Sunteți pe pagina 1din 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
(Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan.
Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian.

Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun
psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting
terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi,
perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-
trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan
penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang
tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin
memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007). Sedangkan berdasarkan
Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni
cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis
untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien 2 cedera kepala
menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) (Wahjoepramono, 2005).

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita
meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai
tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang
meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup
berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua
pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya
(Smeltzer, 2002).

1
2. Tujuan penulisan

Untuk mengetahui tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala

3. Manfaat penulisan

a) Bagi penulis. Memberikan pengalaman yang nyata dan menambah pengetahuan


tentang asuhan keperawatan pasien dengan cedera kepala sedang di IGD 4
b) Bagi institusi Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang datang, terutama
masalah keperawatan gawat darurat.
c) Bagi rumah sakit Bermanfaat bagi perawat IGD untuk melakukan asuhan
keperawatan yang lebih profesional dalam melakukan tugasnya.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Defenisi cedera kepala

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan(accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor
dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan
cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001)adalah suatu trauma yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan
dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh
darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma tembus.

B. Etiologi
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala
adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)

b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

2. Trauma akibat persalinan


3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.

3
C. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood
flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac
output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak,
deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-
15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot. Cedera primer, yang terjadi
pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba,
cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera
kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang
meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil

4
multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (2000). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak
beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar
getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia
aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan
pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun
intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun
sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema
cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial)
merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat
akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya,
2008).
D. Manifestasi klinis

1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih


2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea)
dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

5
E. Pemeriksaan diagnostic

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada
24 - 72 jam setelah injuri.

2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8. CSF, Lumbal Pungsi


Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.

9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial

6
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial

11. Screen Toxicologi


Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

F. Komplikasi

1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
G. penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.

3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.


4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40
% atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama

7
(2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8
jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.
H. Asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat

b. Identitas Penanggung jawab


Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.

c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada
saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang

Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan


sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat
penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.

Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

d. Pengkajian persistem
1). Keadaan umum
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas bunyi
ronchi.

8
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi
bradikardi kemudian takikardi.

6). Sistem Perkemihan


Inkotenensia, distensi kandung kemih

7). Sistem Gastrointestinal


Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan selera

8). SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi

9). Sistem Persarafan


Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan .

Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan


pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi sebagian
tubuh.

2. Diagnosa keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan


b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula oblongata
c. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia
d. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologis.
e. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK.
f. Kerusakan mobilitas fisik b.d imobilitas.
g. Resti injury b.d kejang.
h. Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak
i. Resti gangguan intregritas fisik b.d imobilitas
j. Resti kekurangan volume cairan b.d mual-muntah.

9
3. Intervensi keperawatan

4. Pendidikan kesehatan pada cedera kepala

10
BAB III

JURNAL TERKAIT

A. Analisis jurnal

B. Terapi komplemeter pada pasien cedera kepala

C. Trend an issu, evidancebased practicealam penatalaksanaan pasien cedera kepala

11
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahsan yang sudah dijelaskan, bias disimpulakan bahwa Cedera kepala adalah
trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar yang dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat menyebabkan gangguan kognitif, gangguan
tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara atau permanen,
menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga gangguan psikososial. (Donna, 1999).
Menurut etiologi cedera kepala adalah Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau
sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, cedera akibat
kekerasan.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini kelompok kami akui bahwa makalah ini masih dari
sempurna, maka dari itu untuk para pembaca apabila akan mengangkat atau membahas masalah
yang sama atau hal yang lainnya, diharapkan bias lebih detail dan sumber – sumbernya
diperbanyak dan lebih update lagi yang baru.

12
Lampiran jurnal terkait

13
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd ed. Philadelpia
: F.A. Davis Company.

Long; B and Phipps W. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach. St. Louis : Cv. Mosby Company.

Asikin, Z. 1991. Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan


Penderita dengan Alat Bantu Napas. Jakarta.

Harsono. 1993. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press

Saanin, S dalam Neurosurgeon. mailto:%20saanin@padang.wasantara.net.id

Cecily, L & Linda A. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC.

14
WOC

15

S-ar putea să vă placă și