Sunteți pe pagina 1din 40

Prolog

Ameerah memandang gaun berwarna merah marun itu dengan malas. Jika ia bisa memilih maka
membaca novel akan lebih menyenangkan dibandingkan berada disebuah pesta dengan segala
keriuhannya. Otaknya mulai memikirkan alasan yang tepat untuk menolak ajakan Ibunya.
Mengerjakan tugas? Ah tidak bisa. Ibunya tahu betul kalau putrinya itu bukan siswa yang tekun
apalagi berprestasi yang merasa tugas sekolah adalah sesuatu yang sangat penting. Sakit? Ah
tidak bisa. Jelas-jelas tadi ia dan Ibunya telah melakukan senam bersama di taman kompleks.
Lalu apa?

Tok..tok…tok…

Ketukan pintu itu semakin mendesak Ameerah untuk segera bergegas sementara tidak satupun
ide yang tepat melintas diotaknya. Ameerah menghela nafas. Sepertinya ia tidak bisa lagi
menghindari ajakan ibunya kali ini.
``````
Ameerah menatap sekeliling ruangan dengan dahi yang mengernyit. Ruangan ini tampak seperti
gulali warna-warni. Semua warna dan segala pernak pernik memenuhi setiap sudut ruangan.
Tidak ada celah bagi matanya untuk beristirahat.
“ Ayo sayang ” Ibunya menarik lembut tangan Ameerah dengan langkah yang terarah ke satu
meja. Baru saja Ameerah menarik kursi hendak duduk, tapi lagi-lagi tangannya ditarik lembut
oleh Ibunya. Ibu dan ayahnya tampak sedang berbincang dengan pasangan sebayanya, teman
mungkin. Ameerah menghela nafas mencoba mengusir kebosanannya.
“ Sayang ini tante Diana sama om Rama, salim nak” pinta Ibunya. Dengan sopan Ameerah
menyalami teman Ibunya itu “ Ameerah” ucapnya kemudian lalu tersenyum ramah. Selanjutnya
Ameerah memilih diam tanpa minat mengikuti pembicaraan orang tuanya.
“ Maaf Ma, Pa. Tadi macet banget” tutur Gibran sambil menyalami Diana dan Kamil bergantian.
Setelah itu ia melirik pasangan yang sebaya dengan orang tuanya.

“ Ini tante Mayya dan om Kamil” Rama menyalami keduanya secara bergantian ” Gibran”
ucapnya sopan, lalu matanya terpaku pada sosok gadis manis yang berada disamping pasangan
yang ia salami.
“Khem…” Mayya berusaha membuyarkan lamunan Rama yang masih menatap lekat Ameerah. “
Gibran” Ucapnya masih menatap Ameerah.

Gibran tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari gaidis itu. Setelah perkenalan mereka, ayah dan
ibunya sudah menuntunya untuk berkenalan dengan rekan orang tuanya yang lain tapi tetap saja
disetiap ada kesempatan matanya selalu mencari dan tertuju pada gadis itu. ia pikir jatuh cinta
baginya adalah suatu hal yang mustahil tapi hanya butuh satu detik untuk membuatnya merubah
semua keyakinan itu.
Amee - 1

Tidak perlu ada senja dan pelangi untuk membuatnya indah, cukup ada aku dan kamu maka
semuanya sempurna.

Ameerah menghelah nafas panjang setelah menyusun rapi buku-buku yang baru saja ia beli.
Cukup melelahkan. Rencananya ia akan marathon baca buku salama liburan sekolah. Disaat
semua temannya menghabiskan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat yang menyengkan
maka ia memilih untuk menghabiskan waktunya dengan melahap setiap kata yang ada dalam
tumpukan buku itu.

“Sepucuk Ampau Merah” Ameerah membaca judul buku yang ada ditangannya lalu bersiap
untuk membacanya. Dibukanya halaman pertama buku itu. menarik. Bagi Ameerah semua buku
bacaan itu menarik kecuali buku pelajaran, apalagi yang isinya angka semua. Jangankan untuk
membaca buku semacam itu melirikpun Ameerah sudah pusing duluan.

Suara kunyahan Ameerah menjadi nada tersendiri ditengah bacaannya. Membaca sambil ngemil
adalah pasangan yang sempurna. Indahnya hidup.

Tok…tok…tok

Lagi-lagi suara ketukan pintu itu mengacaukan kedamaian Ameerah. Dengan malas Ameerah
melangkahkan kaki membuka pintu kamar yang memang sengaja ia kunci. Dahinya mengernyit
melihat penampilan Ibunya yang tampak rapi.

“ Sayang cepat ganti baju, Ayah sebentar lagi sampai” perintah Ibunya lalu melangkah masuk
kedalam kamar Ameerah. “Ini” tangan Ibunya menyodorkan sebuah gaun panjang berwarna navi
yang ia ambil dari dalam lemari Ameerah, “ Dandan yang cantik ya sayang” pinta ibunya lalu
melenggang meninggalkan Ameerah yang masih terperangah tidak percaya, “ pesta lagi?”

Ameerah menggeleng, tidak. Sudah ukup pesta yang kemarin. Ia tidak akan mau diajak kepesta
lagi. Tidak untuk hari ini. Rencananya sudah sempurna. Membaca buku sambil mengemil.

“ Sayang sudah selesai?” Tanya Ibunya dari luar kamar. “ Amee nggak ikut Bun” jawab
Ameerah santai. “ Ini bukan pesta kok sayang, cuma makan malam”. Beberapa menit kemudian
Ameerah keluar dengan gaun selutut berwarna hitam tanpa lengan, rambutnya ia biarkan terurai
dengan sedikit polesan bedak dan pelembab bibir, “Yuk” ajaknya. Ameerah tidak pernah berhasil
dalam hal menolah keinginan orang tuanya

“ Sayang, gaun yang Bunda tadi kasi mana?” Tanya Ibunya sambil merapikan anak-anak rambut
Ameerah yang terlihat sedikit berantakan. “ Kan cuma makan malam Bun” jawab Ameerah
santai lalu mendahului Ibunya.

Ameerah menghentikan langkahnya saat matanya menangkap sosok yang duduk di meja yang
menjadi tujuan langkahnya. Ayah dan Ibunya mengerti akan perubahan sikap Ameerah mencoba
tersenyum dan menenangkan Ameerah seolah tahu apa yang anaknya pikirkan.

Tidak. Ini bukan malam biasa pikir Ameerah. Belajar dari kisa-kisah novel yang sering
dibacanya bahwa pertemuan atau perjamuan makan malam seperti ini tidak bukan dan tidak lain
pasti akan membahas tentang perjodohan. Peasaan Ameerah mulai tidak enak.

“ Ayo Sayang” Ibunya kembali menuntun langkah Ameerah.

Tidak ada satu katapun yang dapat Ameerah tangkap dari perbincangan para orang dewasa
dihapannya, pikirannya terlalu sibuk berandai-andai. Andai sekarang ia bersama doraemon
dengan kanong ajaiibnya, mungkin ia bisa membuka pintu ajai dan menghilang, andai saja tadi ia
berpura-pura sakit maka ia tidak akan duduk di bawah tatapan pria itu saat ini. Hahhh
seandaiya…seandainya…seandainya

Makan malam itu berjalan lancar tanpa ada ketegangan dan penlakan dari Ameerah dan Gibran.
Bahkan Gibran menyambut rencana perjodohannya dengan Ameerah penuh suka cita. Ia pikir
akan sulit untuk mendapatkan gadis itu ternyata semuanya jutru lebih mudah dari yang ia
bayangkan. Apalagi melihat sikap Ameerah yang tampak pasrah, ia yakin cepat atau lambat
gadis itu akan menerimanya dengan hati terbuka bukan karena perjodohan.

Ameerah merebahkan tubuhnya, semua kejadian tadi membuatnya lelah. Kelelahan berpikir.
Semua begitu mendadak tanpa sempat ia mengambil tindakan antisipasi. Usianya baru 17 tahun
dan orang tuanya sudah membahas tentang perjodohan? Para orang tua diluar sana sedang sibuk
merancang masa depan anak mereka, meyiapkan asuransi pendidikan, asuransi kesehatan
bukannya malah sibuk mencari jodoh untuk anak mereka. Lagian apa yang bisa gadis 17tahun
lakukan dengan pernikahan? Mengurusi diri sendiri saja Ameerah masin membutuhkan bantuan
Ibunya apalagi harus mengurusi suami. Lalu mengapa ia tidak menolaknya tadi? menolak secara
lansung sama saja dengan mempermalukan orang tuanya dan Ameerah tidak mungkin
melakukan hal itu. Ameerah terlalu sayang dan hormat kepada kedua orang tuanya.

Amerah memulai harinya dengan perasaan gelisah, galau dan merana. Harapannya untuk bisa
menghabiskan masa liburan dengan tenang sudah hancur sejak kemarin malam. Minatnya untuk
melahap semua kata dalam buku itu telah raib. Apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan
perjodohannya tanpa harus menyakiti perasaan semua orang.
Amee – 2

Bukan waktu yang mendewasakan tapi bagaimana kita belajar dari pengalaman.

Ameerah memangku Pussy sambil mengelusnya sayang. Pussy adalah kucing peliharaan
Bundanya. Bisa dibilang Pussy adalah anak bungsu dalam keluarga Kamil. Mereka begitu
perhatian dan sayang kepada kucing jenis anggora itu. Bulu lebat dan putih bersih Pussy
membuat setiap mata yang memandangnya akan jatuh cinta.

“ Wah Pussy ternyata lagi sama kakak Amee ya? Dari tadi Bunda cariin” Mayya ikut duduk di
lantai samping Amee. Tangannya ikut mengelus elus Pussy.

Ameerah menatap ibunya lekat. Ia sibuk menimbang-nimbang untuk membicarakan soal


perjodohan itu. setahunya Ibunya ini sedang dalam mode enak diajak berbicara jika sedang
bersama Pussy. Dengan tekat kuat Ameerah mulai bersuara.

“ Bun” Mayya hanya menoleh sekilas lalu kembali tersenyum kearah pussy , “ harus ya, Amee di
jodohkan?” tanyanya pelan takut-takut ibunya akan bereaksi diluar dugaannya.

Mayya memandangi putrinya sayang. Sebenarnya jika ia bisa merubah keputusan suamiya maka
ia tidak akan membiarkan putri kecilnya yang masih berusia 17 tahun dijdohkan. Ia tahu betul
bahwa putrinya ini masih bocah, mengurus pakaiannya saja tidak bisa apalagi mengurus suami.
Tapi, ia sama sekali tidak berkutik. Sekali Kamil bilang iya maka iyalah keputusannya, Mayya
dan Ameerah tidak pernah bisa menolak apalagi membantah. Kamil bukanlah sosok suami yang
suka memerintah apalagi menekan, justru Kamil adalah sosok suami sekaligus ayah yang sangat
jarang meminta apalagi menuntut sesuatu baik kepada Mayya ataupun Ameerah maka dari itu
jika Kamil sudah meminta, menuntut, menuruh ataupun memutuskan sesuatu berarti hukumnya
wajib.

Mayya tersenyum lalu menggenggam kedua tangan putrinya. Sebagai sesama perempuan, Mayya
tahu betul tentang kecemasan Ameerah, dulu iapun begitu. Saat menikah dengan Kamil usianya
masih 20 tahun. Ceritanya bahkan lebih drama. Mereka dijoohkan. Saat itu ia masih kuliah
semester empat, jurusan akutansi. Bisa dibilang ia adalah mahasiswi yang berprestasi baik
dibidang akademik maupun kepengurusan organisasi kampus. Tapi bukan itu yang membuat
Mayya sangat tidak rela menerima perjodohannya dengan Kamil dulu. Mayya saat itu sedang
memiliki hubungan asmara dengan dosen pembimbingnya dan mereka berniat serius dengan
hubungannya. Namun, takdir mengatakan lain, ia justru berakhir dipelamin bersama Kamil dan
berhenti kuliah setelahnya karena harus menjadi ibu rumah tangga. Awalnya semua memang
tersa sulit, menikah dengan orang yang sama sekali tidak dicintainya dan harus membuang jauh
semua cita-citanya namun, semua itu sepadan dengan segala cinta dan kebahagian yang Kamil
berikan selama ini. Mayya tidak pernah menyesali pernikaannya dengan Kamil justru ia sangat
bersyukur karena takdir membawanya kepada orang yang tepat.

“ Kamu tahu sayang, kami sangat menyayangi dan mencintaimu nak. Kamu adalah hal yang
paling berharga dalam hidup kami. Ayah ambil keputusan ini buka karena ingin segera
melepasmu, ingin menjauhkanmu dari kami, tidak. Justru Ayah sangat menyangimu nak. Ayah
ingin yang terbaik untuk mu dan ayah tahu apa yang terbaik untukmu.” Tutur Mayya lembut lalu
sebulir air mata jatuh dari sudut matanya. Meskipun dirnya sendiri masih ragu dengan
perjodohan putrinya tapi ia tahu betul bahwa Kamil sangat mencintai keluarganya dan selalu
melakukan yang terbaik untuk mereka.

Ameerah tidak tahu harus berkata apa, penuturan Ibunya membuat lidahnya kelu. ia tahu betul
bagaimana usaha ayahnya selama ini untuk membuat mereka bahagia, bagaimana kerja keras
ayahnya membangun usaha semua demi memenuhi kebutuhan keluarganya, bagaimana uasaha
ayahnya untuk tetap tersenyum meskipun ia tahu bahwa ayahnya sudah sanagt lelah tapi tetap
saja memberikan senym terbaiknya, pelukan terhangatnya, itu semua karena ayahnya sangat
mencintainya. Lalu mengapa ia harus ragu dengan keputusan ayahnya, inipun baru keputusan
ayahnya belum keputusan tuhan. Saat ini ia hanya perlu menjalaninya perlahan seidaknya
dengan begitu akan sedikit membuat hati ayah dan Ibunya tenang.

“ Amee juga sayaaaang baget sama Ayah Bunda” ucapnya lalu memeluk ibunya. Ameerah
berusaha memantapkan hatinya, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Ini baru
perjodohan dan mereka juda tidk diminta uuntuk menikah besok kan? Iya kan? Huh semoga.

Baru saja Ameerah hendak merebahkan tubuhnya dan bergelung dibalik selimut namun terusik
oleh deringan telpon. Ameerah kembali duduk dan meraih ponselnya yang berada diatas nakas.

Nomor baru. Ameerah kembal eletakkan ponselnya. Ia tidak pernah mengangkat pangilan dari
nomor baru pada deringan pertama, ia selalu membiarkannya bordering setidaknya tiga kali baru
ia menjawabnya. Ia selalu berpikiran bahwa jika hanya bordering sekalin berarti orang salah
nomer, dering kedu berarti orang iseng nah kalau sudah bererng tiga kali apalagi empat kali
berarti penting. Akhirnya dideringan yang ke tiga Ameerh menjawab telponnya.

“ Assalamu alaikum…” sapa suara diseberang yang terdengar asing.

“ Wa’alaikum salam…” jawab Ameerah sambil menerka siapa si penelpon, jangan-


jangan…pikirnya, Ameerah mulai gugup memikirkan kemungkin si penelpon adalah pria yang
dijodohkan dengannya.

“ Ini saya, Gibran. Saya dapat nomer kamu dari om Kamil” jelasnya. Ameeah hanya diam
mendengarkan. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak punya pengalaman sama sekali
dalam hal asmara. Semua kata dan kisah dalam buku yang i abaca tidak bisa membantunya sama
sekali” Am…kamu masih disitu kan?” suara Gibran kembali terdengar. “ Ah? Iya” jawab
Ameerah singkat. “ kalau saya ajak kamu jalan besok, mau nggak?” Tanya Gibran yang berhasil
membuat Ameerah panic, ia harus menjawab apa? “ Am?” suara Gibran semakin mendesak, “
Ah…em….nanti saya tanya bunda dulu” Ameerah tidak tahu harus menjawab apa? Hanya
kalimat itu yang berhasil lolos dari bibirnya. Hening, tidak ada yang berniat membuka suara
sampai akhirnya Gibran menyerh dan mengakhirinya “ ya udah nanti kamu hubungi saya balik
yah “ satu detik…dua deti..tiga deti…” iya” butuh tiga detik bagi Ameerah untuk bisa
mengucapkan tiga huruf itu. setelah sambungan telepon itu terputus Ameerah baru bisa benafas
lega.

Selama ini, ayah dan ibunya selalu melarang keras Ameerah untuk berhubungan dengan teman
lelakinya diluar pelajaran dan Ameerah yang sangat patuh itu tidak pernah sekalipun ia
melanggarnya. Bagaimana cara buat ngasih tau bunda ya? Tanya batin Ameerah. Ah nanti aja
deh, eh tapi nanti dianya nunggu lama lag, ahhh ge-er banget gue dia lagi nuggu…, Ameerah
sibuk dengan pikirannya sendiri.

Ting..

Ameerah melirik layar ponselnya yang menampilkan sebuah pesan. Ameerah tersenyum lalu
membuka pesan itu. Pesan yang berisi gambar pemandangan dari puncak gunung. Ameerah
memandang takjub gambar yang ditampilkan layar ponselnya itu. Lalu membaca pesan
dibawahnya.

Meysha : Indah banget Am…coba lo ikut pasti makin indah deh.


Ameerah meghela nafas sebelum mengetik pesan balasan untuk Mey.
Ameerah : Lain kali deh Mey…gue ajak suami tapi hehehe
Meysha : Ya elah ngomong suami, malas gua. Bye
Ameerah : hehehe maaf, Enjoy your time.

Ameerah masih menatap layar ponselnya. Kok bisa kepikiran buat bahas suami sih? Ameerah
mengeleng-gelengkan kepalanya berusaha menghilagkan pikiran anehnya. Ameerah turun dari
ranjangnya dan melangkah keluar mencari bundanya. Ia masih berutang jawaban. Kok sepi?
Tanya Ameerah setelah mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Bunda lagi keluar ya?

Ameerah kembali kekamarnya lalu mengirimkan pesan kepada Gibran.

Ameerah : Kak, kayaknya bunda lagi keluar. Nanti ya Amee tanya kalau bunda udah
pulang.
Beberapa menit kemudian bukan pesan balasn yang Amee dapatkan melaikan paggilan telpon
dari Gibran. Lagi? Ameerah menata layar ponselnya.
Amee – 3

Setidaknya beri aku satu tanda agar aku tahu kita punya rasa yang sama.

Gibran menghempaskan tubuhnya diatas kasur empuknya. Mata pria itu menatap lekat langit-
langit kamarnya sementara suara Ameerah terus saja terngiang dan mengganggu. Lihat saja
belum cukup dua jam tapi ia sudah menelpon gadis itu sebanyak dua kali. Hanya dengan
mendengar suaranya, hati Gibran sudah berdetak lebih kencang, giginyapun sudah hampir kering
karena terlalu lama tersenyum. Rasanya Gibran ingin melipat waktu dengan begitu hari esok
akan lebih cepat atau kalau bisa besok mereka sudah tersenyum diatas pelaminan. Memikirkan
tentang pelaminan, seketika ada perasaan hangat dalam dadanya. Semoga gadis itu adalah sosok
yang selama ini ia tunggu. Gadis? Ia Ameerah masih gadis, usianya baru 17 tahun. Sementara
Gibran sudah pria, 28 tahun. Gibran buru-buru bangun dari tidurnya dan berdiri di depan cermin
yang ada dikamarnya. Ia menimbang nimbang, apakah Ameerah tidk terlalu muda? Atau dia
yang sudah terlalu dewasa untuk gadis berusia 17 tahun? Ahh pusing. Gibran kembali
merebahkan tubuhnya diatas kasur empuknya. Pikirannya benar-benar tidak tenang, kali ini
muncul dipikirannya bahwa mungkin saja Ameerah sudah memilki kekasih, siapa sih yang tidak
akan jatuh hati pada gadis manis seperti Ameerah? Ahh pusing.

Lelah. Setelah membolak balikkan badan beberapa kali tapi matanya tetap saja sulit untuk
terpejam apalagi terlelap. Hatinya gelisah. Berkali-kali Gibran menatap layar ponselnya, ingin
rasanya ia kembali mendengar suara itu, kalau tau akan begini pasti obrolannya beberapa jam
yang lalu akan ia rekam, mungkin dengan mendengar suara itu ia bisa memejamkan mata. Ia
akan mencari cara agar pernikahannya dipercepat, ahh dasar Gibran tidak sabaran. Rutuk
batinnya. Entahlah selama ini dia betah-betah saja berstatuskan single, bahkan setiap kali ditanya
perihal pasangan maka dengan bosan ia akan menjawab, “ Gue masih pengen sendiri” tapi
semenjak bertemu Ameerah dia jadi ngebet nikah. Apa semua orang yang jatuh cinta begitu ya?
Pengennya dekat aja terus. Gibran kembali tersenyum dengan pikirannya sendiri.

“Telpon nggak ya? Tapi ini udah lewat tengah malam, kasian kalau harus bangunin.”

“Telpon nggak ya? Tapi nanti gue terkesan ngebet banget dianya malah ilfill lagi.”

“Tapi kalau nggak dengar suara dia bisa-bisa gue bakalan begadang, nggak bisa tidur..huuuuh”
Gibran mengacak rambutnya gusar.” Kok gue jadi jablai gini sih”

Gibran merasa kesetanan sendiri ketika jarinya mendial kontak Ameerah. Ia benar-benar ingin
mendengar suara gadis itu. Sepertinya pernikahan memang harus mereka bicarakan, segera.

“ eghh…” Gibran merutuki dirinya yang menegang hanya dengan mendengar Ameerah
melenguh. Ahh ini mah sama saja meracini diri sendiri. Harapannya ia bisa tertidur nyanyak
setelah mendengar suara gadis itu tapi yang ada malah dia dapat dipastikan akan terjaga sepanjan
malam. Gibran menghela nafas panjang setelah memutuskan sambungan telponnya. Sebaiknya ia
mandi.

Gibran menghela nafas lega setelah memarkirkan mobilnya di depan halaman rumah Ameerah.
Namun perasaan gugup itu muncul saat sosok Ameerah sudah berdiri dihadapannya sambil
tersenyum manis. Gibran merasa dirinya kembali menjadi remaja yang sedang kasmaran.

Setelah mengobrol sebentar dengan Mayya dan Kemil, Gibranpun segera meminta Izin untuk
mengajak Ameerah keluar.

Gibran merasa gemas sendiri dengan sikap santai gadis yang berjalan disisinya itu. Berbeda
dengan dirinya yang sulit utnuk mengendalikan debaran jantungnya. Tangan Ameerah terlihat
sangat menarik untuk ia raih dalam genggaman tapi ia tak tahu harus bagaimana? Apa Ameerah
akan marah jika ia memberanikan diri menggenggam tangannya?

Lembut dan hangat. Telapak tangan Ameerah begitu lembut dan memberikan kehangatan, itulah
yang dirasakan Gibran didetik pertama pertautan tangan mereka. Dengan susah payah Gibran
mengumpulkan keberanian untuk menggenggam tangan gadis itu. Gibran menoleh takut-takut
kearah gadis itu, takut Ameerah akan menarik paksa tangannya. Tapi, yang ia dapat hanya
tatapan datar gadis itu. Apa ini artinya Ameerah pasrah saja atau merasa terpaksa karena harus
menjaga perasaannya? Pikir Gibran. Perlahan Gibran melepas genggamannya. Jujur ia sangat
nyaman dengan kehangatan tangan gadis itu tapi ia juga tidak ingin egois, bersenang-senang
diatas penderitaan orang lain. Gadis itu mau jalan dengannya saja ia tak tahu apa itu karena
kemauannya sendiri atau karena harus mengikuti keinginan orang tua. Mungkin diluarnya saja
gadis itu tersenyum sedang dalam hatinya ia sedang merutuki nasibnya. Persaan Gibran tiba-tiba
menjadi sendu, bagaimana jika hanya ia yang merasa bahagia.
Tak ada suara sebagai pemandu langkah. Semua berjalan begitu saja dan berakhir disebuah
bioskop yang padat pengunjung. Gibran kembali melirik Ameerah yang masih betah dalam
diamnya, entah apa yang dipikirkan gadis itu, apa dia merasa bosan jalan denganku? Tanya batin
Gibran.

“ Mau nonton apa?” tanya Gibran sambil mengamati satu pesatu poster Film yang sedang
tayang. Rasanya enggan melirik Ameerah. Ia takut kalau saja tatapan yang ia dapat akan
menciutkan nyalinya. Ia nyali untuk memperjuangkan perasaannya.
“ Aku ikut kakak aja” akhirnya suara gadis itu terdengar. Giban kira seharian dia tidak akan
mendengarnya.

Gibran mulai menimbang-nimbang film yang cocok untuk suasana mereka saat ini.

‘ah jangan film horror nanti dikira modus’ bisik batinnya.


‘ ya jangan film alay juga kali’ bisik batinnya ketika melirik poster film romance

“ Gimana kalau Jumanji?’’ tanya Gibran yang kini memberanikan diri melirik Ameerah tapi
sayangnya yang dilirik justru sedang menatap serius layar ponselnya. Nasib.

Sakit. Sumpah sakitnya tuh disini. Gibran bermonolog dengan batinnya. Dikacangin rasanya
sumpah menyakitkan. Film yang mereka tonton sudah setengahnya dan itupun mereka habiskan
dengan berdiam diri padahal seharusnya mereka bisa tertawa bersama. Mereka duduk di kursi
yang bersebelahan, begitu dekat namun seperti orang asing. Gibran menekan perasaannya sebisa
mungkin untuk tidak menarik paksa gadis yang duduk manis disebelahnya lalu meneriakinya ’
mau kamu apa sih?’.

“ kamu mau kita makan dulu atau mau langsung pulang?” tanya Gibran tanpa menatap Ameerah.
Ia benar-benar kehilngan selera makannya. Rasanya ia seperti sedang membawa Mannequin
kemana-mana. Jika bisa Gibran sangat ingin melihat isi kepala gadis itu, apasih yang sedang ia
pikirkan? Rencanakan? Apa ini caranya untuk membuat Gibran mundur dari perjodohannya?
Kalau memang iya, selamat karena cara ini berhasil. Cinta yang baru saja akan tumbuh sudah
harus layu tanpa sempat merasakan hangatnya mentari.
Amee – 4

Mari mendamaikan hati. Menerima bahwa bukan lagi aku, bukan lagi kamu, tapi KITA.

Ameerah menatap ponselnya, sudah hampir satu jam yang lalu pesan permintaan maafnya ia
kirim tapi belum ada tanda-tanda jika pesan itu akan mendapat balasannya. Bahkan dilihatpun
tidak, apalagi dibaca. Ia teringat ucapan Mey dulu saat mereka belum lama menjalin
persahabatan. “ kamu itu ibarat bambu yang lurusnya ampun-ampunan, kaku, nggak bisa
bengkok yang ada kalau dipaksain malah patah”, Ameerah tersenyum kecut. Tidak ada yang bisa
dibanggakan dari dirinya. Kemampuan akademik dan kemampuan sosialisasinya rendah, sangat
memprihatinkan. Ia hanya memiliki satu sahabat yaitu Mey. “ untung gue baik hati, kalau bukan
karena gue kasian liat lo sendirian mulu, nggak bakal gue mau jadi teman apalagi sahabat lo”
ucap Mey kesal sendiri dengan sikap Ameerah yang terlalu kaku. Semua yang dikatakan
sahabatnya itu memang benar, tidak ada bantahan. Kehidupannya sebagai anak tunggal
membuatnya terbiasa sendiri. Bermain dan kesenangan lainnya ia lakukan sendiri, ditambah
dengan sikap protektif Mayya membuat Ameerah semakin terkurung dan berdamai dengan
kesendirian. Kalaupun sekarang ia sudah bisa sedikit bercanda itu karena terpengaruh oleh si
Mey yang anaknya memang periang dan sangat terbuka.

“ Bukan salahnya jika kecewa” ucap Ameerah lesuh sebelum memejamkan mata dan beritirahat
dalam lelapnya.

Ameerah terbangun begitu suara Murattal Al-qur’an terdengar mengalun merdu dari menara
masjid yang berada tak jauh dari rumahnya. “ Alhamdulillah…” doanya. Waktu subuh hari
merupakan waktu yang menentukan apakah kita adalah seorang pemimpin atau pemimpi.

Setelah menunaikan kewajibannya, Ameerah mulai mempersiapakan perlengkapan sekolahnya.


Hari ini merupakan hari pertama sekolah setelah libur semester ganjil. Seharusnya Ameerah
bersemangat bersekolah karena hari ini merupakan hari yang telah lama ia tunggu. Ameerah
sangat merindukan suasana sekolah, apalagi Mey. Ameerah merindukan gadis itu. Tapi, kejadian
kemarin masih saja menggangu pikirannya. Bahkan tadi saat mengaktifkan ponselnya, pesan
yang dikirim semalam masih sama, belum terbaca apalagi balasan.
Suara klakson mobil yang telah terparkir di depa gerbang rumahnya, membuat Ameerah buru-
buru melahap sisa roti yang ada di tangannya. “ Bun…Yah…Amee pergi ya, Assalamu alaikum”
pamitnya sambil mencium pipi Mayya dan Kemil bergantian.

“ Maaf ya” ucapa Ameerah begitu duduk di kursi penumpang, hari ini Mey sengaja menjeput
Ameerah, katanya rindu.
“ Untung gue lagi kengen ama lo jadi gue maafin” jawab Mey lalu tertawa kecil.

Mereka tersenyum bahagia hanya dengan menatap sekeliling ruang-ruang sekolahnya. Fenomena
anak sekolahan. Lagi sekolah minta libur sekalinya libur katanya rindu sekolah. Susana kelas
sedikit bising, mereka duduk dengan gengnya masing-masing sambil bertukar cerita tentang
liburan mereka, bertukar souvenir yang menjadi bukti bahwa mereka pernah memijakkan kaki
disana. Amee hanya bisa tersenyum melihat wajah bahagia teman-temannya. Sebenarnya jauh
dalam libuk hatinya, ia ingin sekali seperti mereka, berlibur ditepat yang menyenangkan, tapi
Kemil terlalu sibuk untuk diajak liburan. Saat ini bisnis Ayah Ameerah itu sedang berada dimasa
jayanya, jadi baginya setiap detik adalah peluang untung bisa lebih maju. Mayya dan Ameerah
tidak pernah mengeluh tentang kesibukan Kemil, karena mereka tahu semua yang Kemil lakukan
adalah untuk mereka, untuk keluarga mereka.

Mey menggiring langkah Ameerah menuju mejanya yang berada di barisan depan paling sudut.
Gadis itu sudah tidak sabar untuk membagi cerita liburannya. Ameerah sebenarnya bisa saja ikut
liburan bersama keluarga Mey tapi ia tidak tega meninggalkan ibunya yang kesepian di rumah
seorang diri, sementara ia tengah asik tertawa ditempat yang berbeda.
“ nih gue punya ole-ole buat lo” Mey mengeluarkan sebuah paperbag dari dalam tasnya.
Ameerah membuka lalu tesenyum haru pada gadis yang duduk disebelahnya. “ gue sayang
banget ama lo Mey” ucapnya tulus. Sebuah novel jepang yang ditandatangani langsung oleh
penulisanya. “ Mey gitu lho!” balas gadis itu dengan bangganya karena bisa menyenangkan hati
sahabatnya.
“ sekarang gantian, lho ngapain aja dirumah? Selain membaca ya!” inilah yang mebuat Ameerah
sangat menyukai sahabatnya itu. Meskipun tahu tidak banyak cerita dalam hidup Ameerah dan
ceritanya bisa dibilang hanya itu-itu saja tapi gadis itu tidak pernah terlihat bosan saat
mendengarkan penuturan Ameerah bahkan ia terlihat antusias seolah belum pernah mendengar
cerita yang serupa padahal Ameerah sendiri yakin bahwa sahabatnya itu sudah bisa menebak
bahkan mungkin hapal dengan semua alur cerita hidup Ameerah.
Ameerah menatap Mey, bingung. Apa ia harus menceritakan tentang perjodohannya yang
berakhir dengan kejadian kemarin? Atau ia tidak perlu membahasnya lagi karena sepertinya
semua itu sudah berubah menjadi masa lalu? Hiburan di masa liburan.

Mey menyipitkan matanya curiga, tidak biasanya Ameerah memerlukan beberapa detik untuk
mulai bercerita, biasannya gadis itu akan memulai ceritanya dengan bosan, “ Ya gitu, gue main
sama Pussy, bantuin buda masak resep baru, bersih-bersih, sama senam di taman kompleks”
“ hayooo…lo lagi ngerencanain buat nyembunyiin sesuatu kan dari gue?” desak Mey, Ameerah
meringis karena pikirannya sangat mudah tertebak oleh sahabatnya.
“ kemarin gue sempat dijodohin…” tutur Ameerah dengan mengecilkan suaranya, takut-takut
jika ada yang mencuri dengar. Mata Mey langsung melebar, terkejut. “ sama siapa?” tanyanya
dengan suara yang cukup lantang karena terkejut, Ameerah meletakkan jari telunjukkanya di
depan bibir Mey, memintanya untuk diam dan cukup mendengarkan saja. Mey mengangguk
mengiyakan. Mengalirlah cerita tentang perjodohan Ameerah dan berakhir pada kejadian
kemarin, kencan yang berujung kekesalan atau mungkin pembatalan perjodohan.
“ hahahaha” Mey tergelak mendengar penuturan Ameerah. Sementara Ameerah sudah pasrah di
tertawakan karena memang ia pantas untuk ditertawakan.
“ sorisorisori” ucap Mey setelah lelah dengan tawanya, “ abis cerita lo lucu banget”
“ udah ah, nasi udah jadi bubur ini” ucap Ameerah tak berselera lagi meladeni Mey.
“ gue heran deh sama elo, dari sekian juta kata dan dialog dalam novel romance yang kamu baca
masa sih nggak ada satupun yang bisa lo terapin?” ujar Mey berlebihan sampai harus menepuk
jidatnya. “ itu kata lo kemanain semua?” tambanya lagi
“ gue kemarin bahkan cari di google, apa yang harus wanita lakukan dikencan pertamanya!”
Jawan Ameerah dengan polosnya, “ tapi tetap aja, nggak ada yang bisa gue terapin. Setiap gue
mau ngomong, rasanya lidah gue kaku, buat ketawa aja susah padahal penonton disimping gue
udah ngakak kalau bisa jungkir balik malah” lagi-lagi Mey tergelak mendengar jawaban
Ameerah.
“ terus tu cowok ngakak juga?” tanya Mey masih dengn tawanya. Ameerah memutar bola
matanya malas, Mey mulai gagal fokus. “ jangankan ngakak Mey, kalau bisa mungkin dia
bakalan nyeret gue keluar studio terus telantarin gue disana saking kesalnya” Mey yakin sebentar
lagi ia akan sakit perut karena tertawa. Mey berusaha mengatur nafasnya karena guru yang akan
mengajar di pelajaran pertama sudah berdiri tegap di ambang pintu sambil mengedarkan tatapan
mautnya.
Ibarat pepatah, jangan terlalu senang dikala tenang karena badai akan selalu datang disaat
kamu lengah dalam ketenangan.

“ Kok lo bisa tahu sih kalau si doi kesal amat gitu?” Mey melajutkan pertanyaannya saat satu
kaki guru akutansinya telah melewati daun pintu. Rasa ingin tahu gadis ini memang diatas rata-
rata.
“ menurut lo? Pesan permintaan maaf gue aja belum dibaca.” Jawab malas. Ameerah bosan
dengan pembahasan itu lagi dan untungnya Mey mengerti dan lebih memilih untuk menekan rasa
penasarannya sementara waktu. Ia tahu betul sifat Ameerah.

Kaki Ameerah sudah lelah diajak keluar masuk toko satu ke toko yang lain oleh Mey. Padahal
tadi bujuknya hanya ingin ditemani mencari buku untuk persiapan ujian yang tinggal tiga bulan
lagi. Tapi lihat, bukannya ke toko buku, kakinya malah berkeliaran keluar masuk toko yang sama
sekali tidak ada bukunya, kecuali buku manual.
Ameerah bernafas lega saat Mey mulai kelelahan dan mengeluh bahwa ia sudah menguras habis
isi kartu kreditnya. Sekarang saatnya mengisi perut mereka yang sudah berdemo ria meminta
haknya. Semua cadangan energy Ameerah telah terkuras habis.

“ups..sori..sori banget ya, gue nggak sengaja” ucap seseorang wanita yang tidak sengaja
menumpahkan minumannya dibaju Ameerah, Ameerha hanya tersenyum memaklumi. Tapi baru
saja ia akan melangkahkan kaki wanita itu tiba-tiba ia mendengar suara yang entah sejak kapan
mulai akrab ditelinganya. Ameerah menoleh hanya untuk memastikan pendengarannya, “ kamu
kenapa?” tanya pemilik suara kepada wanita yang tadi. Ameerah terpaku ditempatnya sambil
terus menatap pemilik suara itu, Gibran. Ameerah buru-buru menunduk ketika sepasang mata itu
balas menatapnya.
“ woyy ngapain disitu?” panggil Mey. Ameerah bersyukur bisa segera beranjak dari hadapan
Gibran. Hati Ameerah semakin merasa bersalah dan sedikit menduga tentang alasan pria itu
begitu kesal. Waktu libur yang seharusnya ia habiskan bersama seseorang yang ia cintai harus ia
habiskan bersama gadis yang mengesalkan. Ameerah tersenyum kecut dengan pikirannya
sendiri.
Amee – 5
Terima kasih telah memutuskan dan tak lagi memubuatku kebingungan dalam penantian.

Gibran menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. Ia masih kesal dengan kejadian
kemarin tapi juga tidak rela dengan suasana ini, suasana yang membuat mereka berdua seperti
orang asing yang tidak sengaja bertemu. Kisah yang ia pikir akan selamanya ternyata hanya
sekejab mata. Tidak. Gibran mengelengan kepala mengusir segala pikirannya.
“ Mas kenapa sih?” tanya Risha, adik sepupu Gibran, wanita yang tadi tidak sengaja
menumpahkan minumannya kebaju Ameerah.
“ Pulang yuk!” ajak Gibran. Ia sudah tidak berselera lagi untuk mengisi lambungnya. Risha
melongo mendengar ajakan pulang Gibran. Bukannya tadi kakak sepupunya itu yang gencar
sekali membujuknya untuk ditemani makan?
“ enak aja pulang, ini makanan mau diapain? Aku juga udah keburu ngiler ini” jawab Risha
keberatan sementara Gibran sudah beranjak dari duduknya. “ ya udah kamu makan, mas
pulang!” jawab Gibran asal, moodnya benar-benar buruk. Risha terpaksa melambai kearah
pelayan meminta agar makan mereka dibungkus. Wanita itu bingung dengan perubahan sikap
kakak sepupunya.

Begitu keluar dari pintu kemudinya, Gibran langung melangkah cepat ingin segera mengurung
diri di dalam kamarnya. Ia bahkan mengabaikan keluarga besarnya yang sedang berbincang di
ruang keluarga. Ia butuh suasana tenang untuk memikirkan hubungannya dengan Ameerah. Jujur
ia sangat merindukan suara dan senyuman manis gadis itu.

Gibran menatap langit-langit kamarnya, “ huh..tega kamu Am..” keluhnya, ia sudah seperti ABG
labil yang kurang kasih sayang. Dimana kedewasaan dan kewibawaan yang selama ini ia
banggakan? Cinta benar-benar tak ada logika. Gibran merogoh saku celananya saat merasa
ponselnya bergetar. Tenyata hanya pesan layanan, ia sempat berharap bahwa pesan itu dari
Ameerah. Pesan? Bukankah semalam gadis itu mengiriminya pesan? Buru-buru Gibran
membuka aplikasi pesannya dan mencari pesan yang dikirim oleh gadis itu, teryata selain pesan
dari Ameerah ada banyak lagi pesan yang belum dibukanya.

My Girl : Assalamu alaikum….kak


Udah sampe rumah?
Amee minta maaf ya udah ngerusak kencan pertama kita. Amee benar-benar
nggak tahu tadi harus ngapain. Ini pengalaman pertama Amee jalan sama
cowok.

Gibran mungusap wajahnya kasar. Sekarang bukan hanya kesal tapi juga menyesal. Bisa-bisanya
ia hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jarinya dengan cepat mendial kontak gadis itu. Tidak
terhubung. Gibran menggeram menahan kekesalan dan penyesalannya.
“ Mass…kata eyanng, eyang mau bicara sama mas, mas di tunggu dibawah ya” terdengar suara
cempreng Risha yang berteriak dari luar kamar Gibran. Dengan malas pria itu melanghkah
keluar kamar menuju ruang keluarga. Gibran menatap heran semua anggota keluarganya yang
hadir. Apa hari ini jadwal arisan keluarga?
Dengan canggung Gibran duduk disamping eyangnya, sepertinya posisi itu memang sengaja
dikosongkan. Eyangnnya tersenyum lembut membuat Gibran merinding. Tidak biasanya eyang
ramah begini, bibirnya kan lebih akrab dengan petuah-petuah yang bisa bikin orang sesak nafas.
Pikir Gibran.
“ Bagaimana hubungan kamu sama Ameerah” tanya Eyangnya, Ibu dari Rama. Kabar Ameerah?
Gibran memperhatikan semua anggota keluarganya yang sedang menatapnya serius.
“ baik” jawabnya singkat. ‘ sangat tidak BAIK’ maksudnya. Sambungnya dalam hati.
“ Syukurlah kalau begitu, semoga semuanya dapat berjalan dengan lancar” ujar eyangnya ringa
lalu serempak semua anggota keluarganya berucap “ Amiin” bahkan Gibran ikut megaminkan
tanpa tahu maksud dari doa yang ia aminkan itu.
Diana beranjak dari duduknya saat deringan telpon berbunyi. Ia tampak seumringah. Apa sih
yang mereka rencanakan? Pikir Gibran, saat melihat ibu dan eyangnya saling memberi kode, ini
sudah tahun 2018 tapi masih pakai kode? Terserah deh, lebih baik ia kembali kekamar dan
semoga Ameerah sudah bisa dihubungi.
“ Nomor yang anda tuju sedang….” Lagi-lagi jawaban itu yang Gibran dengar. Kemana sih
Gadis itu? tanyanya hampir hilang kesabaran.

Gibran mengerjabkan mata beberapa kali untuk menegmbalikan kesadarannya. Ternyata tadi ia
tertidur setelah lelah mendial nomor Ameerah. Ketukan pintu kamarnya semakin mendesak.
Gibran melirik jam diatas nakas ternyata sudah masuk waktu ashar.
“ Iya, Gibran wudhu dulu” jawabnya lalu menuju kamar mandi. Ibunya selalu begitu, setiap
memasuki waktu sholat. Gibran tidak mengerti dengan Ibunya, dikiranya Gibran masih anak
kecil yang harus diingatkan setiap waktu sholat?

Gibran menuruni anak tangga perlahan, dahinya menegrnyit. Ini tema kumpul keluarganya apaan
sih? Kok banyak barang bawaan gitu? Lebih mirip seserahan kayaknya, pikirnya lagi. Ia kembali
menggeleng mengusir keingintahuannya, kalau dilanjutkan bisa-bisa ia telat kemesjid.

“ Assalamu alaikum…” ucap Gibran memasuki rumah, dahinya kembali mengernyit ‘ kemana
barang-barang tadi’ tanyanya dalam hati. Bahkan rumah lebih sepi hanya Khadijah dan Arkan
yang sedang terlihat asik menonon tv. Ia mendekati kedua boah itu dan duduk disampingnya.
Sebenarnya ia penasaran dengan perubahan suasana ini, tapi tidak mungkin ia bertanya kepada
dua bocah dihapannya itu. ia yakin 100% kalau tidak ada jawaban yang akan ia dapatnya. Mata
para bocah itu sudah terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara kartun kesukaan
mereka, si dua bocah kembar penggila ayam goreng.

“ loh kok masih disini? Belom siap-siap” tegur Riana, saudara kembar Rama. Gibran menoleh
kearah sumber suara dan mendapati bibinya itu sudah tampak anggun dalam balutan kebaya
berwarna hijau tua.
“ nikahan siapa?” tanya Gibran asal.
“ bukan nikahan nak, kita akan kerumah Ameerah dan lamar dia buat jadi istri kamu” syok.
Gibran syok dengan pernyataan Riana barusan. Apa lamaran? Senyumnya langsung
mengembang. Rejeki anak sholeh. Baru saja tadi dimesjid ia berdoa untuk lebih di dekatkan
dengan Ameerah ternyata donya sudah diijabah. Buru-buru ia kembali kekamarnya untuk siap-
siap. Rasanya Gibran ingin menangis haru saat mendapati setelan kemeja batik yang sudah
tertata rapi diatas ranjangnya lengkap dengan sebuah kotak merah yang didalamnya tersemat
cincin berwarna putih, cantik. Pasti akan lebih cantik jika sudah tersemat dijari Ameerah. Gibran
merasa melambung tinggi oleh hayalannya sendiri. Tapi, tunggu. Bagaimana jika gadis itu
menolaknya? Huhhh. Tidak. Ameerah pasti tidak akan menolaknya, jika memang Ameerah
berniat menolaknya maka gadis itu pasti sudah menolaknya dari kemarin-kemarin dan tidak
perlu repot untuk mengirimkan pesan permintaan maaf hanya karena membuatnya kesal di
kencan pertama mereka. Patut di garis bawahi kencan pertama, gadis itu sendiri ya yang
menyebut acara jalan-jalan mereka sebagai kencan!. Gibran semakin percaya diri dengan
asumsinya itu.

Keluarga Ameerah menyambut kedatangan kelurga Gibran dengan sangat ramah. Rumah itu
tampak sedikit berbeda dari yang terakhir kali Gibran lihat, lebih tepannya kemarin. Rumah ini
sepertinya sengaja di hias di beberapa tempat. Apa Ameerah sama sepertinya yang tidak tahu
menahu tentang acara lamaran ini? Tanya Gibran dalam hati. Buktinya Gadis itu masih sempat-
sempatnya berkeliaran di pusat perbelanjaan tadi siang, ah kenapa disaat seperti ini dia masih
saja mengingat kejadian itu.

Meski kedua keluarga mereka sudah saling kenal namun aura keseriusan itu tetap kental. Mereka
duduk saling berhadapan. Rama membuka percakapan dengan bahasa yang sangat formal dengan
wajah serius, ia menyampaikan maksud kedatangan keluarga mereka dengan sangat baik.
Begitupun dengan Kemil yang menyambut niat dan tujuan kedatangan keluaraga Rama dengan
sangat baik. Hingga tibalah saat-saat mendebarkan ketika dengan anggunnya Amee menuruni
anak tangga dengan salah satu tangannya digandeng oleh Mayya yang menuntunnya. Gadis itu
tampak sangat cantik dalam balutan kebaya berwarna merah muda dengan sedikit polesan
diwajahnya. Masyaa Allah, puji Gibran dalam hati. Gibran bisa merasakan debaran jantungnya
semakin cepat seakan ingin melompat dari rongganya. Ameerah duduk disamping Kemil dengan
tetap menundukkan pandangannya.

Gibran menahan nafasnya ketika Ameerah ditanyai tentang lamarannya, apakah ia bersedia
menerima lamaran Gibran? butuh beberapa detik hingga akhirnya gadis itu menganggukkan
kepalanya tanda ia bersedia. “ Alhamdulillah” ucap mereka bersamaan.
Amee – 6

Mengapa risau denga hal-hal yang belum terjadi tapi tidak memperispkan diri untuk
menghadapinya?

Berkali-kali gadis itu mengehela nafas panjang sambil menatap langit yang menjulang dengan
jutaan bintang yang meneranginya. Semua terjadi begitu cepat. Kenalan, makan malam, kencan
pertama dan tadi lamaran. Besok apalagi? Setetes air matanya kemudian jatuh. Ia belum siap
untuk semua kejutan ini. Usianya masih 17 tahun. Banyak ketakutan yang ia rasakan.
Kehidupannya selama ini terlalu biasa untuk mendapatkan kejutan takdir seperti ini. Ia tidak
pernah mempersiapkan diri untuk hal-hal mendadak apalagi tentang hubungan sacral seperti
pernikahan. Kata pernikahan itu belum terpikirkan olehnya sama sekali. Ia kira perjodohan ini
tidak akan memaksanya untuk menerima semuanya tanpa diberi celah waktu untuk mencerna, ia
hanya perlu menjalaninya perlahan dan seiring bejalannya waktu maka ia akan terbiasa. Tapi,
tidak. Semua sudah diputuskan dan ia hanya perlu untuk mematuhi. Ia akan lebih dulu
menyandang status sebagai istri daripada mantan siswa, buku nikah akan lebih dulu ia tanda
tangani dari pada ijasah. Deringan ponsel yang ia letakkan diatas nakas membuatnya
mengalihkan pandangannya. Gibran. Nama pria itu tampil di layar ponselnya. Ameerah hanya
diam menatapnya tanpa ada niat untuk menjawab panggilan tersebut. ia butuh waktu untuk bisa
menerima semua ini.

Lagi-lagi deringan telpon itu mengganggunya. Sudah sepuluh panggilan yang tak terjawab. Apa
ada sesuatu yang penting? Sampai-sampai pria itu seolah tak kenal lelah menghubunginya?

“ Assalamu alaikum….” Jawab Ameerah pada akhirnya. “ Wa’alaikum salam” balas Gibran.
terdengar suara helaan nafas diujung salamnya. Apakah yang memberatkan pria itu? apa ia juga
sepertinya? Apa mereka diposisi yang sama? Apa itu artinya jika ia mengatakan bahwa ia belum
siap maka pria itu akan sependapat dengannya? Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak
Ameerah.

“ apa kamu baik-baik saja?” tanya Gibran, “ kalau ini terasa sangat berat buat kamu, maka kita
bisa membicarakannya baik-baik” sambungnya setelah hening, karena Ameerah lebih memlih
diam. “ aku mohon bicaralah ” terdengar suara Gibran mulai putus asa.
“ Aku takut” ucap Ameerah disertai dengan tangisannya yang terdengar menyedihkan, “ aku
nggak tau harus gimana, semua begitu mendadak” sambungnya. Ia tahu jika pria itu hanya diam
mendengarkan maka ini kesempatan baginya untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “
bagaimana kalau nanti kita nggak bisa bahagia, bagaimana kalau aku nggak bisa bikin kakak
bahagia? Bagaimana kalau aku nggak bisa jadi istri yang baik, bagaimana…bagaimana…” ia
kesulitan untuk melanjutkan kalimatnya karena isakan tangisnya.

“ kakak kesitu sekarang” ucap Gibran tegas lalu mematikan sambungan telponnya.

Ameerah tidak bisa memikirkan apa-apa lagi, ia pikir dengan mengungkapkan semua
perasaannya maka ia akan merasa lebih baik, tapi ia salah semua ungkapannya justru semakin
memancing ketakutannya yang lain.

“ Sayang, nak Gibran mau bicara sama kamu. Apa kamu sudah tidur?” suara ketukan yang
bersamaan dengan suara Mayya membuat Ameerah terpaksa bangun dari posisi baringnya, untuk
apa dia datang kemari? Ameerah tidak ingin orang tuanya melihat keadaannya yang sepeti ini, ia
tidak ingin orang tuanya merasa bersalah.

Ameerah menemui Gibran setelah membersihkan wajah dan mengganti baju kebayanya. ia
duduk dihadapan Gibran dengan meja sebagai pembatasnya. Hening. Gibran menatap gadis
dihadapannya itu dengan tatapan sendu.

“ udah makan?” tanya Gibran. Ia tidak yakin Ameerah masih memiliki nafsu makan jika melihat
penampilannya saat ini dan benar Ameerah menggeleng. Ia terlalu sibuk dengan semua
kekhawatirannya.

Gibran beranjak dari duduknya dan lansung menarik lembut tangan Ameerah, “ yuk” ajaknya.
Ameerah menatap Gibran, bingung dengan pria dihapannya itu. “ kakak juga belum makan”
Ameerah ikut berdiri setelah mendengar pengakuan Gibran, ia pikir pria itu akan menuntunnya
menuju meja makan dan meminta makanan tapi tidak pria itu justru menuntun langkahnya
menuju pintu.

“ kita mau kemana?” tanya Ameerah.


“ tadi kakak udah minta ijin buat ngajak kamu keluar” Gibran kembali menatap Ameerah, “ atau
kamu mau kita bicara disini?” Gibran melirik sekitar ruang rumah Ameerah, melihat itu
Ameerah jadi mengerti apa maksud dari pertanyaan Gibran.

Gibran memperhatikan Ameerah yang menatap makannya dengan tidak berselera. Mereka saat
ini sedang berada di sebuah warung tenda yang tak jauh dari rumah Ameerah. Awalnya Gibran
menolak bukan karena tidak menyukai makan ditempat seperti itu tapi ia ingin tempat yang juga
memberi ruang privasi bagi mereka untuk bisa berbicara tapi gadis itu memaksa, ia tidak ingin
ketempat yang mewah hanya dengan mengenakan piyama. Ameerah tidak mempersiapakan diri
bahwa mereka akan keluar di jam terlarang seperti ini, ia juga masih bertanya-tanya tentang
bagaimana pria itu meminta izin kepada kedua orang tuanya sehingga dengan mudahnya diberi
izin untuk keluar malam.

Gibran meraih piring makan Ameerah yang berisi nasi goreng dan memakannya, Ameerah hanya
diam saja mengamati. Gibran buru-buru melahap makanannya tanpa merasa terganggu dengan
tatapan Ameerah karena yang ia pikir, ia harus segera menghabiskan semua makanan itu dan
mengajak Ameerah untuk berbicara yang tentunya tidak bisa mereka lakukan dibawah tenda
warung dengan beberapa pasang telinga yang terbuka dan siapa untuk menampung semua bahan
pebicaraan mereka yang kemudian dijadikan bahan gossip sekompleks.

Ameerah berusaha menahan senyumnya, sekarang mereka sudah berada diatas mobil yang
Gibran parkir di pinggir jalan samping warung tenda tempat untuk makan malam. Gibran masih
berusaha mengatur nafasnya karena kekenyangan, dua porsi nasi goreng membuatnya
kekenyangan dan hal ini tak luput dari pengamatan Ameerah. Gadis itu merasa kasian tapi juga
merasa kalau saat ini Gibran sangat lucu dan untuk sejenak gadis itu bisa teralihkan dari
kegelisahannya.

Gibran menoleh kearah Ameerah saat merasa terganggu oleh keheningan tapi yang ia dapat gadis
itu tengah berusaha menahan tersenyum, Gibran mengerutkan kening, “ kenapa?” tanyanya,
Ameerah menggeleng dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Setelah berhasil mengatur
nafasnya, Gibran merasa inilah waktu yang tepat bagi mereka untuk berbicara, untuk saling
terbuka, untuk menyelesaikan keresahan tanpa harus ada perpisahan.
“ Am..” Gibran menghadap kerarah gadis itu dan meraih tangannya, Ameerah terkejut dengan
perlakuan Gibran, ia berusaha menarik tangannya namun pria itu justru semakin erat
menggenggamnya.
Gibran mengalihkan tatapannya, mata sembab itu semakin membuatnya merasa bersalah. Kini
tatapannya tertuju pada jemari gadis itu, jemari yang telah tersemat sebuah cincin indah,
perlahan Gibran mengusapnya lembut, ada perasaan hangat dan juga kasihan. Ia tidak bisa
memungkiri bahwa ia sangat bahagia beberapa jam lalu ketika gadis itu mengangguk tanda ia
menerimanya tapi saat menatap mata gadis itu, bukan kebahagiaan yang ia lihat dan itu sangat
mengganggu pikiran Gibran. Hal itulah yang membuat Gibran menghubungi Ameerah, untuk
memastikan bahwa ia salah dan Ameerah baik-baik saja tapi ternyata ia benar, gadis itu tidak
baik-baik saja.
“ kakak minta maaf kalau semua ini terlalu berat buat kamu. Kakak telalu bahagia sampai-
sampai lupa memikirkan perasaan kamu” ucap Gibran penuh dengan penyesalan.
Ameerah membiarkan tangannya tetap dalam genggaman, ada perasaan nyaman yang ia rasakan,
“ ini bukan salah kakak. Amee tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya saja Amee rasa ini semua
terlalu cepat, Amee belum siap”
“ bukan waktu yang menentukan kapan kita siap, tapi yang menentukan kesiapan kita adalah kita
sendiri. Kita juga bukannya akan menikah besok. Semua orang merasakan kekhawatiran yang
sama dan ketakutan yang sama ketika menghadapi pernikahan, tidak peduli berapapun usia
mereka. Tapi itu adalah proses yang harus kita lewati Am” Gibran masih mencoba meyakinkan
Ameerah bahwa tidak ada yang salah dengn rencana pernikahan mereka.
“ tapi..” ucap Ameerah menggantung, ia masih ragu dengan semuanya
“ baik, kakak nggak akan maksa kamu. Seperti yang kakak bilang bahwa semua kekhawatiran itu
adalah proses dan setiap proses butuh waktu. Anggap saja waktu dua bulan itu adalah waktu
untuk meyakinkan kamu, kalau sampai dua bulan itu teryata kamu belum yakin dengan
pernikahan kita maka kakak akan membatalkan perikahan kita. Kakak yang akan bertanggung
jawab. Tapi, kamu juga harus belajar untuk terbiasa sama kakak. Kita jalani semuanya sama-
sama, em?” Gibran tahu kalau ini sama saja dengan memaksa tapi mau bagaimana lagi ini harus
ia lakukan. Ia sudah bertekat akan menggunakan waktu dua bulan itu untuk membuat Ameerah
yakin bahwa mereka akan bahagia bersama.
Ameerah kembali mengangguk sebagai jawaban dan hal itu membuat Gibran memicingkan
matanya, “ ini benaran setuju? Jangan sampai nanti pas kakak telpon kamu malah nangis-nangis
lagi” tanya Gibran serius, “ iya, serius kak” jawab Ameerah tak kalah serius. Lalu tersenyum.
Senyum yang selalu bisa membuat jantung Gibran memompa lebih cepat.
Amee – 7

Ameerah menggeleng-gelengkan kapalanya saat melihat siapa yang duduk santai di depan orang
tuanya sambil mengunyah. Anak itu benar-benar memiliki batas kesabaran yang sangat tipis.

“Eh tuan putri udah cantik rupanya” ujar Mey sambil mengedipkan mata, Ameerah memutar
bola matanya malas, sebentar lagi pasti ia akan diberondong pertanyaan seputar acara
lamarannya kemarin.
“ Masyaa Allah…Am” ucap Mey takjub dengan cincin tunangan Ameerah, “ gue juga kalau
disogok pake yang ginian mah nggak bakalan nolak” sambungnya lagi, mungkin sebentar lagi
Mey bakalan ngeces, kekeh batin Ameerah.
“ terus gimana acara lamaran lo kemarin? Dia ngomong apa pas minta lo buat jadi istrinya? Eh
kalian pake baju seragam nggak sih? Lihat dong fotonya!” mata Mey tampak berbinar, ini yang
lamaran siapa yang heboh siapa?
“ udah buruan makannya Mey, nanti kita telat” Ameerah memilih untuk beranjak dari kursinya
daripada menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Kalau diladeni bisa-bisa mereka akan bolos
sekolah dan membahas acara lamaran kemarin seharian, karena ia hapal betul kalau sahabatnya
itu rasa ingin taunya sudah melebih seorang detektif, dia akan bertanya dari A-Z dan akan
meminta ceritaya diulang jika ia merasa ada yang tertinggal atau masih butuh konfirmasi lebih
detail. Ameerah menghela nafas panjang, membayangkannya saja sudah membuatnya lelah.

S-ar putea să vă placă și