaminan perusahaan, yang akan

membantu meyakinkan debtholders tentang kemampuan perusahaan melunasi

hutangnya. Oleh karena itu, revaluasi akan mengembalikan kapasitas pinjaman


perusahaan. Mereka mengusulkan bahwa perusahaan dengan arus kas menurun

lebih mungkin merevaluasi asetnya. Penelitian Cotter dan Zimmer (1995) dalam

Barac dan Sodan (2011) menemukan bahwa rasio arus kas yang rendah lebih

mungkin untuk merevaluasi asetnya.

H5a: Declining Cash Flow From Operation berpengaruh positif terhadap

keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia.

H5b: Declining Cash Flow From Operation berpengaruh positif terhadap

keputusan revaluasi aset tetap di Singapura.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia dan Singapore Exchange tahun 2013-2015. Dari seluruh populasi yang

ada, hanya diambil sampel perusahaan yang memenuhi kriteria sesuai dengan

teknik purposive sampling, dengan kriteria (1) perusahaan manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Singapore Exchange periode tahun 2013

sampai dengan tahun 2015, (2) memiliki aset tetap antara tahun 2013-2015, (3)

memiliki informasi mengenai revaluasi, (4) memiliki kelengkapan data yang

dibutuhkan selama periode pengamatan.

Sumber data yang digunakan sebagai sampel penelitian yaitu laporan

keuangan yang dipublikasikan dan dapat diunduh dari website resmi Bursa Efek

Indonesia (www.idx.co.id) dan Singapore Exchange (www.sgx.com). Seluruh

data yang digunakan dalam variabel penelitian ini diperoleh dari laporan

keuangan perusahaan. Laporan keuangan digunakan untuk memperoleh data


penelitian yaitu firm size, fixed asset intensity, level of indebtness, liquidity, dan

declining cash flow from operation. Sedangkan keputusan revaluasi aset tetap

diperoleh dari catatan atas laporan keuangan (CALK) perusahaan.

3.2 Model Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel dependen diukur menggunakan dummy, maka

analisis yang digunakan adalah metode regresi logistik (logistic regression) dalam

pengujian hipotesisnya. Pengolahan dan perhitungan data menggunakan program

SPSS 21.00 for windows. Pengujian faktor yang mempengaruhi keputusan

pemilihan model revaluasi aset tetap menggunakan model regresi logistik sebagai

berikut:

REVi = α + β1SIZE + β2FAI + β3DR + β4LIQ + β5CFFO + e

Keterangan:

REVi = Kemungkinan perusahaan memilih model revaluasi aset tetap. Nilai

1 jika melakukan revaluasi, 0 jika tidak melakukan revaluasi.

α = Konstanta

β1–β5 = Koefisien regresi

SIZE = Firm Size

FAI = Fixed Asset Intensity

DR = Debt to Asset Ratio (Level of Indebtedness)

LIQ = Liquidity

CFFO = Declining Cash Flow from Operation


e = Error

4. HASIL PENELITIAN

4.1 Sampel dan Statistik Deskriptif

Tabel 1 pada lampiran menunjukkan prosedur pemilihan sampel perusahaan

Indonesia dan Singapura. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa 458 dari total

489 perusahaan manufaktur di Indonesia lebih memilih model biaya dan hanya 31

dari total 489 perusahaan yang memilih model revaluasi. Sedangkan 224 dari

total 262 perusahaan manufaktur di Singapura lebih memilih model biaya dan

hanya 38 dari total 262 perusahaan yang memilih model revaluasi.

Tabel 2 pada lampiran menunjukkan statistik deskriptif perusahaan Indonesia

dan tabel 3 menunjukkan statistik deskriptif dari perusahaan Singapura. Pada tabel

2 tersebut menunjukkan hasil uji statistik secara keseluruhan, khusus variabel firm

size dinyatakan dalam jutaan rupiah. Firm size memiliki nilai rata-rata sebesar

7.782.419,34, fixed asset intensity memiliki nilai rata-rata sebesar 0,3656343,

level of indebtedness memiliki nilai rata-rata 0,5286159, liquidity memiliki nilai

rata-rata sebesar 2,7875285, dan declining cash flow from operation memiliki

nilai rata-rata sebesar -0,0025583. Sedangkan pada tabel 3 dapat kita lihat, firm

size memiliki nilai rata-rata sebesar 3.760.263,55, fixed asset intensity memiliki

nilai rata-rata sebesar 0,0523632, level of indebtedness memiliki nilai rata-rata

0,5787165, liquidity memiliki nilai rata-rata sebesar 19,1251575, dan declining

cash flow from operation memiliki nilai rata-rata sebesar -304,2624622.

4.2 Hasil Pengujian Hipotesis dan Analisis

4.2.1 Hubungan Firm Size Terhadap Keputusan Revaluasi Aset Tetap


Berdasarkan tabel 4 pada lampiran, variabel firm size yang diukur

dengan logaritma natural dari total aset memiliki nilai koefisien -0,213

dengan nilai sig 0,138 > alpha 0,05 dan arah koefisien negatif tidak sesuai

dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H1a ditolak, hal ini

menunjukkan bahwa firm size tidak berpengaruh positif terhadap keputusan

revaluasi aset tetap di Indonesia. Artinya, semakin besar ukuran perusahaan

maka semakin kecil kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya.

Sedangkan berdasarkan tabel 5 pada lampiran, variabel firm size memiliki

nilai koefisien -0,221 dengan nilai sig 0,133 > alpha 0,05 dan arah koefisien

negatif tidak sesuai dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

H1b ditolak, hal ini menunjukkan bahwa firm size tidak berpengaruh positif

terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Singapura. Artinya, semakin

besar ukuran perusahaan maka semakin kecil kemungkinan perusahaan

merevaluasi aset tetapnya.

Hal ini berarti mungkin saja terjadi, dimana revaluasi yang dilakukan

oleh perusahaan di Indonesia dan Singapura bersifat upward revaluation,

yang artinya selisih dari nilai buku dan nilai revaluasi akan berakibat pada

naiknya saldo laba komprehensif di perusahaan. Hal ini menyebabkan

perusahaan besar tidak bisa menghindari pajak yang sudah ditetapkan.

Adanya peraturan pajak PMK No.191/2015 yang mengenakan pajak final

antara 3% sampai 6% terhadap selisih revaluasi nilai wajar aset

memungkinkan perusahaan lebih memilih model biaya untuk menghindari

risiko terkena regulasi perpajakan yang menyebabkan kenaikan pembayaran

pajak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nurjanah (2013),

Manihuruk dan Farahmita (2015), dan Yulistia, dkk (2015) yang


menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh positif terhadap

revaluasi, artinya perusahaan yang berukuran besar lebih kecil

kemungkinan menggunakan model revaluasi pada pencatatan aset tetap

mereka.

4.2.2 Hubungan Fixed Asset Intensity Terhadap Keputusan Revaluasi Aset Tetap

Berdasarkan tabel 4 pada lampiran, variabel fixed asset intensity yang

diukur dengan nilai buku dari total aset tetap dibagi total aset memiliki nilai

koefisien 4,481 dengan nilai sig 0,000 < alpha 0,05 dan arah koefisien

positif sesuai dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H2a

diterima, hal ini menunjukkan bahwa fixed asset intensity berpengaruh

positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia. Artinya,

semakin banyak aset tetap yang dimiliki perusahaan maka semakin besar

kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya. Sedangkan

berdasarkan tabel 5 pada lampiran, variabel fixed asset intensity memiliki

nilai koefisien 4,721 dengan nilai sig 0,000 < alpha 0,05 dan arah koefisien

positif sesuai dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H2b

diterima, hal ini menunjukkan bahwa fixed asset intensity berpengaruh

positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Singapura. Artinya,

semakin banyak aset tetap yang dimiliki perusahaan maka semakin besar

kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya.

Hasil pengujian ini sesuai hipotesis peneliti yang menyatakan bahwa

intensitas aset tetap berpengaruh signifikan positif terhadap keputusan

revaluasi aset tetap. Sesuai dengan penelitian Tay (2009) yang berpendapat

bahwa revaluasi penting untuk diperhatikan dimana jumlah terbesar total

aset perusahaan adalah aset tetap yang dapat mengakibatkan nilai suatu
perusahaan meningkat dan karena itu menjadi besar potensinya untuk

meningkatkan basis aset. Tidak hanya itu, revaluasi juga diterapkan agar

dapat mempengaruhi pelaporan profitabilitas sehingga menjadi rendah

dalam laporan keuangan perusahaan, melalui penyusutan yang lebih besar,

atau dengan basis aset yang meningkat untuk mengukur return on equity.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Tay (2009), Seng dan Su (2010),

Manihuruk dan Farahmita (2015) yang menemukan bahwa intensitas aset

tetap signifikan positif terhadap pilihan model revaluasi aset tetap

perusahaan.

4.2.3 Hubungan Level of Indebtedness Terhadap Keputusan Revaluasi Aset Tetap

Berdasarkan tabel 4 pada lampiran, variabel level of indebtedness yang

diukur dengan total kewajiban dibagi total aset memiliki nilai koefisien -

0,245 dengan nilai sig 0,712 > alpha 0,05 dan arah koefisien negatif tidak

sesuai dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H3a ditolak, hal

ini menunjukkan bahwa level of indebtedness tidak berpengaruh positif

terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia. Artinya, semakin

tinggi rasio utang perusahaan maka semakin rendah kemungkinan

perusahaan merevaluasi aset tetapnya. Sedangkan, berdasarkan tabel 5 pada

lampiran, variabel level of indebtedness memiliki nilai koefisien -1,737

dengan nilai sig 0,016 < alpha 0,05 dan arah koefisien negatif tidak sesuai

dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H3b ditolak, hal ini

menunjukkan bahwa level of indebtedness tidak berpengaruh positif

terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Singapura. Artinya, semakin


tinggi rasio utang perusahaan maka semakin rendah kemungkinan

perusahaan merevaluasi aset tetapnya.

Lin dan Peasnell (2000) menyatakan bahwa revaluasi yang digunakan

sebagai alat akuntansi efektif dalam meningkatkan kapasitas pinjaman tidak

dapat dijamin kepastiannya, karena sebagian debtholders dapat

mengecualikan revaluasi dalam dasar untuk menghitung rasio utang. Selain

itu, revaluasi aset yang digunakan untuk menghindar dari kegagalan

pembayaran pada perjanjian utang dapat mengurangi kredibilitas

manajemen sehingga akan berdampak pada meningkatnya biaya

contracting di masa depan (Cotter, 1999 dalam Seng dan Su, 2010). Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian Barac dan Sodan (2011) yang

membuktikan bahwa level of indebtedness tidak berpengaruh terhadap

revaluasi.

4.2.4 Hubungan Liquidity Terhadap Keputusan Revaluasi Aset Tetap

Berdasarkan tabel 4 pada lampiran, variabel liquidity yang diukur

dengan acid test ratio memiliki nilai koefisien -1,044 dengan nilai sig 0,023

< alpha 0,05 dan arah koefisien negatif sesuai dengan hipotesis. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa H4a diterima, hal ini menunjukkan bahwa

liquidity berpengaruh negatif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di

Indonesia. Artinya, semakin rendah likuiditas perusahaan maka semakin

tinggi kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya. Sedangkan,

berdasarkan tabel 5 pada lampiran, variabel liquidity memiliki nilai

koefisien -0,016 dengan nilai sig 0,242 > alpha 0,05 dan arah koefisien

negatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H4b ditolak, hal ini


menunjukkan bahwa liquidity tidak berpengaruh negatif terhadap keputusan

revaluasi aset tetap di Singapura. Artinya, semakin rendah likuiditas

perusahaan maka semakin rendah kemungkinan perusahaan merevaluasi

aset tetapnya.

Menurut Andison (2015) rasio likuiditas menggambarkan kemampuan

perusahaan dalam melunasi kewajiban lancarnya. Perusahaan yang

memiliki likuiditas rendah akan memilih melakukan revaluasi agar dapat

menunjukkan nilai aset tetap perusahaan yang sebenarnya dapat diubah ke

dalam bentuk kas. Andison (2015) juga mengatakan bahwa kebijakan

revaluasi aset akan berdampak positif pada posisi keuangan, hal ini tentu

memberikan respon positif bagi kreditur dalam memberikan pinjaman. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Black, Sellers dan Manly (1998) dalam

Manihuruk dan Farahmita (2015) dan Barac Sodan (2011) yang

menemukan bahwa likuiditas mempunyai pengaruh yang signifikan negatif

terhadap pilihan merevaluasi aset. Lain halnya dengan yang terjadi di

Singapura, Manihuruk dan Farahmita (2015) beranggapan bahwa kebijakan

perusahaan merevaluasi aset tetapnya cenderung dianggap tidak

berpengaruh pada kinerja di perusahaan. Perusahaan yang likuiditasnya

rendah akan lebih fokus berusaha meningkatkan likuiditas mereka agar

tidak melanggar perjanjian utang, walaupun perusahaan yang likuiditasnya

tinggi lebih bebas untuk memilih kebijakan lain karena mereka tidak

terjerat masalah likuiditas. Hasil ini sesuai dengan penelitian Manihuruk

dan Farahmita (2015), Andison (2015), dan Tay (2009) yang tidak berhasil

membuktikan bahwa liquidity berpengaruh negatif terhadap keputusan

revaluasi aset tetap.


4.2.5 Hubungan Declining Cash Flow From Operation Terhadap Keputusan

Revaluasi Aset Tetap

Berdasarkan tabel 4 pada lampiran, variabel declining cash flow from

operation yang diukur dengan perubahaan arus kas operasi selama 2 tahun

dibagi total aset tetap memiliki nilai koefisien -0,276 dengan nilai sig 0,443

> alpha 0,05 dan arah koefisien negatif tidak sesuai dengan hipotesis.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa H5a ditolak, hal ini menunjukkan bahwa

declining cash flow from operation tidak berpengaruh positif terhadap

keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia. Artinya, semakin tinggi

penurunan arus kas operasi perusahaan maka semakin rendah kemungkinan

perusahaan merevaluasi aset tetapnya. Sedangkan, berdasarkan tabel 5 pada

lampiran, variabel declining cash flow from operation memiliki nilai

koefisien -0,001 dengan nilai sig 0,834 > alpha 0,05 dan arah koefisien

negatif tidak sesuai dengan hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

H5b ditolak, hal ini menunjukkan bahwa declining cash flow from operation

tidak berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di

Singapura. Artinya, semakin tinggi penurunan arus kas operasi perusahaan

maka semakin rendah kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya.

Hal ini mungkin disebabkan karena menurut Seng dan Su (2010), arus

kas operasi merupakan bagian dari arus kas perusahaan. Oleh karena itu

penurunan arus kas dari aktivitas operasi dapat diimbangi oleh aktivitas

lain, yaitu seperti aktivitas pendanaan dan aktivitas investasi. Hal ini yang

mengakibatkan kreditur tidak hanya melihat arus kas operasi saja melainkan

juga arus kas perusahaan secara keseluruhan. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Seng dan Su (2010) dan Yulistia, dkk. (2015) yang tidak

menemukan pengaruh signifikan penurunan arus kas operasi terhadap

revaluasi aset tetap.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

keputusan revaluasi aset tetap. Analisis keputusan revaluasi aset tetap tersebut

diuji dengan melihat pengaruh firm size, fixed asset intensity, level of

indebtedness, liquidity, dan declining cash flow from operation terhadap

keputusan revaluasi aset tetap. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan

yang telah diuraikan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan yaitu, secara

statistik firm size tidak berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap

di Indonesia dan Singapura. Artinya, semakin besar ukuran perusahaan maka

semakin kecil kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya. Secara

statistik, fixed asset intensity berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi

aset tetap di Indonesia dan Singapura. Artinya, semakin banyak aset tetap yang

dimiliki perusahaan maka semakin besar kemungkinan perusahaan merevaluasi

aset tetapnya. Secara statistik, level of indebtedness tidak berpengaruh positif

terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Singapura. Artinya,

semakin tinggi rasio utang perusahaan maka semakin rendah kemungkinan

perusahaan merevaluasi aset tetapnya. Secara statistik, liquidity berpengaruh

negatif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia. Artinya, semakin

rendah likuiditas perusahaan maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan

merevaluasi aset tetapnya. Sedangkan di Singapura, secara statistik liquidity tidak


berpengaruh negatif terhadap keputusan revaluasi aset tetap. Artinya, semakin

rendah likuiditas perusahaan maka semakin rendah pula kemungkinan perusahaan

merevaluasi aset tetapnya. Secara statistik, declining cash flow from tidak

berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan

Singapura. Artinya, semakin tinggi penurunan arus kas operasi perusahaan maka

semakin rendah kemungkinan perusahaan merevaluasi aset tetapnya.

5.2 Saran

Bagi peneliti selanjutnya, tambahkan sampel perusahaan dari negara ASEAN

lain yang sudah mengadopsi IAS 16, misalnya seperti Malaysia dan Filiphina.

Gunakan proksi yang berbeda untuk mewakili masing-masing faktor yang diteliti

agar dapat dibandingkan apakah hasil yang diperoleh sama atau tidak.

Tambahkan variabel penelitian yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan

revaluasi aset tetap, misalnya seperti bonus dan profitabilitas. Perpanjang periode

penelitian agar hasil yang diperoleh lebih maksimal. Coba ganti variabel

penurunan arus kas dari aktivitas operasi perusahaan menjadi penurunan arus kas

dari seluruh aktivitas perusahaan, untuk mengetahui apakah hasil yang diperoleh

sama atau berbeda.

Daftar Pustaka
Andison, 2015, Fixed Asset Revaluation: Market Reaction, Simposium Nasional Akuntansi,
Universitas Trisakti.

Azouzi, Mohamed Ali dan Anis Jarboul, 2012, The Evidence of Management Motivation to
Revalue Property Plant and Equipment in Tunisia, Journal of Accounting and
Taxation, Vol. 4(2).

Barać, Ž. A., dan Šodan, Slavko., 2011, Motives For Asset Revaluation Policy Choice In
Croatia, Croatian Operational Research Review (Crorr), Vol. 2.
Farahmita, Aria, dan Siregar, S. V., 2014, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perusahaan
Memilih Metode Nilai Wajar untuk Properti Investasi, Simposium Nasional
Akuntansi, Universitas Indonesia.

Ghozali, Imam, 2011, Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS 19, Edisi 5,
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Ghozali, Imam, 2016, Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS 23, Edisi 8,
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

IAI, 2015, Exposure Draft Aset Tetap PSAK 16, Jakarta.

Kurniawati, Heni, 2013, Analisis dan Tren Penggunaan Accounting Choice yang Dilakukan
Perusahaan di Indonesia Pasca Adopsi IFRS, Binus Business Review, Vol. 4 No. 2,
Binus University.

Lin, Y. C., and Peasnell, K. V., 2000, Fixed Asset Revaluation and Equity Depletion in UK,
Journal of Business Finance and Accounting, 27.

Manihuruk, Tunggul Natalius H., dan Farahmita, Aria, 2015, Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Metode Revaluasi Aset Tetap pada Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Saham Beberapa Negara ASEAN, Simposium Nasional Akuntansi,
Universitas Indonesia.

Nurjanah, Ai. 2013. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Keputusan Revaluasi Aset
Tetap pada Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Indonesia tahun 2011, Skripsi
Universitas Pendidikan Indonesia.

Pelatihan Dampak Penerapan PSAK Terbaru Berbasis IFRS terhadap Dunia Pendidikan dan
Industri, Padang.

Seng, Dyna dan Jiahua Su, 2010. Managerial Incentives Behind Fixed Asset Revaluation:
Evidence from New Zealand Firms, International Journal of Business Research,
Department of Accountancy and Business Law, Working paper series, No 3.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Alfabeta.

Tay, Ink. 2009. Fixed Asset Revaluation: Management Incentives dan Market Reaction.
Lincoln University, Canterbury, New Zealand.

Wondabio, Ludovicus Sensi, 2011. Konvergensi IFRS dan Pemahaman PSAK terkini,
Pelatihan Dampak Penerapan PSAK Terbaru Berbasis IFRS terhadap Dunia
Pendidikan dan Industri, Padang.

Yulistia R. M., Fauziati P., Minovia A. F., Khairati A, 2015. Pengaruh Leverage, Arus Kas
Operasi, Ukuran Perusahaan dan Fixed Asset Intensity Terhadap Revaluasi Aset
Tetap, Universitas Bung Hatta Padang.
LAMPIRAN

Tabel 1
Prosedur Pemilihan Sampel Perusahaan Indonesia dan Singapura

Keterangan Indonesia Singapura


Perusahaan manufaktur yang terdaftar di 558 813
Bursa Efek Indonesia dan Singapore
Exchange periode tahun 2013 sampai
dengan tahun 2015
Tidak memiliki aset tetap antara tahun - -
2013-2015
Perusahaan dengan data yang tidak dapat
diperoleh periode tahun 2013-2015 yang
terdiri dari: (5) (227)
- Laporan keuangan tidak ditemukan
- Komponen pembentuk variabel tidak (35) (316)
lengkap
Outliers (29) (8)
Sampel perusahaan final tahun 2013-2015 489 262
yang terdiri dari:
- Model Revaluasi 31 38
- Model Biaya 458 224

Tabel 2
Statistik Deskriptif Indonesia

Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
FIRM_SIZE 489 45208 93491227 7782419,34 14797833,442
(jutaan rupiah)
FAI 489 0,00007 0,91741 0,3656343 0,20116723
DR 489 0,00025 4,98033 0,5286159 0,41019859
LIQ 489 -0,31023 372,86767 2,7875285 19,59192123
CFFO 489 -7,11133 3,28169 -0,0025583 0,57507467
Valid N 489
(listwise)

Sumber: Output SPSS 21, 2016


Tabel 3
Statistik Deskriptif Singapura

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


FIRM_SIZE
262 1484 178261195 3760263,55 17278173,020
(jutaan rupiah)
FAI 262 0,00000 0,96360 0,0523632 0,13908925
DR 262 0,00079 33,32370 0,5787165 2,80842954
LIQ 262 0,00000 922,70800 19,1251575 80,05924270
CFFO 262 -65303,64267 142,23750 -304,2624622 4086,23825018
Valid N
262
(listwise)
Sumber: Output SPSS 21, 2016

Tabel 4
Hasil Uji Hipotesis Indonesia

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


FIRM_SIZE(Ln) -0.213 0.144 2.198 1 0.138 0.808
FAI 4.481 1.061 17.853 1 0.000 88.356
DR -0.245 0.663 0.136 1 0.712 0.783
Step 1a
LIQ -1.044 0.459 5.170 1 0.023 0.352
CFFO -0.276 0.359 0.589 1 0.443 0.759
Constant 2.344 4.082 0.330 1 0.566 10.427
a. Variable(s) entered on step 1: FIRM_SIZE, FAI, DR, LIQ, CFFO.

Sumber: Output SPSS 21, 2016

Tabel 5
Hasil Uji Hipotesis Singapura

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


FIRM_SIZE(Ln) -0.221 0.147 2.253 1 0.133 0.801
FAI 4.721 1.321 12.772 1 0.000 112.318
DR -1.737 0.720 5.826 1 0.016 0.176
Step 1a
LIQ -0.016 0.013 1.371 1 0.242 0.985
CFFO 0.001 0.004 0.044 1 0.834 1.001
Constant 4.578 4.033 1.288 1 0.256 97.277
a. Variable(s) entered on step 1: FIRM_SIZE, FAI, DR, LIQ, CFFO.

Sumber: Output SPSS 21, 2016

S-ar putea să vă placă și