Sunteți pe pagina 1din 21

SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

(Pengembangan Materi Amandemen UUD 1945)


Oleh:
Muhellis, SH, MH

Abstrak

All legislative powers herein granted shall be vested in a


Congress of the United, which shall consist of a Senat and House of
Representative. Kekuasaan legislative dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
merupakan salah satu agenda reformasi, gagasan awal pembentukan
lembaga DPD adalah sebagai alat representatif dan artikulasi aspirasi
dan kepentingan rakyat di daerah secara structural yang sekaligus
sebagai alat guna memberikan peran yang lebih besar kepada daerah
dalam proses pengambilan kebijakan nasional untuk permasalahan
yang terkait langsung dengan daerah.

Kata kunci: Bikameral, Hak Veto, Checks and balances

Pendahuluan

Desain ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan mendasar setelah


Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR RI) melakukan empat
kali perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Salah satu
perubahan penting tersebut adalah dibentuknyalembaga baru yang bernama
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sejak perubahan itu,
maka system perwakilan di Indonesia dan parlemen di Indonesia berubah dari
system unuikameral ke system bicameral. Perubahan tersebut diatur pad
perubahan Ketiga UUD 1945 ditentukan bahwa “ Kekuasaan legislative dilakukan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yangterdiri atas Dean Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah”.

Parlemen bikameral biasanya dihubungkan dengan bentuk Negara federal


yang memerlukan dua kamar untuk melindungi formula federsasi itu sendiri.
Tetapi dalam perkembangannya bersamaan dengan terjadinya kecenderungan
tuntutan kea rah disentralisasi kekuasaan dalam bentuk Negara kesatuan sistem
bikameral juga banyak dipraktekkan di banyak Negara kesatuan. Oleh karena itu
pembentukan atas DPD merupakan salah satu agenda reformasi, karena dalam
sistem pemerintahan parlementer, ada dua alasan utama yang sering digunakan
untuk menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu

a. Adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil antara


eksekutif dan legislatif.
b. Keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar berjalan lebih
efisien dan setidaknya lebih lancer melalui “revising chamber” untuk
memelihara “a chareful check on the something hasty decisions of the first
chamber”
Alasan yang kedua itulah yang disebut oleh para ahli denagn sistem
‘double check’ yang memungkinkan setiap produk legislatif diperiksa dua kali,
sehingga terjamin kualitasnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Akan tetapi,
syaratnya jelas bahwa keanggotaan kedua kamar parlemen itu benar-benar yang
mewakili aspirasi yang berbeda satu sama lain, sehingga keduanya benar-benar
mencerminkan gabungan kepentingan seluruh rakyat. DPD mewakili rakyat dalam
kontek kedaerahan dan orientasi kepentingan nasional. Untuk menjamin hal itu,
maka prosedur pemilihan untuk anggota DPR berbeda dari prosedur untuk
pemilihan untuk angota DPD. Karena DPR merupakan cermin representasi politik
(political reprecentation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip repreentatif
territorial atau regional (regional reprecentation).
DPD dibentuk sebagai alat representatif dan artikulasi aspirasi dan
kepentingan rakyat di daerah struktural yang sekaligus sebagia alat guna
memberikan peran yang besar kepada daerah dalam proses pengambilan kebijakan
nasional untuk permasalahan yang terkait alngsung dengan daerah. Akan tetapi
sesuai dengan pasal 22 UUD 1945 DPD tidak mempunyai fungsi legislasi, karena
hanya dapat mengajukan dan ikut membahas RUU tentang otonomi daerah;
hubungan pusat – daerah; pembentukan, pekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan
pusat – daerah. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan
adanya penegasan pasal 20 ayat 1 UUD 1945 bahwa kekuasaan membentuk
Undang-Undang berad di tangan DPR. Kemudian ditambah lagi dengan pasal 20
A ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit hanya menyebutkan DPR sebagai pemilik
kekuasaan legislasi.
Konteks membangun mekanisme checks and balances antara DPD dan
DPR dalam penggunaan fungsi legislasi, keinginan memperoleh hak veto tersebut
amat masuk akl dan menjadi sebuah keniscayaan. oleh karena itu DPD meminta
hak veto atas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; pengelolaan
sumberdaya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat – daerah.
DPD juga meminta diberi kewenangan dapat menyetujui atau menolak RUU yang
disetujui DPR.
Persoalan mendasar dalam amandemen UUD 1945 dan perubahan UU
SusDuk adalah perubahan struktural lembaga negara di Indonesia. Dalam
keduanya dikatakan bahwa MPR memiliki anggota DPR dan anggota DPD, dan
ada konfirmasi terhadap konsepsi yang salah mengenai MPR sebagai lembaga
permanen.
Sifat permanen ini menjadi suatu hal yang unik bila dikaitkan dengan
gagasan untuk menjadi MPR sebagai parlemen bikameral. Seharusnya, MPR yang
menjadi lembaga tersendiri. Sidang-sidang gabungan ini hanya terjadi bila ada
kesepakatan yang berdasarkan konstitusi, harus di ambil secara bersama-sama
oleh DPR dan DPD.
Akan tetapi dalam UUD 1945 maupun undang terkait yang ada, tidak
pernah menyebut istilah bikameral atau unikameral. Tetapi tidak bisa dipungkiri
bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sesuai dengan konstitusi
atau UUD 1945, memiliki kedudukan yang sama dengan DPR, kendati harus
diakui DPD memiliki kewenangan yang terbatas dan lemah, sebagai bagian dari
kekhasan sistem parlemen Indonesia.
Oleh karena itu, DPD berkeinginan untuk meminta hak veto sebagai
konsekuensi dari kedudukannya sebagai wakil rakyat di parlemen. Keinginan
DPD untuk meminta hak veto menjadi agenda kontroversi di kalangan legislatif
pada tahun 2006. Keinginan DPD tersebut dicetuskan melalui surat usul
amandemen DPD bernomor DPD\HM.310\295\2006 yang diteken oleh seluruh
anggota DPD. Surat tersebut dilayangkan pada tanggal 8 juni 2006 yang ditujukan
kepada pimpinan MPR.

Keinginan DPD tersebut mendapat respon dari MPR RI. Bahkan ketua
MPR Hidayat Nur Wahid akan menindaklanjuti surat usul amandemen UUD yang
diajukan oleh anggota DPD tersebut. Akan tetapi, usul DPD tersebut masih
terjanggal oleh pesyaratan formal yang harus ditaati. Karena berdasarkan pasal 37
ayat 1 UUD 1945, untuk bisa menggelar sidang paripurna amandemen UUD
1945, minimal harus diusulkan oleh 1/3 jumlah anggota MPR.

Menurut Refly Harun, pilihan terhadap DPD hanya dua, yaitu: dibubarkan
atau diperkuat. Saya sendiri kata Harun akan memilih yang kedua dengan dua
alasan. Pertama, keberadaan DPD buah dari reformasi untuk lebih
menyeimbangkan aspirasi pusat dengan aspirasi lokal agar keputusan dan
kebijakan parlemen bias lagi. Kedua, Keberadaan DPD yang lemah ini buah dari
reformasi konstitusi. Karena itu, sangat wajar jika DPD lalu mengusulkan
amandemen kembali atas konstitusi dan perubahan atau revisi atas UU SusDuk.

Karena kedudukan DPD harus diperkuat, maka salah satu jalan bagi DPD
untuk meraih dukungan atas usulan amandemen UUD 1945 adalah mempengaruhi
eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang notabene juga adalah pimpinan
sebagian partai politik yang ada di DPR.

Atas uraian singkat di atas, maka rumusan masalah yang dipandang cukup
relevan untuk diangkat adalah:

1. Mengapa harus menggunakan sistem dua kamar dalam legislatif?


2. Apa fungsi dan tugas DPD dalam legislatif?
3. Bagaimana cara menormalkan bikameralisme di Indonesia?

Parlemen Dua Kamar

DPD adalah lembaga baru yang tidak secara otomatis mengisi lanskap
ketatanegaraan kita. Juga tidak datang dari ruang hampa politik dan sejarah. DPD
lahir melalui proses pergulatan politik yang melelahkan, saat kita tengah mencari
format ketatanegaraan yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman,
responsif terhadap kepentinagn publik dan daerah serta mempersempit ruang
disparitas antar wilayah dan antar kelompok. Hal yang absah dan wajar. Kelahiran
DPD tertuang dalam amandemen UUD 1945.

Dengan perubahan UUD 1945, Indonesia memasuki barisan Negara-


negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga
perwakilannya. Penerapan sistem bikameral tersebut bervariasi antar Negara yang
satu dengan negara yang lainnya, namun semua berpijak di atas landasan
kepentingan bersama, yaitu memaksimalkan keterwakilan dan membangun sistem
checks and balances dalam lembaga perwakilan, serta membuka peluang
pembahasan yang berlapis untuk memperluas dan memperdalam proses
pengambilan keputusan-keputusan politik yang berdampak besar bagi
rakyat.sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia termasuk dalam kategori
lemah, berdasarkan kewenangan legislasi yang dimilikinya. Oleh karena itu
pengusulan amandemen kembali atas konstitusi dan perubahan atau revisi atas UU
SusDuk oleh DPD, urgensi amandemen kembali konstitusi tak hanya terkait
kebutuhan penguatan DPD, tetapi juga dalam rangka penyempurnaan sistem
perwakilan.

Parlemen bicameral mengandung konsepsi dasar mengenai parlemen, ia


seharusnya mempunyai tiga fungsi utama parlemen, yaitu legislative, pengawasan,
dan anggaran. Adanya dua kamr dalam satu parlemen diciptaka untuk
mengkomodasi semangat checks and balances di dalam parlemen itu sendiri.
Apabila semangat presidensialisme menjadi pilihan kita, maka sebagai
konsekuensi logisnya, pertama, mekanisme checks and balance antara presiden
dan parlemen (DPD & DPR) harus lebih diperkuat, antara lain, melaui hak veto
yang dimiliki presiden dan hak veto yang serupa yang dimliki secara bersama-
sama oleh DPR dan DPD. Karena sesui dengan konstitusi pasal 20 ayat 5, dewasa
ini yang memiliki “hak veto” dalam proses legislasi hanya DPR.

Kedua, harus dibangun sitim parlemen dua kamar, DPR dan DPD, yang
kekuasaannya bukan saja hamper setara, tetapi juga bisa saling control satu sama
lain. Itu artinya, DPD harus menjadi semacam “senat” dengan fungsi legislasi,
jika kita hendak konsisten dengan pilihan atas pemerintahan presidensial.

Ketiga, MPR tidak perlu bersifat permanen seperti sekarang, tetapi harus
terjalin joint session antara DPR dan DPD. MPR juga tidak memerlukan pimpinan
secara permanen karena bisa dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dan
pimpinan DPD. Karena jika MPR dengan DPD dan DPR tidak terjalin joint
session, maka parlemen yang ada saat ini bukanlah parlemen bikameral akan
tetapi parlemen trikameral.

Akan tetapi berdasarkan legitimasinya, Indonesia harus termasuk dalam


kategori system bicameral yang kuat. System bicameral yang kuat akan membuat
kepentingan dan aspirasi daerah dapat mejembatani secara efektif oleh DPD dan
mitranya dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat pusat. Selain itu, keberadan
DPD akan dapat memperkuat pelaksanaan demokrasi di Idonesia.

Posisi yang berjalan sejak amandemen UUD 1945 yang lalu, sebenarnya
agak berbeda dengan sistem dua kamarnya parlemen Inggris. Namun, upaya untuk
mengubah kewenangan DPD saat ini akan membawa kesan menuju pada sistem
dua kamar murni yang sebenarnya.

Mengapa sistem dua kamar dipilih? Sejak awal, munculnya ide mengubah
keanggotaan MPR melalui amandemen UUD 1945 yang mulanya terdiri dari
anggota DPR dan ditambah dengan anggota dari utusan daerah dan golongan.
Adanya tuntutan bikameral didasarkan pada tiga tujuan, yaitu:
1. Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan dengan
supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak
efektif (utusan golongan dan daerah)
2. Kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara struktural.
3. Kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkan checks and balance dan
mendorong demokrasi.
Akan tetapi ketiga tujuan ini tidak semuanya terpenuhi karena wewenang
DPD yang terbatas. Oleh karena itu, wewenang DPD harus segera ada perubahan,
karena perubahan posisi DPD dalam susunan parlemen akan menyebabkab
berubahnya kedudukan dan pola hubungan dengan lembaga Negara lainnya.
Perubahan terutama dialami oleh DPR dan juga eksekutif. Ada beberapa
konsekuensi yang muncul dari perubahan pola hubungan tersebut.
Pertama, tercipta keseimbangan baru. Sistem checks and balances dalam
pembentukan sebuah UU akan lebih bisa dijamin, akibat kewengan DPD yang
sejajar dengan DPR. Karena, munculnya DPD sebagai penyeimbang (control)
baru dalam proses legislasi- di samping koreksi dari Mahkamah Konstitusi (MK)
–akan memperkecil peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh DPR.
Kedua, proses pembahasan produk periundangan dan hasilnya akan lebih
optimal. Dilibatkannya DPD baik dalam pengajuan RUU maupun dalamm
persetujuan maupun dalam penolakan akan memberikan proses yang lebih matang
untuk menelurkan sebuah kebijakan.
Ketiga, aspirasi dari daerah bisa lebih mewarnai kebijakan nasional.
Anggota DPD merupakan representasi perwakilan dari daerah-daerah.
Keempat, perubahan posisi ini bisa melahirkan instabilitas politik di tubuh
parlemen.
Mengapa eksistensi DPD harus diperkuat? Karena jika eksistensinya
diperkuat, maka akan mempertegas fungsi, wewenang, dan tugass DPD. Ada
empat alasan mengapa eksistensi DPD harus diperkuat, yaitu:
1. Keanggotaan DPD memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung
dari kewilayahan, karena telah menggunakan pola pencalonan personal.
2. Proses pemilihan anggota DPD melengkapi hasrat politik masyarakat perihal
alternatif pilihan bagi wakil-wakilnya di parlemen.
3. Ada kecenderungan anggota parlemen yang mewakili populasi dan lewat partai
politik, kurang memiliki kepekaan terhadap aspirasi dan kondisi daerah dan
masyarakat.
4. Upaya untuk menyeimbangkan kekuasaan dan mengontrol kinerja DPR.

Dalam kontras politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling
tidak ada tiga poin politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni: jumlah
anggotanya, fungsi yang dijalankannya dan cakupan permasalahan yang
ditanganinya.

Fungsi dan Tugas DPD

Berdasarkan UUD 1945, DPD jauh lebih layak mewakili aspirasi


masyarakat daerah dibandingkan parpol. Hal ini disebabkan pemilihan DPD
secara langsung. Persoalannya hal ini tidak legitimasi, UUD 1945 juga
mengamputasi tugas dan wewenang DPD. Oleh karena itu, tidak terlalu tepat
kalau ada yang menyatakan bahwa amandemen ketiga UUD 1945 menganut
sistem bikameral. Sistem bikameral jenis apa? Memang sistem bikameral sendiri
bervariasi dalam Negara federal dan Unitarian, tetapi prinsip-prinsipnya yang
dianut relatif sama, yaitu DPR bekerja untuk konstituante nasional atau federal,
sedangkan DPD untuk konstituante daerah atau Negara bagian.

Dalam sistem strong bicameralism atau pure bicameralism, the upper


house bisa memveto atau menolak setiap UU yang dihasilkan the lower house,
tetapi veto atau penolakan itu bisa gugur apabila the upper house bisa mencapai
mayoritas minimum untuk diajukan kembali (konsep pada Slovania, Rusia dan
Afrika Selatan).

Uniknya di Indonesia, DPD tidak jelas disebut sebagai lembaga apa. DPD
bukan lembaga yudikatif, legislatif, apalagi eksekutif. DPD lebih mirip sebagai
perluasan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), karena hanya
mengajukan dan membahas RUU, pertimbangan atas RUU dan pengaawasan
pelaksanaan UU itu, tanpa ikut memutuskan RUU menjadi UU, juga memberikan
kontrol rutin atas kinerja pemerintahan daerah. Sistem ini dikenal sebagai week
bicameralism, seperti diterapkan di Inggris, Bostwana dan Burkina Faso.

Secara legal, keberadaan DPD tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun


2003 tentang Susunan dan Kedudukan (SusDuk) MPR, DPD dan DPR. Namun
jarang disebutkan bahwa tugas, fungsi, dan wewenang DPD. Padahal munculnya
ide kamar kedua atau majelis tinggi bertumpu pada keinginan member ruang
checks and balances serta saling mengisi secara kreatif antara dua lembaga
parlemen.

Adapun wewenang atas DPD, yang diatur pada UU SusDuk adalah :

1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-undang yang


berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
2. DPD ikut membahas bersama DPR atas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya,yang diajukan oleh pemerintah atau hak inisiatif.
3. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang
anggaran pendapatan dan belanja Negara, dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
4. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan
Pemeriksaan Keuangan.
5. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang
berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaraan, dan penggabungan daerah, dan pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Sedangkan menurut Undang-Undang Dasar 1945, pasal 22D, adalah;

1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-


undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaraan, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas bersama DPR atas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, serta memberikan perimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan unang-undang anggaran pendapatan dan
belanja Negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjut.
4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Mengkaji peranan dan kewenangan DPD di atas, terjadi beberapa kontras
politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling tidak ada tiga poin
politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni:
1. Jumlah anggotanya
2. Fungsi yang dijalankannya
3. Cakupan permasalahan yang ditanganinya
Mungkin kontras politik ini yang bisa dikaji kembali sebagai landasan
srategi politik DPD guna meraih dukungan penuh. Karena pada poin yang
pertama, seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 22C UUD 1945 bahwa jumlah
anggpta DPD tidak melebihi jumlah anggota DPR. Jika jumlah anggota DPR
sekarang 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang. Realitasnya,
dengan 128 anggota DPD, kekuatan suara DPD kurang dari seperempat anggota
DPR.

Persoalan kedua, menurut pasal 20A UUD 1945, DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan. Dalam melaksanakan fungsi-
fungsinya itu, DPR juga mempunyai hak interpretasi, hak angket, dan
hakmenyatakan pendapat yang masih ditambah dengan hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas. Hak imunitas
adalah hak kekebalan atas hokum. Kalau kita bandingkan dengan pasal 22D UUD
1945, DPD hanya bisa mengajukan kepada DPR soal RUU terkait masalah
daerah, dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terkait.
Sedangkan pada parlemen bikameral mengandung konsepsi dasar mengenai
parlemen, ia seharusnya mempunyai tiga fungsi utama parlemen, yaitu legislatif,
pengawasan, dan anggaran. Adanya dua kamar dalam satu parlemen diciptakan
untuk mengakomodasi semangat checks and balances di dalam parlemen itu
sendiri.

Akan tetapi, konsep bicameral dalam parlemen tersebut belum terpenuhui


dalam tugas dan wewenang dari DPD itu sendiri. Oleh karena itu, DPD meminta
hak veto atas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat-
daerah.

DPD juga minta diberi kewenangan untuk dapat menyetujui atau menolak
RUU yang disetujui DPR. Dan semua permintaan ini termuat dalam rumusan usul
perubahan UUD 1945 pasal 22D yang disampaikan kepada pimpinan MPR.
Hak veto yang diusulkan anggota DPD kepada MPR jelas tidak diatur
dalam UUD 1945. Agar terwujud, harus dilakukan perubahan atas sejumlah pasal
salam UUD 1945. Menurut pasal 37 UUD 1945, soal itu dapat diagendakan dalam
sidang MPR bila diajukan sekurang-kurangnya oleh sepertiga anggota MPR.
Selanjutnya, untuk mengubah pasal-pasal itu baru terwujud bila memperoleh
persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota MPR.

Ketiga, masalah-masalah yang hanya bisa dijamah oleh DPD hanya dapat
mengajukan dan ikut membahas RUU tentang ekonomi daerah; hubungan pusat-
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat daerah.

Akan tetapi, melihat prosedur yang diatur dalam pasal 37, perjuangan
anggota DPD untuk memperoleh masih panjang. Apalagi melihat konstelasi
politik sekarang ini, tampaknya permerintah sudah cukup mampu “bekerja
bersama” dengan DPR. Akibatnya sulit bagi DPD untuk menggolkan hak veto
yang sekarang mereka gulirkan.

Meskipun Konstitusi sendiri sedang mengatur mengenai wewenang MPR


yang specific, yaitu:

1. Mengubah dan menetapkan UUD


2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
3. Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi.
4. Mendengarkan Presiden dan Wakil Presiden pada saat akan diberhentikan
berdasarkan usul DPR dan berdasarkan usulnya Mahkamah Konstitusi.
5. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya.
6. Memilih Presiden dan wakil Presiden apabila keduanya berhenti paad saat
bersmaan dari dua paket yang diajukan oleh dua partai politik peraih suara
terbanyak dalam pemilu sebelumnya.
Usulan hak veto sendiri memang kurang tepak sebagai strategi penguatan
DPD. Pertama, istilah hak veto tidak terlalau familiar denngan sejarah politik
Indonesia. Kedua, penguatan yang lebih sistematik bagi DPD adlah menyamankan
atau menyetarakan fungsi dan hak politiknya.
Kontras antara kekuatan DPR dan DPD tercermmin dari tiga hal. Pertama,
jumlah anggotanya. Kedua, fungsi yang dijalankannya. Ketiga, cakupan masalah
yang ditanganinya.
Pada soal yang pertama, sesuai dengan isi pasal 20C UUD 1945, bahwa
jumlah anggota DPD tidak melebihi sepertiga anggota DPR.
Kedua, menurut pasal 20A UUD 1945, DPR mempunyai fungsi legislasi,
fungsi anggaran, da fungsi pengawasan,. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi itu,
DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat yang
masih ditambah dneganhak mengajukan pertanyaan,menyampaikan usul dan
pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan tugas DPD menurut pasal 22D UUD
1945 “hanya” bisa mengajukan kepad DPR soal RUU terkait masalah daerah, ikut
membahas RUU terkait masalah daerah, dan dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan UU terkait daerah.
Ketiga, masih menurut pasl 22D UUD 1945, masalah-maslah yang bisa
“dijamah” oleh DPD hanya terbatas daerah seperti otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumberdaya alam dan sumber ekonomi lain, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, cukupannya diperluas kemasalah pelaksanaan APBN,
pajak, pendidikan, dan agami meski hasil pengawasannya itu harus disampaikan
lewat DPD sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari ketiga aspek
perbandingan diatas tampak betapa terbatasnya kekuatan DPD dibanding kekutan
DPR.
Agar DPD tidak menjadi ajng keluh kesahs, amandemen menjadai
konstiusi adalah kelayakan yang patut dipikirkan dan dipertimbangkan. Karena
jika dibiarkan, maka akan terjadi deficit demokrasi di Indonesia, dimana tidak
seimbangnya antara “asset” DPD.
Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah yang mewakili serta ikut
mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan
peran daerah dalam penyelenggaraan Negara. Karena, kiprah DPD diarahkan
untuk mengikut sertakan daerah dalam menentukan politik Negara dan
pengelolaan Negara, tentunya sesuai ruang lingkup sebagai lembaga legislative,
yakni membentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan, dan
mengambil keputusan mengenai besar dan penggunaan anggaran Negara
(termasuk untuk kebutuhan daerah-daderah).
Karena gambaran ideal dari DPD tersebut bahwa DPD mempunyai
kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR sebagai sesama anggota
legislatif.
Selain itu, perlu juga ditingkatkan fungsi dan kewenangan pengawasan
DPD agar setara dengan DPR sebagai seasma lembaga perwakilan. Karena,
sekarang ini peran pengawasan DPD hanyalah sebagi pelengkap pengawasan
DPR. DPD juga harus memili hak seperti yang dimili oleh DPR, yaitu hak
memanggil dan meminta keterangan yang wajib dipenuhi oleh yang dipanggil
atau dimintai keterangan. Hak tentang Contempt of parlianment ini harus berlaku
baik di DPR maupun di DPD. Penting pula mengubah pengaturan konstitusi
mengenai jumlah anggota DPD uang dikaitkan dengan jumlah anggota DPR. Ada
baiknya jumlah anggota DPD ditentukan oleh konstitusi.
Atas pemikiran itu semua, penting segera dilakukan pemberdayaan
terhadap DPD agar terjadi peningkatan peran serta daerah dalm penyelenggaraan
Negara. Dan jalan terbaik untuk adalah melakukan amandemen terhadap
konstitusi mengenai DPR dan DPD. Sehingga bisa terjadi checks and balance
dalam tatanan politik Indonesia.

Menormalkan Sistem Bikameral di Indonesia

DPD yang dilahirkan melalu pergulatan politik di MPR RI di era reformasi


ini, ternyata masih memerlukan upaya-upaya keras ke depan agar setara dengan
DPR dlam koteks bikameralisme yang kita cita-citakan. Seperti yang sudah
dipaparkan di atas bahwa untuk menyamakan fungsi DPD dengan MPR harus
melalui amandemen UUD 1945. Sedangkan syarat untuk mengajukan amandemen
harus disetujui lebih tigaperempat dari anggota MPR, seperti yang tercantum pada
pasal 37 UUD 1945. Kalau kita melihat dari segi banyaknya anggota DPD saat
iini, kemungkinan untuk mengadakan amandemen ini sangat tidak mengkin dapat
terlaksana.

Jika memang amandemen merupakan salah cara penguatan atas fungsi


DPD. Maka penting untuk dicatat, bahwa perubahan konstitusi tidak hanya harus
melalui amandemen formal (formal amandement) seperti yang dituangkan dalam
pasl 37 UUD 1945.

Menurut Wheare, dalam buku menormalkan bikameralisme di Indonesia


ada tiga kemungkinan tiga proses perubahan konstitusi, yaitu:

1. Melalui some primary forcs;


2. Meelalui judicial interpretation;
3. Melalui usages and convention.
Judicial interpretation, bia dilakukan oleh mahkamah konstitusi sebagai
lembaga yang diberi kewenaangan untuk menafsirkan konstitusi. Salah satu
putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian Undang-Undang dalam
putusan perkara Nomor 065/PUU-II/2004 tentang pengujian Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dan putusan dari
mahkamah Kontitusi terseut merupakan suatu perubahan teks UUD 1945 melalui
proses Judicial interpretation.
Convention, juga pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan kita yaitu
ketika wakil Presiden Mohammad Hatta pada 16 oktober 1945 mengeluarkan
maklumat Nomor X yang menyebabkan Indonesia menerapkan system
parlementer. Padahal UUD 1945 secra tegas menyatakan, “Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dan kontras politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling
tidak ada tiga point politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni: jumlah
anggotanya, fungsi yang dijalankannya dan cakupan permasalahan yang
ditanganinya. Bisa dijadikan salah satu alaan atas amandemen UUD 1945.
Jika fungsi atas DPD yang tidak jelas dalam legislasi akan menimbulkan
deficit demokrasi di Indonesia, mengapa kita tidak segera melakukan suatu
amandemen terhadap UUD 1945 secara judicial interpretation dan convention?
Mengapa ketimpangan atas fungsi DPD dilegislasi akan menimbulkan deficit
dmokrasi? Jawabnya: karena secara garis besar Managemen Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dewasa ini tidak bisa lepasdari perjuangan dan
perlindungan kepentingan darerah. Berbagai permasalahan bangsa yang ada
didaerah harus mulai secara serius diperhatikan dan dijadikan agenda dalam
berbagai proses pengambilan kebijakan ditingkat nasional.
Apalagi Indonesia merupakan Negara yang luas, yang dihuni oleh
penduduk heterogenitas tinggi, baik dari segi kultur, agama, maupun kondisi
soosial ekonominya. Oleh karena itu, DPD hadir untuk mewakili daerah untuk
berjuang dalam proses-proses pengambilan kebijakan ditingkat nasional sebagai
upaya menjaga keberlanjutan NKRI.
Kelahiran DPD sebagai aalah astu produk reformasi sistem politik di
Indonesia yang diilhami oleh sistem parlmeen bikameralisme. Terdapat tuntutan
serius bahwa demokrasi haruslah mengacu pada system yang telah teruji di
Negara-negara demokrasi maju. DPD, dalam konteks ini, berupaya memberikan
pertimbangan berdasarkan kepentingan daerah. Sementara DPR berbicara
kepentingan rakyat (penduduk) berdasarkan platform parpolnya masing-masing.
Digantungnya, keberadaan DPD di legislasi dengan system bekameral,
terdiri atas dua alasan, yaitu; pertama, praktek bikameralisme hanya cocok untuk
negara federal. Kedua, ditakutkan menghambat proses pembuatan atas Undang-
Undang jika melibatkan dua kamar.
Padahal, argument di atas tidak memiliki dasar yamh kuat. Karena,
pertama, praktik bikameralisme nyatanya juga dilakukan di Negara-negara
kesatuan yang demokrasi, dengan kecenderungan semua Negara berpenduduk
besar, wilayah luas dan demokratis. Kedua, praktik pemgambilan keputusan
dalam dua kamar memang meniscayakan keterlibatan keduanya, berlangsung
melalu proses checks and balances di majelis tinggi (upper house). Prinsip checks
and balances, dalam konteks ini bukan hanya antar cabang kekuasaan Negara
(legislative, eksekutif, dan yudikatif) tetapi juga di dalam cabang legislative itu
sendiri. Tentu saja satu sama lainnya tak menghambat karena sudah terbangun
dalam suatu system yang disepakati bersama.
Menurut Samuel C Patterson dan Anthony Mughan dalam buku
menormalkan bikameralisme di Indonesia menyatakan bahwa system bicameral
dapat mencegah lahirnya kekuasaan tiranik, mayoritas maupun minoritas, di mana
sejarah kelahirannya didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, berkaitan
dengan masalah keterwakilan (representation), di mana lembaga keterwakilan
harus mewujudkan dua kepentingan utama, yakni penduduk wilayah.
Kedua, pertumbangan redundancy, yakni perlu adanya system yang
menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting di bahas secara
berlapi ssehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara mendalam.
Bagaimana cara menormalkan system bicameral?, yng pertama tentang
pemberdayaan DPD. Ada beberapa proses, yaitu :
1. Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau
sama luasnya dengan DPR.
2. Kewenangan legislasi DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang
sekarang sudah tercantum dalam UUD.
3. Kewenangan legislasi DPD dirumuskan dengan berbagai cara, mulai dari
hak menolak (veto), mengembalikan ke DPR dan menerima atau hanya
menunda.
4. Kewenangan pengawasan DPD memiliki kekuatan hokum sama dengan
DPR agar fungsi pengawasannya efektif.

Dan untuk menghindari duplikasi dengan DPR, dapat diatur pembagian


kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antar keduanya.
Misalnya,pengawasan DPD terfokus di daerah dan DPR di pusat.
Bagaimana idealnya DPD? Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa
parlemen bikameral mengandung konsep dasar mengenai parlemen, yang
mempunyai tiga fungsi, yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran.

Dan idealnya DPD dalam parlemen bicameral ini, harus sesuai konsep
bicameral itu sendiri, DPD di masa yang akan dating ahrus mempunya fungsi
legislasi, dan peran utuh sebagai lembaga perwakilan rakyat, dengan mekanisme
yang diatur sedemikian rupa sesuai karakteristik masing-masing dewan dan untuk
mengatasike butuhan politik yang mungkin terjadi.

Sebagai lembaga, DPD diharapkan muncul dengan semangat dan kualitas


perwakilan yang baru. Maka dari itu, komunikasi intens antara konstituante dan
para wakilnya di DPD merupakan suatu awal niscaya terbentuknya persepsi dan
harapan yang proposional.adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

Pertama, setiap anggota DPD perlu mengubah tradisi komunikasi dan


hubungan pertanggung jawaban yang ada selami ini, yakni komunikasi (instruksi)
satu arah dari atasn kebawahandan pertanggung jawaban dari bawahan keatasan
menuju arah komunikasi dialogis pertanggungjawaban para wakil (agency) ke
para pemilih (principal).

Kedua, disisi masyarakat, perlu ada kemauan untuk turut berpartisipasi


dalam menyampaikan aspirasi, ikut membahas (consultan public), dan turut
mengecek/mengawasi sejauh mana tuntutannya terpenuhi oleh para wakilnya.

Ketiga, perlunya sarana komunikasi dan staf pendukung yang


menjembatani masyarakatdan anggota DPD. Denagn sejumlah langkah di atas,
urgensi komunikasi guna “menyambung” kiprah DPD dengan harapan masyarakat
bisa terwujud.

Kesimpulan

1. Sistem bikameral yang kuat akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah
dapat terjembatani secara efektif oleh DPD dan mitranya dalam mempengaruhi
kebijakan di tingkat pusat;
2. DPD yang merupakan hasil dari UUD 1945 dan merupakan agenda reformasi,
diharapkan bisa menjadi checks balances di parlemen. Dan keberadaannya
diharapkan menjadi lembaga penyeimbangan dan mampu menjadi mitra yang
setara dengan DPR. Munculnya ide mengubah kenggotaan MPR melalui
amandemen UUD 1945 yang mulanya terdiri dari anggota DPR dan ditambah
dengan anggota dari utusan daerah dan golongan (DPD), dikarenakan adanya
tuntutan bicameral yang berdasarkan tiga tujuan, yaitu;
-) Kebutuhan dalam pembenahan system ketatanegaraan yang berkaitan dengan
supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan efektif
(utusan golongan dan daerah).
-) kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara structural.
-) kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkansistem checks and balances
dan mendorong demokrasi.

2. Sistem bikameral yang dipilih sebagai tatanan pemerintahan yang baru untuk
menciptakan double check, tidak dapat dipenuhi karena DPD yang tidak
mempunyai sifat legislasi, dengan wewenang hanya terbatas pada “DPD dapat
mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya,serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan
daerah”. Dengan kewenangan dan fungsi DPD seperti saat ini, sangatlah jelas
bahwa konsep parlemen bicameral tidak dapat berjalan dengan sempurna.
Padahal kalau kita melihat keberadaan Indonesia saat ini, sangatlah mungkin
untuk menerapkan system “bicameral strong” dapat mencegah lahirnnya
kekuasaan tiranik, mayoritas maupun minoritas. Sehingga keutuhan NKRI
akan tetap selalu terjamin;

3. Peran DPD yang tidak mempunyai fungsi legislasi tersebut bisa menimbulkan
deficit terhadap demokrasi di Indonsia, karena secara garis besar manajemen
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dewasa ini tidak bisa lepas dari
perjuangan dan perlindungan kepentingan daerah. Berbagai permasalahan
bangsa yang ada di daerah harus mulai secara secara serius diperhatikan dan
dijadikan agenda dalam berbagai proses pengambilan kebijakan di tingkat
nasional. Maka untuk menghindari deficit demokrasi di Indonesia, harus segera
menerapkan system bicameral di parlemen. Jika memang amndemen UUD
1945, merupakan langkah satu-satunya untuk menormalkan sistem bekameral
dalam parlemen, maka amandemen tersebut harus segera dilaksanakan.
Sehingga DPD dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota legislasi. Proses
peng-amandemen-an, tidak hanya sesuai dengan pasal 37 UUD 1945. Seperti
yang diungkapkan Wheare, untuk menormalkan bikameralisme di Indonesia
ada tiga kemungkinan proses perubahan konstitusi, yaitu; melalui some
primary fores, melalui judicial interpretation, melalui usages and convention.

Saran

1. Dengan dibentuknya DPD, yang dihasilkan dari proses amandemen UUD


1945, diharapkan bisa membrikan suatu perubhan terhadap tatanan
pemerintahan pada era reformasi ini. Dengan system bicameral semoga bisa
tercipta double check di kalangan parlemen.
2. dimSasa yang akan dating diharapkan DPD sudah bisa mempunyai
kewenangan dan fungsi yang sudah diamantkan melalui system bicameral.
Sehingga tercipta checks and balances diantara legislasi yang lain. Dengan
wewenanga dan fungsi yang sesuai dengan system bicameral, diharapkan DPD
tetap konsisten terhadap tugas-tugas utamanya, yaitu; mengakomodir semua
masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah.
3. Jika memang amandemen bisa menyelamatkan system demokrasi di Indonesia,
diharapkan amandemen tersebut segera dilaksanakan untuk menjaga keutuhan
dan memepertahankan keutuhan NKRI. Karena dengan menormalkan system
dapat menyelesaikan semua masalah yang terjadi di daerah.

Referensi Bacaan
Lijpart, Arend. 1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus
Government

in Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press.

---------. 1992. Parliamentary versus Presidential Government. New York: Oxford

University Press.

Mastias, Jean, and Jean Grange. 1987. Les secondes chambers du Parlement en
Europe

occidentale. Paris: Economika. www.ginandjar.com 11

Patterson, Samuel C, & Anthony Mughan. 1999. Senates: Bicameralism in the

Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus.

Riker, William H. 1992a. “The Justification of Bicameralism.” International


Political

Science Review 13:101-16.

---------. 1992b. “The Merits of Bicameralism.” International Review of Law and

Economics 12:166-68.

Tsebelis, George, and Jeannette Money. 1997. Bicameralism. New York:


Cambridge

University Press.

S-ar putea să vă placă și