Sunteți pe pagina 1din 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luka bakar merupakan cedera dan/atau kerusakan terhadap jaringan


yang disebabkan oleh kontak dengan sumber yang memiliki suhu tinggi,
seperti terbakar api, matahari, listrik, terpajan uap dan cairan panas, maupun
bahan kimia. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh
dokter. Salah satu kondisi yang memberikan pengaruh besar terhadap
masyarakat, terutama pada penderita dalam hal kehidupan sosialnya,
keterbatasan yang ditimbulkan, dan biaya yang dikeluarkan untuk
pengobatannya.

Berdasarkan Journal of Burn Care and Rehabilitation 1992,


diperkirakan terdapat 2,4 juta kasus luka bakar dalam setahun di Amerika
Serikat, sekitar 8.000-12.000 pasien dengan luka bakar meninggal dan sekitar
1 juta pasien akan mengalami cacat substansial atau permanen yang
diakibatkan oleh luka bakar yang dialami. Penelitian yang menggunakan
subjek penderita luka bakar rawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta pada bulan Januari 1998 sampai Mei 2001 menyebutkan
bahwa dari 156 penderita terdapat angka mortalitas sebesar 27,6% dimana
penderita terbanyak berusia 19 tahun dan laki-laki lebih banyak daripada
perempuan. Penyebab luka bakar tersering adalah terkena api (55,1%) dan
tempat kejadian luka bakar tersering adalah di rumah (72,4%).

Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak akibat


kecelakaan pada semua kelompok umur. Berdasarkan aspek medikolegal,
seorang dokter harus melakukan pemeriksaan terhadap korban yang
mengalami luka bakar baik yang masih hidup maupun yang telah mati.
Indikasi untuk melakukan pembunuhan dengan mempersulit identifikasi
korban melalui luka bakar juga memiliki prevalensi yang cukup tinggi (90%).
Maka dari itu diperlukan suatu keahlian khusus untuk membedakan apakah

1
luka bakar terjadi saat masih hidup (antemortem) atau saat sudah mati
(postmortem) untuk menutupi penyebab kematian sebenarnya.

Melihat tingginya angka insidensi, angka mortalitas dan dampak yang


ditimbulkan oleh luka bakar, maka diperlukan suatu literatur khusus untuk
membahas tentang luka bakar dalam keilmuan kedokteran forensik, efeknya
terhadap berbagai sistem organ, klasifikasi derajat luka, penyebab kematian
utama pada luka bakar dan bagaimana cara membedakan luka antemortem
dan postmortem pada korban luka bakar.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma
dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan
khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
2.2 Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi
pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari,
listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis
besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
 Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,
dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat
membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
 Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan
semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya

3
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit
sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan
keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang
menandai permukaan cairan.
 Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan
radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas
yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila
terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran
napas distal di paru.
 Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian
atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.
 Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan
tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan
luka bakar tambahan.
 Zat kimia (asam atau basa)
Contoh penyebab kimia di industri adalah asam kuat atau basa
kuat, seperti asam klorida (HCl) atau alkali. Penyebab kimia dapat juga
ditemukan dalam rumah tangga, seperti pembersih cat dan desinfektan.
 Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber
radioaktif. Luka bakar akibat radiasi sering disebabkan oleh penggunaan
radioaktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri.
Paparan sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka
bakar radiasi.
 Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

2.3 Klasifikasi Luka Bakar


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan
suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang
langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka

4
bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba
(wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga
mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat
kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar,
yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya
sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya
tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi.
Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih “sehat”
tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh
darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,

5
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel
yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada
dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak
intak.

6
2.4. Berat dan Luas Luka Bakar
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia
dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.
Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas
46oC. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya
kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan
peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat,
terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan
pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan
hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon
terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju
metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan
mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks.
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada
beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien.
Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas
luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.

 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa


Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini
membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.

7
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki
lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil
berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

 Metode Lund dan Browder

8
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh
di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan
disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai

14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.


o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface
area affected by burns in children.

2.5. Pembagian Luka Bakar


1. Luka bakar berat (major burn).

9
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun.
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama.
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum.
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar.
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi.
f. Disertai trauma lainnya.
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi.
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar
derajat III kurang dari 10 %.
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %.
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa.
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut.
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum.

2.6 Patofisiologi Luka Bakar


Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan
bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan
kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke

10
bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari
keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan
terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat,
dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan
produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal
terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka
terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap
atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat
menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO
akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing,
mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari
60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak
tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal,
pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman
penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita
sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi
kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat
berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik.

11
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif
yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat
terjadi invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat
menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal
sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat
dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi
enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang
mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula
derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada
pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis
sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan
kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka
bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram
positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi
penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus
infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman
yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat
sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai
dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel
basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II
yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku
dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri
akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat
berkurang atau hilang.

12
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat
dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum
dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal
sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga
keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena
eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit
yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh
pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh
karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan
menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang
disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama
bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin
mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh
luasnya luka bakar.

2.7. Fase Pada Luka Bakar


Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada
luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi
pada saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini
dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di
rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan
elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction

13
Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau
perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang
bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya
maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar
seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat
kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang
hebat dan berlangsung lama

 Pembagian zona kerusakan jaringan:


1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan
ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah
disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona
koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai
kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no
flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon
inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan
mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi
berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung
keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami
penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.

2.8. Indikasi Rawat Inap pada Luka Bakar

14
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan
untuk dirawat inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan,
kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan
untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma
mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada
sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

2.9. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan
MODS.

2.10. Penatalaksanaan Luka Bakar


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama
adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan
mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien
yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau
luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah
terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau

15
banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih
dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi
awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia
sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas
‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas
berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma
tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka
bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas
inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi
juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.
Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak
dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum
dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan
jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
 Tatalaksana resusitasi luka bakar
a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa
menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan
jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif
dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi.
Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume,
lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat
berbicara jika dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat

16
patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam
pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress
oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator
dan modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)

6. Pemberian terapi inhalasi


Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam
lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah
dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar
natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain
itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis
seluler) dan steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki
kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan


Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang
adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional,
sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain
itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan
bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi
intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta
meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik dengan
menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan
seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang
tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat

17
mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi
fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal
mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti.
Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
 Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama.
Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan
setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan
setengah jumlah cairan hari kedua.
 Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan
setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan
setengah jumlah cairan hari kedua.
c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien
tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube
(NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein,
50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal
ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah
terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian
nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan
MODS.
 Perawatan luka bakar

18
Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan
morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-
10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari
ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak
akan berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia.
Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan
menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya
iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan
dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin
lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi
komplikasi – komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas
jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex)
yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro –
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.

19
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka
bakar derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis
dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan
ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas.
Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan
lebih dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang
timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang
terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah
(endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu
pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas
permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang
dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka
bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh
melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil
perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah
yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan
dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai
lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan
penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam.

20
Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong
“electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,
endpoint yang lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada
saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari
eksisi

2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari
metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada
luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis,
kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses
maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah
tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat
dilakukan secara split thickness skin graft atau full thickness skin graft.
Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang
diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang
pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar
1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan
dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia
pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor
sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin
‘dermatome’ ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian.
Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan
epinefrin) dan juga anestesi.

21
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan
dari eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom
setelah dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh
karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan
jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang
dilakukan grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut
tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben
2.11. Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada
luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur.

2.12. Komplikasi
- Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis

2.13. Aspek Kedokteran Forensik pada Korban Luka Bakar


A. Kematian pada korban luka bakar
Kematian karena luka bakar terbagi menjadi kematian cepat dan
kematian lambat. Kematian cepat terjadi dalam beberapa menit sampai
beberapa jam setelah terjadinya luka bakar. Kematian cepat pada luka
bakar dapat terjadi akibat syok neurogenik (nyeri yang sangat berat), luka

22
akibat panas yang menyebabkan kehilangan cairan, dan luka pada saluran
nafas.
Kematian lambat terjadi sebagai hasil beberapa kemungkinan
komplikasi, seperti kehilangan cairan yang dapat menyebabkan syok
hipovolemik atau gagal ginjal, kegagalan cairan akibat luka atau kerusakan
pada epitel saluran pernafasan dan acute respiratory distress syndrome,
serta sepsis akibat pneumonia.
B. Perbandingan luka bakar ante mortem dan post mortem
Pemeriksaan forensik dapat dilakukan untuk mengetahui bahwa
apakah jenazah yang meninggal pada peristiwa kebakaran meninggal
akibat luka bakar atau sudah meninggal sebelum terjadinya luka bakar.
Pada korban yang masih hidup saat terbakar akan ditemukan adanya
gelembung yang terbentuk, adanya jelaga pada saluran pernafasan, serta
saturasi karbon monoksida (CO) dalam darah korban > 10%. Pada korban
yang keracunan CO, jika tubuh korban tidak terbakar seluruhnya, akan
terbentuk lebam mayat berwarna merah terang (cherry red).
Pada tubuh manusia yang telah mati sebelum dibakar, bila dibakar
tidak akan berwarna kemerahan oleh reaksi intravital. Tubuh mayat akan
tampak keras dan kekuningan. Gelembung yang terdapat akan berisi cairan
yang mengandung sedikit albumin yang memberikan sedikit kekeruhan
bila dipanaskan, serta sangat sedikit atau tidak ditemukan sel
polimorfonuklear (PMN).
Ada tiga poin utama untuk membedakan luka bakar antemortem
dan postmortem, yaitu batas kemerahan, vesikasi, dan proses perbaikan.
Pada kasus luka bakar antemortem, terdapat eritema yang disebabkan oleh
distensi kapiler yang sifatnya sementara, menghilang akibat tekanan saat
masih hidup, kemudian memudar setelah mati. Namun, garis merah ini
bisa saja tidak ada pada orang yang sangat lemah kondisinya, yang
meninggal segera setelah syok karena luka bakar tersebut.Vesikasi yang
timbul akibat luka bakar antemortem mengandung cairan serosa yang
berisi albuin, klorida, sedikit PMN, memiliki daerah yang berwarna

23
kemerahan, dan dasarnya inflamasi dengan papilla yang meninggi. Kulit
yang mengelilingi vesikasi tersebut berwarna merah cerah atau berwarna
tembaga. Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan vesikasi sejati
dengan vesikasi palsu yang timbul setelah mati. Vesikasi palsu hanya
mengandung udara dan biasanya juga mengandung serum yang jumlahnya
sedikit, berisi albumin, namun tidak ada klorida. Proses perbaikan, seperti
tanda-tanda inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, pus, dan
pengelupasan, menunjukkan bahwa luka bakar tersebut terjadi saat korban
masih hidup. Luka bakar yang disebabkan setelah mati menunjukkan tidak
ada reaksi vital dan memiliki tampakan dull white dengan membukanya
kelenjar pada kulit yang berwarna abu-abu. Organ internal terpanggang
dan menimbulkan bau yang khas. Perbedaan antara luka bakar antemortem
dan postmortem dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan luka bakar antemortem dan postmortem


Karakteristik Luka Bakar Luka Bakar Postmortem
Antemortem
Vesikel dan Bula - Warna - Warna
sekitarnya sekitarnya tidak
hiperemis hiperemis
- Cairan banyak - Cairan tidak
mengandung mengandung
albumin albumin
- Dasarnya - Dasarnya kering
mengalami dan keras
inflamasi
- Tidak ada udara - Terdapat udara
pada dasarnya didalam
vesikel/bula
Paru dan Saluran - Ada jelaga - Tidak ada jelaga
Nafas

24
- Ada reaksi - Tidak ada reaksi
inflamasi pada inflamasi pada
epitel saluran epitel saluran
nafas nafas

Gambaran - Terdapat - Terdapat sedikit


Mikroskopis serbukan sel atau tidak
PMN terdapat
serbukan sel
PMN

C. Identifikasi korban luka bakar


Identifikasi merupakan proses untuk mencari tahu, meneliti sesuatu
hal yang kabur, tidak jelas, atau tidak diketahui agar menjadi jelas identitas
atau asal-usulnya. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan
dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.
Identitas tersebut dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya
mempelajari, mengamati, dan meneliti profil wajah seseorang, pas foto,
bentuk kepala, bentuk badan, gigi, atau sidik jari. Identifikasi melingkupi
beberapa hal, antara lain pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, dan
pemeriksaan DNA.
a. Pemeriksaan sidik jari
Metode ini dilakukan dengan cara membandingkan sidik jari pada
jenazah dengan data sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan
sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya
untuk menentukan identitas seseorang.
b. Pemeriksaan gigi
Pemeriksaan gigi meliputi pencatatan gigi (odontogram) dan
rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual,
sinar X, dan pencetakan gigi-rahang. Odontogram memuat data tentang
jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. Seperti

25
halnya sidik jari, setiap individu memiliki susunan gigi yang khas sehingga
dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan
dengan data antemortem.

c. Pemeriksaan DNA
Identifikasi dengan pemeriksaan DNA merupakan upaya untuk
membandingkan profil DNA korban dengan DNA pembanding, sehingga
didapatkan hasil DNA yang cocok atau tidak cocok.

26
BAB III
KESIMPULAN

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan oleh
kontak permukaan tubuh dengan sumber panas, seperti kobaran api di tubuh,
jilatan api ke tubuh, terkena air panas, tersentuh benda panas, sengatan listrik,
bahan-bahan kimia, radiasi, dan sengatan matahari. Luka bakar merupakan salah
satu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang
membutuhkan penanganan khusus.
Luka bakar dapat dibagi menjadi empat derajat berdasarkan kedalaman
jaringan yang mengalami kerusakan, yaitu derajat I, derajat II (dangkal dan
dalam), derajat III, dan derajat IV. Selain itu, derajat luka bakar juga dapat dinilai
dari luas permukaan tubuh yang mengalami luka bakar. Penghitungan luas luka
bakar pada tubuh dapat dihitung dengan metode penggunaan palmar, rule of nine,
dan Lund and Browder chart.
Kematian akibat luka bakar dapat berupa kematian cepat yang terjadi
beberapa menit hingga beberapa jam setelah terjadinya luka bakar atau kematian
lambat yang merupakan hasil dari komplikasi kondisi korban. Selain itu, perlu
ditentukan apakah luka yang terjadi pada korban adalah luka bakar antemortem
atau postmortem, yang dapat dilihat dari vesikel/bula yang timbul, gambaran paru
dan saluran pernafasan, serta gambaran mikroskopis. Selanjutnya dilakukan
proses identifikasi untuk menjelaskan identitas korban. Identifikasi korban luka
bakar dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, dan
pemeriksaan DNA.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Yovita S. Penanganan luka bakar. Aceh: Pemerintah Aceh;


2013.
2. Dewi YRS. Luka bakar: konsep umum dan investigasi berbasis
klinis luka antemortem dan postmortem. Denpasar: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; 2013.
3. Dewi D, Sanarto, Taqiyah B. Pengaruh frekuensi perawatan
luka bakar derajat II dengan madu nectar flora terhadap lama penyembuhan
luka. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2011.
4. Syuhar MN. Perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar
derajat II antara pemberian madu dengan tumbukan daun binahong pada tikus
putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Lampung: Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung; 2014.
5. Mansjoer A, Triyanti K, Syafitri R, Wardhani WI, Setiowulan
W. Kapita selekta kedokteran jilid II edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius;
1999. h. 368-9
6. Muarif Z. Asuhan keperawatan dengan combustio grade II pada
Ny. S di Ruang Umar Rumah Sakit Roemani Semarang. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang; 2009.
7. Prasetyono TOH, Rendy L. Merujuk pasien luka bakar:
pertimbangan praktis. Maj Kedokt Indon 2008; 58(6):216-24.
8. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah edisi 2.
Jakarta: EGC; 2004. h.73-4.
9. Veneza ADA. Fungsi sidik jari dalam mengidentifikasi korban
dan pelaku tindak pidana. Makassar: Universitas Hassanuddin; 2013.
10. Syukriani Y. DNA Forensik. Bandung: Sagung Seto; 2012. h.
10.
11. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat
R, de Jong W, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.

28
12. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2003.
13. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors.
Schwartz’s principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies;
2007.
14. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D,
Talavera F, Hirshon JM, Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com. 28 Agusuts 2009.
15. Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari
http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html. 30 Agustus 2009.

29

S-ar putea să vă placă și