Sunteți pe pagina 1din 5

AMANDAMEN UU NO.

2 TAHUN 2004
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh Harris Manalu, SH

Pengantar
Setelah mengikuti perjalanan PHI selama 10 tahun terakhir (2006 s/d 2016)
ternyata penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga dan
mekanisme PHI tidak semurah dan tidak secepat yang diperkirakan
sebelumnya. Dahulu penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
lembaga dan mekanisme P4D/P4P yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1957
Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964
Tentang PHK di Perusahaan Swasta divonis mahal dan lama, sehingga dirubah
melalui lembaga dan mekanisme PHI yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Tapi apa yang terjadi sekarang. PHI adalah lama dan mahal. Contoh praktek
mencari keadilan di PHI Bandung sampai ke MA paling cepat 1 tahun dan bisa
mencapai 3 tahun yang tentunya menghabiskan biaya pulang-pergi Bekasi-
Bandung (sidang) yang cukup mahal. Seorang buruh yang bertempat tinggal
dan bekerja di perusahaan di daerah Bekasi mengajukan gugatan di PHI
Bandung mengenai perselisihan PHK. Si buruh bermasa kerja 1 tahun dengan
upah 3 juta. Berarti jumlah hak yang dituntutnya hanyalah sebesar Rp
6.900.000. Biaya ongkos bus Bekasi-Bandung pergi-pulang Rp 150.000
persekali sidang. Jika sidang pertama sampai dengan sidang terakhir
(pembacaan putusan) sebanyak 15 kali (karena lawan sering tidak hadir) maka
biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2.250.000. Maka yang sisa hanya Rp
4.650.000. Dan dari sisa itu keluar lagi biaya makan di Bandung dan biaya
materai bukti surat. Itu juga kalau uang pesangonnya dikabulkan 2 kali.
Kalau hanya 1 kali ? Dan untuk memperoleh yang Rp 4.650.000 itupun,
dengan 15 kali sidang, harus ditunggu selama tidak kurang dari 6 bulan. Lalu
bagaimana pula pekerja yang bekerja di Merauke. Berapa biaya yang
dikeluarkan dengan naik pesawat ke PHI Jaya Pura.

Dari contoh itu maka untuk tercapainya asas peradilan murah dan cepat, UU
No. 2 Tahun 2004 harus dirubah (diamandemen). Apa yang diamandemen,
sebagai berikut.

Page 1 of 5
1. Tahapan beracara cukup 3 kali persidangan

Dalam praktek sekarang ini, tahapan beracara di PHI sama dengan tahapan
beracara dalam peradilan perkara perdata umum yaitu, pertama: pembacaan
surat gugatan penggugat, kedua: pembacaan jawaban tergugat, ketiga:
pembacaan replik penggugat, keempat: pembacaan duplik penggugat, kelima:
pengajuan alat bukti surat dari penggugat, keenam: pengajuan alat bukti surat
dari tergugat, ketujuh: pemeriksaan saksi dari penggugat, kedelapan:
pemeriksaan saksi dari tergugat, kesembilan: pengajuan kesimpulan
penggugat dan tergugat, dan kesepuluh: pembacaan putusan. Padahal, dalam
praktek sering pihak lawan baru datang menghadiri sidang pembacaan surat
gugatan pada persidangan ke-3, artinya sidang pertama dan kedua pihak
lawan atau tergugat tidak hadir. Kemudian dalam persidangan acara duplik
tergugat tidak hadir, sehingga persidangan acara duplik harus ditunda lagi
sampai persidangan berikutnya. Demikian juga untuk acara persidangan
lainnya sering ditunda karena pihak lawan tidak hadir, sehingga dari sidang
pertama sampai dengan sidang terakhir (pembacaan putusan) bisa sebanyak
15 kali.

Untuk mengakhiri tahapan peradilan yang lama dan mahal seperti itu, maka
tahapan beracara di PHI harus disederhanakan dengan memangkas dan
menyederhanakan acara persidangan. Replik, duplik dan kesimpulan
ditiadakan. Lalu disederhanakan, diefisienkan dan diefektifkan. Agenda
sidang pertama: pembacaan surat gugatan, pembacaan jawaban serta
pengajuan bukti surat dari penggugat dan tergugat (sekaligus). Agenda sidang
kedua: adalah hakim meminta keterangan atau penjelasan kepada penggugat
dan tergugat atas materi gugatan penggugat dan jawaban tergugat yang belum
jelas, dan pemeriksaan saksi dari penggugat dan tergugat. Agenda sidang
ketiga: pembacaan putusan.

Tetapi jika 3 kali sidang itu tidak cukup karena alasan yang dapat diterima
seperti karena perlu dilakukan persidangan setempat (PS) oleh Majelis Hakim
atau karena dalam 1 kali sidang tidak cukup waktu memeriksa saksi ataupun
saksi ahli, maka terhadap kondisi seperti itu dapat ditoleransi persidangan
sebanyak 5 kali. Artinya ditambah 2 kali lagi sidang.

2. Wajib dibentuk PHI di PN yang berjarak 200 Km dari suatu PHI-PN lainnya

Page 2 of 5
Pembentukan PHI-PN di Kabupaten/Kotamadya yang berjarak minimal 200
Km dari suatu PHI lainnya seperti di PN Merauke mutlak dilakukan jika PHI
dipandang sebagai lembaga/mekanisme untuk mencari keadilan yang berbasis
cepat dan murah. Jika PHI untuk se Provinsi Papua hanya berada di PN
Jayapura tidak mungkin buruh yang bekerja di wilayah Kabupaten Merauke
yang oleh pengusahanya diputus hubungan kerjanya mengajukan gugatan ke
PHI-PN Jayapura karena akan mengeluarkan biaya dan waktu banyak. Dan
akan terjadi kesewenang-wenangan oleh pihak pengusaha kepada buruh.
Melakukan PHK, memberi upah dibawah UMP/K, dan lain sebagainya.

3. Upaya hukum terhadap putusan PHI cukup di Pengadilan Tinggi dan tidak
ada Peninjauan Kembali

Sering kita dengar dari aparat Mahkamah Agung bahwa akibat banyaknya
perkara kasasi yang masuk ke MA maka perkara-perkara yang ditangani MA
menjadi lambat/lama diperiksa dan diputus. Hal itu terjadi karena tidak ada
pembatasan jenis perkara yang boleh dikasasi. Karena itu, selain untuk
mengurangi penumpukan perkara di MA, juga untuk lebih cepat diputus, dan
juga untuk memudahkan atau mendekatkan jarak para pihak mengecek
perkara yang diajukan upaya hukum, maka sangat realistis jika upaya hukum
terhadap putusan PHI tingkat pertama (PN) diperiksa dan diputus di tingkat
banding Pengadilan Tinggi (PT). Terhadap putusan PT tidak boleh lagi diajukan
upaya hukum kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Artinya, putusan PT
bersifat berkekuatan hukum tetap (BHT).

Dari ketentuan Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 yang dapat dilakukan upaya
hukum kasasi hanyalah terhadap putusan mengenai perselisihan hak dan
perselisihan PHK. Kedepan, semua putusan PHI-PN, apakah perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
adalah realistis dan adil jika terhadapnya diperbolehkan mengajukan upaya
hukum banding. Hal itu dimaksudkan untuk mengoreksi putusan hakim
tingkat pertama. Karena tidak ada hakim sebagai manusia biasa yang luput
dari kekhilfan atau kesalahan.

4. Surat gugatan cukup dilampiri dengan Anjuran

Di PHI-PN Bandung gugatan wajib dilampiri dengan Risalah Mediator. Jika


gugatan hanya dilampiri dengan Anjuran Mediator, maka gugatan itu

Page 3 of 5
dinyatakan tidak dapat diterima. PHI Bandung menerapkan hal itu sesuai
dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004.

Kedepan, perlu diseragamkan gugatan cukup dilampiri dengan Anjuran.


Karena materi Anjuran dan Risalah relative sama. Pekerja/buruh dan
pengusaha tidak harus bolak-balik ke Kantor Disnaker hanya meminta
Risalah.

5. Panggilan sidang cukup melalui surat tercatat atau surat elektronik

Untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara, baik penggugat maupun


tergugat, yang beralamat/berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri
dimana PHI bernaung, panggilan/pemberitahuan untuk menghadiri sidang
dilakukan melalui pendelegasian ke PN yang sewilayah hukum dengan
alamat/kedudukan para pihak. Misalnya, untuk memanggil tergugat PT. X
yang berkedudukan hukum di Kota Bekasi maka PHI-PN Bandung mengirim
panggilan ke tergugat melalui PN Bekasi lalu Jurusita PN Bekasi
menyampaikan panggilan dan menerima relaas panggilan dari tergugat (PT. X),
lalu PN Bekasi mengirim relaas panggilan itu ke PHI Bandung.

Praktek pendelegasian ini sangat rumit bagi Majelis Hakim dan sangat
melelahkan bagi pihak yang hadir (penggugat). Adakalanya dalam satu
perkara, surat panggilan sidang sudah 3 kali dikirim ke PN Bekasi atau PN
Cibinong tapi satupun tidak ada yang kembali relaasnya. Bagi Majelis Hakim,
praktek seperti ini sangat rumit dalam mengambil keputusan apakah tergugat
ditinggal yang berujung putusan verstek, atau masih memanggil tergugat, atau
menghubungi PN Bekasi atau PN Cibinong. Jika tergugat ditinggal atau
meneruskan persidangan tanpa kehadiran tergugat bisa jadi hakim salah
karena mungkin saja tergugat belum menerima panggilan sidang dari PN
Bekasi atau PN Cibinong. Bagi pihak penggugat, praktek seperti ini juga
sangat melelahkan dan mengeluarkan biaya banyak.

Oleh karena itu, PHI dapat mengambil contoh pemanggilan/pemberitahuan


yang berlaku di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah
Konstitusi (MK). Model PTUN adalah dengan Surat Tercatat sebagaimana
diatur dalam Pasal 65 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi: “Panggilan
terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah
menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat”. Model MK
adalah langsung oleh Juru Panggil atau melalui telepon, faksimili, dan/atau

Page 4 of 5
surat elektronik yang dibuktikan dengan berita acara penyampaian (lihat Pasal
9 ayat (2) Peraturan MK No. 06/2005).

6. Para pihak wajib dipanggil untuk menghadiri pengucapan/pembacaan


putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Hal ini perlu untuk diketahui langsung para pihak kapan putusan perkaranya
diputus. Jika para pihak tahu kapan putusan perkaranya diputus maka para
pihakpun dapat segera mengecek perkaranya ke PHI pemutus tingkat
pertama. Selama ini para pihak tidak tahu kapan perkara kasasinya diputus
MA sehingga sering dialami misalnya putusan kasasi tanggal 20 Januari 2016
tapi putusannya baru diterima para pihak atau salah satu pihak 6 bulan
kemudian. Selain alasan itu, perlu juga transparansi pembacaan putusan
dihadapan para pihak.

7. Perjanjian Bersama (PB) yang disepakati para pihak melalui perundingan


bipartite, perundingan mediasi, dan perundingan konsiliasi sebagaimana
dimaksud Pasal 7 ayat (3) (bipartite), Pasal 13 ayat (1) (mediasi), dan Pasal 23
ayat (1) (konsiliasi) wajib didaftarkan pihak buruh dan pengusaha pada PHI.
Tidak dibenarkan hanya 1 pihak. Jika hanya 1 pihak maka pendaftaran
tersebut adalah batal demi hukum. Dalam praktek di PHI Bandung
pendaftaran hanya dilakukan pihak pengusaha. Tapi ketika pihak buruh yang
mendaftar PB maka hal itu tidak akan tercapai karena PHI meminta Akta
Pendirian perusahaan. Padahal, tidak mungkin pengusaha bersedia memberi
Akta Pendirian perusahaannya kepada pihak buruh.

 Materi ini disampaikan pada acara “Workshop Pembahasan Draft Revisi UU


No. 2/2004 Tentang PPHI”, yang diselenggarakan oleh DEN KSBSI, pada
Jumat, 4 Maret 2016, di Wisma ABDI, Cipayung Bogor.

Page 5 of 5

S-ar putea să vă placă și