Sunteți pe pagina 1din 84

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

DIAGNOSA MEDIS SPONDILITIS TB YANG MENGALAMI


GANGGUAN MOBILITAS FISIK DI RUANG BEDAH
BUGENVILE RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Oleh :

Kelompok 2

Dewita Pramesti 131511133125


Rifki Fauzi Maulida 131511133126
Nia Istianah 131511133127
Nanda Elanti Putri 131511133128
Annisa Prabaningrum 131511133129
Regina Dwi Fridayanti 131511133130

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan pada pasien Tn. M dengan diagnosa medis


spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik di ruang rawat inap bedah bugenvil
RSUD Dr. Soetomo Surabaya telah dilaksanakan mulai tanggal 12 Agustus 2019
sampai 24 Agustus 2019 dalam rangka pelaksanaan Profesi Keperawatan Dasar di
ruang rawat inap bedah bugenvil RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Telah disetujui untuk dilakukan Seminar Kasus di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Telah disahkan
Tanggal 23 Agustus 2019

Oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep Herman Suryo C, S.Kep., Ns


NIP. 198304052014042002 NIPPTT-PK 301-10091988-122015-7599

Mengetahui,
Kepala Ruang Bedah Bugenvile
RSUD Dr. Soetomo

Sri Yuniarti, S.ST


NIP. 196906051994032008

2
DAFTAR ISI

Cover .................................................................................................................1
Lembar Pengesahan ..........................................................................................2
Daftar Isi............................................................................................................3
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................4
1.2 Tujuan ...............................................................................................5
1.3 Manfaat .............................................................................................5
Bab 2 Resume Kasus .........................................................................................7
Bab 3 Pembahasan ..........................................................................................16
Bab 4 Penutupan .............................................................................................19
Daftar Pustaka .................................................................................................20
Lampiran .........................................................................................................21

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe atau getah bening yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Limfadenitis adalah manifestasi paling sering dari TB ekstraparu.
Insiden limfadenitis TB meningkat secara paralel dengan peningkatan kejadian
infeksi Mycobacterium tuberculosis diseluruh dunia. Jika dilakukan pengobatan
dengan benar tuberculosis yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium
tuberculosis yang peka terhadap obat, akan dapat disembuhkan. Tanpa
dilakukan pengobatan tuberculosis akan mengakibatkan kematian dalam 5
tahun pertama pada lebih dari setengah kasus.
Limfadenitis terjadi jika kuman TB terkena pada kelenjar getah bening,
maka akan terjadi radang kelenjar getah bening menahun, yang ditandai dengan
pembesaran kelenjar getah bening leher hanya pada satu sisi. Tidak terjadi nyeri
akan tetapi akan berpotensi untuk membesar dan banyak. Penyebaran ke
kelenjar getah bening disebabkan karena kuman TBC tertahan di kelenjar
amandel dan kemudian menular ke kelenjar getah bening leher.
Limfadenitis TB terlihat pada hampir 35% persen dari TB paru yang
meliputi sekitar 15%-20% dari semua kasus TB. Beberapa studi didapatkan
kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 74-90 pada kelenjar limfe servikalis, 14%-
20% pada kelenjar aksila, dan 4-8 pada kelenjar inguinal (Putri & Tarsil, 2016).
Penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis
yang tidak ditangani dapat terus menyebar sampai tulang belakang dan dapat
menyebabkan terjadi penyakit spondylitis tuberculosis. Tulang belakang
merupakan sisi yang paling sering terkena akibat proses penyebaran
tuberkulosis pada tulang (Ling et al, 2012).
Spondylitis tuberkulosa merupakan bentuk paling berbahaya dari
tuberculosis muskuloskeletal karena dapat menyebabkan destruksi tulang,
deformitas, dan paraplegia. TB tulang belakang menyumbang sekitar 50% dari
kasus TB tulang. Hampir dari 10% dari seluruh penderita TB memiliki

4
keterlibatan muskuloskeletal. Setengahnya mempunyai lesi di tulang belakang
dengan disertai defisit neurologik 10-45% dari penderita (William et al, 2012).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara umum proses keperawatan pada klien
Spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar spondilitis TB dengan
gangguan mobilitas fisik
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien
spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik di di ruang rawat inap
bedah bugenvil RSUD Dr. Soetomo Surabaya
3. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien
spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik di di ruang rawat inap
bedah bugenvil RSUD Dr. Soetomo Surabaya
4. Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien
spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik di di ruang rawat inap
bedah bugenvil RSUD Dr. Soetomo Surabaya
5. Mahasiswa mampu menyusun implementasi keperawatan pada pasien
spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik di di ruang rawat inap
bedah bugenvil RSUD Dr. Soetomo Surabaya
6. Mahasiswa mampu menyusun evaluasi keperawatan pada pasien
spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik di di ruang rawat inap
bedah bugenvil RSUD Dr. Soetomo Surabaya
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Asuhan Keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis spondilitis TB
dengan gangguan mobilitas fisik ini dapat menjadi referensi bagi penulis
selanjutnya maupun pembaca yang akan membuat karya ilmiah.

5
1.3.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penulisan makalah seminar ini dapat menjadi masukan bagi
pelayanan kesehatan agar dapat menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien spondilitis TB dengan gangguan mobilitas fisik dengan tepat.
2. Hasil penulisan makalah seminar ini dapat dijadikan sebagai bekal untuk
mempelajari keperawatan dasar sehingga dapat memperdalam wawasan
perawat sebagai tenaga medis yang professional.

6
BAB 2
RESUME KASUS

RESUME LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUAN M

DENGAN DIAGNOSA MEDIS SPONDILITIS TB

DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

GANGGUAN MOBILITAS FISIK

DI RUANG BEDAH FLAMBOYAN

TANGGAL 17-23 AGUSTUS 2019

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 20 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Belum Menikah
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Belum Bekerja
Suku Bangsa : Jawa-Indonesia
Alamat : Ambeng-Ambeng Tengah Waru RT 10 / RW 03
Tanggal Masuk : 5 Agustus 2019
Tanggal Pengkajian : 17 Agustus 2019
No. Register : 13.75.86.67
Diagnosa Medis : Spondilitis TB vertebral thoracal 12 Frankle B
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. H
Umur : 47 tahun
Hub. Dengan Pasien : Ibu Kandung
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Ambeng-Ambeng Tengah Waru RT 10 / RW 03
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini

7
1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS :
Kedua tungkai sulit digerakkan, makin memberat, tidak bisa berjalan
sejak 2 bulan yang lalu
Saat ini :
Kedua kaki mengalami kelemahan dan nyeri punggung
2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya :
Pasien mengikuti anjuran perawat, dokter, dan fisioterapi untuk latihan
gerak sedikit-demi sedikit pagi dan sore hari
3) Kronologi penyakit :
 Februari 2018 = Benjolan di supraclavicula. Di biopsy didapatkan
hasil TB di kelenjar getah bening
 Maret 2018 = OAT selama 1 tahun. Pasien dinyatakan sembuh,
kelenjar mengecil. Batuk (-)
 Mei 2019 = Didapatkan benjolan di punggung. Pasien masih bisa
jalan
 Juni 2019 = Nyeri punggung diterapi dengan anti nyeri kemudian
membaik. Pasien masih bisa berjalan
 12 Juni 2019 = Pasien dirujuk ke MDR, pasien tidak dapat berjalan
 26 Juni 2019 = dilakukan pemeriksaan USG Abdomen didapatkan
hasil multiple lymphadenopathy paraaorta dan parendaymal kidney
disease
 26 Juni 2019 = dilakukan pemeriksaan Bone survey didapatkan hasil
suspek spondilitis TB
 2 Juli 2019 = Pasien rawat inap di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo,
didapatkan infeksi saluran kencing kemudian di rawat di Rosella
RSUD Dr. Soetomo. Kemudian dilakukan pemeriksaan FNAB
Gibbus didapatkan hasil bahwa jaringan tidak representative
 9 Juli 2019 = dilakukan pemeriksaan MRI Thoracolumbal
didapatkan hasil spondilitis TB
b. Status Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah dialami :
Pasien pernah mengalami limfadenitis TB sehingga lehernya terdapat
benjolan besar, ketika di rawat di RSUD. Dr Soetomo kondisi benjolan
kelenjar getah bening sudah mengecil
Pernah dirawat :
Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo
Alergi :
Pasien tidak memiliki alergi obat-obatan dan makanan
2) Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll) :
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, meminum kopi atau alkohol

8
3) Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu kandung pasien memiliki penyakit hipertensi
4) Diagnosa Medis dan therapy :
Spondilitis TB Vertebra thoracal 12 frankle B
3. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH

DS : Spondolitis Tuberkulosis Gangguan Mobilitas Fisik


1. Pasien 
mengatakan Eksudasi
mengalami 
kesulitan dalam Osteoporosis dan perlunakan
menggerakkan tulang
kakinya 
2. Pasien merasa Perubahan pada vertebra
lemas dan lemah thoracal 12
3. Pasien tidak bisa 
berjalan sejak 2 Kerusakan pada korteks,
bulan yang lalu epifises, dan diskus vertebra
4. Pasien tidak bisa sekitar
duduk sendiri, 
sehingga harus Abses vertebra torakal
dibantu 
Paraplegia
DO : 
1. Ketika ujung jari Kelemahan pada ekstremitas
dirangsang nyeri 
sensorik pasien Gangguan Mobilitas Fisik
masih terasa,
namun motorik
hilang
2. pasien tampak
kifosis

DS : Spondolitis Tuberkulosis Nyeri Kronis


1. Pasien mengeluh 
nyeri punggung Eksudasi
P= Nyeri timbul 
ketika Osteoporosis dan perlunakan
digerakkan tulang
Q= Nyeri tumpul 
dirasakan Perubahan pada vertebra
ketika thoracal 12
digerakkan 
R= Lokasi nyeri Kerusakan pada korteks,
di tulang epifises, dan diskus vertebra
belakang sekitar
S= Skala nyeri 2 
T= Nyeri hanya Kompresi saraf
timbul saat 

9
DATA ETIOLOGI MASALAH

digerakkan Stimulus nyeri


saja, 
berlangsung Nyeri sejak 7 bulan yang lalu
sejak kira-kira 
4 bulan yang Nyeri Kronis
lalu

DO :
1. Pasien tampak
meringis karena
nyeri tulang
belakang

DS : Spondolitis Tuberkulosis Gangguan Eliminasi Urin



1. Pasien Eksudasi
mengatakan tidak 
dapat merasakan Osteoporosis dan perlunakan
keinginan untuk tulang
berkemih/BAK 
2. Pasien berkemih Perubahan pada vertebra
tidak terkontrol thoracal 12
DO : 
Kerusakan pada korteks,
1. Pasien terpasang epifises, dan diskus vertebra
kateter urine sekitar
Balance cairan = 
input-output = Abses vertebra torakal
2000 ml – 2000 
ml =0 Kompresi saraf

Inkontinensia urine

Ketidakmampuan
mengkomunikasikan
kebutuhan eliminasi urine

Gangguan Eliminasi Urine

DS : Spondolitis Tuberkulosis Defisit Perawatan Diri



1. Pasien Eksudasi
mengatakan tidak 
mandi sejak masuk Osteoporosis dan perlunakan
RS (5 Agustus tulang
2019) 
2. PAsien tidak bisa Perubahan pada vertebra
melakukan thoracal 12
perawatan diri 
secara mandiri

10
DATA ETIOLOGI MASALAH

sehingga dibantu Kerusakan pada korteks,


oleh ibunya epifises, dan diskus vertebra
DO : sekitar

1. Pasien bedrest Abses vertebra torakal
dan 
kelemahan Paraplegia

Kelemahan pada ekstremitas

Bedrest (tirah baring lama)

Defisit Perawatan Diri

4. Daftar Diagnosa Keperawatan/Masalah Kolaboratif Berdasarkan Prioritas


NO TANGGAL/JAM DIAGNOSA TANGGAL TTD
DITEMUKAN KEPERAWATAN TERATASI
1 17 Agustus 2019 Gangguan mobilitas fisik Belum
teratasi
2 17 Agustus 2019 Nyeri kronis Belum
teratasi
3 17 Agustus 2019 Gangguan eliminasi urin Belum
teratasi
4 17 Agustus 2019 Defisit perawatan diri Belum
teratasi

11
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Rencana Perawatan Ttd


Hari/
No Dx
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
17 Agustus 2019 – 23 1. Diharapkan gangguan mobilitas fisik pasien menurun, dengan Dukungan Mobilisasi
Agustus 2019 Gangguan kriteria hasil :
Mobilitas 1. Identifikasi adanya nyeri
Fisik 1. Pergerakan ekstremitas meningkat atau keluhan fisik lainnya
2. rentang gerak meningkat 2. identifikasi toleransi fisik
3. Kelemahan fisik menurun melakukan pergerakan
3. Monitor tanda-tanda vital
ketika akan mulai
mobilisasi
4. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
17 Agustus 2019 – 23 2
Agustus 2019 Nyeri Managemen Nyeri

1. Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, dan
intensitas nyeri

1
Diharapkan nyeri pasien dapat berkurang, dengan kriteria 2. Indentifikasi skala nyeri
hasil : 3. Identifikasi respon nyeri
1. Keluhan nyeri menurun non verbal
2. Ekspresi meringis kesakitan pasien menurun 4. Identifikasi faktor yang
memperberat nyeri
5. Ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam untuk
mengurangi nyeri
6. Kolaborasi dengan
17 Agustus 2019 – 23
Agustus 2019 3 Diharapkan gangguan eliminasi urine pasien menurun, analgesic apablila perlu
dengan kriteria hasil : Managemen Eliminasi Urine
Gangguan
Eliminasi 1. Sensasi berkemih meningkat 1. Identifikasi tanda dan
Urine
2. Frekuensi berkemih membaik gejala inkontinensia urine
3. karakteristik urin membaik (warna urine tidak keruh) 2. Monitor eliminasi urine
(warna, volume)
Managemen Inkontinensia
Urine

1. Identifikasi penyebab
inkontinensia urine (karena
cidera tulang belakang)

2
Dukungan Perawatan Diri :
BAK

1. Identifikasi kebiasaan BAK


pasien
2. Jaga privasi selama
eliminasi
3. Sediakan alat bantu
4
17 Agustus 2019 – 23 Diharapkan defisit perawatan diri pasien menurun, dengan berkemih (kateter urin)
Agustus 2019 Defisit kriteria hasil : Dukungan Perawatan Diri
Perawatan
DIri 1. Pasien dapat mempertahankan kebersihan diri 1. Identifikasi kebiasaan
2. kemampuan untuk membersihkan diri meningkat aktivitas perawatan diri
2. Sediakan suasana yang
terapeutik (suasana rileks,
nyaman, privasi)
3. Jadwalkan rutinitas
perawatan diri
Dukungan perawatan diri :
Mandi

1. Monitor kebersihan tubuh


(rambut, mulut, kulit, kuku)

3
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/ Tgl/Jam No Dx Tindakan Keperawatan TTD

Sabtu 17 / 8 / 19 1 1. Mengidentifikasi keluhan pasien (pasien merasakan kelemahan pada kedua kakinya)

Gangguan 2. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien (tekanan darah = 130/70 mmHg, nadi
14.00 Mobilitas
Fisik = 80 x/menit, suhu = 36OC, RR = 20 x/menit, SpO2 = 98%) sebelum melakukan
15.30 mobilisasi

4
3. Memberikan health education kepada pasien dan ibunya mengenai pentingnya latihan

pergerakan (ROM) dan mengajari latihan bergerak pasien pada bagian ekstremitas atas
16.00
dan bawah

4. Evaluasi = pasien dan ibu sudah memahami mengenai pentingnya latihan gerak,

sehingga pasien memahami dan menirukan gerakan ROM yang diajarkan dan

mempraktikkannya secara rutin

Senin 19 / 8 / 19 1. Memonitor tanda-tanda vital pasien pasien (tekanan darah = 130/80 mmHg, nadi = 105

x/menit, suhu = 36,5OC, RR = 20 x/menit, SpO2 = 98%)


16.00
2. Menyediakan lingkungan yang terapeutik untuk pasien (hangat, rileks, privasi)

16.25

Selasa 20/ 9/ 19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior

Rabu 21/ 9 / 19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster

5
Jumat 23/ 9/ 19 1. Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan

2. Mengidentifikasi kondisi pasien post op (pasien lemas dan lebih banyak tidur, pasien
07.30
mengatakan bahwa kedua kakinya kebas sehingga tidak bisa merasakan pergerakan kaki

3. Memonitoring tanda-tanda vital pasien (tekanan darah = 120/80 mmHg, nadi = 105

08.00 x/menit, suhu = 37OC, RR = 18 x/menit, SpO2 = 98%) kemudian pasien diberikan

rangsangan nyeri pada jari-jari kaki namun hasilnya ia tidak merasakan sama sekali

4. Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pergerakan sesuai kemampuan terutama

bagian ekstremitas sedikit demi-sedikit

5. Evaluasi = pasien mampu menirukan latihan pergerakan, namun ia hanya mampu


10.00
mempraktikkan pada ekstremitas atas saja, karena ekstremitas bawah mengalami

kelemahan

Sabtu 17 / 8 / 19 2 1. Mengidentifikasi keluhan nyeri pasien

P = Nyeri timbul ketika pasien miring atau bergerak


15.00 Nyeri Kronis

Q= Nyeri tumpul

6
R= Lokasi nyeri di tulang belakang

S= Skala nyeri 2

T = Hilang timbul ketika digerakkan

2. Menyediakan lingkungan terapeutik (hangat, rileks, privasi) dan memposisikan pasien

senyaman mungkin
15.45
3. Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam apabila timbul nyeri

4. Evaluasi = pasien dapat memahami dan mampu menirukan teknik relaksasi nafas dalam

16.30 yang diajarkan

Senin 19 / 8/ 19

15.00 1. Mengidentifikasi keluhan nyeri pasien dan memonitoring

P = Nyeri masih timbul ketika pasien miring atau bergerak

Q= Nyeri tumpul

7
R= Lokasi nyeri di tulang belakang

S= Skala nyeri 2

T = Hilang timbul ketika digerakkan

15.30 2. Menganjurkan relaksasi nafas dalam apabila timbul nyeri

3. Evaluasi = pasien dapat memahami dan mampu menirukan teknik relaksasi nafas dalam

yang diajarkan

4. Menyediakan lingkungan yang nyaman bagi pasien dengan menutup tirai agar dapat

16.35 beristirahat dengan tenang

5. Menganjurkan pasien untuk memakai spinal brace/korset TLSO untuk mengurangi

nyeri dan menyangga punggungnya apabila pasien ingin duduk atau berjalan-jalan

17. 00 dengan kursi roda

Selasa 20/8/19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior

Rabu 21/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster

8
Jumat 23/8/19 1. Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan

2. Mengidentifikasi kondisi pasien setelah operasi = pasien mengeluh nyeri makin


08.30
memberat dari sebelumnya

P = Nyeri timbul ketika bergerak

Q = Nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk

R = Nyeri terasa di bagian tulang belakang

S = Skala nyeri 3

T = Nyeri terasa ketika ia bergerak

3. Memposisikan pasien senyaman mungkin (semifowler)

08.45 4. Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri dan menyediakan

lingkungan terapeutik (menjaga privasi dengan menutup tirai untuk pasien tirah baring)
08.47
5. Evaluasi = pasien dapat memahami dan mampu menirukan teknik relaksasi nafas dalam

yang diajarkan

9
09.00 6. Memberikan obat injeksi IV metamizol 1000 mg per 8 jam untuk mengurangi nyeri

Sabtu 17/8/19 3

14.30 Gangguan 1. Mengidentifikasi keluhan eliminasi urine (pasien mengeluh tidak bisa merasakan

Eliminasi keinginan untuk BAK sehingga BAK tidak terkontrol), pasien terpasang kateter urine

Urine

Senin 19/8/19

14. 00 Mengidentifikasi dan mengobservasi haluaran urine pasien (urine berwarna bening, output

hari ini 1500 ml, pasien minum rata-rata dapat menghabiskan 2000 ml air mineral)

Selasa 20/8/19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior

Rabu 21/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster

Jumat 23/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan

10
09.30 Memonitoring kebiasaan BAK pasien (pasien masih belum bisa merasakan keinginan

berkemih, pasien terpasang kateter urin, urine output pagi ini 800 ml)

Sabtu 17/8/19 4

16.15 Defisit 1. Mengidentifikasi kebiasaan perawatan diri pasien (ibu kandung rutin menyeka pasien

Perawatan setiap pagi dan sore hari) dan membantu perawatan diri pasien)

Diri (ibu kandung pasien rutin menyeka dengan menggunakan handuk dan air keran setiap pagi

dan sore hari)

17.00 2. Memonitor kebersihan tubuh (kuku cukup panjang dan bersih, rambut kering dan tidak

berketombe, mulut bersih, kulit kering, kateter urine bersih)

3. Memberikan health education mengenai perawatan diri ke pasien dan ibu yaitu
17.15
menyeka dengan handuk yang lembut dan bersih yang sudah dibasahi secara sekali usap

untuk menghindari bakteri atau kuman kembali ke kulit, kemudian menganjurkan untuk

sering mengganti pakaian ketika berkeringat dan kotor)

11
Senin 19/8/19

15.45 1. Memonitoring kebersihan tubuh dan lingkungan sekitar pasien (pasien sudah ganti baju

dan sudah diseka, lingkungan dan barang-barang disekitar pasien cukup bersih dan rapi)

Selasa 20/8/19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior

Rabu 21/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster

Jum’at 23/9/19 1. Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan

2. Mengidentifikasi kondisi pasien setelah operasi (pasien lemas sehingga harus total care,
08.30
kateter urine sudah diganti, badan sudah diseka, baju baru diganti, selimut, sprei, dan

sarung bantal sudah diganti dengan yang bersih)

Evaluasi Keperawatan

12
Hari/Tgl
No No Dx Evaluasi TTd
jam
1 Sabtu, 17 Agustus ‘19 1 S = Paisen mengeluh kelemahan pada kedua kaki, tidak bisa duduk sendiri
sehingga harus dibantu ketika ingin duduk
Gangguan O = Motorik pada ekstremitas bawah tidak terasa / hilang sehingga tidak bisa
Mobilitas berjalan
Fisik
 A = Masalah belum teratasi
 P = Lanjutkan intervensi

Senin, 19 Agustus ‘19 S = Pasien masih merasa kelemahan pada kedua kaki
O = Motorik ekstremitas bawah masih lemah, jika ingin jalan-jalan pasien
menggunakan kursi roda
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi dan pasien rencana operasi debridement + stabilisasi
posterior

Jum’at, 23 Agustus ‘19 S = Pasien merasa lebih lemas dan lemah karena masih dalam pemulihan setelah
operasi sehingga ia hanya tirah baring saja, kedua kaki kebas tidak dapat
merasakan pergerakan sama sekali
O = Pasien tampak tak berdaya, kaki pasien tidak bergerak sama sekali ketika
digerakkan
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi
o
O

13
2 Sabtu, 17 Agustus ‘19 2 S = Pasien mengeluh nyeri pada tulang belakang skala 2
Nyeri O = Ekspresi pasien meringis ketika menggerakkan badan
Kronis A = Masalah belum teratasi
Senin, 19 Agustus ‘19 P = Lanjutkan intervensi

S = Pasien masih mengeluh nyeri ketika menggerakkan punggung, skala nyeri 2


O = Pasien bedrest, merasa agak sakit apabila akan duduk
A = Masalah beum teratasi
Jum’at, 23 Agustus ‘19 P = Lanjutkan intervensi pasien rencana operasi debridement + stabilisasi
posterior

S = Pasien mengeluh nyeri agak memberat dari sebelumnya karena masih dalam
masa pemulihan selesai operasi pada tulang belakang. Skala nyeri 3
O = Ekspresi pasien agak kesakitan ketika bergerak
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

3 Sabtu, 17 Agustus ‘19 3 S = Pasien mengeluh tidak bisa merasakan keingian untuk BAK
Gangguan O = Pasien berkemih tidak terkontrol sehingga harus dipasang kateter urine
Eliminasi A = Masalah belum teratasi
Urine P = Lanjutkan intervensi
Senin, 19 Agustus ‘19
S = Pasien mengeluh masih tidak bisa merasakan keingian untuk BAK
O = Pasien berkemih tidak terkontrol sehingga harus dipasang kateter urine
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi dan pasien rencana operasi debridement + stabilisasi
Jum’at, 23 Agustus ‘19 posterior

14
S = Pasien mengeluh masih tidak bisa merasakan keingian untuk BAK
O = Pasien berkemih tidak terkontrol sehingga harus dipasang kateter urine
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

4. Sabtu, 17 Agustus ‘19 4 S = Pasien mengeluh tidak dapat melakukan perawatan diri (menyeka,
mengganti baju) dengan mandiri
Defisit O = Pasien tampak lemah, pasien diseka pagi dan sore hari, kondisi badan cukup
Perawatan bersih, kateter bersih
Diri A = Masalah belum teratasi
P = Hentikan intervensi

Senin, 19 Agustus ‘19 S = Pasien mengatakan belum bisa melakukan perawatan diri (menyeka,
mengganti baju) dengan mandiri
O = Pasien tampak lemah, pasien diseka pagi dan sore hari, kondisi badan cukup
bersih, kateter bersih
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi dan pasien rencana operasi debridement + stabilisasi
posterior

Jum’at, 23 Agustus ‘19 S = Pasien merasa sangat lemah sehingga belum bisa melakukan perawatan
secara mandiri
O = Kateter pasien ukup bersih, pasien diseka pagi dan sore hari, kondisi badan
bersih
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

15
16
BAB 3
PEMBAHASAN

1. Gangguan Mobilitas Fisik


Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerak fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (SDKI, 2017). Penyakit yang diderita oleh
Tn. M. adalah Spondilitis TB yang mengenai thorakal ke 12 yang menyebabkan
kerusakan korteks, epifises, dan diskus vertebra sekitarnya, sehingga terjadi
kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa ini
adalah mengidentifikasi keluhan klien dan melakukan observasi sebelum
melakukan mobilisasi, memberikan health education kepada klien dan ibunya
mengenai pentingnya latihan ROM serta mengajarkan latihan pergerakan ROM
(range of motion) kedua kaki dan tangan. Hasil dari identifikasi didapatkan klien
merasakan kelemahan pada kedua kakinya. Hasil evaluasi dari rencana tindakan
yang telah disusun diperoleh klien dan ibunya memahami mengenai pentingnya
latihan gerak dan dapat mempraktikkan gerakan ROM secara mandiri.

2. Nyeri Kronis
Merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat
dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan yang berlangsung lebih dari 3
bulan (SDKI, 2017). Penyakit yang diderita oleh Tn. M adalah Spondilitis TB
yang menyebabkan micobacterium tuberkulosis telah menyebar ke daerah spinal
dan mengenai pada thorakal ke 12 sehingga menyebabkan benjolan. Benjolan
tersebut menyebabkan penekanan pada jaringan saraf sehingga memunculkan
nyeri kronis semenjak 7 bulan sebelum MRS. Nyeri yang dirasakan oleh Tn.M
diketahui saat keluarga melapor pada perawat jaga, dirasakan terutama ketika
menggerakkan tubuhnya.
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa ini
adalah mengkaji dan memonitor skala nyeri, memposisikan klien senyaman
mungkin, menyediakan lingkungan terapeutik di malam hari dengan menutup

16
tirai untuk menjaga prifacy dan kenyamanan, mengajarkan teknik relaksasi
napas dalam, menganjurkan klien memakai korset TLSO untuk menjaga
kestabilan postur tubuh, dan berkolaborasi dengan tim dokter dan farmasi untuk
pemberian obat-obatan analgesik.
Berdasarkan rencana tindakan yang telah disusun terdapat satu tindakan
yang tidak dapat dilakukan yaitu pemberian obat analgesik untuk mengurangi
nyeri kepada klien. Tindakan ini tidak dilakukan karena skala nyeri yang
dirasakan oleh klien tidak tergolong kategori berat yaitu 2 (dari skala 1-10).
Sehingga untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh klien, perawat
mengajarkan teknik non farmakologis berupa teknik relaksasi kepada Tn. M dan
ibunya seperti menarik napas dalam dan mendengarkan lagu-lagu yang
disenangi untuk mengalihkan rasa nyeri. Tindakan tersebut dapat dilakukan
secara mandiri oleh Tn. M.

3. Gangguan eliminasi urin


Rencana intervensi yang sudah diimplementasikan pada Tn. M dengan
masalah keperawatan dasar gangguan eliminasi urine yaitu 1) Intervensi
monitoring: mengidentifikasi keluhan eliminasi urine (klien mengeluh tidak bisa
merasakan keinginan untuk BAK sehingga BAK tidak terkontrol), klien
terpasang kateter urine. Kemudian mengidentifikasi dan mengobservasi
haluaran urine klien (urine berwarna bening, output urine 400 ml), pasien minum
rata-rata dapat menghabiskan 2000ml air mineral dalam sehari. Mengidentifikasi
kebiasaan BAB klien (pasien merasakan keinginan untuk BAB namun ketika
BAB keluar klien tidak bisa merasakan. BAB biasanya 2hari sekali (konsistensi
padat, klien tidak mengalami konstipasi / nyeri ketika BAB. Kemudian
mengajurkan untuk diet tinggi serat dan protein agar tidak mengalami konstipasi.
Memonitoring kebiasaan BAK pasien (klien belum bisa merasakan keinginan
untuk BAK , klien terpasang kateter urine, urine output 100ml per hari. Setelah
dilakukan intervensi keperawatan terkait gangguan eliminasi urine dapat
dievaluasi, Tn. M dan keluarga pasien mengatakan klien belum bisa merasakan
keinginan untuk BAK sehingga harus diatasi dengan melanjutkan intervensi
tersebut.

17
4. Defisit perawatan diri
Rencana intervensi yang sudah diimplementasikan pada Tn. M dengan
masalah keperawatan dasar gangguan pemenuhan ADL : defisit perawatan diri antara
lain 1) Intervensi monitoring : mengidentifikasi kebiasaan perawatan diri pasien
dengan tujuan untuk menjaga personal hygiene yang baik, dari identifikasi ini
didapatkan ibu kandung pasien rutin menyeka dengan menggunakan handuk dan air
keran setiap pagi dan sore hari). Kemudian, memonitor kebersihan tubuh pasien dan
didapatkan bahwa rambut terlihat agak panjang dan tidak berketombe, mulut bersih,
kulit kering, kuku pendek dan bersih serta kateter urine bersih. Setelah pasien post-
operasi, dilakukan monitoring kebersihan tubuh dan lingkungan pasien, lalu
mengidentifikasi kondisi pasien setelah operasi dan didapatkan pasien masih terlihat
lemas sehingga harus menjalani perawatan total care, kateter urine telah diganti,
pasien sudah diseka dan mengganti baju, selimut, sprei, dan sarung bantal sudah
diganti dengan yang bersih. 2) intervensi mandiri : memberikan HE (health education)
mengenai perawatan diri ke pasien dan ibu agar pasien dan keluarga lebih memahami
tentang perawatan diri yaitu dengan mengajarkan cara menyeka dengan handuk yang
bersih dan sekali usap untuk menghindari adanya bakteri atau kuman yang kembali
lagi ke kulit setelah pemakaian handuk, kemudian sering mengganti pakaian ketika
berkeringat dan kotor. Setelah dilakukan intervensi keperawatan terkait pemenuhan
ADL personal hygiene dapat dievaluasi, Tn. M dan keluarga pasien mengatakan lebih
nyaman setelah dibantu melakukan perawatan diri namun pasien masih belum bisa
melakukannya secara mandiri sehingga harus diatasi dengan melanjutkan intervensi
tersebut.

18
BAB 4
PENUTUPAN
Simpulan

Spondilitis TB merupakan penyakit yang disebabkan karena kuman

mycobacterium tuberculosis (Rahim, 2012). Kuman mycobacterium tuberkulosis

bisa menginfeksi hampir kesemua organ salah satunya yaitu area tulang belakang

atau yang biasa disebut dengan spondylitis tuberculosis. . Pada spondilitis

tuberkulosis bisa terjadi di manapun pada tulang belakang, seperti thorakal, lumbal,

sakrum, dan servikal. Pada spondilitis tuberkulosis servikal. Gejala yang dirasakan

pada penderita spondilitis TB, yaitu nyeri yang menjalar dari tulang belakang,

paraplegia, paraparesis, atau nyeri akibat penekanan medulla spinalis yang

menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri. Penatalaksanaan yang

dilakukan untuk spondilitis Tb adalah terapi konservatif yaitu dengan istirahat

ditempat tidur untuk mengurangi nyeri, dan terapi operatif yaitu debridement untuk

menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, dan untuk menghilangkan

komplikasi lebih lanjut. Sedangkan pemeriksaan diagnostic yang dilakukan yaitu

uji tuberculin (mantoux test), pemeriksaan Laju Endapan Darah (LED), radiologi,

Ct Scan, MRI, dan biopsy tulang.

SARAN

Setelah mengetahui penyebab dari spondilitis TB diharapkan perawat

mengetahui bagaimana cara menyusun asuhan keperawatan yang tepat untuk

membantu proses kesembuhan pasien sebagaimana mestinya dan memberikan

informasi kepada keluarga pasien mengenai pentingnya Range Of Motion (ROM)

untuk membantu pasien dalam meningkatkan mobilitas fisik.

19
DAFTAR PUSTAKA
Fahrudin, dkk. 2018. Spondilitis Tuberkulosis: Diagnosis, Penatalaksanaan, dan
Rehabilitasi: Depok
Heather, T Herdman.“Nursing Diagnoses : Definition & Classification 2015-
2017”. Jakarta: EGC.
Isnaini, Uswatun., dan Risnanto. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah :
Sistem Muskuloskeletal. Yogyakarta : Deepublish.
Paramarta, I Gede Epi., dkk. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Vol 10 No 3 .Sari
Pediatri.
Sapardan S. Total treatment of tuberculosis of the spine. A rational problem solving
approach. Perpustakaan Universitas Indonesia 2004.
Sujono, Edward. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Spondilitis TB pada Anak.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak: FakultasKedokteran Unika
Tuberculous Spondilytis. Available at http://www.orthoguide.co.id. Agustus 2002.
Zuwanda, dkk.2015. Diagnosa dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis.
Dokter Umum Atambus

20
Lampiran 1
Laporan Pendahuluan
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SPONDILITIS TB YANG MENGALAMI GANGGUAN MOBILITAS
FISIK DI RUANG BEDAH BUGENVILE RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA

Oleh: Kelompok 2

Dewita Pramesti 131511133125


Rifki Fauzi Maulida 131511133126
Nia Istianah 131511133127
Nanda Elanti Putri 131511133128
Annisa Prabaningrum 131511133129
Regina Dwi Fridayanti 131511133130

21
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
Konsep Dasar Teori

A. Anatomi Tulang Belakang


Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang, ligamen,
otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar tengkorak (basis
cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan tulang ekor. Fungsinya
adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta pelindung bagi struktur saraf dan
pembuluh-pembuluh darah yang melewatinya. Tulang belakang terdiri dari 4
segmen, yaitu segmen servikal (terdiri dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri
dari 12 ruas tulang), segmen lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen
sakrococygeus (terdiri dari 9 ruas tulang) (Snell, 2006).

a. Tulang belakang cervical


Tulang belakang cervical terdiri atas 7 tulang yang memiliki bentuk tulang yang
kecil dengan spina atau procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang
tulang) yang pendek kecuali tulang ke-2 dan ke-7. Tulang ini merupakan tulang
yang mendukung bagian leher.
b. Tulang belakang thorax
Tulang belakang thorax terdiri atas 12 tulang yang juga dikenal sebagai tulang
dorsal. Procesus spinosus pada tulang ini terhubung dengan tulang rusuk.
Kemungkinan beberapa gerakan memutar dapat terjadi pada tulang ini.
c. Tulang belakang lumbal
Tulang belakang lumbal terdiri atas 5 tulang yang merupakan bagian paling
tegap konstruksinya dan menanggung beban terberat dari tulang yang lainnya.
Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh dan beberapa
gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
d. Tulang sacrum

22
Tulang sacrum terdiri atas 5 tulang dimana tulang-tulangnya tidak memiliki
celah dan bergabung (intervertebral disc) satu sama lainnya. Tulang ini
menghubungkan antara bagian punggung dengan bagian panggul.
e. Tulang belakang coccyx
Tulang belakang coccyx terdiri atas 4 tulang yang juga tergabung tanpa celah
antara 1 dengan yang lainnya. Tulang coccyx dan sacrum tergabung menjadi satu
kesatuan dan membentuk tulang yang kuat.

Gambar 1. Ruas tulang belakang

Sebuah ruas tulang belakang terdiri atas dua bagian yakni bagian
anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian
posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua
"kaki" atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau
procesus yakni procesus articularis, procesus transversus, dan procesus
spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut foramen
vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk
saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di
sepanjang tulang belakang, terdapat bantalan yaitu intervertebral disc sebagai
sambungan antar tulang dan berfungsi melindungi jalinan tulang belakang.
Bagian luar dari bantalan ini terdiri dari annulus fibrosus yang terbuat dari
tulang rawan dan nucleus pulposus yang berbentuk seperti jeli dan
mengandung banyak air. Dengan adanya bantalan ini akan memungkinkan

23
terjadinya gerakan pada tulang belakang dan sebagai penahan jika terjadi
tekanan pada tulang belakang seperti dalam keadaan melompat (Guyton &
Hall, 2008).

Gambar 2. Sebuah ruas tulang belakang


Untuk memperkuat dan menunjang tugas tulang belakang dalam
menyangga berat badan, maka tulang belakang di perkuat oleh ligament dan
otot (Snell, 2006). Ligament dan otot tersebut antara lain:
1. Ligament Intersegmental
Ligamen intersegmental menghubungkan seluruh panjang tulang belakang
dari ujung keujung. Ligament ini tediri atas:
a. Ligament Longitudinalis Anterior
b. Ligament Longitudinalis Posterior
c. Ligament praspinosum
2. Ligament Intrasegmental
Ligamen intrasegmental menghubungkan satu ruas tulang belakang ke
ruas yang berdekatan. Ligament ini terdiri atas:
a. Ligamentum Intertransversum
b. Ligamentum flavum
c. Ligamentum Interspinosum
3. Ligamentum-ligamentum yang memperkuat hubungan di antara tulang
occipitalis dengan vertebra CI dengan C2, dan ligamentum sacroilliaca di
antara tulang sacrum dengan tulang pinggul

24
4. Otot-otot
Otot-otot yang menunjang kerja tulang belakang antara lain:
a. Otot-otot dinding perut
b. Otot-otot extensor tulang punggung
c. Otot gluteus maximus
d. Otot Flexor paha (illopsoa )
e. Otot hamstrings

Gambar 3. Ligamen pada tulang belakang

B. Konsep Teori Spondilitis Tuberkulosis


1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium tuberkulosis (Rahim, 2012). Kuman mycobacterium
tuberkulosis bisa menginfeksi hampir kesemua organ salah satunya yaitu area
tulang belakang atau yang biasa disebut dengan spondylitis tuberkulosis. Pada
insiden spondilitis tuberkulosis hanya sekitar 10% dari keseluruhan kasus
Tuberkulosis di Indonesia (Purniti dkk, 2008).
Spondilitis tuberkulosis merupakan infeksi yang terjadi pada tulang
belakang serta berkembang dengan lambat dan berlangsung lama. Pada
spondilitis tuberkulosis bisa terjadi di manapun pada tulang belakang, seperti
thorakal, lumbal, sakrum, dan servikal. Pada spondilitis tuberkulosis servikal
memiliki angka kejadian yang sedikit yaitu berkisar 2-3% dari kasus spondilitis
tuberkulosis di Indonesia (Saputra & Munandar, 2015).

25
Spondilitis tuberkulosa (TB) merupakan infeksi granulomatosis dan
bersifat kronis destruktif yang di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu
Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra. Spondilitis ini
paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C1-2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang
menyerang arkus vertebrae (Mansjoer, 2000).
2. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk
spondilitis:
1. Spondilitis bentuk sentral
Pada bentuk ini destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk
ini sering ditemukan pada anak. Penyakit ini sering dikaitkan dengan
meningitis tuberkulosa karena penyebarannya melalui pleksus Batson. Pada
bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi
kompresi vertebra. Kompresi vertebra bisa spontan, atau akibat jatuh yang
ringan sehingga mungkin salah didiagnosis sebagai patah tulang kompresi
traumatik. Bila terjadi kompresi, pada pemeriksaan klinis didapati gibus.
2. Spondilitis bentuk anterior
Lokus awal berada di korpus vertebra bagian anterior dan merupakan
penjalaran perkontinuitatum dari vertebra di atasnya.
3. Spondilitis bentuk paradiskus.
Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus
intervertebralis. Bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa. Bentuk
paradiscal yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan
dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis
diskus. Pada gambaran rontgen terdapat penyempitan diskus intervertebra.
Bila proses terus berlanjut terjadi osteoporosis dan penyebaran keseluruh
korpus vertebra sehingga timbul kompresi vertebra dan terjadi gibus.
Klasifikasi menurut derajat kerusakan:
1. Frankel A : Complete
Fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali dibawah level lesi
2. Frankel B : Incomplete

26
Fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi
3. Frankel C : Incomplete
Fungsi sensorik dan motoric masih terpelihara tetapi tindak fungsional
4. Frankel D : Incomplete
Fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional

5. Frankel E : Normal
Fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa defisit neurologis.
3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi
sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh
mikrobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin)
dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosis atipik.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri basil yang tidak
berspora, mudah dibasmi dengan pemanasan sinar matahari, hidup ditempat
lembab, dan mampu berdiam di tubuh manusia (dorman). Bakteri ini bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional, digunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Ada 2 jenis mikobaterium yang dapat menginfeksi manusia, yaitu tipe bovin
dan human. Tipe bovin ditularkan melalui sapi yang menderita mastitis
tuberkulosa, biasanya masuk melalui saluran cerna. Tipe human ditularkan
melalui tetes dahak penderita yang terhidup melalui saluran pernafasan (droplet
infection).
Walaupun spesies Mycobacterium yang lain dapat juga bertanggung
jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle
baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada
penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena
sangat mempengaruhi pola resistensi obat.

27
4. Patofisiologi
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil 1-5µ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag mengalami
lisis dan kuman TB membentuk koloni ditempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut focus primer Ghon.
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke
kelenjar limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang
mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan dikelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah,
kelenjar limfe akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional
yang membesar (limfadenitis).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Masa inkubasi tersebut kuman akan tumbuh hingga
mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas
seluler. Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas selular dapat terjadi
limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
(Paramarta, dkk, 2008)

28
5. WOC

Bakteri TB Masuk melai jalan Terinfeksi di


Mycobacterium TB napas jaringan paru

Bakteri tumbuh Tejadi masa inkubasi Membentuk koloni:


menjadi 104 TB selama 4-8 minggu fokus primer ghon

Respon imunitas Masuk ke system saraf medulla spinalis


Limfogen
seluler

SPONDILITIS TB

Eksudasi

Osteoporosis dan
perlunakan tulang

Perubahan pada
vertebra thorakal

Kerusakan pada korteks,


epifises, dan diskus vertebrae

Abses vertebra torakal


Kompresi saraf

Paraplegia
Inkontinensia
Stimulus nyeri urin
Kelemahan pada
ekstermitas
MK: Nyeri Kronis Ketidakmampuan
(D.0078) mengkomunikasikan
MK: Gangguan kebutuhan eliminasi
Mobilitas Fisik urin
29
(D.0054)
Bedrest (Tirah Baring Lama)

MK: Gangguan
MK: Defisit Perawatan
Eliminasi Urin
Diri (D.0109)
(D.0040)
6. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan
gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama
pada malam hari serta sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-anak sering
disertai dengan menagis pada malam hari.
Manifestasi klinis lainnya pada Spondilitis TB menurut (Isnaini,2014)
yaitu:
a) Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini
disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
b) Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
c) Deformitas pada punggung (gibbus)
d) Pembengkakan setempat (abses)
e) Adanya proses TBC yaitu : Kelainan neurologis yang terjadi pada 50%
Kasus Spondilitis Tuberkulosa termasuk akibat penekanan medulla spinalis
yang menyebabkan :
1) Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
2) Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai dan adanya batas defisit
sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah:
a) Uji tuberkulin (Mantoux test)
Uji ini merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya infeksi tanpa adanya
manifestasi penyakit, dapat menjadi negative ole karena anergi yang berat

30
atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk
menentukan adanya TB aktif.
b) Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
LED akan meningkat dengan hasil >100 mm/jam.
c) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak
dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-
60% kasus. Vertebra lumbal I paling sering terinfeksi pada bagian anterior
korpus vertebrae dan menyebar ke lapisan subkondral tulang. Pada beberapa
kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai ke diskus
intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior
biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus invertebrae terjadi secara
langssung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang
disebabkan oleh abses jaringan lunak.
d) Computerized tomography scan (CT scan)
Dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi
pada badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan
perluasan ekstensi 7 posterior jaringan yang mengalami radang, material
tulang, dan untuk mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta
keterlibatan sacroiliac joint dan sacrum. Hal tersebut dapat membantu
memandu biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan
CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya meragukan.
Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas
disertaai dengan adanya kalsifikasi periferal.
e) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas
penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris tuberculous.
f) Biopsi tulang
Bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat
pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang
baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan

31
formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan
biakan sering memberikan hasil yang negatif. (Paramarta,2008)
8. Penatalaksanaan
Bakteri TB dapat dibunuh atau dihambat dengan pemberian obat-obat
anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol, pyrazinamid dan
rifampicin (Nawas, 2010). Dasar penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa
adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit, obat-obat anti tuberkulosa dan
pengeluaran abses (Moesbar, 2006).
Moesbar (2006) menyatakan bahwa penatalaksanaan spondilitis TB
meliputi :
1) Terapi konservatif  dapat dilakukan dengan istirahat ditempat tidur yang
bertujuan untuk mengurangi nyeri, dan spasme otot serta mengurangi
destruksi tulang belakang (Wilkinson & Ahhern, 2009). Terapi konsevatif
lain yaitu dengan mengkonsumsi obat OAT untuk mencegah bakteri untuk
resisten (Nawas, 2010). Selain itu, terapi konservatif yang lain dapat
dilakukan dengan imobilisasi dengan pemasangan gips bergantung pada
level lesi, pada daerah servikal dapat dilakukan immobilisasi dengan jaket
minerva, torakolumbal dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket
atau gips korset disertai fiksasi pada salah satu panggul (Moesbar, 2006).
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
1. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg, dan Pirazinamid 1.500 mgsetiap hari selama 2 bulan pertama (60
kali).
b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali
seminggu selama 4 bulan (54 kali).
2. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderitayang kambuh.
a) Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari.
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat
lainnyaselama 3 bulan (90 kali).

32
b) Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol
1250 mg 3 kali seminggu selama 5bulan (66 kali). Kriteria
penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun danmenetap, gejala-gejala klinis
berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis
ditemukanadanya union pada vertebra
2) Terapi operatif yang dilakukan untuk spondilitis TB yaitu debridement
(Moesbar, 2006). Tujuan dilakukan tindakan ini yaitu untuk menghilangkan
sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi
neurologik dan kerusakan lebih lanjut (Dewald, 2003). Terapi operasi
dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan,
terjadi kompresi pada medulla spinalis, dan hasil radiologis menunjukkan
adanya sekuester dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak (Moesbar, 2006).
Agrawal, Patgaonkar, dan Nagariya (2010) menyatakan bahwa prosedur
operasi yang dilakukan pada penderita spondilitis TB meliputi debridement
posterior dan anterior untuk mengeluarkan abses ataupun pus yang berada
pada tulang belakang. Chanplakorn et al (2011) menyatakan bahwa
prosedur operasi lain yang dilakukan untuk mengurangi nyeri penderita
spondilitis TB yaitu dengan spinal shortering osteotomy yang ditujukan
untuk penderita spondilitis TB dengan kifosis.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi
: drainase abses; debridemen radikal; penyisipan tandur tulang;
artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang dengan atau tanpa
instumentasi/fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; osteotomi.
a. Indikasi dan Kontraindikasi Pembedahan
Indikasi pembedahan pada Spondilitis TB secara umum sebagai berikut
:
1) Defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.
2) Deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri,
dalam hal ini kifosis progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anak-
anak).
3) Tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu.

33
4) Abses luas.
5) Biopsi perkutan gagal untuk memberikan diagnosis.
6) Nyeri berat karena kompresi abses.

b. Pembedahan debridemen dan koreksi kifosis


Karena lesi TB spinal biasanya dibagian anterior badan vertebra,
dekompresi anterior sangat direkomendasikan banyak ahli.
Intrumentasi kemudian dilakukan untuk stabilisasi tulang belakang,
untuk melindungi tandur anterior yang disisipkan, dan sekaligus untuk
menjaga koreksi kifosis. Berikut akan dijelaskan berbagai macam
teknik pada pembedahan spondilitis TB:
1) Debridemen anterior dan fusi tanpa intrumentasi
Pembedahan ini relatif mudah dan memerlukan waktu yang singkat.
Tindakan ini meliputi debridemen radikal pendekatan anterior,
diikuti penyisipan tandur tulang iga otogenik untuk koreksi
deformitas kifosis. Namun, teknik ini tidak dapat digunakan untuk
kasus yang memerlukan rekontruksi luas/setidaknya dua tingkat
diskus. Tingkat kegagalan fusi dan migrasi tandur sangat tinggi,
sehingga sering pasien memerlukan operasi kedua.
2) Debridemen anterior diikuti dengan instrumentasi anterior atau
posterior
Tindakan dekompresi anterior sangat dianjurkan pada pasien
spondilitis TB. Pada pasien dengan spondilitis TB dekompresi
anterior, intrumentasi posterior dengan atau tanpa koreksi kifosis,
dan fusi anterior/posterior dilakukan dalam sekali pembedahan
melalui pendekatan anterolateral ekstrapleural. Pasien dioperasi dari
posisi lateral kiri menggunakan potongan T, pada apeks kifosis.
Beberapa tulang iga diangkat, dan dekompresi anterior
dilaksanakan, kolumna posterior diperpendek untuk mengoreksi
kifosis. Kemudian penyisipan tandur tulang anterior/posterior
dilakukan.
3) Dekompresi transpendikular

34
Pendekatan transpendikular memungkinkan akses anterior dan
posterior melalui insisi tunggal. Teknik ini dikatakan tidak cukup
baik untuk kasus dengan destruksi vertebra yang luas, dimana
diperlukan debridemen anterior luas dan rekontruksi dengan tandur
tulang.
4) Pembedahan dengan pendekatan posterior saja
Pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk menangani pasien
spondilitas TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi
posterior operasi tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini
banyak bergantung pada pemberian OAT untuk mengeradikasi lesi
spondilitis TB. Teknik ini tidak dapat digunakan pada kasus dengan
defisit neurologis, abses dibagian anterior, atau lesi dibanyak
tingkat.
5) Osteotomi dan reseksi kolumna vertebra
Dilakukan osteotomi untuk meningkatkan fleksibilitas vertebrata.
Osteotomi dekanselasi transpedikular dapat mengoreksi deformitas
kifotik hingga 20-30 persen pada satu tingkat. Namun tindakan ini
memiliki angka komplikasi yang tinggi termasuk perdarahan dan
gangguan neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari anterior dan
posterior.
9. Komplikasi
Menurut (Paramarta,2008) komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh
Spondilitis Tuberkulosa yaitu:
1) Pott’s Paraplegia
a) Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis.
Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara
dekompresi medula spinalis dan saraf.
b) Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
2) Ruptur Abses Paravertebra

35
a) Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b) Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold abses (Lindsay, 2008).
3) Cedera Corda Spinalis (spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
karena invasi dura dan corda spinalis
10. Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain
Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang.
BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa
menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi
efektifitas untu\k pencegahannya masih kontroversial.
Pada tahun 2008, The Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan
vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada
seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris. Saat ini WHO
dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap
menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada
negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa
kasus seperti pada AIDS aktif).
Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1
ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari
vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan
tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai
sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk
mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting

36
adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum Berbasil Tahan
Asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. Selain BCG,
pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari selama
1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa.

37
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian Keperawatan
A. Anamnesa Identitas Pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
perkawinan, pendidikan, alamat, tanggal MRS, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis. Menurut Peter dan Julia (2002) spondylitis TB dapat terjadi
disemua usia. Dengan usia yang sangat muda dan lansia memiliki resiko
khusus.
B. Riwayat Kesehatan Pasien
1) Keluhan Utama
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak
spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu,
setiap pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai
mengidap spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya. Paraparesis adalah
gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien
datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin:
rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat
terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan
utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa
lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasanya pada klien
di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru (R. Sjamsu Hidajat, 1997) atau riwayat gejala-gejala
klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat
badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya.

38
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab
timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain
yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada
yang menderita penyakit menular tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan
kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit,
pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa
takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan
mempengaruhi sosialisai penderita.
C. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pada klien spondilitis TB dengan fase enurunan aktivitas yang parah
adalah pada infeksi didapatkan bahwa klien batuk, ada peningkatan
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Pada palpasi, ditemukan taktil fremitus seimbang
kanan dan kiri. Pada perkusi, ditemukan adanya resonan pada seluruh
lapang paru. Pada auskultasi, didapatkan suara nafas tambahan, seperti
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan
batuk yang menurun yang sering ditemukan pada klien spondilitis TB
dengan penurunan tingkat kesadaran. Pada klien dengan spondilitis TB
fase awal biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem pernafasan.
2) B2 (Blood)
Pada keadaan spondilitis tuberkulosa dengan komplikasi paraplegia yang
lama diderita, biasanya akan didapatkan adanya hipotensi ortostatik
(penurunan tekanan darah sistolik <25mmHg dan diastolik <10mmHg
ketika klien bangun dari posisi berbaring ke posisi duduk). Pada klien
spondilitis tuberkulosa tanpa paraplegia, biasanya tidak didapatkan
kelainan pada sistem kardiovaskuler.

39
3) B3 (Brain)
Nyeri yang bervariasi, misalnya nyeri ringan sampai nyeri berat
(dihubungkan dengan proses penyakit). Biasanya status mental klien
tidak mengalami perubahan, tetapi defisit neurologis muncul pada 10-
47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa.
4) B4 (Bladder)
Pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal dan servikal, tidak ada
kelainan pada system ini. Pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal,
sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidak mampuan
mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
5) B5 (Bowel)
Pada klien spondilitis tuberkulosa, sering ditemukan penurunan nafsu
makan dan gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan
dari abses faring sehingga pemenuhan nutrisi menjadi berkurang.
6) B6 (Bone) (Noor, 2012)
a. Look
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas, terlihat adanya
abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, serta decubitus
pada bokong.
b. Feel
Jika terdapat abses, maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan
kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, berbeda
dengan abses piogenik yang terasa panas). Sensasi ini dapat dipalpasi
didaerah lipat paha, fosa iliaka, retrofiring, atau di sisi leher
(dibelakang otot sternokleidomastoideus), bergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba didaerah disekitar dinding dada.
c. Move
Kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan tulang
belakang.

40
D. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a. Tuberculin skin test atau Tuberculin Purified Protein Derivative
(PPD) positif.
b. Laju endap darah meningkat, dari 20 sampai 100mm/jam.
c. Leukositosis
d. Kultur cairan serebrospinal menunjukkan basil tuberkel.
2) Radiologi
a. MRI
Bermanfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat nonkompresif pada tuberkulosa
tulang belakang dan menunjukkan tingkat keterlibatan jaringan lunak.
b. CT-Scan
Bermanfaat memvisualisasi region torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior
seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT-scan.
E. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


Keperawatan
1 Ds: Spondolitis Tuberkulosis Nyeri Kronis
 Klien mengatakan nyeri 
pada bagian tulang Eksudasi
belakang. 
Osteoporosis dan perlunakan
tulang
Do: 
Perubahan pada vertebra
 P: nyeri disebabkan thoracal
karena terdapat diskus 
menyempit, lose bone Kerusakan pada korteks,
pada tulang anterior, epifises, dan diskus vertebra
adanya gibus dan sekitar
deformitas. 
Kompresi saraf

 Q: nyeri yang dirasakan Stimulus nyeri
Tn. P seperti tertimpa 
beban yang berat pada Nyeri Kronis
area tulang belakangnya.

41
 R: nyeri menetap di area
punggung.

 S: skala nyeri klien 6

 T: nyeri dirasakan klien


adalah pada saat berjalan
dan bangun tidur.

 Wajah klien terlihat


sedang menahan nyeri

 Gerak tubuh klien sangat


hati-hati untuk
menghindari nyeri

 Tekanan darah 110/80


mmHg, nadi 82 x/menit,
pernafasan 28 x/menit
ireguler

 Foto rontgen: terdapat


diskus menyempit, lose
bone pada tulang
anterior, adanya gibus
dan deformitas.

2 DS : Spondolitis Tuberkulosis Gangguan



1. Pasien mengatakan tidak Eksudasi Eliminasi Urin
dapat merasakan 
keinginan untuk Osteoporosis dan perlunakan
berkemih/BAK tulang
2. Pasien berkemih tidak 
terkontrol Perubahan pada vertebra
thoracal 12

DO : Kerusakan pada korteks,
epifises, dan diskus vertebra
1. Pasien terpasang kateter sekitar
urine 
Balance cairan = input- Abses vertebra torakal
output = 2000 ml – 2000 
ml =0 Kompresi saraf

Inkontinensia urine

42
Ketidakmampuan
mengkomunikasikan
kebutuhan eliminasi urine

Gangguan Eliminasi Urine

3 Ds: Spondolitis Tuberkulosis Hambatan


 Klien mengatakan 
Eksudasi Mobilitas Fisik
karena nyeri yang dirasa
membuat klien sulit 
Osteoporosis dan perlunakan
untuk bergerak dan
tulang
melakukan aktivitas 
Perubahan pada vertebra
Do: thoracal 12
 Klien terlihat tidak 
banyak melakukan Kerusakan pada korteks,
pergerakan epifises, dan diskus vertebra
 Tekanan darah 110/80 sekitar
mmHg, nadi 82 x/menit, 
Abses vertebra torakal
pernafasan 28 x/menit

ireguler Paraplegia
 Foto rontgen: terdapat 
diskus menyempit, lose Kelemahan pada ekstremitas
bone pada tulang 
anterior, adanya gibus Gangguan Mobilitas Fisik
dan deformitas

F. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri Kronis (D.0078)
2) Gangguan Eliminasi Urin (D.0040)
3) Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)
G. Intervensi
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi

1 Nyeri Kronis Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian


(D.0078) tindakan asuhan komprehensif yang meliputi
keperawatan selama 3x24 lokasi, karakteristik, intensitas
jam, kriteria yang atau berat nyeri, dan factor
diharapkan: pencetus
1. Klien sudah tidak 2. Pastikan perawatan analgesic
merasakan nyeri bagi pasien dilakukan dengan
2. Skala nyeri klien pemantauan yang ketat
berkurang

43
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi

3. Klien dapat 3. Gunakan statetegi komunikasi


beristirahat terapeutik untuk emnetahui
4. Klien sudah dapat pengalaman nyeri klien
mengenali gejala dan 4. Berikan informasi kepada
penyebab klien mengenai penyebab
kemunculan nyeri nyeri dan antisipasi akibat
ketidaknyamanan dari
prosedur
5. Ajarkan penggunaan Teknik
non farmakologi (seperti,
relaksasi, terapi aktivitas,
aplikasi panas atau dingin dan
pijatan
2 Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor intake dan output
tindakan asuhan 2. Monitor penggunaan obat
Eliminasi Urin
keperawatan selama antikolinergik
(D.0040) 3x24 jam, kriteria yang 3. Monitor derajat distensi
diharapkan:
bladder
a. Intake cairan dalam 4. Instruksikan pada pasien dan
rentang normal. keluarga untuk mencatat
b. Balance cairan output urine
seimbang 5. Sediakan privacy untuk
eliminasi
6. Stimulasi reflek bladder
dengan kompres dingin pada
abdomen.
7. Kateterisaai jika perlu

3 Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitoring vital sign


tindakan asuhan sebelum/sesudah latihan dan
Mobilitas Fisik
keperawatan selama 3x24 lihat respon pasien saat latihan
(D.0054) jam, kriteria yang 2. Konsultasikan dengan terapi
diharapkan:
fisik tentang rencana ambulasi
1. Klien meningkat sesuai dengan kebutuhan
dalam aktivitas fisik 3. Ajarkan pasien atau tenaga
2. Mengerti tujuan dari kesehatan lain tentang teknik
peningkatan mobilitas ambulasi
3. Memverbalisasikan 4. Kaji kemampuan pasien dalam
perasaan dalam mobilisasi
meningkatkan 5. Latih pasien dalam pemenuhan
kekuatan dan kebutuhan ADLs secara
kemampuan mandiri sesuai kemampuan

44
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi

berpindah. 6. Dampingi dan Bantu pasien


saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADL secara
mandiri sesuai kemampuan.
7. Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
8. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

45
Lampiran 2
FORMAT LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
BERDASARKAN FORMAT HENDERSON

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUAN M


DENGAN DIAGNOSA MEDIS SPONDILITIS TB DENGAN DIAGNOSA
KEPERAWATAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK
DI RUANG BEDAH FLAMBOYAN
TANGGAL 17-23 AGUSTUS 2019

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 20 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Belum Menikah
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Belum Bekerja
Suku Bangsa : Jawa-Indonesia
Alamat : Ambeng-Ambeng Tengah Waru RT 10 / RW 03
Tanggal Masuk : 5 Agustus 2019
Tanggal Pengkajian : 17 Agustus 2019
No. Register : 13.75.86.67
Diagnosa Medis : Spondilitis TB vertebral thoracal 12 Frankle B
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. H
Umur : 47 tahun
Hub. Dengan Pasien : Ibu Kandung
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Ambeng-Ambeng Tengah Waru RT 10 / RW 03
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS :

46
Kedua tungkai sulit digerakkan, makin memberat, tidak bisa berjalan
sejak 2 bulan yang lalu, merasa agak nyeri pada tulang belakang sejak
4 bulan yang lalu
Saat ini :
Kedua kaki mengalami kelemahan dan nyeri punggung
2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya :
Pasien mengikuti anjuran perawat, dokter, dan fisioterapi untuk latihan gerak
sedikit-demi sedikit pagi dan sore hari
b. Status Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah dialami :
Pasien pernah mengalami limfadenitis TB sehingga lehernya terdapat
benjolan besar, ketika di rawat di RSUD. Dr Soetomo kondisi benjolan
kelenjar getah bening sudah mengecil berikut kronologi penyakitnya :
 Februari 2018 = Benjolan di supraclavicula. Di biopsy didapatkan hasil
TB di kelenjar getah bening (Limfadenitis TB)
 Maret 2018 = OAT selama 1 tahun. Pasien dinyatakan sembuh, kelenjar
mengecil. Batuk (-)
 Mei 2019 = Didapatkan benjolan di punggung pasien merasa nyeri. Pasien
masih bisa jalan
 Juni 2019 = Nyeri punggung diterapi dengan anti nyeri kemudian
membaik. Pasien masih bisa berjalan
 12 Juni 2019 = Pasien dirujuk ke MDR, pasien tidak dapat berjalan
 26 Juni 2019 = dilakukan pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil
multiple lymphadenopathy paraaorta dan parendaymal kidney disease
 26 Juni 2019 = dilakukan pemeriksaan Bone survey didapatkan hasil
suspek spondilitis TB
 2 Juli 2019 = Pasien rawat inap di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo,
didapatkan infeksi saluran kencing kemudian di rawat di Rosella RSUD
Dr. Soetomo. Kemudian dilakukan pemeriksaan FNAB Gibbus
didapatkan hasil bahwa jaringan tidak representative
 9 Juli 2019 = dilakukan pemeriksaan MRI Thoracolumbal didapatkan hasil
spondilitis TB
Pernah dirawat :
Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo
Alergi :
Pasien tidak memiliki alergi obat-obatan atau makanan
2) Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll) :
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, meminum kopi atau alkohol
3) Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu kandung pasien memiliki penyakit hipertensi
4) Diagnosa Medis dan therapy :

47
Spondilitis TB Vertebra thoracal 12 frankle B, terapi yang dilakukan adalah
meminum obat OAT (ethambutol 250 mg tablet 15mg/kgBB secara oral 1
kali sehari dan rifampicin kapsul 300 mg dengan dosis 8-12 mg/kgBB sekali
sehari)

3. Pola Kebutuhan Dasar (Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)


a. Pola Bernapas
Sebelum sakit:
Pasien tidak mengalami masalah pernapasan, tidak sesak nafas, dan tidak
batuk
Saat sakit :
RR pasien 20 x/menit, pasien tidak mengeluh sesak nafas, tidak batuk, tidak
menggunakan alat bantu nafas, irama nafas teratur, suara nafas vesikuler
b. Pola makan-minum
Sebelum sakit:
Pasien makan teratur 3x sehari, porsi makan selalu habis, menu makan cukup
seimbang yaitu nasi, lauk (tempe, tahu, telur, lele), sayur, dan terkadang
mengonsumsi buah
Saat sakit:
𝐵𝐵 55
1) TB = 170 cm= 1,7 m dan BB = 55 kg, IMT = (𝑇𝐵)2 = (1,7)2= 19,0 (berat
badan seimbang) normal IMT = 18,5 – 24,9
2) Nafsu makan pasien cukup baik dengan frekuensi 3x sehari porsinya
selalu habis, pasien minum air mineral 2000 ml/hari.
c. Pola Eliminasi
Sebelum sakit:
Pasien dapat BAK 3-4 kali sehari dengan urine berwarna bening, BAB
biasanya 1 kali sehari.
Saat sakit:
BAK pasien tidak terkontrol karena pasien tidak bisa merasakan keinginan
untuk berkemih sehingga pasien harus dipasang kateter urine. Balance cairan
= input-output = 2000 ml – 2000 ml = 0.
d. Pola aktivitas dan latihan
Sebelum sakit:
Pasien dapat bergerak seperti biasa sehingga aktivitas sehari-hari tidak
terganggu. Sebelum sakit, pasien memiliki hobi bersepeda
Saat sakit:
Pasien mengalami kelemahan pada kedua tungkai kakinya sehingga ia harus
bedrest total dan menghambat aktivitas sehari-hari
e. Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit:
Pasien tidur siang kira-kira 3 jam dan di malam hari 7-8 jam setiap hari

48
Saat sakit:
Pasien tidak mengalami kesulitan tidur, sehingga kebutuhan tidur cukup
terpenuhi (pasien tidur rata-rata pukul 23.00-06.30)

f. Pola Berpakaian
Sebelum sakit:
Pasien tidak memiliki hambatan atau masalah dalam berpakaian secara
mandiri
Saat sakit:
Pasien memerlukan bantuan ibunya untuk berpakaian setiap hari karena
bedrest. Ibu pasien mengatakan mengganti baju pasien 2x sehari
g. Pola rasa nyaman
Sebelum sakit :
Pasien merasa nyaman karena tidak memiliki penyakit apapun dan ia tidak
merasakan nyeri sama sekali pada tubuhnya sehingga ia dapat beraktivitas
maupun istirahat dengan tenang.
Saat sakit :
Pasien merasa kurang nyaman karena harus tidur terus di tempat tidur,
terkadang pasien merasa nyeri (skala 2) pada punggungnya. Selain itu
kedua kaki pasien mengalami kelemasan
h. Pola Aman
Sebelum sakit :
Pasien tidak merasa gelisah dan tidak tertekan sebelum sakit
Saat sakit :
Pasien pasrah menerima penyakitnya dan ia berusaha untuk berlatih
bergerak (ROM) untuk mengatasi kelemahannya
i. Pola Kebersihan Diri
Sebelum sakit :
Pasien dapat melakukan perawatan diri dengan baik secara mandiri
Saat sakit :
Karena mengalami kelemahan, pasien kesulitan untuk membersihkan diri
secara mandiri. Sehingga harus dibantu ibunya (menyibin/menyeka 2 kali
sehari dan mengganti baju 2 kali sehari)
j. Pola Komunikasi
Sebelum sakit:
Tidak ada gangguan komunikasi pada pasien ketika sebelum sakit
Saat sakit :
Pasien dapat berkomunikasi dan berinteraksi bersama pasien dan keluarga
yang sama-sama di rawat di ruang Bedah Bougenville dengan baik
k. Pola Beribadah
Sebelum sakit :

49
Pasien menjalankan ibadah sholat lima waktu dan mengaji dirumah
Saat sakit :
Pasien rajin berdoa dengan berbaring ditempat tidur, pasien ramah dengan
perawat dan pasien yang lain

l. Pola Produktifitas
Sebelum sakit :
Pasien cukup produktif dalam melakukan aktivitas sehari-hari (misalnya
dengan rutin bersepeda bersama teman-temannya.
Saat sakit :
Produktifitas pasien menurun karena harus bedrest di rumah sakit
m. Pola Rekreasi
Sebelum sakit :
Pasien sering melakukan aktivitas bersepeda setiap hari bersama dengan
teman-temannya
Saat sakit :
Saat di rawat di rumah sakit, pasien terkadang menyempatkan waktu untuk
berjalan-jalan menggunakan kursi roda dan menggunakan spinal brace /
korset TLSO untkmenyangga punggungnya
n. Pola Kebutuhan Belajar
Sebelum sakit :
Sebelum sakit, pasien tidak mengetahui mengenai penyakit spondilitis TB
Saat sakit :
Pasien dapat menjelaskan perjalanan penyakitnya sampai saat ini
4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum :
Tingkat kesadaran : komposmetis / apatis / somnolen / sopor/koma
GCS : verbal : 4 Psikomotor : 5 Mata : 6
b. Tanda-tanda Vital : Nadi = 80x/menit, Suhu = 36,8OC, TD = 130/70
mmHg, RR =20 x/menit
c. Keadaan fisik
1) Kepala dan leher :
a. Inspeksi :
Kepala : Kepala pasien berbentuk lonjong, tidak terdapat luka pada
kulit kepala, penyebaran atau pertumbuhan rambut merata, keadaan
rambut tidak rontok, berwarna hitam dan tidak ada uban, kondisi
bersih, tidak berbau, tidak ada ketombe dan tidak ada kutu.
Leher : tampak ada benjolan kecil di leher (kelenjar getah bening), dan
tidak ada pembesaran vena jugularis
b. Palpasi :
Kepala : Tidak ada benjolan pada kepala

50
Leher : Masih terdapat benjolan kecil di kelenjar getah bening tapi
sudah tidak membesar

2) Dada :
Paru
a. Inspeksi :
Tidak ada jejas dan luka, paru-paru simetris kanan dan kiri, pergerakan dada
saat inspirasi dan ekspirasi normal dengan frekuensi 20 x/menit tidak
mengalami dyspnea, orthopnea (kesulitan bernapas ketika berbaring), atau
paraxysmal nocturnal dysnea (sesak nafas yang muncul mendadak saat pasien
tidur)
b. Palpasi :
Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada benjolan, dan tulamg rusuk
dada terangkat bersamaan ketika bernapas
c. Perkusi :
Suara perkusi paru sonor (normal)
d. Auskultasi :
Suara nafas vesikuler dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi 3 : 1, serta
tidak ada suara nafas bronkial = suara tinggi keras bergema, atau trakeal =
suara nada tinggi, sangat keras, kualitas kasar, dan bergaung. Tidak
ditemukan suara nafas tambahan (ronki= adanya mukus pada trachea atau
wheezing= eksudat lengket tertiup aliran udara atau penyempitan bronkus)
3) Jantung
a. Inspeksi :
Pada intercosta tidak ada pulsasi, ictus kordis tampak diarea ICS V pada linea
midclavicula kiri dengan lebar kira-kira 1 cm, hasil foto thorax ditemukan
tidak ada pembesaran jantung
b. Auskultasi :
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ditemukan S1 split atau S2 split dan mur-mur
(adanya kebocoran katup jantung)
c. Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada daerah dada
d. Perkusi :
Suara perkusi jantung redup (normal)
4) Payudara dan ketiak :
Inspeksi dan palpasi :
Tidak ditemukan adanya benjolan dan nyeri pada payudara dan ketiak pasien
5) Abdomen :
a. Inspeksi :

51
Keadaan kulit sawo matang merata di area abdomen, pasien cukup kurus
sehingga abdomen datar tidak buncit, tidak ada bejolan
b. Auskultasi :
Suara peristaltik normal (terdengar 5-20 kali dengan durasi sekitar 1 menit)
c. Perkusi :
Suara abdomen timpani (normal)
d. Palpasi :
Tidak ada benjolan, tidak ditemukan asites, tidak ada keluhan nyeri tekan
selama di palpasi
6) Genetalia :
a. Inspeksi :
Penyebaran rabut pubis merata dan cukup bersih, tidak ada
lecet/pembengkakan pada penis dan skrotum. Pasien terpasang kateter urine
karena ia tidak merasakan keinginan untuk BAK
b. Palpasi :
Pada inguinal / lipatan paha ditemukan tidak ada benjolan/pembengkakan
7) Integumen :
a. Inspeksi :
Pasien merasa agak gatal pada area lengan atas sampai muka karena sudah
lama tidak mandi, tidak ada kelainan pada kulit (ulkus, pustula, erythema dll),
tidak mengalami cyanosis atau ikterus, bentuk kuku lonjong dan pendek
b. Palpasi :
Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 detik, tidak ada edema pada kulit
8) Ekstremitas :
a. Atas
Tidak ada hambatan atau gangguan pergerakan pada ekstremitas atas
b. Bawah
Ekstremitas bawah mengalami kelemahan, kedua tungkai kaki lemas
sehingga tidak bisa berjalan sejak 2 bulan yang lalu
9) Neurologis :
a. Status mental dan emosi :
Tingkat kesadaran compos mentis (kesadaran normal), GCS = 456, pasien
tidak mengalami masalah mental, pasien stabil dan ia menerima dengan
pasrah kondisi sakitnya
10) Pengkajian saraf kranial :
a. Nervus Olfaktorius (sensorik penghidu)
Tidak ada masalah pada saraf pembau pasien karena pasien dapat
mengidentifikasi perbedaan aroma dari beberapa benda (minyak kayu
putih, jeruk, kopi)
b. Nervus Opticus (sensorik penglihatan)
Tidak ada masalah pada penglihatan pasien karena ia mampu membaca
huruf pada jarak 5 meter

52
c. Nervus Oculomotorius (motorik pergerakan bola mata)
Pasien dapet menggerakkan kedua bola mata dengan baik kekiri kemudian
kekanan, tidak ada tahanan atau nyeri, adanya reflek pupil ketika diberi
rangsangan sinar.

d. Nervus Trokhlearis (motorik pergerakan bola mata)


Tidak ada masalah pada gerakan bola mata pasien. Kedua bola mata
bergerak bersama sama tidak ada yang ketinggalan
e. Nervus Trigeminus (sensorik wajah dan motorik otot penguyah)
Pasien dapat berkedip seperti biasa, dapat merasakan rangsangan pada
dahi dan wajah ketika di sentuh, pasien dapat membuka dan menutup
rahangnya dengan baik.
f. Nervus Abdusens (motorik pergerakan bola mata)
Pasien dapat melirik ke samping kiri dan samping kanan tanpa ada
hambatan
g. Nervus Facialis (sensorik dan motorik wajah dan beberapa kelenjar)
Pasien dapat senyum secara simetris kanan dan kiri. Pasien dapat
mengangkat alis bersamaan kanan dan kiri dan dapat mengerutkan dahi,
serta ia mampu merasakan makanan yang manis atau asin.
h. Nervus Vestibulokokhlearis (sensorik pendengaran)
Tidak ada masalah pada pendengaran pasien, ia mampu mendengarkan
suara baik dari telinga kiri maupun telinga kanan sama.
i. Nervus Glosofaringeus (sensorik pengecap)
Pasien mampu menelan makanan dengan baik tidak ada nyeri telan, lidah
dapat digerakkan ke kanan ke kiri ke atas ke bawah seperti biasa
j. Nervus Vagus (sensorik pengecap)
Tidak ada masalah pada lidah pasien
k. Nervus Aksesorius (motorik otot penggerak leher dan kepala)
Pasien dapat menggelengkan kepala, menoleh ke kiri ke kanan seperti
biasa
l. Nervus Hipoglossus (motorik penggerak lidah)
Pasien dapat menjulurkan lidah dengan baik
11) Pemeriksaan refleks, fungsi sensorik, dan motorik :
a. Pasien tampak kifosis
b. Pasien mengalami frankel B (motorik pada kakinya hilang, namun ketika
dirangsang pada jari-jari kaki dan kedua kakinya ditemukan sensoriknya
ada)
c. Refleks bisep-trisep normal tidak ada masalah karena pasien mampu
melakukan fleksi dan ekstensi lengannya
d. Tidak ditemukan kaku kuduk karena tidak ada tahanan ketika kepala di
fleksikan dan disahakan agar dagu mencapai dada

53
e. Tidak ditemukan tanda Brudzinski I karena ketika kepala di fleksikan tidak
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul
f. Refleks fisiologis normal pada ekstremitas atas, kekuatan motorik
5555/5555 kemampuan sensorik baik
g. Terdapat refleks patologis Babinski, klonus, dan spastisitas di kedua
tungkai. Kekuatan motorik 1111/1111 didapatkan kesan hipestesia mulai
thorakal 12 kebawah
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Data laboratorium yang berhubungan
a. HB = 11,2 (normal 13,0-16,0)
b. WBC = 13,520 (normal 3,37-10)
c. Albumin = 38 (normal 37-52)
d. Na/K = 140/3,4 (normal 135-145/3,5-5,0)
e. BUN = 6 (normal 10-20)
f. HbSAg= NR (non reaktif)
g. HIV = NR (non reaktif)
2) Pemeriksaan radiologi
Foto thorax, CT Scan dan MRI Thoracolumbal
3) Hasil konsultasi
MRI Thoracolumbal didapatkan hasil spondilitis TB
4) Pemeriksaan penunjang diagnostic lain
Tidak ada pemeriksaan penunjang lain

54
5. ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS : Spondolitis Tuberkulosis Gangguan Mobilitas
1. Pasien mengatakan  Fisik
mengalami kesulitan Eksudasi
dalam menggerakkan 
kakinya Osteoporosis dan perlunakan
2. Pasien merasa lemas tulang
dan lemah 
3. Pasien tidak bisa Perubahan pada vertebra thoracal
berjalan sejak 2 bulan 12
yang lalu 
4. Pasien tidak bisa Kerusakan pada korteks, epifises,
duduk sendiri, dan diskus vertebra sekitar
sehingga harus 
dibantu Abses vertebra torakal

DO : Paraplegia
1. Ketika ujung jari 
dirangsang nyeri Kelemahan pada ekstremitas
sensorik pasien masih 
terasa, namun Gangguan Mobilitas Fisik
motorik hilang
2. pasien tampak kifosis

DS : Spondolitis Tuberkulosis Nyeri kronis


1. Pasien mengeluh 
nyeri punggung Eksudasi
P= Nyeri timbul 
ketika digerakkan Osteoporosis dan perlunakan
Q= Nyeri tumpul tulang
dirasakan ketika 
digerakkan Perubahan pada vertebra thoracal
R= Lokasi nyeri di 12
tulang belakang 
S= Skala nyeri 2 Kerusakan pada korteks, epifises,
T= Nyeri hanya dan diskus vertebra sekitar
timbul saat 
digerakkan saja, Kompresi saraf
berlangsung sejak 

55
kira-kira 4 bulan Stimulus nyeri
yang lalu 
Nyeri sejak 7 bulan yang lalu
DO : 
1. Pasien tampak Nyeri Kronis
meringis karena nyeri
tulang belakang

DS :
1. Pasien mengatakan Spondolitis Tuberkulosis Gangguan Eliminasi
tidak dapat  Urine
merasakan keinginan Eksudasi
untuk berkemih/BAK 
2. Pasien berkemih tidak Osteoporosis dan perlunakan
terkontrol tulang

DO : Perubahan pada vertebra thoracal
1. Pasien terpasang 12
kateter urine 
2. Balance cairan = Kerusakan pada korteks, epifises,
input-output = 2000 dan diskus vertebra sekitar
ml – 2000 ml =0 
Abses vertebra torakal

Kompresi saraf

Inkontinensia urine

Ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan
eliminasi urine

Gangguan Eliminasi Urine

DS :
1. Pasien mengatakan Spondolitis Tuberkulosis Defisit Perawatan Diri
tidak mandi sejak 
masuk RS (5 Agustus Eksudasi
2019) 

56
2. Psien tidak bisa Osteoporosis dan perlunakan
melakukan perawatan tulang
diri secara mandiri 
sehingga dibantu oleh Perubahan pada vertebra thoracal
ibunya 12
DO : 
1. Pasien bedrest dan Kerusakan pada korteks, epifises,
kelemahan dan diskus vertebra sekitar

Abses vertebra torakal

Paraplegia

Kelemahan pada ekstremitas

Bedrest (tirah baring lama)

Defisit Perawatan Diri

57
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN /MASALAH KOLABORATIF BERDASARKAN PRIORITAS

TANGGAL / JAM TANGGAL


NO DIAGNOSA KEPERAWATAN Ttd
DITEMUKAN TERATASI
17 Agustus 2019 Gangguan mobilitas fisik (belum teratasi)
(belum teratasi)
17 Agustus 2019 Nyeri Kronis (belum teratasi)
(belum teratasi)
17 Agustus 2019 Gangguan Eliminasi Urine

17 Agustus 2019 Defisit Perawatan Diri

58
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Rencana Perawatan Ttd
Hari/
No Dx
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
17 Agustus 2019 – 23 1 Diharapkan gangguan mobilitas fisik pasien menurun, Dukungan Mobilisasi
Agustus 2019 Gangguan dengan kriteria hasil : 5. Identifikasi adanya
Mobilitas 4. Pergerakan ekstremitas meningkat nyeri atau keluhan
Fisik 5. rentang gerak meningkat fisik lainnya
6. Kelemahan fisik menurun 6. identifikasi toleransi
fisik melakukan
pergerakan
7. Monitor tanda-tanda
vital ketika akan
mulai mobilisasi
8. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan
alat bantu

17 Agustus 2019 – 23 2 Diharapkan nyeri pasien dapat berkurang, dengan Managemen Nyeri
Agustus 2019 Nyeri kriteria hasil : 7. Identifikasi lokasi,
3. Keluhan nyeri menurun karakteristik, durasi,

59
4. Ekspresi meringis kesakitan pasien menurun frekuensi, kualitas,
dan intensitas nyeri
8. Indentifikasi skala
nyeri
9. Identifikasi respon
nyeri non verbal
10. Identifikasi faktor
yang memperberat
nyeri
11. Ajarkan teknik
relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi
nyeri
12. Kolaborasi dengan
analgesic apablila
perlu
17 Agustus 2019 – 23 3 Diharapkan gangguan eliminasi urine pasien menurun, Managemen Eliminasi Urine
Agustus 2019 Gangguan dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi tanda
Eliminasi 4. Sensasi berkemih meningkat dan gejala
Urine 5. Frekuensi berkemih membaik inkontinensia urine
6. karakteristik urin membaik (warna urine tidak 4. Monitor eliminasi
keruh) urine (warna,
volume)

60
Managemen Inkontinensia
Urine
2. Identifikasi
penyebab
inkontinensia urine
(karena cidera tulang
belakang)
17 Agustus 2019 – 23 4 Diharapkan defisit perawatan diri pasien menurun,
Agustus 2019 Defisit dengan kriteria hasil : Dukungan Perawatan Diri :
Perawatan 3. Pasien dapat mempertahankan kebersihan diri BAK
DIri 4. kemampuan untuk membersihkan diri meningkat 4. Identifikasi
kebiasaan BAK
pasien
5. Jaga privasi selama
eliminasi
6. Sediakan alat bantu
berkemih (kateter
urin)
Dukungan Perawatan Diri
4. Identifikasi kebiasaan
aktivitas perawatan diri
5. Sediakan suasana yang
terapeutik (suasana
rileks, nyaman, privasi)

61
6. Jadwalkan rutinitas
perawatan diri
Dukungan perawatan diri :
Mandi
2. Monitor kebersihan tubuh
(rambut, mulut, kulit,
kuku)

62
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/ Tgl/Jam No Dx Tindakan Keperawatan TTD


Sabtu 17 / 8 / 1
19 Gangguan Mengidentifikasi keluhan pasien (pasien merasakan kelemahan pada kedua kakinya)
14.00 Mobilitas Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien (tekanan darah = 130/70 mmHg,
15.30 Fisik nadi = 80 x/menit, suhu = 36OC, RR = 20 x/menit, SpO2 = 98%) sebelum
melakukan mobilisasi
16.00 Memberikan health education kepada pasien dan ibunya mengenai pentingnya
latihan pergerakan (ROM) dan mengajari latihan bergerak pasien pada bagian
ekstremitas atas dan bawah
Evaluasi = pasien dan ibu sudah memahami mengenai pentingnya latihan gerak,
sehingga pasien memahami dan menirukan gerakan ROM yang diajarkan dan
mempraktikkannya secara rutin
Senin 19 / 8 /
19 Memonitor tanda-tanda vital pasien pasien (tekanan darah = 130/80 mmHg, nadi =
16.00 105 x/menit, suhu = 36,5OC, RR = 20 x/menit, SpO2 = 98%)
Menyediakan lingkungan yang terapeutik untuk pasien (hangat, rileks, privasi)
16.25
Selasa 20/ 9/ 19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior
Rabu 21/ 9 / 19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster
Jumat 23/ 9/ 19 Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan
07.30

63
Mengidentifikasi kondisi pasien post op (pasien lemas dan lebih banyak tidur,
08.00 pasien mengatakan bahwa kedua kakinya kebas sehingga tidak bisa merasakan
pergerakan kaki
Memonitoring tanda-tanda vital pasien (tekanan darah = 120/80 mmHg, nadi = 105
10.00 x/menit, suhu = 37OC, RR = 18 x/menit, SpO2 = 98%) kemudian pasien diberikan
rangsangan nyeri pada jari-jari kaki namun hasilnya ia tidak merasakan sama sekali
Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pergerakan sesuai kemampuan
terutama bagian ekstremitas sedikit demi-sedikit
Evaluasi = pasien mampu menirukan latihan pergerakan, namun ia hanya mampu
mempraktikkan pada ekstremitas atas saja, karena ekstremitas bawah mengalami
kelemahan

Sabtu 17 / 8 / 2
19 Nyeri Mengidentifikasi keluhan nyeri pasien
15.00 Kronis P = Nyeri timbul ketika pasien miring atau bergerak
Q= Nyeri tumpul
R= Lokasi nyeri di tulang belakang
S= Skala nyeri 2
T = Hilang timbul ketika digerakkan
Menyediakan lingkungan terapeutik (hangat, rileks, privasi) dan memposisikan
15.45 pasien senyaman mungkin
Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam apabila timbul nyeri
16.30

64
Evaluasi = pasien dapat memahami dan mampu menirukan teknik relaksasi nafas
dalam yang diajarkan
Senin 19 / 8/ 19
15.00 Mengidentifikasi keluhan nyeri pasien dan memonitoring
P = Nyeri masih timbul ketika pasien miring atau bergerak
Q= Nyeri tumpul
R= Lokasi nyeri di tulang belakang
S= Skala nyeri 2
T = Hilang timbul ketika digerakkan
15.30 Menganjurkan relaksasi nafas dalam apabila timbul nyeri
Evaluasi = pasien dapat memahami dan mampu menirukan teknik relaksasi nafas
dalam yang diajarkan
16.35 Menyediakan lingkungan yang nyaman bagi pasien dengan menutup tirai agar dapat
beristirahat dengan tenang
17. 00 Menganjurkan pasien untuk memakai spinal brace/korset TLSO untuk mengurangi
nyeri dan menyangga punggungnya apabila pasien ingin duduk atau berjalan-jalan
dengan kursi roda
Selasa 20/8/19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior
Rabu 21/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster
Jumat 23/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan
08.30 Mengidentifikasi kondisi pasien setelah operasi = pasien mengeluh nyeri makin
memberat dari sebelumnya
P = Nyeri timbul ketika bergerak
Q = Nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk

65
R = Nyeri terasa di bagian tulang belakang
S = Skala nyeri 3
T = Nyeri terasa ketika ia bergerak
08.45 Memposisikan pasien senyaman mungkin (semifowler)
08.47 Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri dan
menyediakan lingkungan terapeutik (menjaga privasi dengan menutup tirai untuk
pasien tirah baring)
Evaluasi = pasien dapat memahami dan mampu menirukan teknik relaksasi nafas
09.00 dalam yang diajarkan
Memberikan obat injeksi IV metamizol 1000 mg per 8 jam untuk mengurangi nyeri
Sabtu 17/8/19 3
14.30 Gangguan Mengidentifikasi keluhan eliminasi urine (pasien mengeluh tidak bisa merasakan
Eliminasi keinginan untuk BAK sehingga BAK tidak terkontrol), pasien terpasang kateter
Urine urine

Senin 19/8/19
14. 00 Mengidentifikasi dan mengobservasi haluaran urine pasien (urine berwarna bening,
output hari ini 1500 ml, pasien minum rata-rata dapat menghabiskan 2000 ml air
mineral)
Selasa 20/8/19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior
Rabu 21/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster
Jumat 23/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan
09.30 Memonitoring kebiasaan BAK pasien (pasien masih belum bisa merasakan
keinginan berkemih, pasien terpasang kateter urin, urine output pagi ini 800 ml)

66
Sabtu 17/8/19 4
16.15 Defisit Mengidentifikasi kebiasaan perawatan diri pasien (ibu kandung rutin menyeka
Perawatan pasien setiap pagi dan sore hari) dan membantu perawatan diri pasien)
Diri (ibu kandung pasien rutin menyeka dengan menggunakan handuk dan air keran
17.00 setiap pagi dan sore hari)
Memonitor kebersihan tubuh (kuku cukup panjang dan bersih, rambut kering dan
17.15 tidak berketombe, mulut bersih, kulit kering, kateter urine bersih)
Memberikan health education mengenai perawatan diri ke pasien dan ibu yaitu
menyeka dengan handuk yang lembut dan bersih yang sudah dibasahi secara sekali
usap untuk menghindari bakteri atau kuman kembali ke kulit, kemudian
menganjurkan untuk sering mengganti pakaian ketika berkeringat dan kotor)
Senin 19/8/19
15.45 Memonitoring kebersihan tubuh dan lingkungan sekitar pasien (pasien sudah ganti
baju dan sudah diseka, lingkungan dan barang-barang disekitar pasien cukup bersih
dan rapi)
Selasa 20/8/19 Pasien diantar ke GBPT untuk operasi debridement + stabilisasi posterior
Rabu 21/8/19 Pasien di pindahkan ke ruang HCU di Bedah Aster
Jum’at 23/9/19 Pasien di pindahkan ke ruang Bedah Bougenville untuk perawatan pemulihan
08.30 Mengidentifikasi kondisi pasien setelah operasi (pasien lemas sehingga harus total
care, kateter urine sudah diganti, badan sudah diseka, baju baru diganti, selimut,
sprei, dan sarung bantal sudah diganti dengan yang bersih)

67
Evaluasi Keperawatan
Hari/Tgl
No No Dx Evaluasi TTd
jam
1 Sabtu, 17 Agustus ‘19 1 S = Paisen mengeluh kelemahan pada kedua kaki, tidak bisa duduk sendiri
Gangguan sehingga harus dibantu ketika ingin duduk
Mobilitas O = Motorik pada ekstremitas bawah tidak terasa / hilang sehingga tidak bisa
Fisik berjalan
 A = Masalah belum teratasi
 P = Lanjutkan intervensi

Senin, 19 Agustus ‘19 S = Pasien masih merasa kelemahan pada kedua kaki
O = Motorik ekstremitas bawah masih lemah, jika ingin jalan-jalan pasien
menggunakan kursi roda
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi dan pasien rencana operasi debridement +
stabilisasi posterior

Jum’at, 23 Agustus ‘19 S = Pasien merasa lebih lemas dan lemah karena masih dalam pemulihan
setelah operasi sehingga ia hanya tirah baring saja, kedua kaki kebas tidak
dapat merasakan pergerakan sama sekali
O = Pasien tampak tak berdaya, kaki pasien tidak bergerak sama sekali
ketika digerakkan
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

68
o
O
2 Sabtu, 17 Agustus ‘19 2 S = Pasien mengeluh nyeri pada tulang belakang skala 2
Nyeri O = Ekspresi pasien meringis ketika menggerakkan badan
Kronis A = Masalah belum teratasi
Senin, 19 Agustus ‘19 P = Lanjutkan intervensi

S = Pasien masih mengeluh nyeri ketika menggerakkan punggung, skala


nyeri 2
O = Pasien bedrest, merasa agak sakit apabila akan duduk
Jum’at, 23 Agustus ‘19 A = Masalah beum teratasi
P = Lanjutkan intervensi pasien rencana operasi debridement + stabilisasi
posterior

S = Pasien mengeluh nyeri agak memberat dari sebelumnya karena masih


dalam masa pemulihan selesai operasi pada tulang belakang. Skala nyeri 3
O = Ekspresi pasien agak kesakitan ketika bergerak
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

3 Sabtu, 17 Agustus ‘19 3 S = Pasien mengeluh tidak bisa merasakan keingian untuk BAK
Gangguan O = Pasien berkemih tidak terkontrol sehingga harus dipasang kateter
Eliminasi urine
Urine A = Masalah belum teratasi

69
Senin, 19 Agustus ‘19 P = Lanjutkan intervensi

S = Pasien mengeluh masih tidak bisa merasakan keingian untuk BAK


O = Pasien berkemih tidak terkontrol sehingga harus dipasang kateter
urine
Jum’at, 23 Agustus ‘19 A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi dan pasien rencana operasi debridement +
stabilisasi posterior

S = Pasien mengeluh masih tidak bisa merasakan keingian untuk BAK


O = Pasien berkemih tidak terkontrol sehingga harus dipasang kateter
urine
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

4. Sabtu, 17 Agustus ‘19 4 S = Pasien mengeluh tidak dapat melakukan perawatan diri (menyeka,
Defisit mengganti baju) dengan mandiri
Perawatan O = Pasien tampak lemah, pasien diseka pagi dan sore hari, kondisi badan
Diri cukup bersih, kateter bersih
A = Masalah belum teratasi
P = Hentikan intervensi

Senin, 19 Agustus ‘19 S = Pasien mengatakan belum bisa melakukan perawatan diri (menyeka,
mengganti baju) dengan mandiri

70
O = Pasien tampak lemah, pasien diseka pagi dan sore hari, kondisi badan
cukup bersih, kateter bersih
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi dan pasien rencana operasi debridement +
stabilisasi posterior

Jum’at, 23 Agustus ‘19 S = Pasien merasa sangat lemah sehingga belum bisa melakukan
perawatan secara mandiri
O = Kateter pasien ukup bersih, pasien diseka pagi dan sore hari, kondisi
badan bersih
A = Masalah belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi

71
72

S-ar putea să vă placă și