Sunteți pe pagina 1din 17

1

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HISPRUNG

2.1 Hirschsprung’s Disease

2.1.1 Definisi dan epidemiologi

Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan

suatu kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada

submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus

dan membentang secara proksimal (Amiel, et al., 2001). Kondisi ini menyebabkan

obstruksi akibat penurunan fungsi relaksasi kolon (Kessmann, 2006).

Patofisiologi

Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan

esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah

craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi

minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010).

Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system,

yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama

Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya

kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric nervous system dan

menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest

tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel

ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai sebagai penyebab

berkembangnya Hirschsprung’s disease antara lain berubahnya matriks


2

ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural cell adhesion molecules

(Georgeson, 2010).

Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa

faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu

kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang

menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi

Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan

dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam mempengaruhi

perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu, beberapa kondisi lain yang

dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum

kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated anal, ventricular septal

defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma,

dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015).

Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para

ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis (TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal

Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short segment

Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan (4) tidak

termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang kontroversial

dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang

normal.
3

2.1.2 Manifestasi Klinis

Sekitar 92% bayi dengan Hirschsprung’s disease lahir dari ibu dengan

riwayat antenatal yang normal dan memiliki nilai APGAR yang baik. Namun,

evaluasi klinis selama 24 jam pertama kehidupan masih merupakan bagian yang

penting untuk mengidentifikasi kelainan kongenital pada neonatus (hampir 90%

manifestasi klinis nampak pada periode setelah lahir) (Ekenze, et al., 2011).

Keterlambatan pengeluaran meconium (>24 jam) atau sedikitnya jumlah

meconeum yang keluar menjadi salah satu gejala klinis utama untuk dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan Hirschsprung’s disease (>80% dari

keseluruhan kasus). Gejala lainnya yang menguatkan diagnosis antara lain

obstruksi usus fungsional dan mulai usia 2 hari. Pada usia yang lebih tua (10%-

50% kasus), dapat juga ditemukan distensi abdomen (hampir 100% kasus),

konstipasi, diare, dan keterlambatan pertumbuhan (Moore, 2010).

Gejala lain yang perlu diperhatikan yaitu Hirschsprung’s-associated

enterocolitis (HAEC). Kasus ini terjadi kurang lebih 16%, muncul pada 2-4

minggu pertama setelah lahir dengan gejala diare berdarah, distensi abdomen, dan

muntah. HAEC penting untuk diperhatikan karena meningkatkan mortalitas

penderita Hirschsprung’s disease hingga 53% (Pirie, 2010; Yan, et al., 2014).

Pemeriksaan anorectal manometry (ARM) merupakan tes diagnostik

noninvasif yang digunakan untuk mendeteksi refleks pada rectoanal

(rectosphincteric reflex). Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila

ditemukan adanya hambatan pada refleks rectoanal. Terdapat penelitian yang

menunjukkan bahwa ARM berguna untuk mengeksklusi Hirschsprung’s disease


4

(negative predictive value 100%) (Jarvi, et al., 2009). ARM termasuk dalam tes

diagnostik yang mudah dilakukan namun memerlukan penderita yang kooperatif

sehingga pemeriksaan ini lebih akurat dilakukan pada anak-anak usia diatas satu

tahun (de Lorijn, et al., 2006; Saravanan, et al., 2008). Hal ini menyebabkan

ARM lebih sering digunakan sebagai preliminary screening kasus Hirschsprung’s

disease (Ishfaq, et al., 2014).

2.1.3 Penatalaksanaan

Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka

kondisi penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi

yang serius seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011).

Setelah Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi

definitif utama (Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya

pembedahan adalah mereseksi bagian abnormal usus (aganglionic) dan

menganastomis bagian usus yang normal dengan rectum tanpa mempengaruhi

kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum dilakukan pembedahan,

penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain pemberian cairan dan

elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat melalui rektal secara

berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi usus) dan

mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010).

Berbagai teknik pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi

Hirschsprung’s disease. Prosedur Swenson adalah teknik pembedahan pertama

yang diperkenalkan Swenson dan Bill (1948), yaitu dengan merese


5

ksi bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi

antara lain trauma pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal.

Kemudian Rehbein memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic

colon sampai di atas rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan

dilatasi adekuat pada sisa rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan

bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang radikal

digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al., 2015).

Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang

berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis

menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik

ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada

tahun 1964 menyempurnakan prosedur Duhamel dengan menggunakan

transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah mencegah diseksi luar

pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk menjaga inervasi

di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009).

Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan pertama kali

oleh De La Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip prosedur complete

dissection dan mobisasi aganglionic colon secara keseluruhan serta anastomosis

kolon normal ke anus melalui muscular tube. Teknik ini paling banyak digunakan

oleh para ahli bedah karena komplikasi konstipasi dan inkontinensia yang

minimal (Wang, et al., 2009; Kamal, 2010).


6

Gambar 2.1.
Total transanal endorectal pull-through (Kamal, 2010)

Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan

pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli

bedah pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada

neonatus penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada colo-

anal dan dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy

secara cepat dan hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi

(Jona, 2005; Thomson, et al., 2015).

Gambar 2.2.
Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through
(Aubdoollah, et al., 2015)
7

2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease

Metode suction biopsy pertama kali dilakukan oleh Helen Noblett dengan

mengambil spesimen pada lapisan submukosa dan mukosa dengan

meminimalisasi ketidaknyamanan dan tanpa anestesi (Moore, 2010). Gambaran

histologi klasik pada Hirschsprung’s disease adalah hyperthropic nerve trunk

(proliferasi saraf tepi) serta tidak ditemukannya sel ganglion dalam intramuscular

myenteric (Auerbach’s) plexus dan submucosal Meissner’s plexus (Moore, 2010;

Esayias, et al., 2013).

Spesimen biopsi diambil pada 2-4 cm (3-5 cm pada usia yang lebih tua) dari

dentate line. Kegagalan pengambilan spesimen rectal suction biopsy yang adekuat

sebagai dasar diagnostik menyebabkan diperlukannya tindakan full thickness

biopsy (Saravanan, et al., 2008).

Gambar 2.3.
Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui pull-through procedure
(Abbas, et al., 2013)

Full thickness biopsy (FTB) merupakan pemeriksaan baku emas untuk

penegakan diagnosis Hirschsprung’s disease (Pratap, et al., 2007). Spesimen

biopsi diambil pada mukosa rektum dan otot dibawahnya dengan lokasi 2 cm
8

diatas dental line pada bagian posterior (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al.,

2007). Kemudian, dengan menggunakan frozen-sectioned, spesimen biopsi

tersebut diiris setebal ± 15 µm (Kapur, et al., 2009).

Pada spesimen suction biopsy tersebut dilakukan teknik pewarnaan

acetylcholinesterase (AChE) untuk mengevaluasi peningkatan aktivitas saraf

parasimpatis pada area yang tertentu yang terpengaruh maupun neurofibril

diantara lamina propria dan mukosa muskularis. Interpretasi pewarnaan AChE

dipengaruhi oleh pola yang berbeda pada kenampakan AChE. Hal ini sering

terjadi terutama pada neonatus. Pada pewarnaan tipe A, AChE akan tampak

positif pada serabut saraf sepanjang lamina propria. Sedangkan, pada pewarnaan

tipe B, pola AChE yang positif tampak di mukosa muskularis dan dekat lamina

propia dalam beberapa minggu (Kapur, et al., 2009).

Gambar 2.4.
Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita Hirschsprung’s disease
(pewarnaan acetylcholinesterase) (Moore, 2010)

Pewarnaan menggunakan hematoxylin dan eosin (H&E) juga digunakan

sebagai metode pilihan selain pewarnaan AChE dalam penegakkan diagnosis

karena jenis pewarnaan ini lebih mudah didapat. Namun kelemahan pewarnaan
9

H&E adalah lebih sulit mengidentifikasi sel ganglion immatur dari sel plasma dan

limfosit (Memarzadeh, et al., 2009).

Gambar 2.5.
Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E)
kasus Hirschsprung’s disease (Abbas, et al., 2013)

Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila pada hasil biopsi ditemukan

peningkatan aktivitas acetylcholinesterase (AChE) pada serabut saraf cholinergic dari

aganglionic segments (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%) ditambah dengan tidak

ditemukannya sel ganglion pada pewarnaan (sensitivitas 96%, spesifisitas 98%) (de

Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al., 2007). Komplikasi yang harus diwaspadai dalam

prosedur ini antara lain perdarahan rektal, perforasi, atau sepsis (de Lorijn, et al.,

2006).
10

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS HIRSCHPRUNG / MEGA COLON

A. PENGKAJIAN

v Menurut Suriadi (2001:242) fokus pengkajian yang dilakukan pada penyakit hischprung
adalah :

1. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir, biasanya ada
keterlambatan

2. Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk.

3. Pengkajian status nutrisi dan status hidrasi.

1. Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret


2. Keadaan turgor kulit biasanya menurun
3. Peningkatan atau penurunan berat badan.
4. Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral

4. Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada bagian proximal
karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.

5. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan

1. Anak : Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping yang


digunakan.
2. Keluarga : Respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga, penyesuaian
keluarga terhadap stress menghadapi penyakit anaknya.
1. Pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga perlu
dilakukan untuk mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan kurangnya
asupan protein.

v Menurut Wong (2004:507) mengungkapkan pengkajian pada penyakit hischprung yang


perlu ditambahkan selain uraian diatas yaitu :

1. Lakukan pengkajian melalui wawancara terutama identitas, keluhan utama, pengkajian


pola fungsional dan keluhan tambahan.

2. Monitor bowel elimination pattern : adanya konstipasi, pengeluaran mekonium yang


terlambat lebih dari 24 jam, pengeluaran feses yang berbentuk pita dan berbau busuk.

3. Ukur lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar abdomen semakin besar
seiring dengan pertambahan besarnya distensi abdomen.

4. Lakukan pemeriksaan TTV, perubahan tanda viatal mempengaruhi keadaan umum klien.

5. Observasi manifestasi penyakit hirschprung


11

1. Periode bayi baru lahir


2. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 -48 jam setelah lahir
3. Menolak untuk minum air
4. Muntah berwarna empedu
5. Distensi abdomen
1. Masa bayi
2. Ketidakadekuatan penembahan berta badan
3. Konstipasi
4. Distensi abdomen
5. Episode diare dan muntah
6. Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis : diare
berdarah, letargi berat)
1. Masa kanak –kanak
2. Konstipasi
3. Feses berbau menyengat dan seperti karbon
4. Distensi abdomen
5. Anak biasanya tidak mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang
buruk

6. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian

a) Radiasi : Foto polos abdomen yang akan ditemukan gambaran obstruksi usus letak
rendah

b) Biopsi rektal : menunjukan aganglionosis otot rektum

c) Manometri anorectal : ada kenaikan tekanan paradoks karena rektum dikembangkan /


tekanan gagal menurun.

Lakukan pengkajian fisik rutin, dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat terutama yang
berhubungan dengan pola defekasi

Kaji status hidrasi dan nutrisi umum

– Monitor bowel elimination pattern

– Ukur lingkar abdomen

– Observasi manifestasi penyakit hischprung

Periode bayi baru lahir

– Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 – 48 jam setelah lahir

– Menolak untuk minum air

– Muntah berwarna empedu / hijau

– Distensi abdomen
12

Masa bayi

– Ketidakadekuatan penambahan berat badan

– Konstipasi

– Distensi abdomen

– Episode diare dan muntah

– Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis)

– Diare berdarah

– Demam

– Letargi berat

Masa kanak – kanak (gejala lebih kronis)

– Konstipasi

– Feses berbau menyengat seperti karbon

– Distensi abdomen

– Masa fekal dapat teraba

– Anak biasanya mampu mempunyai nafsu makan & pertumbuhan yang buruk

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru

2. Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan tak
adekuat dan rangsangan muntah.

4. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) b.d defek persyarafan terhadap aganglion usus.

5. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas karena mual.

6. Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

C. INTERVENSI

Dx 1
13

Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru

NOC : Respiratory status

Kriteria Hasil :

1. Frekuensi pernafasan dalam batas normal


2. Irama nafas sesuai yang diharapkan
3. Ekspansi dada simetris
4. Bernafas mudah
5. Keadaan inspirasi

NIC :

Respiratory monitoring

1. Monitor frekuensi, ritme, kedalamam pernafasan.


2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot tambahan.
3. Monitor pola nafas bradipnea , takipnea, hiperventilasi.
4. Palpasi ekspansi paru
5. Auskultasi suara pernafasan

Oxygen therapy

1. Atur peralatan oksigenasi


2. Monitor aliran oksigen
3. Pertahankan jalan nafas yang paten
4. Pertahankan posisi pasien

Dx 2

Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan

NOC : Pain level

Kriteria hasil :

1. Mengenali faktor penyebab


2. Menggunakan metode pencegahan
3. Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri.
4. Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
5. Mengenali gejala – gejala nyeri

NIC :

Pain management

1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan onset,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor – faktor presipitasi
14

2. Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam


ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
4. Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex : temperatur ruangan , penyinaran)
5. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya : relaksasi, guided imagery,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas)

Analgetik administration

1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
3. Pilih analgetik yang diperlukan / kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari
satu.
4. Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri.

Dx 3

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan tak adekuat
dan rangsangan muntah.

NOC : Status nutrisi

Kriteria hasil :

1. Stamina
2. Tenaga
3. Kekuatan menggenggam
4. Penyembuhan jaringan
5. Daya tahan tubuh
6. Pertumbuhan

NIC :

Manajemen nutrisi

1. Timbang Berat badan


2. Anjurkan pada keluarga pasien untuk memberikan ASI
3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vit C
4. Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

Monitoring nutrisi

1. Monitor turgor kulit


2. Monitor mual dan muntah
3. Monitor intake nutrisi
4. Monitor pertumbuhan dan perkembangan

Dx 4
15

Perubahan pola eliminasi (konstipasi) b.d defek persyarafan terhadap aganglion usus

NOC : Bowel elimination

Kriteria hasil :

1. Pola eliminasi dalam batas normal


2. Warna feses dalam batas normal
3. Feses lunak / lembut dan berbentuk
4. Bau feses dalam batas normal (tidak menyengat)
5. Konstipasi tidak terjadi

NIC : Bowel irigation

1. Tetapkan alasan dilakukan tindakan pembersihan sistem pencernaan.


2. Pilih pemberian enema yang tepat
3. Jelaskan prosedur pada pasien
4. Monitor efek samping dari tindakan irigasi atau pemberian obat oral
5. Catat keuntungan dari pemberian enema laxatif
6. Informasikan pada pasien kemungkinan terjadi perut kejang atau keinginan untuk
defekasi.

Dx 5

Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas karena mual.

NOC : Fluid balance

Kriteria hasil :

1. Keseimbangan intake dan output 24 jam


2. Berat badan stabil
3. Tidak ada mata cekung
4. Kelembaban kulit dalam batas normal
5. Membran mukosa lembab

NIC :

Fluid management

1. Timbang popok jika diperlukan


2. Pertahankan intake dan output yang akurat
3. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah)
4. Monitor vital sign
5. Kolaborasikan pemberian cairan IV
6. Dorong masukan oral
7. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

Dx 6
16

Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

NOC :Imune status

Kriteria hasil :

1. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi


2. Menjelaskan proses penularan penyakit
3. Menjelaskan faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
4. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
5. Menunjukan perilaku hidup sehat

NIC :

Infection protection

1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal


2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
4. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
5. Dorong masukan nutrisi yang cukup
6. Dorong istirahat
17

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC.

Hidayat, Alimul Aziz. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, buku 2. Jakarta : Salemba
Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC

Sacharin, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta : EGC

Suriadi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 7. Jakarta : PT. Fajar
Interpratama

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta : EGC

A Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC

Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius
FKUI

Carpenito. LJ ( 2001 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa Monica
Ester. Jakarta : EGC

Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto.

Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk.
Jakarta : Bina Rupa Aksara

Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta :
Infomedika Jakaarta.

Suryadi dan Yuliani, R ( 2001 ) Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto

S-ar putea să vă placă și