Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
1. Anatomi telinga
1.1 Makroskopik
Telinga dibagi menjadi 3, yaitu :
A. Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas auricular dan meatus acusticus externus. Auricula berfungsi
mengumpulkan getaran udara. Terdiri atas lempeng tulang rawan elastic yang tipis ditutupi
kulit. Auricula memilki otot intrinsik dan ektrinsik, yang disarafi n.facialis.
Meatus acusticus externus adalah tabung berkelok yang terbenang antara auricular dan
membrane tympani, berfungsi menghantar gelombang suara dari auricular ke membrane
tympani. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 2,5 cm. Daerah meatus yang paling
sempit lebih kurang 5 mm dari membrane tympani dan bagian ini disebut isthmus.
Meatus dilapisi kulit dan sepertiga bagian luarnya memiliki rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar serumen. Yang terakhir ini adalah modifikasi kelenjar keringat, yang mengahasilkan
lilin coklat kekuning-kuningan. Rambut dan lilin ini merupakan sawar lengket yang
mencegah masuknya benda-benda asing.
1
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Dasar cavum tympani memisahkan cavum dari bulbus superior v.jugularis interna. Bagian
bawah dinding anterior memisahkan cavum dari a.carotis interna dan plexus sympathicus.
Pada bagian atas terdapat dua saluran, menuju ke tuba auditiva dan saluran untuk m.tensor
tympani. Bagian atas dinding posterior terdapat adtus ad antrum, dan dibawahnya terdapat
pyramis, dan dipuncaknya keluar tendo m.stapedius.
Dinding lateral dibentuk oleh membran tympani. Membran tympani permukaannya
konkaf ke lateral dan pada dasar sekungan terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang
ditimbulkan oleh ujung manubrium mallei. Terdapat daerah segitiga kecil pada membrana
tympani yaitu pars flacida dan bagian lainnya tegang disebut pars tensa. Membran tympani
sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersyarafi oleh n.auriculotemporalis dan
cabang auricular n.X.
Tuba Auditiva
Meluas dari dinding anterior cavum tympani ke bawah, depan, dan medial sampai ke
nasopharynx. Sepertiga posteriornya adalah tulang, dan dua pertiga anteriornya tulang
rawan. Berfungsi membuat seimbang tekanan udara dalam cavum tympani dengan
nasopharynx.
2
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
ke posteromedial. Putaran basal pertama dari cochlea inilah yang tampak sebagai
promontorium pada dinding medial cavum tympani.
Labyrinthus membranaceus
* Utriculus
Adalah yang terbesar sari dua buah sakus yang ada. Mempunyai hubungan tidak
langsung dengan sacculus dan duktus endoliymphatikus melalui duktus utrikulosakularis.
* Sacculus
Berbentuk bulat dan berhubungan dengan utriculus. Ductus endolymphaticus setelah
bergabung dengan ductus utriculosaccularis terus berlanjut dan berakhir dalam kantung
buntu kecil, yaitu saccus endolymphaticus.
Utriculus dan sacculus terdapat reseptor sensoris khusus, yang peka terhadap orientasi
kepala akibat gaya berat atau tenaga percepatan lain.
Perdarahan
Telinga dalam memperoleh perdarahan dari a.auditori interna (a.labirintin) yang bersal dari
a.serebelli inferior anterior atau langsung dari a.basillaris. Setelah masuk meatus akustikus
internus dibagi menjadi 3 :
1. a. vestibularis anterior memperdarahi : Makula utrikuli, macula sakuli, Krista
ampularis, dan canalis semicircularis superior dan lateralis.
2. a. vestibulokoklearis memperdarahi : Makula sakuli, canalis semicircularis posterior,
dan inferior dari utrikulus.
3. a. koklearis memperdarahi : modiolus (organ corti, skala vestibuli, dan skala tympani)
Aliran vena pada telinga melalui 3 jalur :
1. Vena auditori interna
2. Vena akuaduktus koklearis
3. Vena akuaduktus vestibularis
Persarafan
N. vestibularis mengembang membentuk ganglion vestibulare. Cabang-cabang saraf
kemudian menembus ujung lateral meatus acusticus internus dan masuk ke dalam labyrinthus
membranaceus, untuk memasok utriculus, sacculus, dan ampullae ductus semicircularis.
N. cochlearis bercabang-cabang, masuk ke foramina pada basis modiolus. Ganglion sensoris
saraf ini berbentuk ganglion spiral memanjang, terletak dalam canalis yang mengelilingi
modiolus, pada basis lamina spiralis. Cabang-cabang perifer saraf ini berjalan dari ganglion
ke organ corti.
M. Tensor tympani depersarafi oleh n.trigeminus berfungsi secara reflex meredam getaran
malleus lebih menegangkan membrana tympani.
3
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
M. Stapedius dipersyarafi dari n.facialis, yang terletak di belakang pyramis. Fungsi adalah
reflex meredam getaran stapes dengan menarik collumnya.
1.2 Mikroskopik
A. Telinga Luar
Auricula
Suatu lempeng tulang rawan elastic yang kuning dengan ketebalan 0,5-1 mm, diliputi
suatu perikondrium yang banyak mengandung serat-serat elastic. Seluruh permukaannya
diliputi kulit tipis dengan lapisan subkutis yang sangat tipis. Ditemukan rambut, kelenjar
sebasea, dan kelenjar keringat.
Meatus akustikus eksternus
Pada potongan melintang saluran ini bentuknya oval dan liangnya tetap terbuka karena
dindingnya kaku. Sepertiga bagian luar mempunyai dinding tulang rawan elastic yang
meneruskan diri menjadi tulang rawan aurikula, dan dua pertiga bagian dalam berdinding
tulang. Saluran ini dilapisi oleh kulit tipis tanpa jaringan subkutis.
Dalam liang telinga luar ditemukan serumen, suatu materi berwarna coklat, seperti lilin.
Serumen merupakan bagian gabungan sekret kelenjar sebasea dan kelenjar serumen, yang
merupakan modifikasi dari kelenjar keringat yang besar, berjalan spiral dan salurannya
bermuara langsung ke permukaan kulit bersama kelenjar sebasea ke leher folikel rambut.
Membran timpani
Membran timpani mempunyai sumbu tengah dua lapisan jaringan ikat, lapisan luar
mempunyai serat yang berjalan radial dan lapisan dalam seratnya berjalan sirkular.
Permukan luarnya dilapisi kulit yang sangat tipis dan permukaan dalamnya dilapisi epitel
yang kuboid. Bagian atas membran tak mengandung serat-serat kolagen dan disebut
bagian flasida.
B. Telinga Tengah
Rongga Timpani
Epitel yang melapisi rongga timpani adalah epitel selapis gepeng atau kubis rendah, akan
tetapi di bagian anterior pada celah tuba auditiva, epitelnya selapis silindris bersilia.
Lamina propia tipis dan menyatu dengan periosteum.
Ketiga tulang pendengaran terdiri dari tulang kompakta tanpa rongga sumsum. Antara
ketiga tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) terdapat dua sendi synovial.
Periosteum yang tipis menyatu dengan lamina propia tipis dibawah lapisan epitel selapis
gepeng.
Tuba Eustachius
Menghubungkan timpani dengan nasofaarings, sepertiga posterior mempunyai dinding
tulang dan bagian dua pertiga anterior mempunyai dinding tulang rawan. Lumennya
gepeng, lapisan epitel bervariasi dari epitel bertingkat, selapis silindris bersilia dengan sel
goblet dekat farings. Lamina propia dengan farings mengadung kelenjar seromukosa.
C. Telinga Dalam
Labyrinth Ossea
* Vestibulum
Merupakan ruangan yang berbentuk oval, letaknya sebelah medial dari cavum timpani.
Di sebelah posterior terdapat tiga buah cabalis semicicularis yang ujung-ujungnya
berhubungan dengan vestibulum. Di sebelah anteromedial berhubungan dengan cochlea.
* Canalis Semicircularis
4
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Terdiri dari lateral, anterior, dan posterior. Setiap saluran mempunyai pelebaran yang
disebut ampulla. Sebuah krista ditemukan dalam setiap ampulla. Tiap krista terletak
menyilang sumbu panjang saluran dan dibentuk oleh sel-sel penyokong dan sel rambut.
* Cochlea
Disebut demikian karena bentunya seperti rumah siput atau keong. Poros yang dikitari
terdiri dari tulang yang berbentuk kerucut yang disebut modiolus. Di dalam modiolus
terdapat ganglion spiralis yang berjalan seperti spiral mengikuti canal cochlea. Dendrit
sel-sel bipolar ganglion spiralis membentuk sinaps dengan sel-sel rambut organ corti dan
neurit-neuritnya membentuk n.cochlearis.
Cochlea dibagi menjadi tiga buah saluran oleh lamina spiralis dan membrana vestibularis
(membrana reiisner) yaitu scala vestibuli, scala media, dan scala timpani.
Gambar 5. Labirin
Labyrinth Membranosa
Didalam labirin tulang terdapat labirin membranosa, suatu system yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dilapisi epitel dan mengadung endolimf. Bentuk
labirin membranosa serupa dengan labirin tulang, hanya saja vestibulum tidak hanya satu
sisi melainkan dua buah ruangan dan saluran-saluran penghubung.
Labyrinth vestibularis
* Utrikulus dan Sakulus
Mempunyai dinding dengan lapisan jaringan ikat halus yang mengandung sejumlah
fibroblast dan melanosit. Pada dinding lateral utriculus terdapat penebalan horizontal
berbentuk oval yang disebut macula. Pada dinding medial sakulus terdapat penebalan
vertikal yang disebut macula sakuli.
* Ductus semicircularis membranosa ketiga ujung pangkalnya melebar dan bergabung
disebut ampulla membranosa. Dasar ampulla membranosa datar dan atapnya hemisferis.
Pada dasar masing-masing ampulla membranosa terdapat crista ampullaris.
Makula dan crista ampullaris merupakan daerah khusus yang mengandung sel-sel
reseptor sensoris untuk keseimbangan. Di atas crista ampullaris terdapat bangunan
berbentuk kubah, dengan konsistensi seperti agar yang terdiri dari glycosaminoglycan
disebut cupula. Sel-sel rambut crista ampullasris terbenam di dalam cupula. Di atas
macula terdapat pula bangunan berbentuk membran yang tebalnya kurang lebih 22
mikron berupa massa seperti gelatin yang kaya akan senyawa glycosaminoglycans. Di
dalam membran terdapat benda-benda kristal terdiri dari campuran protein dan kalsium
karbonat disebut otolith dan membrana ini disebut sebagai membrana otoith.
5
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Gambar 6. Crista ampularis (kiri), Makula (kanan)
Labyrinth Cochlearis
Dibentuk oleh ductus cochlearis membranosa (scala media) yang berbentuk spiral,
terdapat di sepanjang dinding lateral rumah siput di dalam cochlea. Potongan melintang
ductus cochlearis membranosa menyerupai segitiga dan dapat disebut menyerupai atap,
dinding luar (lateral), dan lantai. Atap memisahkan ductus cochlearis membranosa dari
scala vestibuli, berbentuk suatu membrana tipis disebut membrana vestibularis
(membrana Reissner). Suatu lembaran jaringtan ikat tipis, diliputi pada permukaan atas
atau permukaan vestibularnya oleh pelapis perilimf yaitu epitel selapis gepeng yang
terdiri dari sel-sel mesenkim.
Dinding luar dibentuk oleh stria vaskularis dan prominentia spiralis. Keduanya
melekat pada ligamentum spiralis. Lantai ductus membatasi ruangan scala media dengan
scala timpani, dibentuk oleh ujung perifer lamina spiralis ossea dan membrana basilaris.
Permukaaan bawah yang menghadap skala timpani diliputi oleh jaringan ikat fibrosa
mengandung pembuluh darah dan sel mesotel. Pada permukaannya terdapat struktur
khusus sensoris pendengaran yaitu organ corti. Ductus cochlearis membranosa ini berisi
cairan endolimf.
* Organ Corti
Terdiri dari sel penyokong dan sel rambut. Sel penyokong merupakan sel silindris
tinggi. Dalam organ corti terdapat suatu terowongan yang berjalan sepanjang koklea,
penampangnya segitiga dan dibatasi pada bagian basalnya yang membran basilaris dan
medial dan lateral oleh sel tiang dalam dan luar. Sel tiang dalam adalah sel berbentuk
kerucut yang ramping dan bagian basal yang lebar mengandung inti. Sel tiang luar lebih
panjang dibandingkan sel tiang dalam. Jumlah sel tiang dalam lebih banyak daripada
yang sel tiang luar.
Sel falangs luar dan sel falangs dalam, terletak pada membrana basal berdampingan
dengan sel-sel tiang. Sel-sel ini lebih kecil. Sel batas dalam dan sel batas luar (sel
hensen). Disebelah leteral sel hensen di atas membrana basilaris terdapat kelompok sel-
sel terdiri dari satu sampai dua lapis yaitu sel Claudius berupa sel silindri, dan sel
Boettcher berupa sel polyhedral. Kedua sel ini adalah sel penyokong juga namun tidak
termasuk organ corti.
Sel rambut bentuknya piriformis, dengan inti terletak dalam bagian basis yang lebar
dengan suatu “leher” apical yang ramping, mengandung 50-60 rambut stereosilia.
Permukaan organ corti diliputi oleh suatu membran pita materi gelatinosa yang disebut
membran tektoria.
6
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
2. Fisiologi telinga
2.1 Pendengaran
Proses pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah
getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah nertekanan tinggi karena
komporesi (pemampatan) molekul-molukel udara yang berselang-seling dengan daerah-
daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut. Setiap alat yang ammapu
menghasilkan pola gangguan molekul udara seperti itu adalah sumber suara.
Gelombang suara juga dapat berjalan melalui medium selain udara, misalnya air. Namun,
perjalan gelombang suara dalam media tersebut kurang efisien, diperlukan tekanan yang lebih
besar untuk menimbulkan pergerakan cairan udara karena resistensi terhadap perubahan
cairan yang lebih besar.
Suara ditandai oleh nada (tone, tinggi rendahnya suara), intensitas (kekuatan, kepekakan,
loudness, dan timbre (kualitas, warna nada).
o Nada suatu suara ditentukan oleh frekuensi getaran. Semakin tinggi frekuensi getaran ,
semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi gelombang suara dengan
frekuensi dari 20-20.000 siklus per detik, tetapi paling peka terhadap frekuensi antara
1000 dan 4000 siklus per detik.
o Intensitas atau kepekakan (kekuatan) suatu suara bergantung pada amplitudo
gelombang suara, atau perbedaan tekanan anatar daerha pemampatan yang bertekanan
tinggi dan daerah penjarangan yang bertekanan tinggi. Dalam rentang pendengaran,
semakin besar amplitudo, semakin keras (pekak) suara. Kepekakan dinyatan dalam
desibel (dB), yaitu ukuran logaritmik intensitas dibandungkan dengan suara teredam
(terhalus) yang dapat terdengar –ambang pendengaran-. Karena hubungan yang bersifat
logaritmik, setiap 10 dB menandakan peningkatan kepekakan 10 kali lipat.
o Kualitas atau warna nada (timbre) bergantung pada nada tambahan, yaitu frekuensi
tambahan yang menimpa nada dasar.
Telinga luar dan tengah mengubah gelombang suara dari hantaran udara menjadi
getaran cairan di telinga dalam.
Reseptor-reseptor khusus untuk suara terletak di telinga dalam yang berisi cairan. Dengan
demikian, gelombang suara hantaran udara yang harus disalurkan ke arah dan dipindahkan ke
telinga dalam, dan dalam prosesnya melakuakan kompensai terhadap berkurangnya energi
suara terjadi secara alamiah sewaktu gelombang suara berpindah dari udara ke air. Fungsi ini
dilakukan oleh telinga liar dan telinga tengah.
7
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Telinga luar terdiri dari pinna (bagian daun telinga, auricula), meatus auditorius
eksternus (saluran telinga), dan memebran timpani (gendnag telinga). Pinna, suatu lempeng
tulang rawan terbungkus kulit, mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke
slauran telinga luar. Karena bentuknya, daun telinga secra parsial menahan gelombang suara
yang mendekati telinga dari arah belakang, dan dengan demikian, membantu seseorang
membedakan apakah suara datang dari arah depan atau belakang.
Lokalisasi suara untuk menentukan apakah suara datang sari kanan atau kiri ditentukan
berdasarkan dua petunjuk. Pertama, gelombang suara mencapai telinga yang terletak lebih
dekat ke sumber suara sedikit lebih cepat daripada gelombang tersebut mencapai telinga
satunya. Kedua, sura terdengar kurang kuat sewaktu mencapai telinga yang terletak lebih
jauh, krena kepala berfungsi sebagai sawar suara yang secara parsial mengganggu
perambatan gelombang suara.
Pintu masuk ke kanalis telinga (saluran telinga) dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit
yang melapisi saluran telinga mengandung kelenjar-kelenjar keringat termodifikasi yang
menghasilkan serumen (kotoran telinga), suatu sekersi lengket yang menangkap partikel-
partikel asing yang halus. Rambut halus dan serumen tersebut membantu mencegah partikel-
partikel dari udara masuk ke bagian dalam saluran telinga, tempat mereka dapat menumpuk
atau mencederai membrana timpani dan menggangu pendengaran.
Membrani timpani, yang teregang menutupi pintu masuk ke telinga tengah, bergetar
sewaktu terkena gelombang suara. Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi
dan rendah berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut
menekuk keluar masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara.
Tekanan udara istirahat di kedua sisi membran timpani harus setara agar membrana dapat
bergerak bebas sewaktu gelombang suara mengenainya. Bagian luar gendang telinga terpajan
ke tekanna atmosfer yang mencapainya melalui saluran telinga. Bagian dalam gendang
telinga yang berhadapan dengan rongga telinga tengah juga terpajan ke tekanan atmosfer
melalui tuba eustachius (auditoria) yang menghubungkan telinga tengah ke faring. Tuba
eustakius dalam keadaan normal tertutup, tetapi dapat dibuat terbuka dengan gerakan
menguap, mengunyah, atau menelan. Pembukaan tersebut memeungkinkan tekanan udara di
dalam telinga tengah menyamakan diri dengan tekanan atmosfer, sehingga tekanan di kedua
sisi membran setara.
Selama perubahan tekanan eksternal yang berlangsung cepat (contohnya sewaktu
pesawat lepas landas), kedua gendang telinga menonjol ke luar dan menimbulkan nyeri
karena tekanan di luar telinga berubah sedangkan tekanan di telinga tengah tidak berubah.
Membuka tuba eustakius dengan menguap memungkinkan tekanan di kedua sisi membrana
timpani seimbang, sehingga menghilangkan distorsi tekanan dan gendang telinga kembali ke
posisinya semula. Infeksi yang berasal dari tenggorokan kadang-kadang menyebar melalui
tuba eustakius ke telinga tenagah. Penimbunan cairan yang terjadi di telinga tengah tidak saja
menimbulkan nyeri tetapi juga menganggu hantaran suara melintasi telinga tengah.
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar memebrana timpani ke cairan di telinga
dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga tulang yang dapat
beregrak atau osikula (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan melintasi telinga tengah.
Tulang pertama maleus melekat ke membrana timpani, dan tulang terakhir stapes melekat ke
jendela oval, pintu masuk ke koklea yang berisi cairan. Ketika membrana timpani bergetar
sebagai respons terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak
dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membrana
timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan
menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang
sama dengan frekuensi gelombang suara semula.
Namun, seperti dinyatakan sebelumnya, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk
menggerakan cairan. Terdapat dua mekanisme yang berkaiatan dengan sistem osikuler yang
8
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
memperkuat tekanan gelombang suara daru udara untuk menggetarkan cairan di koklea.
Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar daripada luas permukaan
jendela oval, terjadi peningktan tekanan ketika gaya yang bekerja di membrana timpani
disalurkan ke jendela oval (tekanan= gaya/satuan luas). Kedua, efek pengungkit tulang-tulang
pendnegaran menghasilkan keuntungan mekanis tambahan. Kedua mekanisme ini bersama-
sama meningkatkan gaya yang timbul pada jendela oval sebesar 20 kali lipat dari gelombang
suara yang langsung mengenai jendela oval. Tekanan tambahan ini cukup untuk
menyebabkan peregrakan cairan koklea.
Beberapa otot halus di telinga tengah berkontraksi secara refleks sebgai respons terhadap
suara keras (> 70 dB), menyebabkan membrana timpani menegang dan pergerakan tulang-
tulang di telinga tengah dibatasi. Pengurangan pergerakan struktur-struktur telinga tengah ini
menghilangkan transmisi gelombang suara keras ke telinga dalam untuk melindungi
perangkat sensorik yang sangat peka dari kerusakan. Namun, respons refleks ini relatif
lambat, timbul plaing sedikit 40 mdet setelah pajanan suatu sura keras. Dengan demekian,
refleks ini hanya memberikan perlindungan terhadap suara keras yang berkepankangan,
bukan terhadap suara keras yang timbul mendadak, misalnya suara ledakan.
Sel rambut di organ corti mengubah gerakan cairan menjadi sinyal saraf.
Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval menyebabkan timbulnya
gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena cairan tidak dapat ditekan, tekanan
dihamburkan melalui dua cara sewaktu stapes menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam:
1. Perubahan posisi jendela bundar
2. Defleksi membran basilaris.
Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di kompartemen
atas, kemudian mengelilingi helikotrema, dan ke kompartemen bawah, tempat gelombang
tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar ke dalam rongga telinga tengah untuk
mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes beregerak mundur dan menarik jendela
oval ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam arah berlawanan, mengubah
posisi jendela bundar ke arah dalam. Jalur ini tidak menyebabkan timbulnya persepsi suara,
tetapi hanay menghamburkan tekanan.
Gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan suara mengambil
“jalan pintas”. Gelombang tekanan di kompartemen atas dipindahkan melalui membrana
vestibular yang tipis, ke dalam duktus koklearis, dan kemudian melalui membrana basilaris
ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol
ke luar masuk bergantian.
Perbedaan utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang tekanan melalui
membrana basilaris menyebabkan membran ini bergerak ke atas dan ke bawah, atau
bergetar secara sinkron dengan gelombang tekanan. Karena organ corti menumpang pada
membrana basilaris, sel-sel rambut juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris
bergetar. Karena rambut-rambut dari sel reseptor terbeanam di dalam membrana tektorial
yang kaku dan stasioner, rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang
sewaktu membrana basilaris menggeser posisinya terhadap membrana tektorial.
Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju mundur ini menyebabkan sluran-saluran
ion gerbang mekanis di sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini
menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian.
Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui sinaps kimiawi
dengan ujung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius(koklearis).
Depolarisasi sel-sel rambut (sewaktu membrana basilaris bergerak ke atas) meningkatkan
kecepatan pengeluaran zat perantara mereka, yang menaikkan kecepatan potensial aksi di
serat-serta aferen. Sebaliknya, kecepatan pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel
9
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
rambut mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu
membrana basilaris bergerak ke bawah).
10
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
2.2 Keseimbangan
11
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Definisi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis
media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut
dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang
bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap
atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah
terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah
(Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani,
terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).
Klasifikasi
Gambar 1. Skema Pembagian Otitis Media
12
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus
OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau
efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan
mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella
catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus
pyogenes (group A beta- hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif.
Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang
menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak
(Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan
bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory
syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15%
dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk
terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya
(Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific
enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah
pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok,
kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau
virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain
(Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi dan
anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba
Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.
Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan.
Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga
berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi
rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak.
ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan
ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang
lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering
dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak
dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba
Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner,
2007).
Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah
dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang
dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat
mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu
tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
13
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang
(Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit.
Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang
gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak
atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3, berarti OMA
ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu lebih
atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam
kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal (Titisari, 2005).
Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk
nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan
negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang
berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses
inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus
terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga
tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi
proliferasi mikroba patogen pada sekret.
Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan
kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri.
Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu
karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran.
Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya
14
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
yang meninggi (Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor intraluminal
adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta
akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan
dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba
terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada perubahan
pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium
pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga
tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin
hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan
15
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia
membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi
penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena
kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah
nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita
lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga
tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran
timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang
jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya
pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi
lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung
melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan
tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu
disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007)
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya
kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif
kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis
media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran
timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Diagnosis
Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
1. Penyakit ini onsetnya mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan memperhatikan tanda berikut:
a. Mengembangnya gendang telinga
b. Terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
c. Adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga
d. Cairan yang keluar dari telinga
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan adanya salah
satu diantara tanda berikut :
a. Kemerahan pada gendang telinga
b. Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun
telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran, demam, sulit
makan, mual dan muntah serta rewel. Namun gejala-gejala ini tidak spesifik untuk OMA
sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan pada riwayat semata.
16
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop untuk melihat dengan jelas keadaan
gendang telinga/membrane timpani yang menggembung, eritema bahkan kuning dan suram
serta adanya cairan berwarna kekuningan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatic (alat untuk
melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk menilai respon
gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara). Gerakan gendang telinga yang kurang
dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan
tambahan untuk memperkuat diagnosis OMA. Namun umunya OMA sudah dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan otoskop biasa.
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap
gendang telinga). Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi
perlunya timpanosentesis anatara lain OMA pada bayi berumur di bawah 6 minggu dengan
riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak
yang tidak member respon pada beberapa pemberian antibiotic atau dengan gejala sangat
berat dan komplikasi.
OMA harus dibedakan dengan otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut :
Penatalaksanaa
Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi
intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan
sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan
fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati
dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan
pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan
eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi da lam empat dosis,
amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar,
2007).
17
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur
(Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi.
Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang
adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7
sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini
berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat
dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada
perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari
tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri
yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam
Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi
dengan antibiotik sebagai berikut.
Table 3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Usia Diagnosis Pasti (certain) Diagnosis meragukan (uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala berat, observasi jika
gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala berat, Observasi
observasi jika gejala ringan
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga
tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga
ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri
telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau
diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia
seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line terapi dengan
pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif
terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan
sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner,
2007). Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi
otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).
Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi
dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase
sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007).
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA
seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap
dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi
18
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada
membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan.
Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa
timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi
hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului
dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal
sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada
otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA
terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut , paresis nervus
fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).
Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi dan
anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal
enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Menjaga pendengaran
Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'âla berfirman: "Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. al-Isra': 36).
Betapa banyak manusia di zaman sekarang ini yang tidak mau menjaga pendengarannya,
sehingga ia gunakan pendengaran tersebut kepada hal yang haram, seperti mendengarkan
musik, nyanyian yang mengumbar dan membangkitkan syahwat. Dan betapa banyak diantara
manusia yang tidak mau menjaga penglihatan-penglihatannya, sehingga ia gunakan kepada
melihat yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'âla. Lidah wajib dijaga dengan
berkata benar, kalau tidak hendaklah diam, karena salah satu sebab terbesar yang
menyebabkan seseorang masuk ke dalam api neraka adalah karena tidak mau memelihara
lidah mereka. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa
yang bisa menjaga yang terletak antara dua jenggot maka dia akan masuk syorga" (HR. al-
Hakim yang dishahihkan oleh Imam adz-Dzahabi)
Jaga telinga atau indera pendengaran kita dari mendengar suara atau perkataan yang tidak
berguna. Tutup telinga kita dari kabar-kabar burung, kalimat-kalimat ghibah, perkataan
fitnah, atau musik dan lagu yang syairnya bisa membawa mudharat, serta menjauhkan hati
dari mengingat Allah. Gunakan anugerah pendengaran kita untuk menyimak lantunan ayat
suci Al Qur'an, mendengarkan taushiyah ulama faqih serta perkataan orang-orang shalih.
Insya Allah, ilmu kita akan bertambah, amal shalih akan meningkat, dan Allah akan
menghiasi jiwa kita dengan hikmah- diri kita dengan akhlaqul karimah.
19
ARIA KAPRIYATI (1102011041)
Daftar pustaka
Alho, O., Laara, E., Oja, H., 1996. Public Health Impact of Various Risk Factors for Acute Otitis
Media in Northern Finland. Am. J. Epidemiol 143 (11).
American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians, 2004. Diagnosis and
Management of Acute Otitis Media. Pediatrics 113(5):1451-1465.
Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-1565.
Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni, F., Romero-Diaz, R., 2000.
Acute Otitis Media: Bacteriology and Bacterial Resistance in 205 Pediatric Patients. Int. J. Pediatr.
Otorhinolaryngol. 56: 23-31.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A., ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.
Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Sekolah. Dalam: Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 59-62.
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed.
USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
Revai, K., Dobbs, L.A., Nair, S., Patel, J.A., Grady, J.J., Chonmaitree, T., 2007. Incidence of Acute
Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age.
Pediatrics 119 (6).
Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and Other Upper
Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysons’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.
Teele, D.W., Klein, J.O., Rosner, B,. The Greater Boston Otitis Media Study Group. Epidemiology of
Otitis Media During the First Seven Years of Life in Children in Greater Boston: A Prospective,
Cohort Study. J. Infect. Dis. 160 (1): 83-94.
Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di
PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Vernacchio, L., Lesko, S.M., Vezina, R.M., Corwin, M.J., Hunt, C.E., Hoffman, H.J., Mitchell, A.A.,
2004. Racial/Ethnic Disparities in the Diagnosis of Otitis Media in Infancy. Int. J. Pediatr.
Otorhinolaryngol. 68: 795-804.
Zakzuok, S.M., Jamal, T.S., Daghistani, K.J., 2002. Epidermiology of Acute Otitis Media Among
Saudi Children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 62: 219-222.
Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Indonesia.Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI :
Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
http://www.scribd.com/doc/36493975/OTITIS-MEDIA
20