Sunteți pe pagina 1din 13

PENGENDALIAN PARASIT DENGAN GENETIC HOST RESISTANCE

SUTIJONO PARTOUTOMO

Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

ABSTRAK

Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan lingkungan yang baik bagi perkembangan parasit, sehingga gangguan parasit
pada ternak merupakan kendala biologis yang sulit diatasi, terutama pada peternakan tradisional. Teknik pengendalian parasit
konvensional belum berhasil diterapkan pada peternakan tradisional, alasan utamanya ialah teknologi konvensional memerlukan
dukungan modal, yang bagi peternak keeil tidak tersedia. Di beberapa negara dewasa ini, teknologi pengendalian parasit
konvensional untuk beberapa jenis parasit dirasakan sudah tidak ekonomis lagi, alasannya antara lain ialah karena turunnya nilai
ekonomis beberapa produk peternakan, timbulnya masalah anthelmintic resistance, dan terjadinya polusi lingkungan akibat
pemakaian bahan-bahan kimia dar obat-obatan . Oleh karena itu mereka beralih ke pendekatan genetic host resistance. Di
Indonesia pendekatan pengendalian parasit yang berbasis pada genetic host resistance mungkin dapat digunakan sebagai salah
satu teknik alternatif pengendalian parasit secara selektif. Teknik ini lebih murah, ramah lingkungan dar sesuai dengan konsep
pertanian yang berkesinambungan. Dalam tulisan ini dibahas tentang genetic host resistance dar pemanfaatannya.
Kata kunci: Genetic host resistance, parasit, pengendalian

ABSTRACT

PARASITE CONTROL BY UTILIZING GENETIC HOST )RESISTANCE

As a tropical country, Indonesia is a favorable environment for the development of various species of parasites,
consequently parasites become one of biological constraints that is difficult to overcome, particularly in traditional livestock
farming's. The conventional parasite control technique has not been successfully implemented in traditional fanning as it
requires capital support, which is unaffordable by small-scale farmers. Nowadays, the conventional control technologies for
some parasites are considered to be uneconomical by several countries. Other reasons are the decrease of the economic value of
certain livestock products, the appearance of anthelmintic resistance problems, and the occurrence of environmental pollution
due to the utilization of chemicals and drugs. They then shift to genetic host resistance approach . In Indonesia, the approach on
parasite control based on genetic host resistance may be used as an alternative technique which is based on the genetic host
resistance is applicable at least as one of alternative technologies in controlling parasites selectively. This technology is cheaper,
environmentally acceptable, and in line with the sustainable agriculture concept. The mechanisms of the genetic host resistance
and its application in the field are briefly discussed in this paper.
Key words: Genetic host resistance, parasite, control

PENDAHULUAN yang menyebabkan kerugian lebih besar atau penyakit


penyebab wabah.
Pengendalian parasit di lapangan masih belum Di sisi lair pengembangan teknologi pengendalian
lazim dilakukan oleh peternak di Indonesia, hal ini penyakit umumnya teknologi adaptif dari luar yang
disebabkan antara lain : (1) Iklim Indonesia yang tropis berorientasi pada teknologi modern, atau teknologi
sangat cocok untuk perkembangan berbagai spesies yang dikembangkan di dalam sistem peternakan yang
parasit; (2) Sistem peternakan yang masih tradisional berskala besar baik yang bersifat intensif, semiintensif
yang berupa peternakan berskala kecil dengan ataupun ekstensif dengan pola manajemen yang
teknologi yang tradisional pula, tidak ada input modal berorientasi pada keuntungan . Sebagai contoh
yang memadai untuk pengendalian parasit; (3) Populasi pengendalian nematodiasis dengan kombinasi antara
ternak yang relatif kecil menyebar mengikuti manajemen penggembalaan dan pemberian obat cacing
penyebaran petani di daerah yang sangat luas, sehingga yang dianggap berhasil di negeri asalnya, di Indonesia
pengendalian parasit secara masal bila dilakukan sangat teknik tersebut tidak sepenuhnya digunakan oleh
tidak ekonomis ; serta (4) Kemampuan dana individu peternak secara umum . Alasannya ialah karena sistem
peternak yang lemah, sehingga tidak mampu berternak domba/kambing kita dengan cara
membiayai pelaksanaan pengendalian parasit, menggunakan kandang panggung dan diberimakan di
sedangkan dana pemerintah yang sangat terbatas kandang telah dapat mengatasi masalah nematodiasis
terpaksa diprioritaskan untuk pengendalian penyakit secara ekonomis .

160
WARTAZOA .
Vol 14 No . 4 Th. 2004

Pengendalian parasit di negara maju terus umum pengertian dasar dan pemanfaatan genetic host
berkembang mengikuti perkembangan zaman, sebagai resistance dan kemungkinan pemanfaatannya di
contoh pengendalian nematodiasis di Australia. Sampai Indonesia.
dengan tahun 1950an pengendalian penyakit parasit
gastrointestinal berjalan dengan sangat efektif dengan
ARTI EKONOMI INFEKSI PARASIT
menggunakan teknik yang berbasis pada pemberian
obat cacing secara strategis dan taktis dikombinasi
dengan dasar-dasar epidemiologi yang sesuai termasuk Di negara tropis seperti Indonesia parasit masih
merupakan kendala biologis penting, dengan kerugian
penggembalaan bergilir (DASH, 1986). Sejak tahun
yang ditimbulkan antara lain berupa gangguan
1950-an itu perdagangan wool dunia mulai menurun
reproduksi, terjadinya kematian, biaya pengendalian
karena timbulnya persaingan wool sintetis, dan sampai
yang harus dikeluarkan, penurunan bobot badan,
puncaknya pada tahun 1970-an dimana pada waktu itu
pertumbuhan terlambat dan kerusakan organ/kulit .
harga wool dunia jatuh . Bencana ekonomi tersebut
Kerugian akibat adanya infeksi parasit pada ternak di
telah menyadarkan para produsen wool untuk
Indonesia baru sedikit yang telah dinyatakan secara
mengefisiensikan produksinya, tindakan tersebut
kuantitatif, sedangkan sebagian besar hanya dinyatakan
dilakukan antara lain dengan mengurangi biaya
produksi . Keadaan tersebut ditambah dengan timbulnya dalam bentuk gejala klinis (kurus, kerdil, pincang, dst .).
Beberapa kerugian akibat infeksi penyakit parasit
isu resistensi obat cacing dan polusi lingkungan sebagai
antara lain:
akibat pemakaian bahan kimia dan obat-obatan di
bidang peternakan telah mendorong/memotivasi para
ahli untuk mencari cara pengendalian penyakit secara Fasciolosis
non-chemotherapeutic. Akhirnya seleksi ternak secara
genetic host resistance terhadap beberapa jenis parasit Hasil pengamatan di 31 lokasi di Indonesia
dianggap lebih murah dan ramah lingkungan, dan disimpulkan bahwa kerugian akibat infeksi fasciolosis
sejalan dengan trend baru tentang pertanian yang pada sapi dan kerbau dalam bentuk kekurusan dan
sustainable. Dewasa ini genetic host resistance daging yang diakkir ditaksir mencapai
terhadap parasit telah masuk sebagai salah satu faktor 4.000.000-7.000.000 kg daging/tahun atau kalau di
di dalam program' seleksi domba pejantan untuk taksir pada waktu sekarang mencapai 4.000.000-
penangkaran di Selandia Baru dan Australia (SWAN et 7.000.000 x Rp.40.000/kg = Rp. 160 .000.000.000- Rp.
al., 1992). 280.000.000.000/tahu n (EDNEY dan MUCHLIS, 1962) .
Teknologi pengendalian parasit di negara lain Bahkan menurut laporan Ditjennak kerugian akibat
berkembang terus, di peternakan kita tetap statis . Jadi fasciolosis tersebut mencapai Rp. 513,6 milyar/tahun
teknologi bagaimana yang sebenarnya cocok untuk (ANONIMOUS, 1990) . Hasil survai di 5 RPH di Pulau
pengendalian parasit di dalam sistem peternakan kita Jawa, dari sebanyak 50 ekor sapi dan 50 ekor kerbau
seperti sekarang, yang pasti belum ada jawabannya . yang dipotong di masing-masing RPH menunjukkan
Walaupun kita sama-sama tahu bahwa usaha ke arah bahwa infeksi rata-rata fasciolosis adalah sebesar
itu telah banyak dilakukan antara lain dengan mencari 66,4% dengan bagian hati yang diafkir adalah rata-rata
obat cacing alternatif yang murah, membuat vaksin, sebesar 2,3 kg/ekor (dari hewan yang positif fasciolosis)
mengembangkan teknik pengendalian parasit secara (KUSUMAMIHARDJA dan PARTOUTOMO, 1971, tidak
biologis dst ., tetapi hasilnya belum memadai .. dipublikasi). Hasil penelitian terakhir menunjukkan
Teknologi pengendalian parasit di lapangan yang bahwa dari 87 ekor sapi yang dipotong di RPH Jakarta
efektif serta data pendukungnya perlu terus dikaji dan menunjukkan 64,4% positif cacing di dalam hati dan
dilengkapi, terutama data tentang pengaruh ekonomi 50,6% positif telur di dalam fesesnya (ESTUNINGSIH et
kehadiran parasit terhadap ternak, teknologi yang al., 2002) . Pernyataan sebagian pakar peternakan yang
paling ekonomis, dan kemungkinan kita dapat menyatakan bahwa fasciolosis pada domba/kambing
memanfaatkan genetic host resistance untuk tidak penting perlu dipertimbangkan kembali . Sebagai
mengurangi dampak negatif dari keberadaan parasit contoh terjadinya wabah fasciolosis pada suatu proyek
tertentu. Pemanfaatan genetic host resistance di dalam purnawirawan AURI, di Gunung Sanggabuana, Garut .
pengendalian parasit telah lama dikenal di dunia, Pada waktu itu diternakkan 500 ekor domba Garut
seperti pemilihan bangsa hewan yang dengan sistem ranch (dilepas) di bekas perkebunan teh
trypanotolerance, bangsa hewan yang toleran terhadap pada zaman Belanda . Pada awalnya domba tumbuh
haemonchosis, revolusi penggantian bangsa sapi Bos dengan baik, dan sangat sehat. Kira-kira 6 bulan
taurus dengan persilangan antara Bos indicus dan Bos kemudian terjadi wabah penyakit, hampir semua hewan
taurus di Australia bagian tropis dalam rangka nampak pucat (kelopak mata kuning), kurus, sebagian
pengendalian caplak dan tickfever diseases pada tahun ada yang bottle jaw, ada pula yang hydrops, banyak
1970-an . Dalam tulisan ini dicoba dibahas secara domba tergeletak lemah dan sebagian besar telah mati .
SUTIJONO PARTOUTOMO: Pengendalian Parasit dengan Genetic Host Resistance

Hasil otopsi menunjukkan hewan anemia, hidrops tanpa ada gejala klinis yang nyata . Sebagai contoh,
asites, daging hidremis, hati penuh dengan cacing sewaktu Balitvet mengadakan uji obat Concurat
Fasciola gigantica (PARTOUTOMO, 1970, tidak (Bayer) pada suatu peternakan babi di Depok
dipublikasi) . Dari kejadian wabah tersebut dapat mendapatkan hasil yang Cukup mengejutkan . ' Pada
disimpulkan bahwa wabah fasciolosis terjadi karena awalnya babi nampak sehat dan tidak terlalu kurus,
domba dipelihara di dalam sistem r4Jxch tanpa diikuti kemudian sore diberi obat, hasilnya besok pagi di lantai
usaha pengendalian penyakit terutama fasciolosis. Jadi kandang ditemukan banyak cacing mati berserakan
fasciolosis merupakan salah satu ancaman penting yang sangat menjijikkan . Sehingga pada waktu itu
manakala domba dipelihara dalam sistem ranch . diasumsikan bahwa peternakan tersebut bukan beternak
babi tetapi berternak cacing (PARTOUTOMO, 1976, tidak
dipublikasi). Dalam hal ini diyakini adanya kerugian
Surra tersembunyi didalam peternakan babi tradisional yang
belum pernah diteliti .
Pada kuda dan anjing, infeksi Trypanosoma
evansi dipastikan bersifat fatal, jika tidak mendapat
pengobatan . Pada sapi dan kerbau, surra dilaporkan Caplak
menimbulkan penyakit "mubeng" (belum pernah
dijumpai di Balitvet), menyebabkan kematian individu Di sebuah ranch di Subang (bekas perkrbunan
misalnya beberapa kasus kematian pada sapi perah di karet), diternakkan berbagai bangsa sapi seperti
Sukabulni (PARTOUTOMO, 1983, tidak dipublikasi), Sahiwal, Belmont Red, Brahman, Ongole, d11 . Cukup
atau wabah (pernyataan ini perlu dicatat karena menarik adalah infeksi caplak yang luar biasa
pengertian wabah disini tidak sesuai dinamika penyakit banyaknya, walaupun menurut pengelolanya sudah
di lapangan) . Gejala klinis kekurusan mungkin dapat diberi askarisida dengan cara direndam dan disemprot
terjadi pada sapi/kerbau yang diinfeksi dengan T. secara teratur, disamping usaha lain dengan
evansi dan di daerah Tuban apabila terdapat anak pengambilan caplak secara manual dan dilepaskan
kerbau yang kerdil dan kulitnya penuh skabies maka ayam agar makan caplak . Akhirnya ranch tersebut
darahnya pasti positif T. evansi, diduga kejadian infeksi tutup kabarnya karena masalah penyakit termasuk
ganda antara T. evansi dan skabies karena terjadinya masalah caplak yang tidak teratasi (PARTOUTOMO,
fenomena imunosupresi oleh infeksi T. evansi atau 1982, tidak dipublikasi) . Jadi caplak pada sapi yang
skabies (PARTOUTOMO, 1995) . dipelihara di dalam ranch tetap merupakan ancaman
terutama,bagi exotic breed.
Nematodiasis
Neoaskariasis
Nematodiasis merupakan kendala utama ternak
domba dan kambing. Penurunan bobot badan akibat Pada peternakan tradisional di daerah endemik
serangan nematodiasis di Jawa Barat mencapai 38% diduga neoaskariasis (Neoascaris vitulorum) sangat
dengan tingkat mortalitas 17% (BERIAJAYA dan menghambat pertumbuhan ternak sapi/kerbau pada
STEVENSON, 1986) . Kematian domba yang dipelihara awal pertumbuhan, sehingga pada masa dewasa tidak
secara ekstensif di bawah kebun karet di Jawa Barat akan mencapai bobot badan seperti yang diharapkan.
mencapai 28% karena nematodiasis dan lebih dari 50% Infeksi terjadi pada ternak sapi dan kerbau pada umur 0
domba tua dan muda menderita anemia (ADIWINATA s/d 6 bulan, dua kasus ditemukan pada anak sapi di
dan SUICARSIH, 1992). Sedangkan domba yang lapangan yakni satu kasus di Banjarmasin dan satu
dipelihara secara ekstensif di daerah yang padat ternak kasus di Surade, Sukabulni, pada waktu itu di lapangan
di Jawa Barat menunjukkan derajat infeksi mencapai terlihat anak sapi sedang buang kotoran mencret,
100%, ternak muda (<9 bulan) lebih peka dengan bersama itu keluar cacing N. vitulorum . Kedua anak
derajat infeksinya lebih parah dibanding dengan domba sapi terlihat sangat kurus, pantatnya kotor dan nampak
dewasa, lebih dari 50% dari populasi di daerah ini bulunya kusam (PARTOUTOMO, 1988, tidak
menderita nematodiasis derajat sedang sampai parah dipublikasi), jadi diyakini penyakit ini punya pengaruh
(SUHARDONO et al., 2002) . ekonomis di daerah endemik.

Askariasis pada babi Skabies

Di daerah-daerah dimana babi diternakkan secara Penyakit skabies selam menyerang hewan juga
tradisional belum pernah dilakukan evaluasi sejauh menyerang manusia (zoonosis) . Selain dari itu penyakit
mana askariasis menghambat pertumbuhan, karena ini sebenarnya erat sekali kaitannya dengan lahan kritis
penyakit cacing ini sangat mengganggu pertumbuhan dan kemiskinan, dan berkaitan dengan status gizi pada

162
WARTAZOA Vot. 14 No. 4 Th. 2004

hewan dan manusia. Penyakit ini banyak ditemukan resistance tinggi berarti kurang susceptible . Tolerance
pada ternak kambing di sepanjang pantai Selatan Jawa adalah kemampuan ternak yang dapat tumbuh/
Tengah dan Jawa Timur yang sampai saat ini belum berkembang dengan baik walaupun ada infeksi parasit ;
dapat diatasi . Resilience adalah sama dengan tolerance, tetapi
resilience banyak dipakai untuk domba yang mendapat
infeksi cacing berat tetapi kondisinya baik. Atau dapat
Penyakit lain yang isunya pernah menonjol
dikatakan bahwa ternak merespon dampak buruk yang
ditimbulkan oleh adanya infeksi parasit melalui
Kaskado resistance/susceptible atau tolerance/resilience . Jadi
resistance/susceptible ialah respon ternak sebagai
Pada tahun 1972 ada laporan dari Sumatera Barat usaha untuk meminimalisasi perkembangan parasit di
bahwa telah berjangkit penyakit baru di Mahat, dalam tubuh, sedangkan tolerance/resilience ialah
kabupaten Lima Puluh Kota ialah penyakit luka pada kemampuan ternak untuk meminimalisasi pengaruh
kaki/kuku akibat introduksi bibit padi varietas unggul buruk dari parasit terhadap produksi ternak. Domba
PB5 dan PB8 . Hasil pengamatan Balai Penelitian dengan resilience tertinggi menunjukkan depresi
Veteriner menunjukkan bahwa penyebab penyakit produksi terendah. Resilence secara kuantitatif dapat
kaskado adalah Cacing Stephanofilaria spp . dengan diukur misalnya dengan pertambahan bobot badan,
ciri-ciri : Cacing jantan panjang 2-3,1 mm, lebar 79,2- pertambahan produksi wool, akan tetapi hal ini
99 pm, ekor lengkung ke arah ventral dimana terdapat bukanlah hal yang mudah. Karena untuk mengukur
anus, panjang spikulum besar 45,5-57,8 pm dan bobot badan akibat infeksi parasit saja misalnya
spikulum kecil 213-238,6 gm. Cacing betina panjang diperlukan angka bobot badan kalau diinfeksi dan
6,5-9 mm, lebar 145,2-169 pm, jarak anus-ujung ekor kalau tidak diinfeksi atau harus tahu level produksi
20,8-22,7 gm, jarak vulva ujung anterior 72,6-99 ~tm, yang diinfeksi dan yang tidak (WOOLASTON dan EADY,
vagina berbentuk tabung dan berdinding tebal. Dari 1995) . Resilience berkorelasi secara genetik dengan
ciri-ciri tersebut disimpulkan bahwa Stephanofilaria resistance dari tingkat sedang hingga tinggi (0,59 ±
spp . dari daerah Mahat ini secara morfologi lebih dekat 0,36) tetapi heretability-nya rendah (0,08 ± 0,07)
dengan S. kaeli yang terdapat di Mataysia dibanding S. (WAKELIN, 1992) .
dedoesi yang telah dilaporkan 'terdapat di daerah
Resisten dapat didefinisikan dengan cara lain
Minahasa (PARTOUTOMO, 1977, tidak dipublikasi) . sebagai berikut:
1. Terpak dikatakan resisten terhadap suatu penyakit
Trichomoniasis apabila ternak tersebut mendapat infeksi tidak
mengakibatkan sakit karena agen penyakit tidak
Pada 1977 IIirektorat Jenderal Peternakan dapat bertahan hidup di dalam kondisi lingkungan
menduga bahwa trichomoniasis adalah penyebah induk semang yang tidak sesuai (RUMYANTSEV,
rendahnya tingkat reproduksi ternak sapi di Indonesia 1998) atau agen dapat bertahan hidup tetapi tidak
terutama sapi perah. Hasil evaluasi lapang oleh Balai berakibat terjadinya gangguan produksi . Resisten
Penelitian Veteriner menunjukkan bahwa dari semua bentuk ini dikenal juga dengan nama resisten alami
pejantan sapi perah yang diperiksa di Jawa hanya satu atau resisten non-specific.
di Pasuruan positif Trichomonas foetus, yaitu
perneriksaan pada 28 April 1977. Kesimpulannya ialah 2. Ternak sebenarnya peka terhadap penyakit, tetapi
tidak benar bahwa trichomoniasis sebagai penyebab setelah ternak mendapat infeksi, kemudian terjadi
rendahnya reproduksi pada sapi, karena dari hasil mekanisme reaksi bawaan (innate) dari resisten
pemeriksaan pejantan di Jawa dan Sumatera, hanya (misalnya mekanisme inflamasi akut) sehingga
terdapat satu pejantan FH (Grati) positif trichomoniasis akhirnya agen penyakit tidak dapat bertahan hidup .
yakni di Pasuruan (PARTOUTOMO et al., 1977) . Maka dalam hal ini terjadilah apa yang disebut
resisten bawaan (STEAR dan WAKELIN, 1998) .
RESISTEN 3. Ternak sebenarnya peka, tetapi setelah mendapat
infeksi kemudian terjadi proses hubungan antara
Sejumlah istilah telah digunakan di bidang hospes-parasit sehingga terbentuk respon kebal
penyakit untuk melukiskan interaksi antara agen yang adaptive atau disebut juga respon kebal
penyakit dengan ternak, antara lain resistance perolehan (acquired) . Resisten bentuk 2 dan 3 ini
(resisten), susceptible (peka), resilience (tahan) dan adalah bersifat antigen specific dan melibatkan
tolerance (toleran) . Resistance adalah kemampuan sebagian atau semua unsur-unsur mekanisme
ternak untuk mengurangi jumlah parasit yang bertahan kekebalan seperti antibody, T-Lymphocytes dan
hidup, tumbuh dan berkembangbiak ; Susceptible immune mediated imflammatory responses
adalah kebalikan dari resistance, ternak dengan (SALMULLER, 1998).

163
SUTIJONO PARTOUTOMO : Pengendalian Parasit dengan Genetic Host Resistance

VARIASI RESISTENSI GENETIK INANG burden) dan/atau kehilangan produksi (production


loss) . Contoh beberapa indikator resisten yang
Di dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat sederhana yang telah diuji secara praktek dan di dalam
bahwa masing-masing spesies hewan atau tanaman penangkaran percobaan adalah infeksi cacing atau host
mempunyai daya resistensi yang berbeda terhadap worm burden (IC), faecal egg count (FEC), circulating
infeksi penyakit yang sama, bahk-,m satu individu di eosinophils, level Antibodi, PCV, dst.
dalam satu spesies mungkin resisten terhadap suatu
penyakit yang mungkin bagi individu lain dalam
Host worm burden
spesies yang sama penyakit tersebut bersifat
mematikan (STEAR dan WAKELIN, 1998) . Apabila
Host worm burden merupakan indikator yang baik
sejumlah ternak dilepas di suatu daerah yang terinfeksi
untuk mengukur resistensi hospes secara genetik, akan
parasit, maka akan terjadi variasi respons masing-
tetapi banyak infeksi beberapa jenis parasit yang
masing individu terhadap penyakit tersebut, variasi
jumlahnya tidak terlalu besar, sehingga sulit untuk
tersebut dapat berupa perbedaan beratnya gejala klinis,
diprediksikan .
mortalitas, morbiditas, lama sakit dst. Variasi respons
ini terjadi karena adanya variasi daya resistensi di
antara ternak tersebut. Variasi resistensi terhadap Eosinofi
penyakit telah dikenal sejak permulaan abad 20, dan
dewasa ini telah dikenal adanya variasi resistensi Masih belum terdapat kata sepakat mengenai
terhadap penyakit, baik di antara maupun di dalam hubungan antara infeksi parasit dengan eosinofilia,
bangsa sapi, ayam, domba, kambing dan babi (OWEN demikian juga kaitannya lebih lanjut antara eosinofilia
dan AXFORD, 1992) . Variasi resistensi mekanismenya dengan resistensi. Sebagian besar pendapat menyatakan
berbasis pada sifat genetik, dan dapat dibuktikan lewat bahwa level eosinofil yang tinggi di dalam sirkulasi
observasi, hasil seleksi dan studi laboratorium . darah berkaitan dengan resistensi pada domba yang
Sebagaimana dinyatakan oleh WAKELIN dan diinfeksi dengan Trichostrongylus colubriformis
BLACKWELL (1,988), bahwa daya resistensi terhadap (DAWKINS et al., 1989 ; ROTHWELL et al., 1993), hasil
infeksi suatu penyakit terjadi secara genetik dan yang sama diperoleh pula pada domba Scottish
diturunkan dari induk ke anaknya, dan biasanya Blackface yang diinfeksi dengan Oesophagostomum
sebagai sifat yang dominan. Sebagai contoh sifat circumcincta (STEAR et al., 1995), dan infeksi alam
resisten pada ternak yang diturunkan secara genetik oleh O. circumcincta pada domba Red Maasai dan
antara lain adalah koksidiosis pada ayam (BUMSTEAD Scottish$lackface yang resisten menunjukkan sirkulasi
et al., 1991), trypanosomiasis pada sapi (D'LETERAN, et eosinofil yang tinggi (STEAR dan MURRAY, 1994) .
al., 1998), parasit gastrointestinal pada domba Hasil uji tantang pada domba persilangan antara
(HOHENHAUS dan OUTTERIDGE, 1995 ; STEAR dan Merino dan ITT dengan F. gigantica menunjukkan
MURRAY, 1994) dan caplak pada sapi (DE CASTRO dan bahwa level eosinofil berkaitan erat dengan fenomena
NEWSON, 1993) . Variasi resistensi juga dipengaruhi resisten (WIDJAJANTI et al., 2002) . Tetapi level
oleh umur, sex, makanan, tingkat reproduksi, dst. jadi eosinofil tersebut mempunyai korelasi yang tidak
sangatlah kompleks . konsisten dengan jumlah cacing yang ditemukan di
dalam hati waktu dipotong . Level eosinofil berkorelasi
terbalik (negatif) dengan FEC pada domba Romneys
INDIKATOR GENETIC HOSTRESISTANCE
Selandia Baru yang diinfeksi dengan T. colubriformis
(BUDDLE et al., 1992) . Sedangkan pendapat yang
Resisten terhadap agen penyakit dapat terjadi pada berbeda menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
beberapa tingkatan barier individu seperti bulu, bulu
jumlah eosinofil yang signifikan antara domba yang
dan kulit, kulit, respon inflamasi bawaan dan peka dan resistensi yang diinfeksi dengan Haemonchus
mekanisme kekebalan perolehan. Masing-masing barier
contortus (GILL, 1991) dan perbedaan korelasi antara
mungkin mempunyai indikator/ciri fenotipik atau
eosinofilia dengan jumlah parasit atau jumlah telur
genotipik untuk resistensi. Untuk memilih ternak yang
cacing tidak konsisten tergantung jenis parasitnya
resisten diperlukan adanya indikator/ciri (marker),
(PENTHANER et al., 1995) . Level eosinofil bukanlah
indikator tersebut harus murah dan dapat memberi suatu indikator yang baik untuk penduga jumlah worm
keyakinan kepada penangkar (breeder) akan
recovery (BEH dan MADDOX, 1996) .
keuntungan yang akan diperoleh dari hasil pemilihan
ternak berdasarkan indikator tersebut. Bila tidak ada
indikator genetik diperlukan indikator sifat bawaan Faecal egg count (FEC)
yang berkaitan dengan ekspresi resistensi . Indikator
resisten harus menurun (heritable) dan berkorelasi baik FEG cukup baik sebagai indikator derajat infeksi
dengan derajat infeksi cacing dalam hospes (host worm parasit di dalam tubuh hewan . Teknik ini murah dan

164
WARTAZOA Vot. 14 No . 4 Th. 1004

dapat dipercaya, tidak dipengaruhi oleh variasi vulume terjadinya resistensi terhadap foot rot. Banyak variabel
dan konsistensi feses, highly repeatable dan ada yang berhubungan dengan resistensi sewaktu diadakan
korelasi negatif antara-FEC dengan produksi wool dan uji tantang ternyata berubah, terutama selama proses uji
pertumbuhan pada domba Romneys (MCEWAN et al., tantang berlangsung, sehingga sulit mendapatkan
1992 ; HOWSE et al., 1992) . Sedangkan pendapat lain mekanisme resistensi pada beberapa sifat bawaan
yang bertentangan menyatakan bahwa FEC tidak karena perubahan variabel didalam perkembangan
berkorelasi berlawanan,(negatif) dengan produksi wool penyakit (RAADSMA dan THORNBERRY, 1988) .
dan pertumbuhan pada domba Merino dan Romneys Indikator fenotipik untuk sifat bawaan dapat
(WOOLASTON, 1990 ; ALBERT et al., 1989; BAKER et dipakai sebagai penduga adanya sifat resisten selama
al., 1990 ; BISSET et al.j 199-2) .` - - hidup ternak, akan tetapi korelasi genetik harus ~hduga
dari tampilan (performance) progenynya . Korelasi
genetik menunjukkan sejauh mana rentangan pengaruh
gen terhadap indikator sifat bawaan yang juga
mempengaruhi resistensi terhadap suatu penyakit.
Derajat anemia dite.tapkan berdasarkan nilai PCV . Perkiraan korelasi genetik adalah penting untuk menilai
Selain dari itu derajat anemia dapat ditetapkan secara kelayakan (suitability) dari indikator sifat bawaan
klinis dengan cara memeriksa membrane nictitant sebagai kriteria seleksi didalam program penangkaran .
mata. Di Afrika, apabila seekor domba terinfeksi oleh Hanya saja estimasi korelasi genetik adalah mahal dan
H. contortus berat biasanya selaput conjunctiva sulit untuk didapatkan, sehingga tidak praktis untuk
nampak pucat, dan jika PCVnya diperiksa biasanya mengevaluasi semua indikator sifat bawaan yang
bernilai <12% . Dikatakan bahwa PCV sebagai mungkin dapat dipakai/tidak di dalam program
indikator adalah diturunkan dan berkorelasi tinggi penangkaran.
dengan infestasi cacing H. contortus (BEH dan
MADDOX, 1996) .
ANTHELMINTIC RESISTANCE

Andbodi Strain Trichostrongylids yang resisten terhadap


anthelmintic resistance dapat dipandang sebagai
Pada domba Romneys yang diketahui resisten ecotypes baru yang berkembang didalam merespon
terhadap T. colubriformis level IgG 1 berkorelasi positif perlakuan manusia terhadapnya (pemberian obat) .
dengan FEC (r = 0,56 untuk total antibodi dan r = 0,35 Salah satu ciri utama dari sifat anthelmintic resistance
untuk IgG 1). Respon IgG 1 dan IgA di dalam darah adalah "inherited'. Hal ini dapat dikatakan bahwa
pascainfeksi dengan H. contortus secara signifikan cacing telah memanipulasi sifat genetiknya sendiri
lebih tinggi pada domba yang resisten dibandingkan secara lebih efektif didalam merespon perlakuan
dengan domba yang tidak. Sementara itu, respon IgA di manusia, sehingga berakibat timbulnya suatu keadaan
dalam feses sepanjang masa infeksi lebih tinggi secara "decontrol" terhadap parasit dibanding usaha para ahli
signifikan pada domba yang resisten, sedangkan respon genetik untuk "mengontrol" mereka . Populasi genetik
IgG1 di dalam feses lebih tinggi secara signifikan pada dari Strongylids yang anthelmintic resistance
domba yang resisten antara hari ke 24-31 hari pasca merupakan salah satu hal yang telah dianggap penting
infeksi (GILL et al., 1993) . di dalam bidang penelitian. Sehingga tinjauan
Untuk menetapkan sesuatu dapat digunakan pengendalian cacing ini yang dikaitkan dengan sifat
sebagai indikator fenotipik/genotipik perlu diadakan genetikanya dianggap belum lengkap kalau tidak
studi tentang mekanisme terjadinya resistensi . menyebut faktor "anthelmintic resistance alleles"
Kebanyakan studi mekanisme resistensi hanya besifat dalam populasi cacing ini pada ruminansia (LE JAMBRE
parsial saja atau tidak komplit, sehingga banyak hasil et al., 1979, disitasi oleh LE JAMBRE, 1982), di dalam
yang baik, namun ketika studi dilanjutkan ternyata studinya tentang the inheritance of thiabendazole
hasil yang diperoleh hanya "hubungan interaktif yang (TBZ) resistance of H. contortus strain yang diisolasi
komplek antara ternak dengan parasit". Sebagai contoh di Northern Tableland (NSW) menunjukkan bahwa
yang baik adalah hubungan interaktif antara fleece rot isolat yang resistensi telah menghasilkan homozygous
dan foot rot pada domba. Kenaikan tingkat resistensi setelah melewati lebih dari 15 generasi pada seleksi di
terhadap fleece rot umumnya secara genetik laboratorium. Perkawinan antara cacing jantan strain
berhubungan dengan penurunan warna wool grasy, resisten dengan betina yang berasal dari yang tidak
berkurangnya variasi diameter bulu, meningkatnya resisten menghasilkan jumlah cacing jantan dan betina
kandungan lilin, dan bertambah panjangnya bulu. Akan yang resisten dalam jumlah yang sama. Hal ini
tetapi hal tersebut ternyata mempunyai korelasi genetik menunjukkan bahwa resisten tidak sex-linked (LE
yang sangat terbatas, dan tidak satu pun sifat bawaan JAMBRE, 1982) .
yang telah dapat diidentifikasi bertanggung jawab atas

16 5
SUTIJONO PARTOUTOMO: Pengendalian Parasit dengan Genetic Host Resistance

RESPON IMUNOLOGI DAN GEN dan Langerhans cells) dikendalikan oleh protein yang
terdapat pada permukaan B-cells dan antigen
Respon imunologi yang merupakan manifestasi presenting cells dan disebut sebagai "class 11
reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap masuknya histocompatibility antigen" . Kedua histocompatibility
benda asing adalah suatu fenomena biologi yang antigen tersebut dikendalikan oleh gen yang letaknya
kompleks dan unik yang secara: garis besar telah berdekatan di dalam satu kromosom. Gen-gen ini
dilukiskan antara lain oleh TIZARD (1987) . Apabila membentuk suatu kompleks gen yang disebut "major
tubuh kemasukan benda asing misalnya protein atau histocompatibility complex (MHC)" . Karena
antigen (virus, bakteria, parasit), maka tubuh akan histocompatibility antigen dapat dideteksi dengan
bereaksi secara aktif menetralisir benda asing tersebut. mudah di dalam leukosit maka penamaannya didahului
Proses netralisasi tersebut disebut respon imunologi, dengan spesies asalnya kemudian diikuti dengan LA
yang meliputi trapping, processing, pembentukan sel (leukosit antigen). Contohnya HLA (human
spesifik terhadap antigen, kemudian sel spesifik histocompatibility leucocyte antigens), BoLA (bovine
berpartisipasi di dalam proses CMI atau pembentukan histocompatibility leucocyte antigen), DLA (dog
antibodi, sehingga benda asing dieliminir atau histocompability leucocyte antigen), dst . Protein T8
terbentuknya hewan yang tolerance terhadap benda pada permukaan cytotoxic T-cells atau supressor T-
asing tersebut (lihat Gambar 1). Didalam menjalankan cells sangat mungkin merupakan molekul protein yang
proses netralisasi tersebut sistem imunologi dimediasi mampu mengenali (sebagai receptor) class I antigen
oleh T-cell, dan dalam hal ini T-cell mempunyai 3 pada target cells dan T4 molekul pada permukaan
peran penting ialah cytotoxicity untuk sel yang helper T-cells bertindak sebagai receptor untuk class II
abnormal atau sel asing lewat proses CMI, sebagai antigen . Kedua jenis T-cells dan target-cells harus
helper cell untuk menimbulkan respon pembentukan mempunyai HC antigen yang identik, jadi cytotoxic
antibodi pada B-cell, dan sebagai supressor cell untuk (T8+) T-cells hanya dapat membunuh target-cells yang
mengendalikan proses respon imunologi . Proses mempunyai class I HC antigen pada membrannya,
cytotoxicity dikendalikan oleh protein yang terdapat sedangkan helper (T4+) T-cells hanya akan
pada permukaan target cell yang dikenal dengan nama menggertak terjadinya respon imun pada plasma cells
"class I histocompatibility antigen", sedangkan respon bila plasma cells punya class II HC antigen pada
imun yang melibatkan helper-T-cells, B-cells dan membrannya (TIZARD, 1987) .
antigen presenting cells (macrophages, dendritic cells

3rd CMI

Antigen elimination

stop

Gambar 1. Respons immunologi


histocompability
vitro
satu
produksi
linkage
eosinofil
major
tersebut
host
kuat
tetapi
dilakukan
banyak
dan
berbeda
sebagai
Untuk
Seleksi
yang
menganalisa
dengan
faktor
atau
seperti
didalam
infeksi
tidak
response
sebagian
masih
schistosomiasis
Brasil
atau
mengatur
jaringan
Hewan
perkembangan
sel
gene
Kenaikan
disebabkan
terhadap
sistem
kenyataan
et
analysis
yaitu
penyebab
dari
antigen,
antibodi
kemampuan
oleh
mengendalikan
IgA
sel-sel
menentukan
sebagai
antigenic
basil
dari
mengetahui
adanya
diberi
sistem
yang
eosinophil
kita
al
Makro
intensitas
dengan
produksi
hanya
hal
kekebalan
osmo-
extract
mitogen
pula
(MARQUET
dari
aditentukan
patogen
epitope
1L-5
pertahanan
gen-gen
(1996)
antigen
codominant
genes"
yang
gene-locus
single
besar
menduga
terkait
yang
darah
penting
intensitas
IL-5
bahwa
akhirnya
11
imun
imun
intensitas
nama
mediator
infeksi
dan
maka
terhadap
hanya
membuktikan
codominant
variasi
molekul
menghasilkan
oleh
schistomule
diproduksi
determinants
keluarga
infeksi
infeksi
IL-5/SS
host
berbeda
penyakit
interleukine-5
seperti
berakibat
hypereosinophilic
lebih
"lokus
pada
reaksi
maturation
yang
setelah
dari
yang
dengan
molecule
individu
(IT-5)/phytohemagglutinin
dan
Gen-gen
oleh
(TIZARD,
et
Schistosoma
strain
terjadi
didalam
oleh
tubuh
fenotipik
hewan
selanjutnya
terhadap
bahwa
kekebalan,
diketahui
melalui
untuk
al
respon
wide
diproduksi
molekul
disebut
manusia
Schistosoma
mempunyai
expose
hebat
dikenal
SM1
perjalanan
penyakit
dan
major
cacing
usus
diadakan
Dengan
dan
chromosome
oleh
sistem
selanjutnya
1996),
mungkin
major
terjadinya
atau
faktor
sonicate
manusia
bahwa
melawan
ini
intensitas
1987)
Hasil
study
protein
single
pada
segregasi
gejala
IL-5/PHA,
Apabila
dan
akan
mengendalikan
imunologi,
karena
70%
sebagai
T-lymphocyte
sistem
epitope
protein
dengan
bahwa
(IL-5)
dan
terletak
dan
infeksi
dikendalikan
adalah
gene
host
segregation
mansoni
gene
oleh
restimulasi
gen
lain
kromosom
activation,
perjalanan
syndrome,
kekebalan
pada
penelitian
dan
penyakit
mengatur
beberapa
mansoni,
antibody
(SS)
penyakit
Menurut
terhadap
berbagai
bereaksi
kelainan
genetic
infeksi,
infeksi
(makro
saluran
region
respon
hewan
adalab
sel-sel
"class
hanya
imun,
73%
nama
yaitu
yang
pada
saja,
non-
juga
dan
142
dan
Vol1 14 No 4 antara
Th teknik
yang
2004
berangsur-angsur
akan
menjadi
peka
mendapat
1970an,
yang
Darah
waktu
sejalan
mengatasi
utara
Atau
beberapa
kebal
biaya
diketahui
antigen
hewan
beberapa
host
merespon
endemik
dasar
sapi
imunologi,
antigen
maupun
akhirnya
Pada
adalah
caplak
T-cells
lebih
(POWELL,
akan
tolerance
untuk
tetapi
tidak
microplus
diketahui
terhadap
yang
dengan
Australia
Para
sapi-sapi
dari
dengan
yang
Eropa
resistance
yang
program
caplak
hal
yang
yakni
sapi
terhadap
tolerance
dalam
mendapat
sebagai
baik
HOSTRESISTANCE
dengan
infeksi
dengan
dalam
terbatas
penerapan
caplak,
peneliti
di
dianggap
pengendalian
mekanismenya
negara
gigitan
yang
yang
induksi
genetic
akan
lama,
tidak
Apabila
(sustainable
50%
dipertahankan
TOLERANCElRESILIENCE
resistensi
dalam
dan
berdarah
caplak
bahwa
dengan
menghwinkan
Kedua
1977)
daripada
dan
selalu
yang
dosis
pengendalian
yang
hilang
berikut
dosis
sedikit
semula
telah
sama
akan
caplak
jumlah
dapat
(TIZARD,
pengendalian
darab
kehilangan
tetapi
menemukan
caplak
stimulus,
selanjutnya
caplak,
tick
antigen
konsep
satu
host
murah,
dipelihara
rendah
genetic
mendapat
tolerance
ada
dengan
jenis
Kontribusi
pola
berat
terjadi
apabila
diterima
Atas
Eropa
tinggi
borne
terjadi
bangsa
darah
digunakan
Atas
Bberdarah
Eropa
agriculture)
hasilnya
resistance
temyata
dengan
yang
variasi
pada
yang
karena
perubahan
1987)
maka
akan
tolerance
dasar
microplus
sehingga
ramah
host
sapi
pertanian
terpadu
diseases
tolerance
Berbagai
sapi
dan
dengan
maka
dasar
Zebu
didan
serangan
bahwa
fungsinya
induksi
sapi-sapi
sapi
kecil
DALAM
parasit
tingkat
terjadi
menjadi
jumlah
terus-menerus
menunjukkan
tetapi
resistance
daerah
genetic
supressor
sifat
darah
sangat
memberikan
produksinya
Eropa
setiap
darah
Zebu
lingkungan
50%
dalam
digunakan
akibatnya
sifat-sifat
caplak
Akhimya
dianggap
sapi-sapi
berbagai
Sebagai
tersebut
struktur
dimulai
antigen
apabila
sampai
dengan
dicapai
karena
caplak
seluler
teknik
Eropa
tropis
tahun
darah
salah
tidak
Zebu
yang
satu
host
dan
T-
di
di

WARTAZOA . . .

Antigen MEKANISME
molekul)
tetapi . Walaupun
epitopes . cara,
kemasukan belum .
membentuk induksi
sehingga cells
antigenik. induksi
secara reactive
sama. terjadilah .
dikendalikan akan
"i'mmune . berhenti .
permukaan dalam
H . waktu .
Selain
berfungsi .
GENETIC
Intensitas
oleh ., PRAKTEK
factor
infeksi . Di
Biasanya genetic
satu
yang
berat, dan
berkesinambungan .
penyakit
kepekaan . contoh
menunjukkan lapangan :
mengendalikan
gen Pengendalian
(SM1) .
telah Dahulu
penduduk . bagian
dan Boophilus .
ada dengan
5g3l-q33 . untuk
RODRIQUES . memuaskan .
horrnon yang
dari respon
sehingga mampu
eosinopoiesis, infestasi
dan . sebagai .
dan selanjutnya
berperan di
berbagai daerah .
organisme tersebut
pernafasan . sebagai
patologis Australia .
kerusakan resistance .
menurunkan . pada
Dengan bangsa
mononuclear peka
in kebal.
T-lymphocyte yang
memberikan yang
signifikan persilangan
mengendalikan Zebu.
masing-masing . dianggap .
SUTIJONO PARTOUTOMO : Pengendalian Parasit dengan Genetic Host Resistance

pada saat ini konsep pengendalian caplak dengan DWINGER, 1993) . Setelah mengalami proses yang
menggunakan breed dengan 50% darah Eropa dan 50% panjang akhirnya diterima sistem pengendalian dengan
darah Zebu untuk mengatasi caplak dan tick borne genetic host resistance menjadi teknik yang dianggap
diseases telah diterima sebagai konsep dasar yang murah dan efektif di daerah tersebut. Dengan melalui
berhasil untuk pengendalian B. microplus pada industri proses seleksi yang panjang akhirnya dihasilkan bangsa
sapi potong di Australia . Perubahan struktur breed yang trypanotolerance . Bangsa-bangsa sapi tersebut
didalam pengendalian caplak tersebut telah diuraikan antara lain adalah Indigenous Bos taurus seperti sapi
oleh POWELL (1977), yakni dengan menghwinkan N'Dama dan Boule di Afrika Barat (ROELANT dan
pejantan Zebu murni dengan betina Eropa untuk PINDER, 1982), domba Red Maasai dan Black Persian,
mencapai 50% darah Zebu dan 50% darah Eropa, dan kambing Afrika Timur dan Galla (GRIFFIN dan
untuk mencapai hal tersebut diperlukan waktu selama 8 ALLONBY, 197a,b) . Beberapa bangsa ternak asli di
tahun (FAO, 1984). daerah endemik di Afrika Barat dan Tengah seperti
Pengembangan pengendalian caplak atas dasar domba Djallonke dan kambing West African Dwarf
genetic host resistance pada ternak telah direview oleh (ILCA, 1979 ; TOURE et al., 1983 ; MAWUENA, 1987;
SUTHERST dan UTECH (1980), dan mereka ADAH et al., 1993; ITC, 1992) . Seleksi terhadap
menganjurkan agar penggunaan genetic host resistance trypanotolerance seyogyanya diarahkan secara
untuk pengendalian caplak perlu diadakan evaluasi individu jadi bukan bangsa ternak (ROELANT dan
berdasarkan beberapa kriteria antara lain: PINDER, 1982) .

a. Kerugian yang dapat dikurangi sebagai hasil usaha


pengendalian caplak berdasarkan host resistance Pengendalian helminthiasis
harus merupakan produksi langsung (daging,
susu), jadi bukan kerugian sebagai akibat adanya Di Universitas New England telah dibentuk suatu
penyakit lain. breeding flock domba yang resistensi terhadap
hemonchosis yang disebut "Golden Ram Flock". Flok
b. Jumlah infestasi caplak tiap sapi dapat diestimasi,
ini dibentuk pada 1980-an, yang merupakan hasil
sehingga jumlah caplak/sapi dapat diranking dan
progeny testing antara fine dan medium wool Merino
rangking tersebut harus repeatable.
ram. Golden ram diduga sebagai pembawa dari major
c. Kalau infestasi caplak lebih dari satu spesies, resistance gene untuk parasite resistance
ranking dapat dilakukan untuk semua spesies atau (WOOLASTON dan EADY, 1995) . Hasil analisa segregasi
cukup satu spesies penting saja. pada Fl, dan backcross families ternyata telah gagal
membuktikan adanya suatu major resistance gene
d. Rangking caplak harus heritable, artinya rangking
untuk parasite resistance (WOOLASTON dan EADY,
pada host harus berkorelasi dengan ranking pada
1995) .
progeninya. Di New York State Veterinary College telah dapat
dihasilkan seekor pejantan sebagai carrier major
Di Afrika dimana infestasi caplak lebih dari satu
resstance gene yang diberi nama "Violet Ram"
spesies yang menyerang sapi, ternyata terbukti bahwa (WHITLOCK, 1958) . Violet ram adalah Suffolk ram
pengendalian caplak terhadap satu spesies caplak
dengan ciri bahwa progeninya menunjukkan PCV tetap
(Ripicephalus appendiculatus) memberikan hasil juga tinggi walaupun dipelihara di daerah endemik
bagi pengendalian caplak spesies yang lain (KAISER et
hemonchosis . Setelah diuji secara genetik
al., 1982 disitir oleh FAO, 1984) . menunjukkan bahwa Violet ram yang dikawinkan
dengan induknya dan saudara-saudaranya
Pengendalian trypanosomiasis menghasilkan anak yang resisten terhadap hemonchosis
dan anak-anak tersebut mampunyai single dominant
Di daerah lalat Tsetse di Afrika, yang gene (WHITLOCK dan MADSEN, 1958) . Di Australia
membentang seluas 9-10 juta kMZ, trypanosomiasis dan Selandia Baru, dewasa ini telah memasukkan
pada binatang merupakan konstrain utama bagi faktor gen genetic host resistance sebagai salah satu
produksi ruminansia seperti sapi, kerbau, domba, faktor kriteria dalam seleksi bibit domba untuk
kambing dan juga unta. Beberapa spesies Trypanosoma breeding (SWAN et al., 1992) .
yang menyerang ternak di daerah ini antara lain ialah T. Di Afrika Timur domba Red Maasai yang
vivax, T. congolense dan T. brucei . Pada awal abad ke dipelihara di daerah endemik hemonchosis lebih
20 telah dikenal beberapa bangsa sapi dan hewan liar resisten dibanding dengan breed Eropa dan Merino
yang mempunyai kemampuan hidup dan berproduksi di (BARGER, 1989; PRESTON dan ALL6NBY, 1979) .
daerah endemik tanpa bantuan pengobatan, sedangkan Sedangkan di Afrika Barat domba St. Croix dan
bangsa yang lain mati karena serangan trypanosomiasis Djallonke relatif resisten terhadap endoparasit
(MURRAY et al., 1991; DOLAN, 1987; PALING dan (OSINOWO dan ABUBAKAR, 1988; SMITH, 1988) .

168
WARTAZOA Vol. 14 No . 4 Th. 2004

Semua domba yang resisten terhadap parasit hemonchosis resilience dan tick resistance masih
adalah breeds domba native (unimproved) yang sangat sedikit, sehingga perlu diteliti lebih jauh .
menjadi resisten karena seleksi alam tanpa 3. Pendekatan pengendalian lewat genetic host
perlindungan obat. resistance dapat digunakan secara selektif (breed
tertentu, parasit tertentu dan lokasi tertentu), dan
Genetic resistance pada ternak Indonesia cocok untuk sistem peternakan tradisional seperti
Indonesia .
Dengan infeksi buatan pada Indonesian thin tailed 4. Pengendalian parasit lewat genetic host resistance
sheep (ITT) dengan F. gigantica dilaporkan bahwa ITT lebih murah, ramah lingkungan, lebih mudah
adalah resisten terhadap F. gigantica, dan daya dilakukan pada level peternak, dan mengurangi
resistensi ini diduga lebih baik dibandingkan resistensi biaya pengendalian yang tidak perlu (salah
yang diperoleh oleh breeds lain seperti Merino, St . pengobatan, salah diagnosa, dst .) .
Croix, Sudanese dessert dwarf dan West African dwarf
(WIEDOSARI dan COPEMAN, 1990) . Hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
selanjutnya yakni infeksi buatan dengan F. gigantica
pada ITT, St . Croix, F1 dan F3nya diperoleh hasil yang
ADAH, M.I ., E .B . OTESILE and R .A . JOSHUA . 1993 .
menyatakan bahwa fluke recovery dari infeksi buatan
Susceptibility of Nigerian West African Drawf and
tersebut ialah 50% pada cross bred, adalah resisten
Red Sokoto goats to a strain of Trypanosoma
seperti pada ITT, 25 % -nya relatif resisten, dan 25%-
congolense . Vet .Parasitol . 47 : 177-188 .
nya peka . Diduga resistensi tersebut dikendalikan oleh
suatu major gene with incomplete dominance ADIWINATA, G . dan SUKARSIH . 1992 . Gambaran darah domba
(ROBERTS et al., 1995) . Studi tentang perbedaan yang terinfeksi cacing nematoda saluran pencernaan
secara alami di Kabupaten Bogor (Kecamatan
kepekaan antara breed domba terhadap cacing
Cijeruk, Jasinga dan Rumpin) . Peny . Hewan 24(43) :
(hemonchosis) telah dilakukan baik dengan infeksi
13-17 .
alam maupun infeksi buatan . Studi tersebut dilakukan
pada domba ITT Sumatera dengan cross bred-nya, ALBERT, G .A .A ., G.D. GRAY, L.R . PIPER, J .S .F. BARKER,
yakni dengan domba ekor gemuk, domba tropis impor L.F . LE JAMBRE and I .A . BARGER . 1989 . Th e genetic
(St. Croix dan Barbados Blackbelly) dan breed sintetik resistance and resilience to Haemonchus contortus
infestation in young Merino sheep . Int. J. Parasitol .
baru (25% Barbados, 25% St . Croix dan 50% ITT
17 :1355-1363 .
Sumatera) . Hasil infeksi dengan H. contortus terhadap
cross bred tersebut adalah bervariasi, hasil persilangan ANONIMOUS . 1990. Data ekonomi akibat penyakit hewan.
antara ITT dan domba ekor gemuk adalah susceptible Direktorat Jenderal Peternakan . Jakarta .
(SUBANDRIYO et al., 1996). Hasil resistensi yang BAKER, R.L ., T .G . WATSON, S .A . BISSET and A . VLASSOFF.
bervariasi mengindikasikan adanya perbedaan 1990 . Breeding Romney sheep which are resistant to
resistensi antar induk. Infeksi buatan dengan F. gastrointestinal parasites. Proc . of the Australian
gigantica pada backcross antara ITT (resisten) dengan Assoc . Animal Breeding and Genetics . 8 : 173-178 .
Merino (peka) menunjukkan bahwa derajat respon
BARGER, I .A . 1989 . Genetic resistance of hosts and its
eosinofil pascainfeksi pada hewan yang diinfeksi
influence on epidemiology. Vet . Parasitol . 32 : 21-35 .
berkaitan dengan resistensi, tetapi derajat respon
tersebut tidak dapat digunakan sebagai penduga fluke BEH, K .J. and J .F . MADDOX. 1996 . Prospects for development
recovery pada hati, PCV berkorelasi negatif dengan of genetic markers for resistance to gastrointestinal
fluke recovery (WIDJAJANTI et al., 2002). parasite infection in sheep . Int. J . Parasitol . 26(8/9) :
879-897.

BERIAJAYA dan P . STEVENSON . 1986 . Reduced productivity


KESIMPULAN DAN SARAN on small ruminants in Indonesia as a result of
gastrointestinal nematode infections . Proc . 5`h Int .
1. Hubungan antara ternak dan parasit secara alami Conf. Livestock. Dis . Trop. 28-30 .
dari generasi ke generasi berpotensi menghasilkan
ternak yang genetic host resistance terhadap BISSET, S .A ., A. VLASSOFF, C .A . MORRIS, B.R . SONTHEY,
R .L . BAKER and A .G .H. PARKER. 1992. Heritabilit y
parasit . Sedangkan anthelmintic resistance yang
and genetic correlations among faecal egg counts and
terjadi lebih cepat dan merupakan respon decontrol
productivity traits in Romney sheep. New Zealand J.
dari parasit terhadap perlakuan manusia (pemberian Agric. Res . 35 : 51-58 .
obat) yang terjadi lebih mudah dan lebih cepat .
BUDDLE, B .M ., G . JOWETT, R.S. GREEN, P .G.C. DOUCH and
2. Informasi genetic host resistance pada ternak P.L. RISDON . 1992 . Association of blood eosinophilia
Indonesia terhadap parasit seperti trypanotolerance, with the expression of resistance in Romney lambs to
nematodes. Int . J. Parasitol . 22 : 955-960.

169
SUTIJONO PARTOUTOMO : Pengendalian Parasit dengan Genetic Host Resistance

BUMSTEAD, N., B.M . MILLARD, P. BARROW and J.K.A. HowSE, S.W., H.T. BLAIR, D.J. GERRICK and W.E . PomRoy.
COOK . 1991 . Geneti c basis of disease resistance in 1992 . A comparison of Internal parasitism in fleece
chickens. In : Breeding for Disease Resistance in weight-selected and control Romney sheep. Proc . the
Farm Animals. J.B . OWEN dan R.F.E. AxFoRD (Eds.) New Zealand Soc. Anim . Prod . 52 : 57-60.
CAB Inter. Wallingford, 10-23.
ILCA (International Livestock Centre for Africa). 1979 .
D'LETERAN, C.D .M., E . AUTHIE, N. WlssocQ and M. Trypanotolerance livestock in West and Central
MURRAY. 1998. Trypanotolerance, an option for Africa. Vol. 1 : General study and Vol. 2: Country
suitable livestock production in areas at risk from studies. Addis Ababa, Ethiopia, ILCA Monograph
trypanosomiasis. In : Genetic Resistance to Animal No. 2.
Diseases. M. MULLER dan G. BREM. Eds. Rev. Sci.
ITC. 1992. The Inter. Trypanotolerance Centre for Africa
Tech . Int. Epiz . 17(1): 154-175.
Annual Report 1992, Banjul, The Gambia, p. 51 .
DASH, K.M . 1986. Control of helminthosis in lambs by
LE JAMBRE, L.F . 1982 . Genetics and the control of
strategic treatment with closantel and broad spectrum
Trichostrongylid parasites of Ruminants. In : Biology
anthelmintics. Australian Vet. J. 63 : 4-8.
and Control of Endoparasites . L.E.A . SYMoNs, A.D.
DAWKINS, H.J .S., R.G. WINDON and G.K. EAGLESON . 1989 . DONALD and J.K. DINEEN . Eds. Academic Press. pp
Eosinophil responses in sheep selected for high and 53-80.
low responsiveness to Trychostrongylus colubriformis.
MARQUET, S., L. ABEL, D. HILLAIRE, H. DESSEIN, J. KOHL, J.
Int. J. Parasitol. 19 : 199-205. FEINGOLD, J. WEISSENBACH and J. DESSEIN. 1996 .
DE CASTRO, J.J. dan R.M . NEWSON. 1993 . Host resistance in Genetic localization of a locus controlling the
cattle tick control. Parasitol. Today 9: 13-17. intensity of infection by Schistosoma mansoni on
chromosome 5g31-q33 . Nature Genetics 14
DOLAN, R.B . 1987 . Genetics and trypanotolerance . Parasitol. (October): 181-184.
Today 3: 137-143.
MAWUENA, K. 1987 . Trypanosomiasis in sheep and goats of
EDNEY, J.M . dan A. MUCHLIS. 1962 . Fasciolosis in the dwarf Djallonke breed in the South Guinean
Indonesian Livestock. Com. Vet. 2: 49-62. regions of Togo (CREAT). Proc . Int. Scien. Council
for trypanosomiasis research and control. 19`h
ESTUNINGSIH, S.E ., G. ADIWINATA, S. WIDJAJANTI dan S.
Meeting, Lome, Togo, OAU/STRC public . No. 114:
PARTOUTOMO. 2002 . Kasus kejadian fasciolosis di
Rumah Potong Hewan (RPH) Jakarta. Pros. Seminar 321-330.
Nasional Teknologi Peternakan dan Veterlner. Ciawi, MCEWAN, J.C., P. MASON, R.L . BAKER, J.N . CLARKE, S.M .,
Bogor, 30 Sept.-1 Okt. 2002 Puslitbangnak, Bogor. HICKEY and K. TURNER. 1992. Effect of selection for
production traits on internal parasite resistance in
FAO. 1984 . Ticks and tick borne disease control. A practical
sheep. Proc . of the New Zealand Society of Animal
field manual. Vol. I: Tick control. United Nations,
Production 52 : 53-56.
Rome, 1984 . p. 299.
GILL, H.S . 1991 . Genetic control of acquired resistance to MURRAY, M., M.J. STEAK, J.M . TRAIL, G.D .M . D'iETEREN,
K. AGYEMANG and R.H . DWINGER . 1991
haemonchosis in Merino lambs. Par. Immunol. 13 :
Trypanosomiasis in cattle prospects for control. In:
617-628.
Breeding for Diseases Resistance in Farm Animals.
GILL, H.S., D.L . WATSON and M.R. BRANDON. 1993 . Proc. Int. Symp . Bangor, Wales, Sept 1990.
Monoclonal antibody to CD4+ T-cells abrogates Wallingford UK, CAB Inter. 203-223.
genetic resistance to Haemonchus contortus in sheep.
OsiNowo, O.A.A . and B.Y. ABUBAKAR . 1988 . Appropriate
Immunol. 78 :43-49 .
-- breeding strategies for smaf -ruminants production in
GRIFFIN, L. and E.W . ALLONBY. 1979a. The economic effects West and Central. Proc. Workshop on the
of trypanossomiasis in sheep and goats at a range improvement of small ruminants in West and Central
research station in Kenya. Trop. Anim. Hlth. Prod . Africa. OAU/IBAR, Nairobi, Kenya 71-84.
11 :127-132 .
OWEN, J.B . and R.F.E. AXFORD. 1991 . Breeding for disease
GRIFFIN, L. and E.W. ALLONBY. 1979b. Trypanotoleranc e in resistance in farm animals. CAB International,
breeds of sheep and goats with an experimental Wallingford 499 p.
infection of Trypanosoma congolense. Vet. Parasitol.
PALING, R.W . and R.W . DWINGER. 1993 . Potentia l of
5: 97-105 .
trypanotolerance as a contribution to sustainable
HOHENHAUS, M.A . dan P.M . OUTTERIDGE. 1995 . Th e livestock production in tsetse affected Africa . The
immunogenetic of reisistance to Trychostrongylus Vet.Quart . 15 : 60-67.
colubriformis and Haemonchus contortus parasites in
PARTOUTOMO, S. 1995 . Study on the epidemiology of T.
sheep. Brit. Vet. J. 151 : 119-140.
evansi in Java. PhD thesis . Dept . Biomedical and
Tropical Vet. Scien. James Cook Univ. Australia.
WARTAZOA Vol. 14 No . 4 Th. 2004

PARTOUTOMO, S. and R. SOETEDJO. 1977 . Trichomoniasis STEAK, M.J. and D. WAKELIN. 1998. Genetic resistance to
pada seekor sapi FH pejantan di Pasuruan . Bull . parasitic infection. Rev. Sci. Tech. off. Int. Epiz .
LPPH 9(14): 38-55. 17(1): 143-153.
PENTHANER, A., M. STANKIEWICS, S.A . BISSET, W.E . JONAS, STEAK, M.J. and M. MURRAY . 1994 . Genetic resistance to
W. CABAJ and D.D . PULFORD. 1995 . Th e immune parasitic disease: particularly resistance in ruminants
responsiveness of Romney sheep selected for to gastrointestinal nematodes. Vet. Parasitol. 54:
resistance or susceptibility to gastrointestinal 161-176.
nematodes: ly*hocyte blastogenic activity,
eosinophilia and total white blood cell counts . Int. J. STEAK, M.J., .-BISHOP,
.C J.L . DUNCAN, Q.A . MCKELLAR and
S
Parasitol. 25 : 523-529. M. MURRAY . 1995 . The repeatability of faecal egg
counts, peripheral eosinophil counts, and plasma
POWELL, R. 1977 . Project tick control. Old Agric. J. 103: pepsinogen concentrations during deliberate infection
443-474. with Ostertagia circumcincta . Int. J. Parasitol. 25 :
375-380.
PRESTON, J.M. and E.W . ALLONBY. 1979 . Th e influence of
breed on the susceptibility of sheep to Haemonchus SUBANDRIYO, E. ROMJALI, A. BATUBARA and L. BATUBARA,
contortus. American J. Vet. Res. 33 : 817-823. 1996 . Breeding for gastrointestinal nematode
resistance of sheep in North Sumatra. Proc . of an
RAADSMA, H.W . and K.J . THORNBERRY . 1988 . Relationship international workshop on "Sustainable Parasite
between wax, suint and fleece rot effect of sample Control in Small Ruminats". 22-25 April 1996,
preparation, time sampling and fleece rot induction Bogor, Indonesia.
Australian J. Exp. Agric. 28 : 29-36.
SUHARDONO, BERIAJAYA dan D. YULISTIANI . 2002 . Infeksi
ROBERTS, J.A ., S. WIDJAJANTI, D.J.S . HETZEL and S. cacing nematoda saluran pencernaan pada domba
PARTOUTOMO. 1995 . A dominant major gene yang digembalakan secara ekstensif di daerah padat
determining the resistance of sheep against F. ternak di Jawa Barat. Pros . Seminar Nasional
gigantica. (Abstract) Int. Conf. Novel Approaches to Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi, Bogor,
the Control of helminth parasiotes of Livestock April 30 Sept.-1 Okt. 2002. Puslitbangnak . him. 370-375.
18-21, 1995, Univ . New England, Armidale,
Australia . SUTHERST, R.W . and K.B .W. UTECH . 1980 . Controlling
livestock parasites with host resistance. CRC
RODRIGUES JR ., V., A. LAUREN, K. PIPER and A.J. DESSEIN. Handbook of pest management in Agriculture. Vol.
1996. Segregatio n analysis indicates a major gene in II. Chem . Ruuber Co ., Boca Raton, Florida.
the control of interleukine-5 production in human
infected with Schistosoma Mansoni. Am . J. Hum. SWAN, A.A ., R.R . WOOLASTON and L.R . PIPER. 1992 .
Genet. 59 : 453-461 . Establisshing a centralised data base for Merino sire
evaluation schemes. Proc. of the 10`h Conference of
ROELANTS, G.E . and M. PINDER . 1982 . Possibility to the Australian Assoc. Animal Breeding and Genetics
trypanosomiasis amongs a range of cattle breeds . In : 10 :490-493 .
Trypanotolerance and Animal Production. Proc.
Workshop May 10-14, 1982 . Togo. Eschborn . pp . TizARD, 1. 1987 . Veterinary Immunology: An Introduction .
29-3 2 3`d Ed. W.B . Sanders Company. Philadelphia,
London, Toronto, Sydney, Tokyo, Hongkong.
ROTHWELL, T.L .W ., R.G . WINDON, B.A . HORSBURGH and
B.H . ANDERSON. 1993 . Relationship between TouRE, S.M ., M. SEYE, M. MBENGUE and T. DIEYE. 1983 .
eosinophilia and responsiveness to infection with Trypanotolerance studies of comparative pathology
Trichostrongylus colubriformis in sheep. Int. J. on dwarf Djallonke sheep and Sahelian Fulani sheep.
Parasitol. 23 : 203-211 . Proc . Int. Scien Council for trypanossomiasis
research and control. 17`h Meeting Arusha, Tanzania,
RuMYANTSEV, S.N. 1998 . Constitutional and non-specific OAU/STRC Publication No . 112: 326-336.
immunity to infection. In : Genetic Resistance to
Animal Diseases. M. MULLER dan G. BREM . Eds. WAKELIN, D. 1992. Genetic variation in resistance to
Rev. Sci. Tech.off. Int. Epiz . 17(1): 26-42. parasitic infection: experimental approaches and
practical application. Res. Vet. Sci. 53 : 139-147.
SALMULLER, A. 1998 . Antigen specific immune response of
porcine T lymphocytes to various pathogens. In : WAKELIN, D. and J.M . BLACKWEL. Eds. 1988 . Genetics of
Genetic Resistance to Animal Diseases. M. MULLER resistance to bacterial and parasitic infection . Taylor
dan G. BREM (Eds). Rev. Sci. Tech. off. Int. Epiz. and Francis, London. p. 287.
17(1): 71-83.
WHITLOCK, J.H . 1958 . The heritance of resistance to
SMITH, O.B . 1988 . Health packages for the smallholder trichostrongylidosis in sheep. I. Demonstration of the
farmers in West and Central Africa . Proc .Workshop validity of the phenomena. Cornell Veterinarian 48 :
on the improvement of small ruminants in West and 127-133.
Central Africa. OAU/IBAR, Nairobi, Kenya.
211-221 .
SUTUONO PARTOUTOMO : Pengendalian Parasitdengan Genetic Host Resistance

WHITLOCK, J.H. and H. MADSEN . 1958 . The heritance of WOOLASTON, R.R. 1990 . Genetic improvement of resistance
resistance to trichostrongylidosis in sheep. II . to intestinal parasites in sheep. Wool technology and
Observation on the genetic mechanism in sheep breeding 38 : 1-6.
trichostrongylidosis. Comell Veterinarian 48 :
WOoLASToN, R.R. and S.J. EADY. 1995 . Australian research
134-145.
on genetic resistance to nematode parasites. Dalam
WIDIAJANTI, S., S.E. ESTUNINGSIH, S. PARTOUTOMO, T. Breeding for Resistance to Infectious Diseases in
SPITHILL, H. RAADSMA and D. PIEDRAFITA . 2002 . Small Ruminants. ACIAR, Canberra, Australia.
Hubungan antara jumlah infestasi cacing hati dengan 53-75.
nilai total eosinophil dan nilai PCV pada domba yang
diinfeksi Fasciola gigantica . Pros . Seminar Nasional
Teknologi Petemakan dan Veteriner, Ciawi-Bogor,
30 Sept-1 Okt 2002 . pp . 363-368.
WIEDOSARI, E. and D.B . COPEMAN. 1990 . High resistance to
experimental infection with F. gigantica in Javanese
thin tailed sheep. Vet. Parasitol. 37 : 101-111 .

S-ar putea să vă placă și