Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
(Udayana University)
This book is a revised version of the author’s thesis at the Department of Anthropology,
Research School of Pacific and Asian Studies, submitted in 1991. With some expansion, the
book is basically an anthropological study of ritual in a small mountainous village in Bali, in the
regency of Tabanan. Based on her fieldwork data gathered in 1986–1987, the author applies
various theoretical frameworks in analyzing the precedence and hierarchy of the complemen-
tary opposites of various aspects of the village and its ritual life.
The book contributes significantly to the body knowledge on Balinese cultural practices as
well as strengthens some previously well-known prepositions. To some extent, the village is
positioned as an independent entity, without any relation to other villages or supra-village struc-
ture. When the supra-village structure is mentioned, it is the Kingdom of Tabanan, which is in
fact now no longer in existence. Reading this book, it seems that the notion of Korn’s (1932)
‘village republic’ is enlivened. The theory that ‘the individual’ does not exist in Bali—because
of the strong collective nature of the society—is also gaining a new support from the author
when she writes that ‘life outside the desa adat becomes unconceivable’ (pp.25), or ‘the conti-
nuity of the society still takes primacy over individual needs’ (pp.277). She also aptly restates the
submission of Balinese society over the unseen world, that the invisible world (niskala) takes
precedence over the visible one (sekala). She also adds that sekala and niskala cannot be put
as a simple opposition, but as two dimensions of the world in Balinese beliefs and practices.
The author also enriches the knowledge of the variations—or better, contradictions—found
among villages in Bali. Some examples can be given below. Although Bali is known as a patri-
lineal society, there is also a practice of nyeburin in marriage, whereby the groom is integrated
to the bride’s lineage. While in Buleleng or Klungkung this practice is hardly found (see, e.g.
Geertz and Geertz 1975; Barth 1993), this is not uncommon in the village understudy. A more
striking contrast shows when nyeburin practice in the village is not only done by couples who
have no son to continue the generation. It is not rare to find the practice occurring to families
who already have had sons. An other variation that might also be of interest is the practice of
I really enjoyed this book: it’s engagingly written and easy to read and the issues raised are
long-neglected and important. According to the author, it is an ethnography of ‘desire’, a claim
with which I take issue below, but it is an ethnography of the everyday experience of (mainly)
young women, based on long-term fieldwork in a village just south of Lovina, on the north coast
of Bali.
‘Desire’ (Chapter 2) is an emerging field in anthropology, with scholars attempting to go
beyond the Freudian idea of desire as a libidinal drive. Jennaway is attracted by Onghourian’s
work, The Puppet of Desire: The Psychology of Hysteria, Possession and Hypnosis, which
posits, in contravention of Freud, that the seat of desire is not the Unconscious, nor the self who
is experiencing the desire, but rather that ‘it is desire that brings the self into existence’ (1991:11
in Jennaway 2002:19). In this theory, desire is presumably brought into existence in inter-sub-
jective or social relations; Jennaway stresses its cultural constructedness. My problem with this
is that ‘desire’ remains an enigma—its origin is a sort of ‘Who made god’ question and it is only
explicable in terms of its expression, which must be culturally relative. My assumption that
desire was strongly associated with sexuality caused me to be surprised by Chapter 3, entitled
‘Producing Desire: Village Economy and Social Organisation’—a fairly conventional analysis of
work roles, access to the means of production, etc., with important insights into the ways women
Referensi
Darsono
2002 Cokrodihardjo, Sunarto Cipto Suwarno: Pangrawit Unggulan Luar Tembok Keraton.
Surakarta: Yayasan Citra Etnika.
Soetandyo
2002 Kamus Istilah Karawitan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sumarsam
2002 Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif. Surakarta: STSI Press.
Dalam pembukaan buku barunya, The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads and
Modernity, penulis, aktivis, dan pembuat film, Tariq Ali menulis:
Tragedies are always discussed as if they took place in a void, but actually each tragedy is condi-
tioned by its setting, local and global. The events of 11 September 2001 are no exception ... I want to
write of the setting, of the history that preceded these events, of a world that is treated virtually as a
forbidden subject in an increasingly parochial culture that celebrates the virtues of ignorance, pro-
motes a cult of stupidity and extols the present as a process without an alternative.(hlm.1)
Buku yang mengungkapkan berbagai konfrontasi antara Islam dan dunia Barat ini barangkali
adalah buku perkenalan yang paling baik saat ini mengenai topik tersebut pasca tragedi 11 Sep-
tember 2001. Buku ini merangkum berbagai revolusi sosial di beberapa benua dan meneliti
berbagai aspek agama monolitik dimulai dari abad ke-14 sampai perang Amerika melawan teror.
Ternyata masih banyak warga Amerika yang tidak menyangka bahwa Amerika Serikat itu di
dunia internasional sedemikian tidak disukai secara terbuka. Mereka saat ini sedang sibuk mencari
jawaban dari masalah ini. Ali menanggapi keluguan tersebut sebagai sebuah usaha untuk mencari
penjelasan yang tidak simplistis seperti ‘mereka benci kita karena kita kaya dan merdeka’ (hlm.3).
Tentu saja hal ini tidak sesederhana itu. Ali mengatakan bahwa kita perlu mengerti bukan hanya
keputusasaan, melainkan juga ketakwaan membabi buta yang dapat mendorong seseorang
mengorbankan jiwanya. Jika politisi Barat terus menyepelekan masalah ini, tragedi tersebut
pasti terulang. Memerangi fanatisme sempit dan kejam dengan memakai cara-cara yang sama
sempitnya dan sama kejamnya tidak akan membawa keadilan dan demokrasi (hlm.3). Jadi, kedua
jenis fundamentalisme yang disebut pada judul buku Ali adalah fundamentalisme religius Islam
dan patriotisme ultra-nasionalis Amerika Serikat.
Ali menjelaskan asal-usul dan perkembangan Islam sebagai sebuah proyek spiritual selain
sebuah proses yang didorong tujuan sosio-ekonomi. Deskripsinya tentang Islam awal yang
terbentang dari Eropa ke Asia menunjukkan bahwa Islamisme kontemporer sesungguhnya sangat
terkebelakang dibanding jaman dahulu.
Referensi
Armstrong, K.
1991 Muhammad: A Western Attempt to Understand Islam. London: Victor Gollancz.
2000 The Battle for God. New York: Alfred A. Knopf.
Barber, B.R.
1996 Jihad vs. McWorld. New York: Ballantine Books.
Esposito, J.L.
1999 The Islamic Threat: Myth or Reality?. New York: Oxford University Press.
2002 Unholy War: Terror in the Name of Islam. New York: Oxford University Press.
Johnson, C.A.
2000 Blowback: The Costs and Consequences of American Empire. New York: Metro-
politan Books.
Said, E.
1979 The Palestine Question and the American Context. Beirut: Institute For Palestine
Studies.
1981 Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of
the World. London: Routledge & Kegan Paul.
(Universitas Indonesia)
Buku ini merupakan kumpulan sejumlah karangan yang semula ditulis terpisah, dan kemudian
dihimpun dalam suatu kesatuan pokok permasalahan, yaitu apa yang disebut oleh penulisnya
‘pandangan-pandangan primordial Indonesia’. Pandangan ‘primordial’ itu diungkapkannya
berdasarkan upaya semacam ‘rekonstruksi’, dengan menggunakan metode yang disebutnya
‘hermeneutis-historis’ seperti tertera pada judul buku.
Pokok-pokok ‘kajian’ yang dituangkan dalam masing-masing bagian dan bab adalah:
pendahuluan (ringkasan sejarah kerohanian Indonesia), arkeologi primordial (konsep ruang dan
waktu dalam primbon, tafsir gambar-gambar prasejarah, dan membaca selembar ulos Batak),
arkeologi kuno (elemen primordial cerita Bubukshah-Gagang Aking, pantun sebagai produk
budaya Sunda Lama, tafsir kosmologis Topeng Cirebon, dan gambar-gambar Damarkurung
Masmundari), dan arkeologi madya (dua kajian pantun Melayu dan memahami Serat Gatholoco).
Penulis memang mengakui bahwa ia menuliskan isi buku itu ‘secara amatir saja’ karena
tidak menguasai disiplin ilmu antropologi dan filsafat, dan ia berpijak pada ‘temuan para pakar
di bidangnya masing-masing’ (hlm.xiv). Daftar pustaka memang disertakannya di bagian akhir
setiap artikel/bab, namun pengacuan itu secara umum saja, tidak dengan memberitahukan bagian-
bagian khusus dalam karya-karya ilmiah itu yang dikutip atau dirujuk. Ketika menyebutkan ‘19
wilayah suku besar’ di Indonesia yang disebutnya adalah buku J.W.M. Bakker, Filsafat
Kebudayan (Yogya: BPK Gunung Mulia Kanisius, 1984), dan bukan sumber pertamanya, yaitu
C. van Vollenhoven yang mengemukakan penggolongannya atas ‘19 wilayah hukum adat’ di
Indonesia (tiga jilid bukunya, terbagi dalam 4 bagian, berjudul Het Adatrecht van Nederlandsch-
Indië diterbitkan tahun 1918–1933).
Penulis juga tidak menjelaskan dasar pembagiannya atas ‘arkeologi primordial’, ‘arkeologi
kuno’, dan ‘arkeologi madya’. Kalaulah budaya prasejarah yang dijadikan patokan untuk
menafsirkan yang ‘primordial’, mengapa soal primbon masuk ke bagian ini, sementara kita tahu
bahwa setidaknya terdapat dasar klasifikasi di dalamnya yang berasal dari, atau setidaknya paralel
dengan, sumber-sumber Hindu Sanskerta, seperti misalnya pembagian lima unsur-unsur alam
(juga 5 resi Pasupata Saiwa yang juga banyak disebut dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna), pekan
yang tujuh hari, dewata yang 8 (astadikpalaka) atau 9 (Nawasanga, wujud-wujud Siwa). Begitu
Perubahan Sosial:
Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia
Penulis: Agus Salim,
Yogyakarta: Tiara Wacana
2002, 318 halaman, bibliografi, index.
(Universitas Indonesia)
Buku ini terdiri atas beberapa bab yang diawali dengan bab pendahuluan yang berisi uraian
konsep-konsep kunci perubahan sosial dan peta dasar analisis tentang perubahan sosial. Termasuk
dalam bagian ini, uraian tentang pemikiran tokoh-tokoh klasik ilmu sosial tentang perubahan
sosial. Kerangka dasar teori modernisasi dan teori ketergantungan dan imperialisme
dibandingkannya satu sama lain.
Bab III berisi uraian tentang lima pendorong utama pembangunan, yakni: media massa,
birokrasi, modal, teknologi, dan ideologi. Secara khusus, pembahasan tentang ideologi
dikaitkannya dengan Pancasila dan agama. Uraian ini diteruskan dengan membedah teori
perubahan sosial di Asia (bab IV). Perhatian secara khusus difokuskan pada dua hal. Pertama,
pdanangan Hans Dieter-Evers, seorang pakar Asia Tenggara yang produktif yang berbasis di
Jerman. Kedua, mengenai sejarah perubahan sosial di Nusantara.
Pada bab V penulis memaparkan beberapa pendekatan utama dalam penelitian tentang
perubahan sosial. Perhatiannya tampak diarahkan pada pendekatan mikro. Namun hal ini
dilakukan tanpa mengabaikan arti penting pendekatan makro, suatu pendekatan yang seringkali
dianggap berada pada kubu yang bertolak belakang dengan pendekatan mikro.
Setelah melakukan pemaparan tentang berbagai segi teoretis tentang perubahan sosial dan
pembangunan, buku ini ditutup dengan gagasan penulis tentang pembangunan. Ia
mempermasalahkan pembangunan, dan menawarkan gagasan dasar untuk meluruskan
pembangunan kembali ke relnya. Pada bab VI ini, secara tegas penulis mengaitkan
multikulturalisme dengan pembangunan, yang ditempatkannya secara berhadap-hadapan dengan
ethno-development.
Buku ini juga dilengkapi dengan indeks kata-kata penting, sedangkan sumber bacaan yang
digunakan penulis cukup beraneka ragam. Berbagai tulisan pemikir modernitas yang relevan
digunakannya, termasuk karya pemikir Indonesia. Apa yang dapat dikomentari tentang isi buku
Perubahan Sosial ini?
Referensi
Sen, A.
1999 Development as Freedom. New York: Alfred A. Knopf.
Alatas, S.F.
1993 ‘On the Indigenisation of Academic Discourse’, Alternatives 12(1):37–58.
Association of Asian Social Science Research Council
1983 Social Sciences in Asia in the 1980s: Tasks and Challenges. Selected Papers from the
4th AASSREC Conference. New Delhi: AASSREC.
Gardono, I.
1998 ‘Indigenisasi Sosiologi di Indonesia’, Masyarakat Indonesia 20(2):25–44.
Michael G., C. Limoges, H. Nowotny, S. Schwartzman, P. Scott, dan M. Trow.
1994 The New Production of Knowledge: the Dynamics of Science and Research in Con-
temporary Societies. London: Sage Publications.
Hoogvelt, A.M.M.
1981 The Sociology of Developing Societies. London: MacMillan.
Kleden, I.
1987 Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Nordholt, N.S. dan L. Visser (peny.)
1995 Social Science in Southeast Asia: From Particularism to Universalism. Amsterdam:
VU University Press.
(Universitas Indonesia)
Kajian mengenai agama sebenarnya sudah sangat tua dan telah ada sejak zaman filosof Yunani
dan Romawi. Namun, kajian mengenai agama terlalu didominasi oleh teologi dan humanitas
yang berperspektif agama Kristen sehingga Aquinas mengemukakan bahwa teologi adalah queen
of sciences (Boume 1965). Secara historis, munculnya studi agama bermula dari ekspedisi Barat
(Ilmuwan Eropa dan Amerika) terhadap dunia lain. Mereka mendapatkan bahwa masyarakat
dunia lain ternyata memiliki budaya dan agama yang berbeda yang menjelaskan hal yang sama
tentang yang profan dan yang sakral. Hal ini pada akhirnya memunculkan suatu minat untuk
membandingkan antara kebudayaan dan agama yang satu dengan kebudayaan dan agama lainnya
menurut kacamata Barat. Hal ini ditandai dengan munculnya disiplin comparative religion yang
kemudian berubah menjadi historical religion dengan dipelopori Max Muller. Istilah tersebut
yaitu comparative religion dan historical religion terasa berbau etnosentris Barat dalam mengkaji
budaya dan agama lain terutama timur. Swidler dan Mojzes (2000:57–58) berpendapat agar
disiplin baru ini terlihat inklusif dan luas, dinamai dengan istilah studi agama (study of religion).
Studi agama tersebut—seperti yang dikemukakan Ninian Smart dalam pengantar buku ini
(hlm.vii)—muncul sejak tahun 1960-an yang merupakan perpaduan antara studi-studi historis,
ilmu perbandingan, dan ilmu sosial yang berpuncak pada filsafat agama. Meskipun terjadi
perdebatan mengenai tempat studi agama: apakah dalam departemen teologi atau ilmu sosial,
mayoritas ilmuwan pada akhirnya menempatkannya dalam departemen cultural studies. Dalam
hal ini, studi agama mencakup berbagai metode dan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang
sebagian ditulis dalam buku ini, sehingga ia memiliki pengaruh luas dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
Buku yang berjudul asli ‘Approaches to the Study of Religion’ ini merupakan buku pengantar
atau pengenalan awal bagi para pemula yang tertarik mempelajari studi agama. Buku ini memuat
tujuh artikel berisi tujuh pendekatan dalam studi agama yang sering digunakan, yaitu: pendekatan
antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis, dan teologis. Ketujuh
pendekatan studi agama tersebut ditulis oleh tujuh orang yang memiliki otoritas keilmuan di
bidangnya masing-masing.
Seluruh pendekatan yang dideskripsikan dalam buku ini berupaya—dengan caranya sendiri—
untuk memetakan—paling tidak sebagian—wilayah agama (hlm.6). Untuk membantu pembaca
dalam memahami dan mengkaji masing-masing pendekatan, Peter Connolly sebagai penyunting
Referensi
Swidler, L. dan P. Mojzes.
2000 The Study of Religion in an Age of Global Dialogue. Philadelphia: Temple Univer-
sity Press.
Boume, V.J.
1965 Aquinas’ Search for Wisdom. Milwaukee: Bruce.