Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Abstrak
Pendahuluan
Keinginan DPD tersebut mendapat respon dari MPR RI. Bahkan ketua
MPR Hidayat Nur Wahid akan menindaklanjuti surat usul amandemen UUD yang
diajukan oleh anggota DPD tersebut. Akan tetapi, usul DPD tersebut masih
terjanggal oleh pesyaratan formal yang harus ditaati. Karena berdasarkan pasal 37
ayat 1 UUD 1945, untuk bisa menggelar sidang paripurna amandemen UUD
1945, minimal harus diusulkan oleh 1/3 jumlah anggota MPR.
Menurut Refly Harun, pilihan terhadap DPD hanya dua, yaitu: dibubarkan
atau diperkuat. Saya sendiri kata Harun akan memilih yang kedua dengan dua
alasan. Pertama, keberadaan DPD buah dari reformasi untuk lebih
menyeimbangkan aspirasi pusat dengan aspirasi lokal agar keputusan dan
kebijakan parlemen bias lagi. Kedua, Keberadaan DPD yang lemah ini buah dari
reformasi konstitusi. Karena itu, sangat wajar jika DPD lalu mengusulkan
amandemen kembali atas konstitusi dan perubahan atau revisi atas UU SusDuk.
Karena kedudukan DPD harus diperkuat, maka salah satu jalan bagi DPD
untuk meraih dukungan atas usulan amandemen UUD 1945 adalah mempengaruhi
eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang notabene juga adalah pimpinan
sebagian partai politik yang ada di DPR.
Atas uraian singkat di atas, maka rumusan masalah yang dipandang cukup
relevan untuk diangkat adalah:
DPD adalah lembaga baru yang tidak secara otomatis mengisi lanskap
ketatanegaraan kita. Juga tidak datang dari ruang hampa politik dan sejarah. DPD
lahir melalui proses pergulatan politik yang melelahkan, saat kita tengah mencari
format ketatanegaraan yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman,
responsif terhadap kepentinagn publik dan daerah serta mempersempit ruang
disparitas antar wilayah dan antar kelompok. Hal yang absah dan wajar. Kelahiran
DPD tertuang dalam amandemen UUD 1945.
Kedua, harus dibangun sitim parlemen dua kamar, DPR dan DPD, yang
kekuasaannya bukan saja hamper setara, tetapi juga bisa saling control satu sama
lain. Itu artinya, DPD harus menjadi semacam “senat” dengan fungsi legislasi,
jika kita hendak konsisten dengan pilihan atas pemerintahan presidensial.
Ketiga, MPR tidak perlu bersifat permanen seperti sekarang, tetapi harus
terjalin joint session antara DPR dan DPD. MPR juga tidak memerlukan pimpinan
secara permanen karena bisa dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dan
pimpinan DPD. Karena jika MPR dengan DPD dan DPR tidak terjalin joint
session, maka parlemen yang ada saat ini bukanlah parlemen bikameral akan
tetapi parlemen trikameral.
Posisi yang berjalan sejak amandemen UUD 1945 yang lalu, sebenarnya
agak berbeda dengan sistem dua kamarnya parlemen Inggris. Namun, upaya untuk
mengubah kewenangan DPD saat ini akan membawa kesan menuju pada sistem
dua kamar murni yang sebenarnya.
Mengapa sistem dua kamar dipilih? Sejak awal, munculnya ide mengubah
keanggotaan MPR melalui amandemen UUD 1945 yang mulanya terdiri dari
anggota DPR dan ditambah dengan anggota dari utusan daerah dan golongan.
Adanya tuntutan bikameral didasarkan pada tiga tujuan, yaitu:
1. Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan dengan
supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak
efektif (utusan golongan dan daerah)
2. Kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara struktural.
3. Kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkan checks and balance dan
mendorong demokrasi.
Akan tetapi ketiga tujuan ini tidak semuanya terpenuhi karena wewenang
DPD yang terbatas. Oleh karena itu, wewenang DPD harus segera ada perubahan,
karena perubahan posisi DPD dalam susunan parlemen akan menyebabkab
berubahnya kedudukan dan pola hubungan dengan lembaga Negara lainnya.
Perubahan terutama dialami oleh DPR dan juga eksekutif. Ada beberapa
konsekuensi yang muncul dari perubahan pola hubungan tersebut.
Pertama, tercipta keseimbangan baru. Sistem checks and balances dalam
pembentukan sebuah UU akan lebih bisa dijamin, akibat kewengan DPD yang
sejajar dengan DPR. Karena, munculnya DPD sebagai penyeimbang (control)
baru dalam proses legislasi- di samping koreksi dari Mahkamah Konstitusi (MK)
–akan memperkecil peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh DPR.
Kedua, proses pembahasan produk periundangan dan hasilnya akan lebih
optimal. Dilibatkannya DPD baik dalam pengajuan RUU maupun dalamm
persetujuan maupun dalam penolakan akan memberikan proses yang lebih matang
untuk menelurkan sebuah kebijakan.
Ketiga, aspirasi dari daerah bisa lebih mewarnai kebijakan nasional.
Anggota DPD merupakan representasi perwakilan dari daerah-daerah.
Keempat, perubahan posisi ini bisa melahirkan instabilitas politik di tubuh
parlemen.
Mengapa eksistensi DPD harus diperkuat? Karena jika eksistensinya
diperkuat, maka akan mempertegas fungsi, wewenang, dan tugass DPD. Ada
empat alasan mengapa eksistensi DPD harus diperkuat, yaitu:
1. Keanggotaan DPD memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung
dari kewilayahan, karena telah menggunakan pola pencalonan personal.
2. Proses pemilihan anggota DPD melengkapi hasrat politik masyarakat perihal
alternatif pilihan bagi wakil-wakilnya di parlemen.
3. Ada kecenderungan anggota parlemen yang mewakili populasi dan lewat partai
politik, kurang memiliki kepekaan terhadap aspirasi dan kondisi daerah dan
masyarakat.
4. Upaya untuk menyeimbangkan kekuasaan dan mengontrol kinerja DPR.
Dalam kontras politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling
tidak ada tiga poin politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni: jumlah
anggotanya, fungsi yang dijalankannya dan cakupan permasalahan yang
ditanganinya.
Uniknya di Indonesia, DPD tidak jelas disebut sebagai lembaga apa. DPD
bukan lembaga yudikatif, legislatif, apalagi eksekutif. DPD lebih mirip sebagai
perluasan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), karena hanya
mengajukan dan membahas RUU, pertimbangan atas RUU dan pengaawasan
pelaksanaan UU itu, tanpa ikut memutuskan RUU menjadi UU, juga memberikan
kontrol rutin atas kinerja pemerintahan daerah. Sistem ini dikenal sebagai week
bicameralism, seperti diterapkan di Inggris, Bostwana dan Burkina Faso.
Persoalan kedua, menurut pasal 20A UUD 1945, DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan. Dalam melaksanakan fungsi-
fungsinya itu, DPR juga mempunyai hak interpretasi, hak angket, dan
hakmenyatakan pendapat yang masih ditambah dengan hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas. Hak imunitas
adalah hak kekebalan atas hokum. Kalau kita bandingkan dengan pasal 22D UUD
1945, DPD hanya bisa mengajukan kepada DPR soal RUU terkait masalah
daerah, dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terkait.
Sedangkan pada parlemen bikameral mengandung konsepsi dasar mengenai
parlemen, ia seharusnya mempunyai tiga fungsi utama parlemen, yaitu legislatif,
pengawasan, dan anggaran. Adanya dua kamar dalam satu parlemen diciptakan
untuk mengakomodasi semangat checks and balances di dalam parlemen itu
sendiri.
DPD juga minta diberi kewenangan untuk dapat menyetujui atau menolak
RUU yang disetujui DPR. Dan semua permintaan ini termuat dalam rumusan usul
perubahan UUD 1945 pasal 22D yang disampaikan kepada pimpinan MPR.
Hak veto yang diusulkan anggota DPD kepada MPR jelas tidak diatur
dalam UUD 1945. Agar terwujud, harus dilakukan perubahan atas sejumlah pasal
salam UUD 1945. Menurut pasal 37 UUD 1945, soal itu dapat diagendakan dalam
sidang MPR bila diajukan sekurang-kurangnya oleh sepertiga anggota MPR.
Selanjutnya, untuk mengubah pasal-pasal itu baru terwujud bila memperoleh
persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota MPR.
Ketiga, masalah-masalah yang hanya bisa dijamah oleh DPD hanya dapat
mengajukan dan ikut membahas RUU tentang ekonomi daerah; hubungan pusat-
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat daerah.
Akan tetapi, melihat prosedur yang diatur dalam pasal 37, perjuangan
anggota DPD untuk memperoleh masih panjang. Apalagi melihat konstelasi
politik sekarang ini, tampaknya permerintah sudah cukup mampu “bekerja
bersama” dengan DPR. Akibatnya sulit bagi DPD untuk menggolkan hak veto
yang sekarang mereka gulirkan.
Dan idealnya DPD dalam parlemen bicameral ini, harus sesuai konsep
bicameral itu sendiri, DPD di masa yang akan dating ahrus mempunya fungsi
legislasi, dan peran utuh sebagai lembaga perwakilan rakyat, dengan mekanisme
yang diatur sedemikian rupa sesuai karakteristik masing-masing dewan dan untuk
mengatasike butuhan politik yang mungkin terjadi.
Kesimpulan
1. Sistem bikameral yang kuat akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah
dapat terjembatani secara efektif oleh DPD dan mitranya dalam mempengaruhi
kebijakan di tingkat pusat;
2. DPD yang merupakan hasil dari UUD 1945 dan merupakan agenda reformasi,
diharapkan bisa menjadi checks balances di parlemen. Dan keberadaannya
diharapkan menjadi lembaga penyeimbangan dan mampu menjadi mitra yang
setara dengan DPR. Munculnya ide mengubah kenggotaan MPR melalui
amandemen UUD 1945 yang mulanya terdiri dari anggota DPR dan ditambah
dengan anggota dari utusan daerah dan golongan (DPD), dikarenakan adanya
tuntutan bicameral yang berdasarkan tiga tujuan, yaitu;
-) Kebutuhan dalam pembenahan system ketatanegaraan yang berkaitan dengan
supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan efektif
(utusan golongan dan daerah).
-) kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara structural.
-) kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkansistem checks and balances
dan mendorong demokrasi.
2. Sistem bikameral yang dipilih sebagai tatanan pemerintahan yang baru untuk
menciptakan double check, tidak dapat dipenuhi karena DPD yang tidak
mempunyai sifat legislasi, dengan wewenang hanya terbatas pada “DPD dapat
mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya,serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan
daerah”. Dengan kewenangan dan fungsi DPD seperti saat ini, sangatlah jelas
bahwa konsep parlemen bicameral tidak dapat berjalan dengan sempurna.
Padahal kalau kita melihat keberadaan Indonesia saat ini, sangatlah mungkin
untuk menerapkan system “bicameral strong” dapat mencegah lahirnnya
kekuasaan tiranik, mayoritas maupun minoritas. Sehingga keutuhan NKRI
akan tetap selalu terjamin;
3. Peran DPD yang tidak mempunyai fungsi legislasi tersebut bisa menimbulkan
deficit terhadap demokrasi di Indonsia, karena secara garis besar manajemen
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dewasa ini tidak bisa lepas dari
perjuangan dan perlindungan kepentingan daerah. Berbagai permasalahan
bangsa yang ada di daerah harus mulai secara secara serius diperhatikan dan
dijadikan agenda dalam berbagai proses pengambilan kebijakan di tingkat
nasional. Maka untuk menghindari deficit demokrasi di Indonesia, harus segera
menerapkan system bicameral di parlemen. Jika memang amndemen UUD
1945, merupakan langkah satu-satunya untuk menormalkan sistem bekameral
dalam parlemen, maka amandemen tersebut harus segera dilaksanakan.
Sehingga DPD dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota legislasi. Proses
peng-amandemen-an, tidak hanya sesuai dengan pasal 37 UUD 1945. Seperti
yang diungkapkan Wheare, untuk menormalkan bikameralisme di Indonesia
ada tiga kemungkinan proses perubahan konstitusi, yaitu; melalui some
primary fores, melalui judicial interpretation, melalui usages and convention.
Saran
Referensi Bacaan
Lijpart, Arend. 1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus
Government
University Press.
Mastias, Jean, and Jean Grange. 1987. Les secondes chambers du Parlement en
Europe
Economics 12:166-68.
University Press.