Sunteți pe pagina 1din 9

ASE – Volume 11 Nomor 1, Januari 2015: 18 - 27

STRUKTUR MASYARAKAT DAN KEPEMIMPINAN: KASUS PEDESAAN DI JAWA

Elsje Pauline Manginsela

ABSTRACT

This paper aims to examine the influence of the meeting of two cultures, namely the Eastern
culture (Javanese) and the West (Europe mainly Dutch), which each has a different social structure. The
Ducth culture has affected rural communities in Java. This study is based on secondary data collected from
literature. The problem addressed in this paper is, whether socio-political system of a traditional nature is
still alive and gives benefits to rural socio-economic development. Based on the framework of Etzioni and
Tjondronegoro applied to the structure of community and leadership in Java, it can be concluded that: (1)
Nepotism is losing its grips in some places/villages in Java. However, in some villages, it is still preserved.
(2) There is a marginalization occuring to the most vulnerable groups. (3) Sodality can still be found at the
village level. (4) Congruent type in rural communities in Java, which is still alive in certain villages, is a
type of Nepotism-Loyalty. In short, the traditional socio-political system still applies in Java and it has a
tendency to marginalize the landless communities. For development purposes every party has to consider
this vulnerable groups so that such groups can also benefit. If this happen the development will be justly
distributed.

Keywords: nepotism, poliadic and sodality, rural, java

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan mengkaji pengaruh pertemuan dua kebudayaan, yaitu kebudayaan Timur
(masyarakat Jawa) dan Barat (Eropah terutama bangsa Belanda), yang masing-masing mempunyai struktur
sosial yang berbeda terhadap masyarakat pedesaan Jawa. Penelitian ini berdasarkan kajian data sekunder
yang dikumpulkan dari studi literatur. Permasalahannya yang disoroti dalam tulisan ini adalah, apakah
sistem sosial-politik yang bersifat tradisional ini masih hidup dan menguntungkan masyarakat pedesaan
dalam pembangunan sosial-ekonomi pada masa sekarang? Berdasarkan kerangka pemikiran Tjondronegoro
dan Etzioni yang diterapkan pada struktur masyarakat dan kepemimpinan di Jawa maka dapat disimpulkan
bahwa: (1) Nepotisme mengendor terjadi di beberapa tempat/desa di Jawa tetapi di desa lain masih
dipertahankan. (2) Terdapat gejala bahwa kelompok masyarakat yang paling lemah di pedesaan
termarjinalisasi dari kelompok kerja sama pada masyarakat desa. (3) Daya hidup sodaliti masih dapat
ditemukan ditingkat desa. (4) Tipe kongkruen untuk pedesaan Jawa adalah tipe Nepotisme-Setia, yang masih
hidup di desa-desa tertentu. Dengan demikian sistem sosial-politik tradisional masih hidup di Jawa yang
terdapat kecenderungan memarjinalkan kelompok masyarakat yang tak bertanah. Untuk itu pembangunan
masyarakat perlu mempertimbangkan masyarakat yang lemah agar manfaat pembangunan dapat dinikmati
secara merata.

Kata kunci: nepotisme, poliadik and sodaliti, Pedesaan Jawa

19
Struktur Masyarakat dan Kepemimpinan ..................................................................................(Elsje Pauline Manginsela)

PENDAHULUAN kan seperti yang dikemukakan oleh Hatta


(Tjiptoherijanto dan Prijono, 1983:17) bahwa
Kedatangan bangsa Eropa di Jawa struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa
menyebabkan bertemunya dua kebudayaan yang Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli
berbeda, yaitu kebudayaan Timur dan Barat yang yang berlaku di desa. Ide dasar demokrasi, berupa
mempunyai struktur sosial yang berbeda. Akibat pengikutsertaan rakyat dan persetujuan umum
pertemuan dua bangsa itu kebudayaan Jawa terkena dalam pencapaian keputusan dengan memelihara
pengaruh kebudayaan Barat yang sangat besar persetujuan bersama. Kelihatannya ini mencermin-
(Burger, 1983:1; Isma'il 1997:36),). Disini orang- kan suatu hubungan sosial dasar yang ditemui di
orang Eropa khususnya orang-orang Belanda me- desa-desa Indonesia, yang pernah memberikan
ngembangkan beberapa pikiran penting: sebagai jaminan perlindungan dan keperluan pokok kepada
penakluk, mereka merasa memiliki hak feodal atas masyarakat desa. Diduga sebelum zaman penjajah-
tanah, dengan demikian atas pajak, serta hak an demokrasi semacam ini telah dijalankan. Selama
pemecahan masalah-masalah pengendalian politik zaman penjajahan Belanda, perubahan-perubahan
dan ekonomi terbaik dan termurah. Mereka sosial-ekonomi, terutama perubahan-perubahan
menggunakan perantara-perantara ahli – yaitu, dalam pembagian tanah dari pemilikan individu ke
pemimpin-pemimpin tingkat tinggi pribumi dan pemilikan komunal, mempengaruhi hubungan-
petani-petani Cina yang membayar pajak kepada hubungan antara pemilik dan penggarap serta antar
Belanda (Sutherland, 1984:10). strata sosial di Jawa (Tjiptoherijanto dan Prijono,
Dalam konteks keyakinan ini, Jawa dilihat 1983:17). Kenyataannya, kalau pemimpin-
sebagai masyarakat yang feodal yang korup, dan pemimpin berhubungan baik dengan wewenang
kebudayaannya yang telah mencapai tingkatan atasan desa (supra-village), semua keputusan akan
tinggi. Untuk itu, kerajaan-kerajaan Jawa yang ditetapkan oleh pemimpin-pemimpin formal,
semi-birokratis dan rumit memerlukan tambahan terutama lurah. Instruksi-instruksi dari wewenang
semangat dari dinamisme Eropa agar tanah atasan desa (supra-village) sering lebih merupakan
menjadi produktif. Negara Timur yang statis ini landasan pokok dari suatu keputusan bila
dapat diusahakan supaya menghasilkan barang- dibandingkan dengan keperluan dan keinginan dari
barang dan jasa-jasa yang diperlukan oleh Negeri masyarakat desa (Tjiptoherijanto dan Prijono,
Belanda, namun tanpa membahayakan kepasifan 1983). Permasalahannya sekarang, apakah sistem
yang hakiki dan berguna itu. Oleh karena itu sosial-politik yang bersifat tradisional ini masih
pembaruan tanggapan politik yang kreatif terhadap menguntungkan masyarakat pedesaan dalam
perubahan sosial dan ekonomi tidak dapat dibiarkan pembangunan sosial-ekonomi pada masa sekarang?
oleh dogma kolonial. Akibat dari kemandegan yang Untuk mempertegas permasalahan maka
dipaksakan ini selanjutnya akan membentuk citra struktur masyarakat Jawa dicoba didekati dengan
baru bagi Jawa, yang luar biasa, dimana elite membaginya menjadi: Struktur Masyarakat Jawa
priyayi secara alamiah terlihat sebagai lebih cen- Lama/Tradisional dan Struktur Masyarakat Jawa
derung mementingkan ilmu klenik dan pelaksanaan Modern. Menurut Burger (Isma'il 1997:36), tingkat-
upacara-upacara daripada menjalankan kekuasaan an dalam Struktur Masyarakat Jawa Tradisional
yang sebenarnya. Setelah perang Dunia Kedua adalah Raja–Kepala Propinsi (setingkat Bupati pada
ketika kekangan kolonial ditiadakan, irrasionalitas masa sekarang)–Kepala Desa–Penduduk desa atau
kebudayaan Jawa berkembang lagi di bidang orang kebanyakan. Tingkatan ini digunakan–
politik, dimana gagasan-gagasan lama tentang walaupun untuk saat sekarang sudah telah berubah
kekuasaan dari perilaku yang serasi kemudian – karena diduga pengaruhnya masih ada. Dengan
dikenali sebagai kebangkitan kembali patri- menduga bahwa masyarakat desa masih di-
monialisme dan neotradisionalisme (Sutherland, pengaruhi oleh struktur masyarakat tradisional
1984:11). maka digunakan pemikiran Tjondronegoro (1977 &
Dalam kepemimpinan, diharapkan penerap- 1984) untuk menganalisanya, karena kerangka
an sistem demokrasi. Demokrasi disini dimaksud- pemikirannya membedakan antara Lembaga yang

20
ASE – Volume 11 Nomor 1, Januari 2015: 18 - 27

mencirikan struktur masyarakat tradisional dan kesatuan masyarakat terkecil ini tanpa ada
Organisasi yang mencirikan struktur masyarakat hubungan kekeluargaan sebagai ciri khas tetapi
modern. Tingkatan dalam suktur Masyarakat Jawa hubungan kepentingan yang ada dan tanpa
Modern adalah: Presiden–Gubernur-Bupati– Camat menghapus hubungan primer.
–Kepala Desa dan Penduduk Desa. Dengan be-
robahnya struktur masyarakat Jawa sekarang ini, B. Kerangka Pemikiran Etzioni
ingin dilihat apakah organisasi modern yang Etzioni (1961:12; Lohmann and Lohmann
dikemukakan oleh Etzioni (1961 dan 1975; Vedung 2002) mengemukakan pemikirannya dengan
2011 : 28-29) dapat ditemukan dalam masyarakat di meninjau jenis kekuasaan yang diterapkan dan
pedesaan Jawa. Untuk itu Kerangka pemikirian keterlibatan peserta dalam suatu masyarakat dalam
Etzioni digunakan sebagai alat penganalisa. bentuk tipologi seperti pada Tabel 1. Pada Tabel 1
terdapat tipe-tipe yang kongkruen, yaitu tipe 1, 5
dan 9 dengan penerapan dan keterlibatan peserta
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS yang berbeda, yaitu:

Kerangka pemikiran teoritis dalam artikel ini, Tipe 1. Paksaan – Menarik Diri
sebagaimana dikemukakan sebelumnya Dimana jenis kekuasaan yang diterapkan adalah
menggunakan pemikiran Tjondronegoro (1977 dan kekuasaan paksaan dan dengan keterlibatan peserta
1984) untuk menganalisa masyarakat desa yang yang menarik diri.Misalnya, pada penerapan tanam
masih dipengaruhi oleh struktur masyarakat paksa pada zaman penjajahan Belanda, kekuasaan
tradisional. Dan pemikiran Etzioni (1961 dan 1975) paksaan yang diterapkan menyebabkan petani
untuk melihat perobahnya struktur masyarakat di sebagai peserta dalam keterlibatannya menarik diri.
pedesaan Jawa.
Tipe 5. Imbalan – Pamrih
A. Kerangka Pemikiran Tjondronegora Pada tipe ini jenis kekuasaan yang diterapkan
Tiga penemuan dari beberapa penemuan yang adalah dengan imbalan dan keterlibatan peserta
dikemukakan oleh Tjondronegoro (1977:34-35 dan adalah karena pamrih.Hal ini dapat kita jumpai
1984:246-251) dalam disertasinya, akan dalam perusahaan-perusahaan dimana kekuasaan
dipergunakan sebagai kerangka pemikiran teoritis yang dijalankan adalah kekuasaan Imbalan dengan
dalam analisa, yaitu: keterlibatan pamrih.Disini peserta tidak mau
bekerja apabila tidak dibayar/diberi upah.
1. Mengendornya Nepotisme
Mengendornya nepotisme adalah mengendor-nya Tipe 9. Normatif – Moral
ikatan/hubungan kekeluargaan diganti dengan Dalam tipe ini jenis kekuasaan yang diterapkan
hubungan kenalan, tetangga dekat dan lain-lain. adalah dengan Normatif dan keterlibatan peserta
Praktek Nepotisme yang ditinjau dalam tulisan ini adalah dengan moral. Misalnya dalam kegiatan
terutama pada Kepemimpinan desa tepatnya dalam gotong royong dimana kekuasaan normatif dan
pemerintahan desa. keterlibatan yang berdasarkan moral. Contoh lain
adalah pada organisasi-organisasi keagamaan.
2. Hubungan Poliadik
Yang dimaksudkan dengan hubungan poliadik
adalah hubungan yang mencakup sejumlah pelaku ANALISA: TEORI DAN FAKTA
sosial dengan berbagai kepentingan masing-masing
yang dipertemukan dan diperjuangkan. Berdasarkan pemikiran Tjondronegoro (1977
dan 1984) Etzioni (1961 dan 1975) untuk
3. Daya hidup Sodaliti menganalisa struktur masyarakat dan
Daya hidup sodaliti merupakan kesatuan kepemimpinan di pedesaan Jawa, sebagai berikut:
masyarakat terkecil yang berdaya hidup, dimana

21
Struktur Masyarakat dan Kepemimpinan ..................................................................................(Elsje Pauline Manginsela)

Tabel 1. Tipologi dari hubungan ketaatan

Jenis keterlibatan Menarik diri Pamrih Moral


Jenis kekuasaan
Paksaan Paksaan-Menarik diri Paksaan- Pamrih Paksaan- Moral
(1) (2) (3)
Imbalan Imbalan- Menarik diri Imbalan- Pamrih Imbalan- Moral
(4) (5) (6)
Normatif Normatif- Menarik diri Normatif- Pamrih Normatif- Moral
(7) (8) (9)
Sumber: Etzioni 1961

dan Bayan (Kebayan) Dawung yang tidak


1. Mengendornya Nepotisme mempunyai hubungan perkerabatan dengan Lurah.
Tjondronegoro dalam penelitiannya di Desa Selanjutnya Tjiptoherijanto dan Prijono (1983),
Kendal (Jateng) dan di Desa Cibadak (Jawa Barat) mengemukakan bahwa dalam masyarakat yang
pada tahun 1974 – 1975, menemukan adanya masih bersifat tradisional, seringkali terjadi keadaan
pengendoran Nepotisme di kalangan pemimpin dimana pengganti lurah yang lama adalah putra
desa. lurah itu sendiri.Walaupun pemilihan lurah selalu
Penemuan ini dicoba untuk diuji dengan dilakukan secara langsung dan demokrasi, tetapi
kenyataan-kenyataan yang ada dari daerah lain di bila seorang putra lurah tampil sebagai salah satu
Jawa. Hasil penelian yang dilakukan oleh calon, kemungkinan besar ia akan terpilih.
Universitas Satya Wacana (Tjiptoherijanto dan Kasus lain seperti yang dikemukakan oleh
Prijono 1983: 38-39 ) adalah sebagai berikut: Lurah Wigna (1979: 32,39) bahwa nepotisme sebagai
sebagai pemimpin formal dalam tugasnya secara suatu gejala sosial tidak hanya terjadi di Desa S
hirarki lebih giat dalam merealisasikan program- yang merupakan salah satu desa contoh Studi
program yang diinstruksikan dari atas dan sebagai Dinamika Pedesaan - Survey Agro Ekonomi (SDP
pemimpin informal ia harus lebih banyak – SAE) tetapi juga di desa-desa lain di Jawa Barat
mengembangkan inisiatifnya sendiri untuk memaju- (Jabar) misalnya di Desa W, L, M dan C. Untuk
kan desayang dipimpinnya, antara lain, dalam hal memperjelas pada skema berikut ini, merupakan
pendirian madrasah dan perbaikan mesdjid. Untuk gambaran sejauh mana praktek nepotisme itu
mempermudah pelaksanaan inisiatif tersebut, berlangsung di Desa S, menunjukkan pada kita
seringkali lurah memanfaatkan hubungan per- bahwa hampir semua kuwu (kepala desa di Jabar)
kerabatan diantara pamong desa.Sebagai contoh pada setiap generasi, baik di desa asal ST maupun
terlihat pada Desa Boyolayar, yang menunjukkan AB mempunyai hubungan kekerabatan dengan
hubungan perkerabatan antara pamong desa. kuwu-kuwu sebelumnya. Sebagai tambahan, Desa
Dimana pada mulanya carik desa ini adalah S merupakan gabungan dari Desa ST dan Desa AB.
menantu lurah karena kawin dengan anak Dengan membandingkan kenyataan dari Desa
perempuan lurah, kemudian pada suatu saat isteri Boyolayar dan Desa S, ternyata penemuan
carik meninggal.Hal ini mengakibatkan hubungan Tjondronegoro tidak dapat dipertahankan. Bila di
perkerabatan antara carik dan lurah terputus. Akan Kendal dan Cibadak hubungan kekerabatan diganti-
tetapi kemudian agar supaya perhubungan kan dengan ikatan tinggal dekat dan lain-lain
perkerabatan itu dihidupkan lagi atas inisiatif lurah, sehingga Tjondronegoro mengemukakan bahwa
carik dikawinkan dengan cucu lurah. Untuk Nepotisme mengendor. Hal sebaliknya terjadi Desa
memperjelas dapat dilihat pada skema 1. Boyolayar dan Desa S, nepotisme masih tetap
Pada kasus di atas ini terlihat bahwa di antara menguat.
para pamong desa hanya dua pamong yaitu: Modin

22
ASE – Volume 11 Nomor 1, Januari 2015: 18 - 27

Skema 1. Hubungan perkerabatan dan non-perkerabatan antara pamong desa

LURAH
Anak Menantu
Anak Menantu
PAMONG
CARIK TANI
Cucu Menantu DESA

BAYAN
MODIN (KEBAYAN)
DAWUNG
Bukan Kerabat Bukan Kerabat

Keterangan:
---: Hubungan perkerabatan
__ : Hubungan resmi pemerintahan

2. Hubungan Poliadik kelompok pemilik tanah besar di desa tersebut. Dan


Hasil penemuan Tjondronegoro di Desa Kendal mereka tidak menganggap penting untuk
dan Cibadak, yaitu adanya hubungan Poliadik, diuji melibatkan orang-orang yang tidak mempunyai
dengan kenyataan yang ada di desa lain di Jawa. tanah di dalam pengambilan keputusan tentang
Williams dan Satoto (1979) mengemukakan LKD.
tentang kasus Desa Sukodono (nama samaran suatu Selanjutnya dikemukakan Williams dan Satoto
desa di pantai utara Jawa Tengah), di mana terdapat (1979) bahwa, dengan disingkirkannya mereka
organisasi Kesehatan (LKD). Sebagai Lembaga yang tidak mempunyai tanah untuk mengambil
Kesehatan Desa yang merupakan wadah penduduk bagaian yang aktif di dalam masalah-masalah LKD
desa mengadakan hubungan poliadik ternyata mungkin secara tidak langsung merupakan faktor
mendapat rintangan di tingkat desa dari kelompok kegagalan program sanitasi, yang sangat
yang tidak mempunyai tanah. Untuk memperjelas bermanfaat bagi mereka yang tidak mampu
penulisan Williams dan Satoto di bawah ini: memperoleh kemewahan seperti sumur dan WC.
Kelompok yang tidak mempunyai tanah ini, yang Akan tetapi mereka sama sekali tidak sadar tentang
hampir 50 % di desa, sama sekalai tidak ada program ini apalagi kemungkinan-kemungkinan
peranannya dalam rencana mendirikan dan dayagunanya. Kalau mereka dilibatkan dalam
menjalankan LKD. Komposisi pengurus LKD program sanitasi tersebut maka banylak orang yang
ditentukan dalam sebuah pertemuan para pemilik tidak mempunyai tanah mungkin akan mendukung
tanah yang diundang oleh Lurah. Orang-orang kader-kader kesehatan untuk melawan keputusan
muda yang diangkat di dalam pengurus ini dan lurah untuk menutup program sanitasi itu.
adalah kader kader desa, juga tergolong dalam

23
Struktur Masyarakat dan Kepemimpinan ..................................................................................(Elsje Pauline Manginsela)

Skema 2. Hubungan kekerabatan antar kuwu dari generasi ke generasi dari Desa S

Desa ST Desa baru: Desa S Desa AB


1. NRM
I. WNG

2. MIR
II. NRJ
(belum jelas)
(diduga cucu K.I)

III. NRS 3. NTD


(Besan K.II) (Anak K.II)

IV. DNU 4. BRI


(anak K.II, suami (suami adik K.II.
cucu K.I, sepulu K.III).

Desa ST
A.BRI
dari kampung AB
(1916-1931) (bekas K.4)

B. MTA (1932-1942)
(cucu K.A.) dari kampung ST

C. AMT (1943-1949) dari kampung AB

D. SKN (1950-1977)
(Keturunan embah GBN, dari kampung ST
cucu K.IV)

E. OS (1977-1978) dari kampung AB

Keterangan:
- Yang dimaksud hubungan kekerabatan di sini, dilihat sebagai hubungan/ikatan, baik yang diturunkan
melalui hubungan darah (biologis) maupun perkawinan.
- K = kuwu; kpg = kampung; singkatan huruf lainnya ialah singkatan nama-nama kuwu.

Sumber: Hasil Survei Intensif SDP/SAE, 1977-1978 dalam Wigna, 1979:33

24
ASE – Volume 11 Nomor 1, Januari 2015: 18 - 27

Bukti paling dramatis dari akibat mengeluarkan tidak mampu memangku jabatan kuwu di Desa S.
orang-orang yang tidak mempunyai tanah dari Usaha ini hampir berhasil dengan timbulnya
proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi keinginan masyarakat baik dari kampun ST maupun
kemakmurannya, kesejahteraannya adalah kasus kampung AB, untuk memisahkan diri kembali dari
tanah berem. Kalau sekiranya 20 keluarga pengolah Desa S, menjadi desa masing-masing seperti
tanah ini dikonsultasi lebih dahulu tentang rencana semula.
lurah untuk mengusirnya dan membagi tanah Walaupun nampaknya pemekaran desa itu tidak
tersebut pada Wanra maka hampir pasti mereka mungkin dapat terlaksana, karena syarat-syarat
tidak mungkin diusir ke luar, dan LKD mungkin seperti jumlah penduduk, pendapatan desa, lunas
tidak akan terlibat dalam perselisihan tanah yang IPD dll belum bisa terpenuhi oleh Desa S, namun
sama sekali tidak perlu, yang membawa kecelakaan dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa masyarakat
yang mungkin tidak mungkin diperbaiki lagi bagi telah memberikan respons yang menurut mereka
citra kader kesehatan sebagai penyembuh penyakit baik untuk kemajuan desanya, walaupun
dan promotor kesehatan. sebenarnya pemekaran desa itu bukan tujuan utama
Berdasarkan kenyataan yang di atas nampak mereka.
bahwa dalam hubungan poliadik terdapat Berdasarkan kenyataan di atas ternyata
penyimpangan dimana kelompok masyarakat yang penemuan Tjondronegoro tidak dapat dipertahan-
paling lemah (yang tidak memiliki tanah) kan karena sodality ternyata untuk kasus Desa S
disingkirkan dari kelompok kerja sama desa (LKD masih dapat ditemukan pada tingkat desa.
Sukodono). Kenyataan ini menunjukkan suatu Etzioni mengemukakan pemikirannya dalam
perkembangan baru terhadap kehidupan pedesaan bentu tipologi dari hubungan ketaatan, dimana ter-
yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. dapat tiga tipe kongkruen yaitu: Tipe Paksaan
Menarik Diri, Tipe Imbalan-Pamrih dan Tipe
3. Daya hidup sodaliti Normatif-Moral. Untuk itu diuji dengan kenyataan
Daya hidup sodaliti ang ditemukan oleh yang ada di desa Jawa.
Tjondronegoro di Desa Kendal dan Cibadak pada Wigna (1979: 32-39) mengemukakan bahwa
tahun 1977, ada pada tingkat dukuh. Untuk itu akan berakhirnya pemerintahan Kuwu AMT (1949),
diuji dengan kenyataan yang ada di daerah lain di yang memerintah Desa S relatif sebentar
Jawa. dibandingkan dengan kuwu-kuwu lainnya,
Wigna (1979: 32-39) mengemukakan bahwa, menyadarkan rakyat Desa S, bahwa mereka salah
suasana pemerintahan di bawah kuwu OS (Kepala memilih kuwu. Selain tidak mempunyai teureuh
Desa di sebuah desa di Jabar) yang dianggap tidak kuwu, kerja sama kuwu tersebut dengan Belanda
mempunyai turunan langsung dari kuwu-kuwu mempertebal rasa antisipasi rakyat terhadapnya.
sebelumnya, menimbulkan keresahan dikalangan Hal ini terbukti dengan pernah ditembaknya kuwu
masyarakat. Lebih-lebih cara pemerintahan kurwu tersebut oleh rakyat dan berakhir dengan tuntutan
OS bersifat otoriter dan terlalu membawa ke rakyat supaya segera meletakkan jabatan.
ABRIannya dalam suasana pemerintahan, Selanjutnya dikemukakan bahwa, kesadaran
menyebabkan rakyat baik dari kampung ST tersebut diikuti pula dengan menampilkan calon
maupun kampung AB sebagai kampung asal kuwu, tunggal SKN mengantikan kuwu lama, yang
tidak menyenangi kuwunya. Selanjutnya dianggap patut menjabat kedudukan tersebut. Dia
dikemukakan bahwa, usaha dari pihak juru tulis adalah keturunan langsung dari salah satu
lama untuk menjatuhkan kuwu OS sangat sulit, pendiridesa asaldan mempunyai teureuh kuwu.
Karena kedudukan kuwu yang cukup kuat Disamping itu juga masyarakat pernah
hubungannya ke atas. Jalan yang mudah ditempuh mengenalnya sebagai pembela rakyat disaat gerilya.
ialah dengan membangkitkan kembali suasana Untuk menjaga jangan sampai harapan masyarakat
perselisihan antara kampung ST dan AB, sebagai gagal, beberapa orang penduduk memaksa
usaha untuk memperlihatkan kepada masyarakat kesanggupan calon kuwu tersebut dengan cara
bahwa kuwu yang baru ini memang tidak patut dan menangkapnya di kebun di saat ia sedang

25
Struktur Masyarakat dan Kepemimpinan ..................................................................................(Elsje Pauline Manginsela)

menyadap nira, sewaktu cuti dari pekerjaan di salah satu jenis kekuasaan yang diterapkan dan
Bandung. Kemudian diminta kesanggupannya unsur kesetiaan (setia/cinta) sebagai salah satu jenis
untuk menjadi kuwu di desanya. Setelah melalui keterlibatan peserta yang membentuk tipe
penjagaan ketat agar tidak dapat kembali ke kongkruen. Untuk memperjelas, dapat dilihat pada
Bandung, akhirnya diterimalah tawaran tersebut, Tabel 2.
dan terpilih ia sebagai kuwu Desa S yang mendapat Dengan demikian pemikiran Etzioni yang
dukungan besar baikdari kampung ST maupun berlandaskan pada masyarakat modern telah
kampung AB. Sebagai kuwu harapan rakyat, dia terkoreksi berdasarkan kenyataan yang ada pada
berhasil membuktikan kemampuannya sebagai masyarakat di Jawa.
kuwu yang dapat berbicara ke atas demi
kepentingan rakyatnya dan diterimasebagai seorang
pemimpin yang berhasil. Kemampuannya KESIMPULAN
dibuktikan dengan berhasilnya meredakan dan
menyatukan perselisihan yang telah lama Berdasarkan kerangka Tjondronegoro dan
berlangsung antara kampung ST dan kampung AB Etzioni yang diterapkan pada struktur masyarakat
dalam masa pemerintahannya selama 27 tahun dan kepemimpinan di Jawa maka dapat
(paling lama dalam sejarah desa S dengan melalui disimpulkan bahwa:
pengangkatan 2 kali. Suatu cacat pada dirinya 1. Nepotisme mengendor hanya di beberapa
sebagai seorang kuwu, ialah hubungannya dengan tempat/desa di Jawa tetapi di desa lain di Jawa
banyak wanita. Juga banyak gossip tentang masih tetap dipertahankan.
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan 2. Adanya gejala bahwa kelompok masyarakat
pamong desa termasuk dirinya, namun gosip-gosip yang paling lemah di pedesaan disingkirkan
semacam itu tertutup oleh tindakan-tindakan baik dari kelompok kerja sama desa.
yang lain, sehingga hal-hal tersebut tidak 3. Daya hidup sodality masih dapat ditemukan
menghalangi kecintaan rakyat terhadap kuwunya, ditingkat desa
dan selama pemerintahan kuwu tersebut menurut 4. Tipe kongkruen untuk pedesaan Jawa adalah
banyak responden dikenal sebagai jaman keemasan tipe Nepotisme-Setia, yang dapat ditemukan
Desa S. pada desa-desa tertentu.
Dari kasus di atas ternyata bila dihubungkan
dengan pemikiran Etzioni, untuk masyarakat desa
di Jawa perlu ditambahkan unsur nepotisme sebagai

Tabel 2. Tipologi dari hubungan ketaatan


Jenis
keterlibatan Menarik diri Pamrih Moral Setia
Jenis kekuasaan
Paksaan Paksaan-Menarik diri Paksaan – Pamrih Paksaan- Moral Paksaan-Setia

Imbalan Imbalan-Menarik diri Imbalan- Pamrih Imbalan- Moral Imbalan- Setia

Normatif Normatif-Menarik Normatif- Pamrih Normatif-Moral Normatif- Setia


diri
Nepotisme Nepotisme-Menarik Nepotisme- Nepotisme- Nepotisme-
diri Pamrih Moral Setia

Sumber: Pengembangan pemikiran penulis yang didasarkan pemikiran Tjondronegoro dan Etzioni

26
ASE – Volume 11 Nomor 1, Januari 2015: 18 - 27

DAFTAR PUSTAKA Sutherland, H., & Sunarto. (1983). Terbentuknya


sebuah elite birokrasi. Sinar Harapan.
Burger, D. H. (1977). Perubahan-perubahan Jakarta.
struktur dalam masyarakat Jawa (Vol. Tjondronegoro, S. M. (1984). Gejala Organisasi
56). Bhratara. dan Pembangunan Berencana Dalam
Etzioni, A. (1975). Comparative Analysis of Masyarakat Pedesaan di Jawa. Dalam
Complex Organizations, Rev. Simon and Masalah-Masalah Pembangunan. Bunga
Schuster. Rampai Antropologi Terapan. LP3ES.
Isma'il, I. Q. (1997). Kiai penghulu Jawa: Jakarta.
peranannya di masa kolonial. Gema Turmudi, E. (2004). Perselingkuhan kiai dan
Insani. kekuasaan. PT LKiS Pelangi Aksara.
Lohmann, R. A., & Lohmann, N. (2002). Social Vedung, E.O, (2011). Policy instruments:
administration. Columbia University Typologies and Theories. In Bemelmans-
Press. Videc, M. L., Rist, R. C., & Vedung, E.
Prijono, Y. M., & Tjiptoherijanto, P. (1983). O. (Eds.). (2011). Carrots, sticks, and
Demokrasi di pedesaan Jawa. Penerbit sermons: Policy instruments and their
Sinar Harapan. evaluation (Vol. 1). Transaction
Sciulli, D., & Etzioni, A. (Eds.). (1996). Macro Publishers.
socio-economics: from theory to activism. Wigna, W. (1979). Nepotisme di Desa: Suatu
ME Sharpe. Studi Kasus di Jawa barat. Prisma, (3).

27

S-ar putea să vă placă și