Sunteți pe pagina 1din 4

Adrenokortikosteroid & Antagonis Adrenokorteks

Hormon adrenokorteks alami yaitu molekul steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal
untuk digunakan dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan dalam gangguan fungsi
adrenal. Dan dalam skala besar biasanya digunakan dalam pengobatan gangguan peradangan
dan imunologik. Sekresi steroid adrenokorteks dikontrol oleh kortikotropin atau yang biasa
disebut ACTH yang dikeluarkan oleh hipofisis uang merangsang sekresi kortisol. Sedangkan
sekresi ACTH sendiri diatur oleh CRF (Corticotropin Releasing Factor) dari hipotalamus.
ACTH ini mengaktifkan sel adrenokortikal untuk memproduksi steroid melalui peningkatan
siklik adenosin monofosfat.
Inhibitor pembentukan efek steroid-steroid adrenokorteks memiliki peranan penting dalam
pengobatan penyakit. Beberapa obat-obat ini seperti :
- Adrenokortikosteroid
Korteks adrenal mengeluarkan sejumlah besar steroid menuju sirkulasi dimana memiliki
fungsi masing-masing seperti prekursor tetapi sebagiannya masih belum terdeteksi. Hormon
steroid diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Steroid memiliki efek penting pada metabolisme intermediat dan fungsi imun
(glukokortikoid)
1. Glukokortikoid alami; kortisol (hidrokortison)
a. Farmakokinetika
Hormon ini mengendalikan karbohidrat,metabolisme protein, dan anti inflamasi dengan
mencegah pelepasan fosfolipid, menurunkan aksi eosinofil dan mekanisme lainnya. Kortisol
atau yang biasa disebut hidrokortison memiliki bermacam efek fisiologik termasuk regulasi
metabolisme intermediat, fungsi lain seperti kardiovaskular, pertumbuhan, dan imunitas.
Pembentukan dan sekresi diatur oleh susunan saraf pusat yang peka terhadap umpan negatif
oleh kortisol dalam darah atau glukokortikoid eksogen. Pada orang dewasa normal, hati
mensekresi 10-20 mg kortisol.
Di dalam plasma, kortisol terikat ke protein dalam darah dan pada keadaan normal CBG
(corticosteroid-binding globulin) suatu globulin mengikat sekitar 90% hormon dalam darah.
Sisanya bebas terikat oleh albumin dan tersedia untuk bekerja pada sel sasaran. Jika kortisol
plasma melebihi 20-30 mcg/dl, CBG akan jenuh, dan konsentrasi kortisol bebas meningkat
pesat pada kehamilan dan pemberian estrogen serta pada hipertiroidisme. Protein ini
berkurang pada hipotiroidisme, defek genetik, dan keadaan defisiensi protein. Albumin
memiliki kapasitas besar tetapi afinitas rendah pada kortisol. Kortikosteroid sintetik misalnya
deksametason umumnya lebih terikat ke albumin daripada ke CBG. Waktu paruh kortisol
dalam sirkulasi normal adalah 60-90 menit. Waktu ini dapat meningkat jika ditambahkan
hidrokortison (preparat farmasi kortisol) dalam skala besar jika terdapat stres, hipotiroidisme,
atau penyakit hati.
b. Mekanisme Kerja
Efek glukokortikoid diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein-
protein ini yang merupakan superfamili dari reseptor nukleus yang terdiri atas reseptor steroid,
sterol (vitamin D), tiroid, asam retinoat, dan banyak reseptor yang masih belum terdeteksi.
Semua reseptor berinteraksi dengan promotor dan mengatur transkripsi gen-gen sasaran.
Tanpa adanya hormon dalam bentuk ligan, reseptor glukokortikoid membentuk kompleks
oligomerik dengan heat-shock protein (hsp). Dua molekul hsp 90 merupakan protein yang
paling utama dan hormon bebas dari plasma dan cairan interstisium menuju sel berikatan
dengan reseptor sehingga memicu konformasi yang memungkinkan terlepas dari heat-shock
protein. Kompleks reseptor yang mengikat ligan secara aktif diangkat ke dalam nukleus
dimana tempat reseptor berinteraksi dengan DNA dan protein inti. Sebagai homodimer,
kompleks berikatan dengan elemen respons glukokortikoid (GRE) di gen-gen responsif. GRE
terdiri dari dua skema poliodermik berikatan dengan dimer reseptor hormon. Selain mengikat
GRE, reseptor yang mengikat ligan juga membentuk kompleks yang mempengaruhi beberapa
faktor yaitu faktor transkripsi lain misalnya API dan NPRB.

Interaksi reseptor glukokortikoid dengan faktor transkripsi lain dipermudah maupun


dihambat oleh beberapa famili protein yang disebut koregulator reseptor steroid yang terbagi
menjadi koaktivator dan korepresor. Koregulator memiliki fungsi sebagai jembatan antara
reseptor dan protein-protein nukleus lain dan memperlihatkan aktivitas enzimatik misalnya
histon asetilase atau deasetilase yang mengubah konformasi nukleosom dan daya transkripsi
gen. Antara 10-20% gen yang diekspresikan diatur oleh glukokortikoid. Efek glukokortikoid
disebabkan oleh sintesis protein dari mRNA yang ditranskripsikan dari gen sasaran hormon
dan juga disebabkan oleh jumlah afinitas reseptor, koregulator, dan proses pasca transkripsi.
Efek glukokortikoid juga dapat dihubungkan dengan pengikatan hormon ke reseptor mineral
kortikoid (MR). Tetapi sebenarnya MR mengikat aldosteron dan kortisol dengan afinitas
setara dan di sebagian jaringan efek MR kortisol tidak muncul karena adanya ekspresi 11
beta-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2, enzim yang berperan dalam biotransformasi
kortisol menjadi turunan 11-keto (kortison), yang afinitasnya terhadap reseptor aldosteron
minimal.
Farmakologi Klinis

A. Diagnosis dan Terapi Gangguan Fungsi Adrenal

1. Insufisiensi Adrenokorteks

a. Kronik (penyakit Addison)

Insufisiensi Adrenokorteks kronik ditandai oleh mudah lelah, kelemahan otot, hipotensi,
hiperpigmentasi, penurunan berat badan drastis dan lain-lain. Pada insufisiensi adrenal primer
20-30 mg hidrokortison perlu diberikan setiap hari dan sesuai jumlah selama masa stres.
Glukokortikoid sintetik yang bekerja lama dan tidak memiliki aktivitas menahan garis
seyogianya tidak diberikan kepada pasien.

b. Akut

Terapi harus diberikan jika terkena insufisiensi adrenokorteks akut.

2.

3. Pemakaian glukokortikoid untuk tujuan diagnostik

Diperlukan penekanan produksi ACTH untuk menemukan suatu sumber hormon untuk
memastikan suatu produk dipengaruhi oleh sekresi ACTH. Pada keadaan ini, perlu digunakan
bahan yang poten misalnya deksametason karena dalam jumlah kecil dapat mengurangi
kebingungan dalam interpretasi pemeriksaan hormon dalam darah atau urin.

A.Tes supresi deksametason digunakan untuk mendiagnosis sindrom Cushing dan berbagai
keadaan depresi psikiatrik. Pada orang normal, konsentrasi kortisol pagi biasanya kurang dari
3 mcg/dL, sedangkan pada sindrom Cushing kadarnya lebih dari 5 mcg/dL. Untuk
membedakan hiperkortisolisme karena rasa cemas, depresi, dan alkoholisme (sindrom
pseudocushing) dan sindrom Cushing asli dilakukan tes kombinasi berupa deksametason (0,5
mg per oral selama 2 hari setiap 6 jam) diikuti oleh tes corticotropin-releasing hormone
(CRH) standar.

Pada pasien yang telah diagnosis sebagai sindrom Cushing dikonfirmasi dengan
meningkatnya kadar kortisol urin, supresi dengan deksametason dosis tinggi akan
membedakan pasien penyakit Cushing dari mereka yang mengidap tumor korteks adrenal
penghasil steroid atau dengan sindrom ACTH ektopik. Pada pasien dengan penyakit Cushing
efek supresi dari deksametason biasanya menyebabkan penurunan kadar hormon sebesar 50%
sedangkan pada pasien yang tidak terlihat supresi, kadar ACTH akan rendah jika terdapat
tumor adrenal penghasil kortisol dan meningkat dengan tumor ektopik penghasil ACTH.

B. Kortikosteroid dan Stimulasi Pematangan Paru Janin

Pematangan paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol pada janin. Terapi dengan
glukokortikoid pada skala besar dapat menyebabkan kekurangan insidens sindrom distres
pernapasan pada bayi yang lahir prematur. Jika diperkirakan terjadi kelahiran sebelum gestasi
34 minggu, ibu hamil diberikan betametason intramuskulus 12 mg dan dosis tambahan 12 mg
18-24 jam kemudian.Diberikan betametason karena dapat mengikat kortikosteroid oleh
protein ibu dan metabolisme plasenta lebih rendah dibandingkan kortisol sehingga terjadi
peningkatan dalam penyaluran janin menembus plasenta.

C. Kortikosteroid dan Gangguan Non-adrenal

Analog-analog sintetik kortisol nerguna untuk pengobatan berbagai golongan penyakit yang
tidak berkaitan dengan gangguan fungsi adrenal. Manfaat kortikosteroid pada penyakit ini
adalah fungsi dari kemampuan menekan peradangan dan respons imun serta mengubah
fungsi leukosit. Obat-obat ini berguna pada penyakit yang respons pejamu adalah penyebab
manifestasi utama penyakit. Pemberian kortikosteroid dapat membahayakan jika untuk
mengontrol proses patologik tetapi dapat mencegah kerusakan inversibel akibat respons
peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya.

Digunakan upaya mengontrol proses penyakit dengan menggunakan glukokortikoid kerja-


sedang sampai intermediat misalnya dengan prednison dan prednisolon. Serta semua tindakan
yang menjaga agar dosis tetap rendah. Jika mungkin digunakan terapi selang sehari tetapi
jangan diturunkan atau dihentikan secara mendadak.

2. Steroid memiliki aktivitas menahan garam (mineralokortikoid)


3. steroid memiliki aktivitas androgenik atau estrogenik

S-ar putea să vă placă și