Sunteți pe pagina 1din 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/312668885

HAKIKAT HATI MENURUT AL-HAKIM AL-TIRMIZI

Article · June 2015


DOI: 10.18784/smart.v1i1.231

CITATION READS

1 3,505

1 author:

Ahmad Tajuddin Arafat


UIN Walisongo Semarang
3 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ahmad Tajuddin Arafat on 19 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dinamika Pendirian Gereja Kristen Songka dan Gereja Toraja Jemaat Marannu di Kota Palopo
Muh. Dachlan, halaman 69-81

HAKIKAT HATI MENURUT AL-HAKIM AL-TIRMIZI


Philosophy of Heart According to Al-Hakim Al-Tirmizi

AHMAD TAJUDDIN ARAFAT

Fakultas Ushuluddin
UIN Walisongo Semarang
Abstract
This study emphasizes on al-Hakim al-Tirmizi’s thoughts about philosophy of heart in his
tajuddinarafat@yahoo.com
book, “Bayan al-Farq baina ash-Shadr wa al-Qalb wa al-Fu`ad wa al-Lubb.” By using
Naskah diterima: 22 Maret 2015 content analysis approach, it’s found out that there were some philosophical points of al-
Naskah diseleksi: 22 Mei 2015 Hakim al-Tirmizi’s thoughts toward the essences of heart in a way of looking for the real
Naskah direvisi: 1 Juni 2015 knowledge toward God. Al-Hakim al-Tirmizi stated that heart (qalb) is a general name
Naskah disetujui penulis: that consists of esoteric dimension. It divided into two parts; outer and inner. So, heart
20 Juni 2015 (qalb) is selfsame name which is formed by several parts that have their own function and
always connected to each others. Those parts are ash-Shadr, al-qalb, al-fu`ad, and al-lubb.
Next, ash-shadr is a place of light of islam and also a memory of every human knowledge
that have probability to miss out. Al-qalb is a place of light of iman and a source of esoteric
knowledge (hikmat/isyarat). Al-fu`ad is a source of ma’rifat (direct knowledge) toward the
existence of God. At the top, al-lubb is the highest part of heart. It is assumed as an axis of
heart (al-quthb) which is never gone and move. It is a place of light of tawhid (monotheism)
and a light of seeing God (musyahadat). By using those potential values, every Muslim has
opportunity to become a good Muslim moreover as a perfect man (al-insan al-kamil)
Keyword: philosophy of heart, islam, iman, ma’rifat (direct knowledge), tawhid

Abstrak
Kajian ini menitikberatkan pada telaah atas pemikiran al-Hakim al-Tirmizi perihal
hakikat hati yang terdapat dalam karyanya “Bayan al-Farq baina ash-Shadr wa al-Qalb
wa al-Fu`ad wa al-Lubb”. Dengan menggunakan pendekatan content analysis ditemukan
bahwa dalam karya tersebut terdapat beberapa nilai filosofis yang berkaitan dengan hati
dalam rangka menemukan pengetahuan sejati tentang Tuhan. Menurutnya, hati (qalb)
merupakan sebuah nama umum yang meliputi beberapa tingkatan (maqāmāt) batin. Di
dalam sisi batin tersebut terdapat bagian-bagian yang berupa bagian luar hati dan bagian
dalam hati. Dapat dikatakan bahwa nama hati (qalb) merupakan sebuah nama diri (ism
al-’ain) yang di dalamnya terdapat beberapa bagian yang masing-masing dapat berfungsi
sendiri, sekaligus saling membantu dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Bagian-
bagian tersebut adalah ash-shadr, al-qalb, al-fu`ad, dan al-lubb. Selanjutnya, ash-shadr
merupakan tempat bagi cahaya islam dan juga merupakan tempat bagi tersimpannya
segala pengetahuan ikhtiari manusia yang memiliki kemungkinan untuk lupa. Sedangkan
al-qalb merupakan tempat bagi cahaya iman dan sumber dari ilmu hikmah dan isyarat.
Al-fu`ad merupakan sumber ma’rifat dan pengetahuan yang berangkat dari penyaksian
langsung (musyahadah). Terakhir adalah al-lubb yang merupakan puncak tertinggi
dalam hati. Ia bagaikan poros (al-quthb) yang tak pernah sirna dan tak pernah bergerak.
Ia adalah tempat bagi cahaya tauhid dan cahaya penyaksian terhadap Tuhan. Melalui
optimalisasi nilai-nilai tersebut, setiap muslim diharapkan memiliki kesempatan untuk
menjadi muslim yang baik, lebih-lebih menjadi manusia unggul (al-insan al-kamil)
Kata kunci: hakikat hati, islam, iman, ma’rifat, tawhid

83
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

Pendahuluan mengubah, membalikkan, dan mengganti.


Sinonim qalb adalah semisal kata ‘aql (akal),
Latar Belakang lubb (inti), quwwah (kecakapan), syaja’ah
Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan (keberanian), wasath (pusat/center), dan al-
sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: mahdh wa al-khalish (murni). Al-Jurjani (1983
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak melihat pada :57), dan al-Ghazali (t.t., vol. 3 :3) mendefinisikan
bentuk dan harta kalian semua, namun Ia melihat qalb dengan lathifah rabbaniyah (sisi kerohanian
pada hati dan amal perbuatanmu sekalian.” yang lembut), yang bertempat di qalb (jantung)
(al-Tirmizi, 1992:95). Riwayat ini menjelaskan jasmani yang berada di sisi kiri dada dan ia
bahwa maksud Allah Swt. melihat hati (qalb) merupakan hakekat dari manusia.
karena ia merupakan wadah dari inti hakekat Definisi hati menurut al-Jurjani dan al-
manusia (jawhar) serta merupakan pusat Ghazali tersebut menunjuk hati sebagai jantung.
ma’rifat (direct knowledge). Maksud kalimat Namun, para sufi menyatakan bahwa antara hati
Allah Swt. melihat amal perbuatan karena jasmani (jantung) dengan hati spiritual memiliki
perbuatan lahir merupakan titik permulaan keterkaitan fungsi bagi tubuh manusia. Jantung
sehingga hati merupakan asal utama dari segala manusia berfungsi sebagai pemompa darah
aktivitas manusia. yang mengatur peredaran antara darah arteri/
Kata qalb disebutkan di dalam al-Qur’an darah bersih dengan darah vena/ darah kotor,
kurang lebih 168 kali dalam bentuk isim sedangkan hati spiritual juga berfungsi sebagai
(mashdar, maf’ul, fa’il, mufrad, dan jama’) dan alat pengatur arus bolak-balik antara pengaruh
berbentuk fi’il (madhi dan mudari’). Makna ruh yang bersih dan pengaruh nafsu yang kotor.
penggunaan kata qalb dalam berbagai susunan Inilah alasan mengapa hati dalam bahasa Arab
dan konteksnya tersebut adalah: disebut dengan qalb yang berarti memutar atau
mengganti (Nurbakhsy, 1998: 140-141).
Pertama, menjelaskan tentang keyakinan/
keimanan, kedua menjelaskan tentang Javad Nurbakhsy (1998: 13) menambahkan
kemampuan untuk merasa: seperti takut, gelisah, bahwa hati adalah sebuah tempat antara
senang, bahagia, dan lainnya, ketiga menjelaskan
kesatuan (ruh) dan keanekaragaman (nafs). Jika
tentang ketenangan ketika berzikir kepada Allah;
dan keempat menjelaskan tentang kemampuan hati mampu melepaskan selubung nafsu, maka ia
untuk berfikir dengan menggunakan akal akan berada di bawah payung ruh (kesatuan), dan
(Mahrus, 2009). itulah hati dalam makna yang sebenarnya. Nabi
Al-Qur’an menegaskan pula dalam Q.S. Al- Muhammad Saw. bersabda, sebagaimana sering
Nahl: 78 bahwa hati (al-af’idah) merupakan salah dikutip oleh Jalaluddin Rumi, “Tuhan berfirman,
satu sumber pengetahuan, selain pendengaran langit dan bumi tidak mampu meliputi-Ku, tapi
(al-sam’), dan penglihatan (al-abshar). Kedua kelembutan hati hamba-hamba-Ku yang beriman
sumber tersebut adalah sumber pengetahuan bagi mampu melingkupi-Ku”. (Chittick, 2001 :55).
obyek-obyek empiris. Sumber lainnya berupa Hati menjadi tempat dari semua pengetahuan
rasio dan intuisi yang merupakan instrumen hakiki (ma’rifat) dan kesempurnaan ruh, serta
pengetahuan bagi obyek-obyek non-fisik atau tempat penyingkapan perwujudan ketuhanan
metafisik. al-Hakim al-Tirmizi menyebut hati (musyahadah). Hati menjadi pusat dari inti
dengan jiwa yang rasional (al-nafs al-nathiqah). kesadaran manusia (lathifah rabbaniyyah)
dengan segumpal darah adalah kulit luar hati.
Ibn al-Mandzur (1992: 686) menjelaskan
bahwa kata “qalb” berasal dari akar kata qa-la- Hati sebagai lathifah rabbaniyyah selalu
ba yang berarti membalikkan sesuatu (tahwil al- berada di sisi Tuhan, dan hati menjadi substansi
syai`). Selain itu, Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi diri manusia. Al-Hakim al-Tirmizi, salah
(1973: 353) mengartikan qalb dengan makna seorang sufi sekaligus faqih dan muhaddis, telah

84
Hakikat Hati Menurut Al-Hakim Al-Tirmizi
Ahmad Tajuddin Arafat, halaman 83-95

membahas hakekat hati ini dengan ulasan dan oleh setiap orang berpijak pada sejauh mana
analisis yang diselaraskan dan dijabarkan dengan mereka mengoptimalkan daya hati mereka
penjelasan filosofis dalam kitab Bayan al-Farq masing-masing. Jadi, penelitian ini tidak
baina ash-Shadr wa al-Qalb wa al-Fu`ad wa al- hanya memaparkan informasi dari teks secara
Lubb. deskriptif saja, melainkan melihat pula nilai
dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya,
Rumusan permasalahan dalam kajian ini
terutama dalam kaitannya dengan nalar irfani-
sebagai berikut: apa hakikat hati serta nilai dan
sufistik yang masuk dalam kajian epistemologi
pengetahuan apa saja yang terkandung dalam
Islam. Sebuah metode dalam nalar Islam
kitab Bayan al-Farq baina ash-Shadr wa al-
yang menjadikan hati sebagai titik sentral
Qalb wa al-Fu`ad wa al-Lubb karya al-Hakim
dalam memperoleh pengetahuan, terutama
at-Tirmizi.
pengetahuan langsung (musyahadah) tentang
Secara teoretis, kajian ini diharapkan realitas ketuhanan.
menambah wawasan dalam khasanah ilmu
Oleh karena itu, kajian ini setidaknya
pengetahuan mengenai hati sebagai salah satu
terdapat perbedaan dengan kajian yang dilakukan
media pengetahuan selain indrawi dan nalar.
oleh Umi Masfiah dalam risalah tesisnya yang
Tujuan secara praktis yaitu hasil kajian ini
berjudul “Kecerdasan Qalbu (Telaah atas Kitab
diharapkan menjadi sumbangan nyata dalam
Bayan al-Farq Bayn as-Shadr wa al-Qalb wa
ranah epistemologi Islam, terutama kajian
al-Fu’ad wa al-Lubb)”. Perbedaan tersebut
perihal nalar irfani.
terletak dalam analisa Umi Masfiah yang lebih
Metode Penelitian menekankan pada relasi antara kecerdasan hati
dengan konsep kewalian. Sedangkan kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan
ini menfokuskan telaahnya pada sejauh mana
deskriptif-interpretatif melalui kajian library
hati dapat menangkap sebuah pengetahuan
research. Sumber data primer adalah kitab
hingga terpatri kuat di dalamnya, dan akhirnya
Bayan al-Farq baina ash-Shadr wa al-Qalb
memantulkan beragam nilai-nilai luhur dalam
wa al-Fu`ad wa al-Lubb, sedangkan sumber
beragam aktifitas manusia.
data sekunder berupa kitab, buku, laporan hasil
penelitian, maupun artikel dalam jurnal, dan Hasil dan Pembahasan
bulletin.
Setelah data terkumpul dan terseleksi, Biografi al-Hakim al-Tirmizi
kemudian diadakan proses analisis data. Metode a. Riwayat Hidup al-Hakim al-Tirmizi
analisa yang ditempuh adalah content analysis,
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah
yakni membaca, memahami, serta menafsirkan
Muhammad bin Ali bin al-Hasan bin Bisyr
kumpulan informasi atau data yang ditemukan
bin Harun al-Tirmidzi, bergelar al-Hakim
secara cermat dan mendalam untuk memperoleh
(Filosof/ Sang Bijak). Ia dikenal dengan sebutan
pengertian dan makna yang sejelas mungkin
al-Hakim karena keberhasilannya dalam
dari istilah-istilah atau tema-tema yang dikaji,
mentransformasikan tradisi Hellenistik ke dalam
tidak sekedar deskripsi mengenai informasi yang
ajaran-ajaran Sufisme (Schimmel, 1975: 56).
didapat (Hadi, 1998: 177).
Beberapa ahli sejarah mengatakan ia dilahirkan
Melalui analisis tersebut, peneliti berupaya di kota Tirmiz pada awal abad ke-3 H pada tahun
memahami secara objektif beragam nilai serta 205 - 220 H dan meninggal di antara 295 dan 300
pengetahuan yang terungkap dalam berbagai H. / 905 dan 910 M. Menurut Abdul Fatah Barakat
tingkatan dalam hati. Tumbuh berkembangnya (t.t. :35), al-Hakim a-Tirmizi lahir pada 205 H dan
sebuah nilai dan pengetahuan yang didapat wafat pada 320 H dalam usia 115 tahun.

85
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

Al-Hakim al-Tirmizi (selanjutnya dibaca al- melakukan perdebatan keilmuan dengan para
Hakim) sendiri telah mencatat autobiografinya intelektual agama yang memfitnahnya. Al-
dalam sebuah risalah berjudul Buduww Sya`ni Hakim memenangkan perdebatan tersebut, dan
Abu Abdillah (Awal Jejak Kehidupan Abu sejak saat itu ia menjadi salah satu figur otoritas
Abdillah). Risalah ini menyebutkan bahwa religius pada masanya.
pendidikan formalnya dimulai ketika dia b. Perjalanan Intelektual al-Hakim at-
berusia delapan tahun. Ia mempelajari hadis Tirmizi
dan fiqh dari ayahnya, Ali bin al Hasan at-
Tirmizi seorang sarjana hadis. Ayahnya telah Al-Hakim dalam autobiografinya hanya
melakukan perjalanan untuk belajar hadis dan menyebut, ayahnya, Ali bin al-Hasan at-Tirmizi
meriwayatkannya hingga ke Baghdad (Barakat, sebagai salah satu guru intelektualnya. Selain
tt.: 31). ayahnya, tidak ditemukan penjelasan yang akurat
perihal kepada siapa saja al-Hakim belajar dan
Ketika berusia dua puluh delapan tahun, al- menimba ilmu. Di antara guru-gurnya yang
Hakim melakukan perjalanan haji ke Mekkah dapat ketahui adalah: Quthaybat bin Sa’id al-
sekaligus melakukan tradisi rihlah hadis. Selama Tsaqafi, Salih bin Abdullah at-Tirmizi, Salih
perjalanannya, ia mengumpulkan hadis dari bin Muhammad at-Tirmizi, al-Hasan bin Umar
para perawi yang ditemuinya di beberapa kota bin Syaqiq, Sufyan bin Waki’, Abu Turab al-
besar, seperti Basrah dan Kufah. Ketika berada Nukhsyabi, Ahmad bin Khadhrawayh al-Balkhi,
di Mekkah, al-Hakim al-Tirmizi mulai menghafal Yahya bin Mu’az al-Razi, dan Ya’qub bin Syaibah
al-Qur’an dan di kota suci ini pula ia mengalami bin al-Shalt. (Barakat, tt.a: 38-40).
pengalaman spiritual yang menjadi starting point
(pijakan awal) dalam karir mistisnya. Pengalaman Berbeda dengan informasi mengenai guru-
itu sangat mempengaruhi kepribadian al-Hakim gurunya sebagaimana disebutkan di atas,
sehingga ia memiliki komitmen kuat untuk informasi mengenai murid-muridnya sangatlah
menjauhi kehidupan duniawi dan hidup dalam sedikit. Dikatakan bahwa hanya ada enam orang
kezuhudan (al-Hakim, tt.a: 14-15). yang bertemu dan belajar langsung dengan al-
Hakim. Mereka adalah: Ahmad bin Muhammad
Ketika kembali ke daerahnya, al-Hakim bin Isa, Abu Muhammad Yahya bin Manshur al-
memutuskan diri untuk intensif dalam Qadhi, Abu Ali Manshur bin Abdullah bin Khalid
kehidupan asketis, mencari sahabat sepaham, al-Harawi, Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Jurjani,
dan mempelajari kandungan buku karya al- Muhammad bin Ja’far bin Al-Haitsam, serta Abu
Antaki. Buku ini, sebagaimana dinyatakan oleh Bakr Muhammad bin Umar al-Hakim al-Waraq
al-Hakim sendiri, telah menjadi panduan dan (Barakat, tt.a: 48-50).
pegangan baginya dalam menyelami kehidupan
spiritual (al-Hakim, tt.a: 15). c. Karya-Karya al-Hakim al-Tirmizi

Beberapa waktu sejak kepulangnnya ke Al-Hakim merupakan ulama yang memiliki


Tirmiz, al-Hakim berhasil membentuk sebuah karya yang banyak pada periode Tasawuf klasik.
kelompok yang memiliki pemikiran yang sama Dikatakan bahwa karyanya berjumlah tidak
dengannya. Akan tetapi, hal itu membawa kurang dari delapan puluh judul. Berikut adalah
dampak buruk baginya. Dia dituduh oleh otoritas karya-karya monumental al-Hakim at-Tirmizi:
pemerintah setempat sebagai pembawa ajaran a. Nawadir al-Ushul fi Ma’rifat Ahadis
sesat (heresy). Sehingga dia memutuskan untuk ar-Rasul, buku ini merupakan karya at-
hijrah ke Balkh untuk mempertahankan diri. Di Tirmizi yang berjilid-jilid. Dia banyak
kota Balkh inilah ia mendapatkan kesuksesan menukil riwayat Hadis sekaligus
serta pemikirannya diterima baik di daerah ini. menjelaskannya dengan perspektif
Suatu hari, al-Hakim menerima ajakan untuk esoterik (isyari interpretation).

86
Hakikat Hati Menurut Al-Hakim Al-Tirmizi
Ahmad Tajuddin Arafat, halaman 83-95

b. Al-Akyas wa al-Mughtarrin, sebuah Muwaththa’ Malik, dan karya Hadis lainnya.


karya yang pernah dipublikasikan di Setelah itu, berlanjut masa pensyarahan Hadis
Kairo pada tahun 1989 dengan judul yang (‘ashr syarh al-hadith) (Ismail, 1995: 116-117).
kurang tepat, yaitu Thaba’i al-Nufus. Al-
Abad ini juga merupakan abad bersejarah
Ghazali menukil karya tersebut dalam
bagi perkembangan tradisi tasawuf. Menurut
kitabnya, Ihya`’Ulum al-Din, dan Ibn al-
beberapa referensi, tasawuf pada masa ini telah
‘Arabi dalam karyanya al-Futuhat.
berkembang dari tradisi kezuhudan individual
c. ’Ilal al-Syari’a, karya ini belum kepada ajaran-ajaran semi teoritis mengenai
dipublikasikan dalam bentuk edisi Tasawuf. Kaum Sufi memperkenalkan konsep
kritis. Karena tuduhan sesat dalam tentang maqamat dan ahwal, seperti fana`
pemikirannya yang tercantum dalam (sirna di hadapan Tuhan), mahabbah (cinta
karya ini dan Sirat al-Awliya`, at-Tirmizi Tuhan), musyahadat (penyaksian langsung),
dikucilkan dari kota asalnya. ittihad (kesatuan), dan yang lainnya (Syukur,
1999: 32-33).
d. Kitab Sirath al-Awliya’, merupakan
sebuah karya yang monumental dari al- Selanjutnya, banyak sufi fenomenal yang
Hakim at-Tirmizi. Melalui karya ini, al- hidup pada masa keemasan ini. Mereka menjadi
Hakim at-Tirmizi menjelaskan konsep figur-figur yang terkenal dan berpengaruh bagi
kewalian (sainthood) dalam Tasawuf. generasi selanjutnya. Mereka adalah al-Haris
al-Muhasibi (w. 243 H), Junaid al-Bahgdadi (w.
e. Kitab al-Manhiyyat, dipublikasikan di
297 H), Dzun Nun al-Mishri (w. 245 H), Ma’ruf
Beirut pada tahun 1986
al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman al-Darani
f. Kitab Al-Amtsal, dipublikasikan di Kairo (w. 254 H), Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H),
pada tahun 1975 Mansur al-Hallaj (w. 309 H), dan yang lain.
g. Kitab Riyadat al-Nafs, karya ini Dengan demikian, pada abad III-IV H,
disunting dua kali, oleh A.J. Arberry tradisi zuhud dalam tasawuf telah mulai bergeser
dan Abd al-Qadir di Kairo pada tahun pada istilah-istilah tasawuf. Konsep tasawuf
1947. Karya ini berisikan ringkasan dari yang pada mulanya berupa praktik mistik
pertanyaan-pertanyaan mengenai sisi (mystical practices) telah berkembang menjadi
mistik dalam Islam. pandangan-pandangan teoretis. Tasawuf yang
h. Bayan al-Farq baina ash-Shadr wa al- bersifat teoritis (nadzari) ini menjadi suatu hal
Qalb wa al-Fu`ad wa al-Lubb, sebuah yang baru dalam tradisi spiritual pada masa
karya yang menjelaskan tentang hakikat itu, sebagaimana istilah-istilah yang ada dalam
hati. maqamat dan ahwal. Mengenai fenomena
tersebut, Abu al-Ala ‘Afifi menyatakan bahwa
i. Dan karya yang lainnya (Radtke, 1996:
semenjak adanya pergeseran paradigma di atas,
3-5).
tasawuf telah memasuki periode baru dalam
d. Posisi al-Hakim al-Tirmizi dalam tradisi spiritualnya, yaitu periode intuisi dan
Sejarah Intelektual Islam kasyf. Oleh karena itu, periode ini dikenal sebagai
Tercatat dalam sejarah peradaban Islam masa keemasan bagi tradisi tasawuf (‘Afifi, 1963:
bahwasannya abad III H, merupakan masa 92).
keemasan bagi tradisi intelektual Islam, Pada situasi semacam inilah al-Hakim
khususnya dalam upaya kodifikasi periwayatan tumbuh dan berkembang, dan pemikirannya
Hadis. Abad tersebut telah memproduksi karya- mengenai keislaman, terutama dalam bidang
karya fenomenal dalam bidang Hadis, semisal: tasawuf dan keilmuan hadis, menemukan
Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad, signifikansinya. Meski demikian, hal tersebut

87
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

tidak menjadikannya mendapatkan perhatian yang rasional sebagaimana tradisi filsafat pada
khusus dari para kaum sufi setelahnya. Ini terbukti umumnya. Sebagaimana yang diketahui bahwa
dari beberapa karya ulama setelahnya seperti Abu pemikiran al-Hakim al-Tirmizi merupakan
Nasr al-Sarraj dalam kitabnya, al-Luma’, dan Abu kumpulan dari beragam sumber pengetahuan
Thalib al-Makki dalam karyanya, Qut al-Qulub, yang dia dapat, seperti Teologi, Fiqh, dan Hadis,
tidak pernah menyebut nama dan pemikiran al- dalam pandangan yang luas.
Hakim at-Tirmizi. Di samping itu, al-Kalabadzi
Secara umum, kontribusi al-Hakim at-
dan al-Qushairi juga hanya menyebut sepintas
Tirmizi dalam sejarah intelektual Islam adalah
tentangnya. Popularitas al-Hakim baru muncul
keberhasilannya dalam memadukan beragam
dan dikenal ketika Ibn al-‘Arabi memberikan
elemen pengetahuan yang muncul pada saat itu
komentar dan catatan mengenai konsepnya
dengan pengalaman mistisnya sendiri secara
tentang khatm al-awlia`(wali pamungkas).
individu, hingga menghasilkan sebuah konsep
Selain itu, dia juga terkenal karena kritikan
yang terintegrasi dan orisinil dari sistemnya
pedas dari Ibn Taimiyyah mengenai konsep
sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kewaliannya dalam tradisi tasawuf.
dia merupakan salah satu ulama yang unik dan
Setidaknya ada dua alasan mengapa al- genuine di zamannya. Pada akhirnya, pemikiran
Hakim kurang dikenal pada abad IV-V H/X-XI al-Hakim al-Tirmizi merupakan pemikiran yang
M, yaitu keengganan beberapa ulama’ setelahnya asli dari sebuah tradisi teosofi klasik pada saat
untuk mengutip pemikiran-pemikiran yang itu, yang mana belum terasimilasi dengan elemen
ada dalam karya-karyanya. Hal itu terbukti serta tradisi filsafat Aristotelian-Neoplatonik
dengan minimnya karya-karya ulama’ yang (Radtke, 1996: 6).
mengutip pemikirannya. Adapun ulama’ yang
pernah mengutip pemikiran al-Tirmizi salah Sekilas tentang Kitab Bayan al-Farq baina
satunya adalah al-Ghazali. Dia pernah mengutip ash-Shadr wa al-Qalb wa al-Fu`ad wa al-
pemikiran al-Hakim dari kitab al-Akyas wa Lubb
al-Mughtarrin dalam magnum opusnya Ihya’ Ahmad Abd. Rahim al-Sayih (t.t.: 11) dalam
‘Ulum al-Din. Alasan yang kedua adalah, dalam catatan pengantar buku ini menyatakan bahwa
perjalanan intelektualnya, al-Hakim telah banyak buku Bayan al-Farq baina ash-Shadr wa al-Qalb
mendapati pertentangan dari pihak lain. Hal wa al-Fu`ad wa al-Lubb, selanjutnya disebut
inilah yang menjadi alasan bagi Ja’far al-Khuldi, al-Bayan, merupakan karya al-Hakim sendiri,
seorang sufi Baghdad, untuk tidak memasukkan bukan karya ulama’ lain, sebagaimana yang
al-Hakim al-Tirmizi dalam golongan kaum sufi. dikatakan oleh Bernd Radtke dan John O’kane
Jika kita merujuk pada fakta sejarah (1996: 5). Keduanya berpendapat bahwa buku
mengenai kehidupan al-Hakim al-Tirmizi, ini dinisbatkan secara keliru kepada al-Hakim
dia memang tidak pernah tercatat memiliki at-Tirmizi, namun keduanya tidak menyertakan
julukan sufi. Hal itu dibuktikan dari tiadanya penjelasan yang memadai perihal hal tersebut.
julukan sufi yang dinisbatkan kepadanya, baik Satu-satunya manuskrip dari buku ini dapat
di dalam karya-karyanya maupun karya ulama’ ditemukan di Dar al-Kutub al-Mishriyyah di Kairo
lain. Justru, julukan yang terkenal untuknya dengan nomor 367 dan kopian manuskripnya
adalah al-Hakim yang berarti sang Filosof menjadi koleksi di sebuah perpustakaan di
atau Teosofis. Artinya, dia adalah sang pencari London dengan nomor 19. Buku ini diterbitkan
kearifan (wisdom) dan pengetahuan mistis yang pertama kali pada tahun 1924 di Kairo dalam
lebih tinggi tentang cara pandang yang beragam. sebuah antologi buku-buku berbahasa Arab
Hal tersebut dilakukan atas dasar pengalaman volume pertama nomor 345 (al-Sayih, t.t.: 11).
individu dan bukannya melalui proses intelektual Buku ini juga diterbitkan di Kairo oleh Markaz

88
Hakikat Hati Menurut Al-Hakim Al-Tirmizi
Ahmad Tajuddin Arafat, halaman 83-95

al-Kitab li an-Nasyr dengan penyunting Ahmad hati dibedakan oleh tingkat kesadaran dan
Abd. Rahim al-Sayih, dan Maktabah al-Kuliyat al- realisasi diri. Tingkatan kesadaran dan realisasi
Azhariyat dengan pangantar dari Nicholas Heer. inilah yang dijelaskan oleh al-Hakim at-Tirmizi
Keduanya tanpa keterangan tahun penerbitan. dalam kitabnya, Bayan al-Farq baina ash-Shadr
wa al-Qalb wa al-Fu`ad wa al-Lubb.
Selanjutnya, Nicholas Heer (t.t.: 28-29)
dalam kata pengantarnya menyatakan bahwa Dalam muqaddimah kitab, al-Hakim al-
kitab ini berbicara perihal empat maqamat hati, Tirmizi menjelaskan terlebih dahulu tentang
yakni ash-shadr, al-qalb, al-fu`ad dan al-lubb. apa itu hati. Menurutnya, hati (qalb) merupakan
Keempat maqamat ini berkaitan dengan cahaya sebuah nama umum yang meliputi maqamat
Ilahi. Pertama, ash-shadr merupakan hati batin, dan dalam sisi batin tersebut terdapat
yang paling luar yang berkaitan dengan cahaya bagian-bagian yang meliputi bagian luar hati
islam. Kedua, al-qalb berkaitan dengan cahaya dan bagian dalam hati. Sehingga dapat dikatakan
iman. Ketiga, al-fu`ad berkaitan dengan cahaya bahwa nama hati (qalb) merupakan sebuah nama
ma’rifat. Keempat, al-lubb berkaitan dengan diri (ism al-’ain) yang didalamnya mencakup
cahaya tauhid. Selain itu, keempat maqamat beberapa bagian yang dapat berfungsi sendiri,
ini juga berhubungan dengan empat perilaku sekaligus saling membantu dan saling berkaitan
jiwa (nafs) yang termaktub dalam al-Qur’an, satu dengan yang lainnya (tt.b: 33). Berikut
yaitu: al-nafs al-ammarat bi al-su`, al-nafs al- adalah penjelasan satu persatu mengenai empat
lawwamah, al-nafs al-mulhimah, dan al-nafs maqamat batin dalam hati manusia.
al-muthmainnah.
1. Ash-Shadr
Satu hal yang unik dari buku ini adalah
Di dalam hati, al-shadr berada dalam posisi
bahwa pengistilahan yang digunakan al-Hakim
paling luar. Dengan kata lain, dia adalah kulit
at-Tirmizi dalam menggambarkan realitas hati
terluar dari hati. Ash-Shadr merupakan tempat
tersebut diserap dari bahasa al-Qur’an. Oleh
bagi masuknya rasa was-was dan keragu-raguan.
karena itu, banyak dijumpai beberapa penjelasan
Karena berada pada posisi yang paling luar inilah
yang kemudian dikukuhkan dengan argumentasi
maka ash-shadr juga merupakan pintu masuk
ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya, ketika menjelaskan
bagi sifat-sifat kemanusiaan manusia, seperti:
hakikat makna dari ash-shadr yang bersifat
syahwat, kebutuhan, dan lain-lain. Sifat manusia
fluktuatif dari rasa sempit ke rasa lapang atau
yang mempengaruhi perilaku ash-shadr yang
sebaliknya dengan mengutip penjelasan dari Q.S.
terkadang merasa sempit atau lapang. Serta
al-Insyirah: 1 yang berbunyi “Bukankah Kami
sifat yang menjadi media percobaan (maqam
telah melapangkan untukmu dada (hati) mu?”;
al-ibtila`) bagi manusia. Oleh karena itu, ash-
dan Q.S. al-Hijr: 97 yang berbunyi “dan Kami
shadr bersifat fluktuatif dan menjadi wilayah
sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dada (hati)
bagi al-nafs al-ammarat bi al-su` (jiwa yang
mu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka
memerintahkan kejelekan). Selain itu, ash-
ucapkan” (at-Tirmizi, t.t.b: 26).
shadr juga tempat bagi tersimpannya segala
Hakikat Hati dan Nilai-Nilai Luhur yang pengetahuan yang diperoleh melalui belajar,
Tersimpan dalam Bayan al-Farq baina mendengar, dan sebagainya (al-Hakim, tt.b: 35).
ash-Shadr wa al-Qalb wa al-Fu`ad wa al-
Di sisi lain, ash-shadr juga merupakan tempat
Lubb
bagi cahaya islam. Islam adalah nama umum
Sebagaimana telah dipaparkan di awal dari agama Allah Swt. yang berarti ikrar melalui
bahwasannya pusat dari inti kesadaran manusia lisan, beramal dengan tubuh, serta mengimani
adalah realitas hati (lathifah rabbaniyah), sepenuhnya. Islam juga memiliki dua sisi, yakni
realitas yang menjadi tolak ukur utama dalam lahir dan batin. Islam lahir adalah islam yang
setiap gerak langkah perilaku manusia. Setiap mungkin secara lahiriah mengandung unsur

89
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

kemunafikan dan kemusyrikan, serta kafir jika 3. Al-Fu`ad


dipandang menurut sisi batiniyahnya. Sedangkan
Maqam ketiga dari hati adalah al-fu`ad. Ia
islam batin adalah islam yang patuh kepada Allah
merupakan sumber atau tempat ma’rifat. Artinya,
Swt. serta penyerahan total atas jiwa dan hati
al-fu`ad sebagai tempat di mana ketika ilmu al-qalb
untuk berjalan di atas segala ketetapan Allah Swt.
dan ma’rifat menyatu maka yang terjadi adalah
Islam yang kedua inilah yang merupakan islam
segala sesuatu yang awalnya gaib (abstrak/samar-
hakiki yang terpancar di dalamnya cahaya islam,
samar) menjadi jelas dan terang. Hal inilah yang
iman, dan ihsan (al-Hakim, tt.b: 43-44).
menjadikan sang hamba meyakini dengan pasti
Lebih lanjut, perlu diketahui pula bahwa ash- akan hakikat iman, serta menjadi hujjah baginya.
shadr juga merupakan tempat bagi tersimpannya Inilah yang disebut dengan ilm al-yaqin dan ’ain
segala pengetahuan ikhtiyari manusia yang al-yaqin. Baik al-Fu`ad maupun al-qalb keduanya
memiliki kemungkinan untuk lupa. Sebab, nafs dapat dikatakan juga sebagai al-bashr. Ulil Abshor
yang dikandung olehnya memiliki potensi untuk adalah orang yang mampu menjalankan fungsi
lupa, yakni al-nafs al-ammarat bi al-su`. ilmu i’tibarnya atau ilmu isyaratnya, sekaligus pula
2. Al-Qalb mengaktifkan al-musyahadahnya dengan cahaya
Sifat buta dan melihat bagi hati terdapat iman (al-Hakim, tt.b: 63-64).
dalam al-qalb, bukan dalam al-shadr. Allah Lebih lanjut, nama al-fu`ad lebih dalam
Swt berfirman, “Karena sesungguhnya bukanlah maknanya daripada al-qalb. Namun, keduanya
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati sangatlah dekat dan saling terkait sebagaimana
yang di dalam dada (Q.S. al-Hajj/22: 46). Al-Qalb dekatnya makna antara ar-Rahman dan ar-
merupakan sumber pokok-pokok ilmu. Ia adalah Rahim. Penjaga al-qalb adalah ar-rahman serta
sumber air dan ash-shadr adalah kolamnya. penjaga al-fu`ad adalah ar-rahim. Pengetahuan
Al-Qalb merupakan tempat bagi cahaya iman, al-fu`ad berangkat dari penyaksian langsung
yakni cahaya yang memberikan keyakinan, (musyahadah/direct), sedangkan al-qalb
ilmu, dan niat. Jadi, hubungan al-qalb dengan berangkat dari ilmu (indirect). Al-fu`ad hanya
ash-shadr adalah hubungan antara yang pokok memerlukan ruang kosong untuk diisi hidayah
(ashl) dengan yang cabang (far’) (al-Hakim, t.t.b: dan ma’unah, sedangkan al-qalb membutuhkan
36). Ash-Shadr adalah sumber dari ilmu ibarat, perantara (ar-ribt) (al-Hakim, tt.b: 69-70). Dalam
sedangkan al-qalb adalah sumber dari ilmu kapitayan orang Jawa, “kosong” atau “suwung”
hikmah dan isyarat (al-Hakim, tt.b: 58). bukan berarti kehampaan, melainkan “black
hole”, ruang hampa yang siap diisi dengan apapun,
Selain sebagai tempat bagi cahaya iman,
setara dengan pengertian fana’ (annihilation),
al-qalb juga tempat bagi takwa, sakinah
yaitu meniadakan diri dan menggantinya menjadi
(ketenangan), kekhusyu’an, dan kesucian.
“Diri” yang sesungguhnya, karena sebenarnya
Kesucian dan kebersihan al-qalb tergantung
diri ini tidak ada, yang ada hanyalah Allah. Itulah
sejauh mana ia dijaga, dilatih, dan ditambahi
sebabnya dalam ajaran orang Jawa yang disebut
dengan hikmah-hikmah. Serta cahayanya tidak
“Diri Sejati” (diri yang sesungguhnya) adalah
pernah padam dan tidak ada yang mengotorinya
“sejatining diri” (kesejatian diri), sejalan dengan
kecuali jika sang pemilik mengotorinya dengan
“man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu”
sifat syirik, kemunafikan, was-was, dan segala
(barangsiapa mengenal dirinya pasti akan
jenis penyakit hati. Karena, pokok dari segala
mengenal Tuhannya).
kekerasan hati adalah dosa dan kotoran hati (al-
Hakim, tt.b: 55-57). Dengan demikian, cahaya 4. Al-Lubb
al-qalb adalah sempurna dan abadi, tidak seperti Maqam terakhir dan utama dalam tingkatan
cahaya ash-shadr yang bersifat fluktuatif. hati adalah al-lubb. Al-Lubb adalah puncak

90
Hakikat Hati Menurut Al-Hakim Al-Tirmizi
Ahmad Tajuddin Arafat, halaman 83-95

tertinggi dan tingkatan teraman dalam hati. swt mewariskan akal tersebut kepada mereka
Ia bagaikan poros (al-quthb) yang tak pernah yang dido’akan. Bentuk perubahan itu bukanlah
sirna dan tak pernah bergerak. Segala pondasi seperti pemindahan akal, melainkan pengaruh
agama dan segala cahaya spiritual bersarang di (atsar) dari berkah do’a dan cahaya ilmunya sang
dalamnya, sehingga cahaya tersebut tidak akan bijak tersebut (al-Hakim, tt.b: 74-75).
sempurna dan lestari tanpa adanya kesalehan al-
Dengan demikian, jenis-jenis akal di atas masih
lubb dan segala pondasinya. Ia adalah tempat bagi
terikat oleh kadar atau ukuran kemanfaatan yang
cahaya tauhid dan cahaya penyaksian tunggal
dilakukan oleh manusia dalam menggunakannya.
(al-Hakim, tt.b: 70-71). Al-Lubb terdiri dari huruf
Jenis-jenis akal tersebut juga dapat dimiliki oleh
lam-ba`-ba`. Lam adalah al-lutfh (kelembutan).
mereka yang tidak beriman kepada Allah Swt.,
Ba` yang pertama adalah ar-birr fi al-bidayah
seperti para filosof dan ahli bijak lainnya. Adapun
(saleh dalam permulaan), sedangkan ba` yang
akal yang dapat memberikan kesempurnaan
kedua adalah al-baqa` bi al-barakah ’alaih (kekal
dalam kemanfaatannya adalah akal yang muncul
dalam keberkahan). Cahayanya tidak bersumber
dari cahaya hidayah Allah Swt, dan inilah makna
dari manapun melainkan hanya dari keagungan
al-lubb yang diorientasikan pada makna akal
Allah Swt. (al-Hakim, tt.b: 72).
secara kontemporer. Oleh karena itu, uli al-Albab
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa adalah mereka-mereka yang tidak hanya berakal
al-lubb adalah akal, namun, pada hakekatnya saja (‘aqil), melainkan mereka adalah orang yang
keduanya sangatlah berbeda. Meski keduanya ‘alim. karena ‘aqil belum tentu ‘alim, akan tetapi
sama-sama berupa cahaya, namun cahaya al- ‘alim pasti ‘aqil (al-Hakim, tt.b: 76).
lubb berbeda dengan cahaya akal. Cahaya al-
Setelah memaparkan tentang definisi dan
lubb bagaikan cahaya matahari yang sempurna,
perbedaan di antara istilah-istilah di atas, al-
sedangkan akal bagaikan cahaya lampu. Selain
Hakim al-Tirmizi (t.t.b: 79-80) mengatakan
itu, akal memiliki beberapa jenis tergantung
bahwa meski cahaya-cahaya tersebut (islam,
pada dinamika perkembangan pemikirannya.
iman, ma’rifat, tauhid) terlihat berbeda, namun
Akal pertama adalah aql al-fithrah (akal bawaan)
ia tidak saling bertentangan. Setiap cahaya
yaitu akal yang membedakan diri dari kegilaan,
melahirkan nilai serta hikmah tersendiri
akal yang mampu memahami suatu perintah,
tergantung pada tingkat dan martabatnya. Cahaya
akal yang dapat membedakan mana yang baik
islam melahirkan khauf al-khatimah wa raja`
dan yang buruk, dan sebagainya. Akal kedua
husni al-’aqibah, yakni nilai yang mencerminkan
adalah aql al-hujjah (akal argumentatif), yaitu
rasa cemas dalam memandang akhir kehidupan
akal yang siap menerima khitab (perintah) dari
serta berharap atas akhir yang baik. Cahaya
Allah Swt.
iman melahirkan khauf thawariq as-su` wa
Akal ketiga adalah aql at-tajribah (akal raja` thawariq al-khair, yakni nilai yang
eksperimen), yaitu akal yang muncul dari memantulkan rasa takut dalam jalan keburukan
sebuah usaha percobaan, kajian/ penelitian atau dan berharap selalu menapaki jalan kebaikan.
penyelidikan. Akal ini adalah yang paling utama Cahaya ma’rifat melahirkan khauf as-sabiqah wa
dan paling berguna di antara akal yang lain. Akal raja` as-sabiqah, yakni nilai yang memunculkan
keempat adalah aql mauruts (akal warisan), rasa harap-harap cemas akan qadla` dan takdir
yaitu akal yang muncul dari sisi eksternal Allah. Sedangkan cahaya tauhid melahirkan
pemiliknya. Artinya, akal ini datang disebabkan khauf al-haqa’iq wa raja` al-haqa’iq, yaitu nilai
oleh adanya dorongan dari luar yang dilakukan memantulkan rasa takut jauh dari Allah al-Haqq
oleh orang-orang yang alim, bijak, dan murah dan selalu berharap dekat di sisi-Nya.
hati yang selalu berdo’a bagi orang lain, baik itu Al-Hakim al-Tirmizi (tt.b: 95-96) di akhir-
anak, keluarga, ataupun murid. Sehingga Allah akhir pembahasannya juga menyinggung

91
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

tentang makna dari al-hayat (kehidupan) dan sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa,
ruh. Dikatakan bahwa kehidupan itu bergantung terhadap kesejatian dirinya. Setelah mencari ke
pada apa yang dituju. Ada yang disebut dengan hutan, gunung, dan lautan, ternyatalah kesejatian
kehidupan ruh, kehidupan hati, kehidupan itu ditemukan di dalam dirinya sendiri, yakni
ilmu, dan sebagainya. Sedangkan perihal ruh, yang mewujud dalam bentuk Dewaruci. Dalam
al-Hakim al-Tirmizi mengatakan bahwa segala batin Dewarucilah, yakni dalam batin Bima
sesuatu yang hidup yang diciptakan oleh Allah sendiri, Bima melihat matahari, bintang-bintang,
Swt. disebut hidup karena adanya ruh. Ruh gunung-gunung, laut, dan seluruh alam raya.
berasal dari cahaya yang Allah jadikan makhluk Dengan kata lain, seluruh alam lahir tersebut
darinya. Barangsiapa mampu memahami realitas termuat di dalam alam batin. Dengan demikian,
ini, maka ia akan mendapatkan kehidupan hati alam batin bukanlah alam yang kosong dan
dari ruh hikmah, ruh mahabbah, ruh wilayah, abstrak, melainkan alam yang justru memuat
ruh syahadah, dan sebagainya. segala kekayaan alam lahir, bahkan merupakan
sumber kekuatannya, dalam tradisi tasawuf
Selanjutnya, Fuad Nashori (2004: 2), dalam
dikenal sebagai ma’rifat atau musyahadat
ulasannya perihal manusia kreatif, menyatakan
ilahiah.
bahwa hati manusia bisa saja dalam keadaan
mandul dan pasif, tidak memiliki kemampuan Lebih lanjut, realitas hati dalam tradisi
sebagaimana yang seharusnya. Hal itu disebabkan tasawuf, sebagaimana yang menjadi mazhab
karena perilaku negatif yang dilakukan manusia pemikiran al-Hakim al-Tirmizi, memiliki posisi
meninggalkan bekasan noda hitam terpatri dalam yang sangat signifikan. Hati sebagai sumber satu-
sanubarinya, sehingga menjadikan hati tidak lagi satunya untuk mengenal dan menyelami lebih
berfungsi secara optimal dalam menangkap cahaya dalam perihal hakikat realitas Tuhan, secara tegas,
kebenaran serta mengalami penurunan daya serap banyak tersirat dalam beberapa definisi tasawuf
terhadap pengetahuan yang diperolehnya. Oleh yang diungkapkan oleh para sufi. Misalnya, Bisyr
karena itu, kenapa seseorang tidak peka terhadap bin al-Haris al-Hafiy (w. 227) yang menyatakan
kenyataan dan kebenaran, atau tidak mudah bahwa “sufi adalah seorang yang hatinya suci
memperoleh pengetahuan yang didapatnya, tidak karena Allah”, dan Abu Turab al-Nukhsyabi (w.
lain adalah karena telah menurunnya daya fungsi 240) yang mendefinisikan sufi sebagai orang
hati dalam dirinya. yang tidak terkotori (hatinya) oleh sesuatu dan
segala sesuatu menjadi jernih dengannya. Lebih
Selaras dengan pandangan al-Hakim dan
jelas lagi, al-Kattani (w. 322), menyatakan bahwa
beberapa intelektual muslim perihal hakikat
“tasawuf adalah shafa` dan musyahadat”,
hati dalam diri manusia tersebut, Frans Magnis-
yaitu kejernihan hati untuk menuju penyaksian
Suseno (2003: 114-119) berpandangan bahwa
langsung kepada Allah Swt (‘Afifi, 1963: 35).
manusia dalam dunia Jawa juga bertolak dari
sebuah konsepsi mengenai segi lahir dan segi Beberapa definisi tersebut menunjukkan
batin. Kedua segi itu bersatu dalam dirinya bahwa sumber pengetahuan sekaligus pula
sehingga ia memiliki dimensi lahiriah-jasmani, sebagai mekanisme kerja dalam tradisi sufistik
dan di balik unsur lahiriah itu tersembunyi unsur adalah intuisi, zauq dan kasyf di dalam hati
batiniahnya. Segi batin inilah yang merupakan (qalb). Al-Qur’an menegaskan dalam Q.S. Al-
Nahl: 78 bahwa hati (al-af’idah) merupakan salah
realitas yang nyata. Hanya apabila manusia telah
satu sumber pengatahuan, selain pendengaran
bisa menembus dari alam lahir ke alam batin
(al-sam’), dan penglihatan (al-abshar). Kedua
kenyataan yang sebenarnya terbuka baginya.
sumber yang pertama adalah sumber pengetahuan
Menurutnya, pandangan ini didasarkan atas bagi obyek-obyek empiris, sedangkan sumber
kisah pencarian Bima, tokoh pewayangan yang yang ketiga, yang dalam hal ini adalah rasio dan

92
Hakikat Hati Menurut Al-Hakim Al-Tirmizi
Ahmad Tajuddin Arafat, halaman 83-95

intuisi, merupakan instrumen pengetahuan bagi lainnya.


obyek-obyek non-fisik atau metafisik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Sebagian dari para ilmuwan modern, di hati pada dasarnya mampu menangkap pancaran
antaranya adalah: Pascal, William James, Alexis sinar pengetahuan serta dapat menangkap
Carrel dan Bergson, menganggap hati sebagai alat realitas metafisik melalui kontak langsung (direct
pengetahuan. Akan tetapi, tepatnya adalah bahwa knowledge) dengan obyek-obyek yang hadir
hati merupakan sumber bukan alat pengetahuan. dalam hati seseorang melalui metode mukasyafah
Adapun alat pengetahuannya adalah penyucian atau ilmu hudhuri. Namun, potensi dan kekuatan
hati atau jiwa (tazkiyat al-nufus). Artinya, daya tangkap tersebut berdasarkan atas sejauh
hati manusia ibarat satu sumber dan manusia mana setiap manusia mengoptimalkan setiap
dapat mengambil manfaat sumber itu dengan tingkatan yang ada dalam realitas hati mereka
menggunakan alat penyucian hati (Mutahhari, masing-masing.
2010: 56-57, 77, dan 79).
Akhirnya, penjelasan mengenai realitas hati
Berkenaan dengan masalah penyucian hati yang merupakan bagian dari dimensi batiniah
atau jiwa, Murtada Mutahhari (2010: 107-111) manusia adalah sebuah potret ideal bagaimana
menyatakan bahwa di situ terdapat dua fungsi: seseorang memiliki potensi untuk dapat menjadi
fungsi pertama ialah jika menusia melakukan manusia unggul (al-insan al-kamil). Oleh sebab
penyucian jiwa, maka pandangan akalnya akan itu, pengaktifan hati adalah suatu kebutuhan
menjadi lebih terang, karena salah satu pengaruh yang niscaya dan sudah semestinya dioptimalkan
dari penyucian jiwa itu adalah membersihkan guna meraih keunggulan tersebut. Bukankah
ruang-ruang yang ada dalam akal. Adapun fungsi keimanan juga menjadi bagian dari proses
yang lain adalah bahwa hati manusia itu sendiri pengaktifan hati, begitu pula dengan ibadah
memberikan ilham dan pandangan intuitif dan amaliah lainnya. Bukankah Allah Swt. telah
kepada manusia. berjanji kepada siapa saja yang betaqwa serta
hatinya bergetar ketika berzikir kepada-Nya akan
Pernyataan Mutahhari tersebut meng­
selalu diberi jalan keluar dalam setiap urusannya.
isyaratkan bahwa antara hati dan akal pada
hakikatnya memiliki relasi yang saling berkait. Para sufi sering menganalogikan hati sebagai
Keduanya mampu menangkap realitas cermin yang apabila selalu digosok dan disucikan
pengetahuan, sebagaimana yang terlihat akan mengkilap dan memantulkan cahaya Ilahi,
dalam tingkatan realitas hati oleh al-Hakim al- sehingga pengetahuan yang didapat bukanlah
Tirmizi yang selalu didasari oleh sejauh mana pengetahuan yang bersifat penalaran logis
seseorang dapat menangkap pengetahuan demonstratif melainkan berupa pancaran atau
hingga pengetahuan tersebut terpatri kuat dalam iluminasi dari Tuhan secara langsung ke dalam
sanubarinya. Muhammad Iqbal, misalnya, hati tanpa proses mempelajari, mengkaji, atau
menyatakan bahwa akal dan intuisi (hati) berasal menulisnya, tetapi dengan mensucikan dan
dari akar yang sama dan saling mengisi, yang menjernihkan hati dari kotoran-kotorannya
pertama menangkap realitas secara terpotong- melalui maqamat yang dilaluinya. Dan bagi
potong, sedang yang kedua menangkapnya mereka inilah jenis pengetahuan yang dapat
secara utuh. Bergson juga berpendapat bahwa dipegangi kebenarannya (Syukur, 2002: 78).
intuisi hati adalah jenis akal yang lebih tinggi Maulana Jalaluddin Rumi berkata:
daripada akal biasa (Syukur, 2002: 7). Jadi, Manakala cermin telah bersih dan tersucikan,
dapat dipahami bahwa intuisi hati memiliki titik engkau akan melihat lukisan-lukisan yang
tersembunyi
persinggungan dengan rasionalitas akal, dan
di balik air dan tanah. Bahkan Sang Pelukis.........
tidak perlu dipertentangkan melainkan keduanya Orang-orang suci telah membersihkan hati
harus saling menyempurnakan antara satu dan mereka

93
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

dari ambisi, ketamakan, kerakusan, dan kebencian. Abdillah, dalam Muqaddimah Kitab Khatm
maka, tak syak lagi, cermin yang kilap adalah Aulia` yang ditahqiq oleh Ustman Isma’il
hati yang menjadi tempat menyimpan lukisan-
Yahya. Beirut: al-Mathba’ah al-Katsulikiyah.
lukisan yang tak berwatas (Chittick, 2001: 54).
---------------. tt.b, Bayan al-Farq baina al-Shadr
Penutup w al-Qalb w al-Fu`ad w al-Lubb. Kairo:
Segala bentuk, susunan, dan bangunan Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyat.
pemikiran yang didirikan oleh manusia, pada ‘Afifi, Abu al-Ala. 1963. al-Tashawwuf; al-Tsaurah
dasarnya kesemuanya bermula dan bersumber al-Ruhiyah fi al-Islam. Kairo: Dar al-Ma’arif.
dari hakekat realitas diri manusia itu sendiri, ‘Atho, Mushtofa Abdulqadir. 1992. dalam
yaitu al-qalb. Hati yang termanifestasikan mulai pengantarnya pada Nawadir al-Ushul karya
dari yang paling luar (ash-shadr) hingga yang al-Hakim al-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Kutub
paling puncak (al-lubb) merupakan bentuk al-Ilmiyah.
bimbingan dan tuntunan dari Allah Swt bagi para
Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi. 1973. Kamus
hamba-Nya. Berpikir, merasa, olah-jiwa, dan
Kontemporer Arab-Indonesia. Jakarta:
latihan spiritual merupakan kunci utama dalam
Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-
mengasah dan meningkatkan maqamat hati di Qur’an.
atas. Jiwa tidak hanya terisi oleh ruh kehidupan
jasmani belaka. Jiwa harus juga terlingkupi oleh Barakat, Abdul al-Fath Abdullah, tt., al-Hakim al-
Tirmidzi wa Nadzariyatuhu fi al-Wilayah,
ruh islam (ash-shadr), ruh iman (al-qalb), ruh
Mathbu’at Majma’ al-Buhus al-Ilmiyah.
ma’rifat (al-fu`ad), serta ruh tauhid (al-lubb).
Sehingga pada akhirnya, tingkatan spiritual Chittick, William C., 2001. Jalan Cinta Sang Sufi:
manusia yang awalnya hanya menjadi al- Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi.
muslim, kemudian naik menjadi al-mu’min, lalu Yogyakarta: Penerbit Qalam.
al-arif bi-Allah, hingga akhirnya dia menjadi Al-Ghazali. Abu Hamid Muhammad. tt., Ihya`
muwahhid sejati. Melalui optimalisasi nilai serta ’Ulumuddin. Beirut: Dar al-Ma’rifat.
pengetahuan yang terkandung dalam setiap level
Hadi, Amirul. 1998. Metodologi Penelitian
hati inilah setiap orang seyogyanya dapat menjadi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
manusia unggul yang mampu berpikir kreatif dan
inovatif. Allah berfirman dalam Q.S. al-A’raf: 179: Heer, Nicholas. tt., “Mukadimah” dalam Bayan
al-Farq baina al-Shadr w al-Qalb w al-Fu`ad
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi w al-Lubb, al-Hakim al-Tirmidzi. Kairo:
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyat.
dipergunakannya untuk memahami dan mereka Ismail, M. Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan
untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar, dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta:
mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan Bulan Bintang.
mereka lebih sesat lagi, mereka Itulah orang-
orang yang lalai.” [*] Al-Jurjani. 1983. al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kutub
al-’Ilmiah.
Daftar Pustaka Mahrus. 2009. Berpikir dengan Jantung: Studi
terhadap Relasi Aql dan Qalb dalam al-
At-Tirmidzi, Al-Hakim. 1992. Nawadir al-Ushul
Quran. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
fi Ma’rifat Ahadis al-Rasul. Beirut: Dar al-
Semarang.
Jail, Vol. 4.
Al-Mandzur, Ibn. 1992. Lisan al-Arab. Beirut: Dar
---------------. tt.a, Risalat Buduww Sya`ni Abi
al-Shadir.

94
Hakikat Hati Menurut Al-Hakim Al-Tirmizi
Ahmad Tajuddin Arafat, halaman 83-95

Muthahhari, Murtadha. 2010. Pengantar Hakim at-Tirmizi. Kairo: Markaz al-Kitab li


Epistemologi Islam. Jakarta: Shadra Press. an-Nasyr.

Nashari, Fu’ad. 2004. Menjadi Manusia Kreatif, Schimmel, Annemarie. 1975. Mystical Dimension
dalam Humanitas: Indonesian Psychological of Islam, Chapel Hill: the University of North
Journal, Vol. 1, No. 1. Carolina Press.

Nurbakhsy, Javad. 1998. Psikologi Sufi Suseno, Frans Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah
(Psychology of Sufism). Yogyakarta: Fajar Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Pustaka Baru. Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Radtke, Bernd and John O’kane. 1996. the Concept Syukur, M. Amin. 1999. Menggugat Tasawuf;
of Sainthood in Early Islamic Mysticism: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
two works by al-Hakim al-Tirmizi, Surrey: 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Curzon Press.
Syukur, M. Amin dan Masyharuddin.
Al-Sayih, Ahmad Abd. Rahim. tt., “Muqaddimah 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi
al-Tahqiq” dalam Bayan al-Farq baina al- Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali.
Shadr w al-Qalb w al-Fu`ad w al-Lubb, al- Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

95

View publication stats

S-ar putea să vă placă și