Sunteți pe pagina 1din 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan
kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade
Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap
tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.

Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum yang disebabkan oleh trauma. Dengan
semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan
lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering menyebabkan trauma. dan kita harus
waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain.
Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, kecelakaan domestik dan kecelakaan
atau cidera olahraga.

Menurut Smeltzer (2001) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Prinsip mengenai fraktur meliputi reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen yang terdiri dari
reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka (dengan operasi), mempertahankan reduksi atau
imobilisasi yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran dengan traksi terus nmenerus, pembebatan
dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal dan fiksasi eksternal, memulihkan fungsi
yang tujuannya adalah mengurang odema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot
dan memandu pasien kembali ke aktifitas normal. (Apley & Solamon 1995)
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Apa yang dimaksud dengan Fraktur kruris?

1.2.2. Apa saja pengkajian kesehatan dan diagnosa pada Fraktur kruris?

1.2.3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Fraktur kruris?

1.3 Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Diharapkan mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan Fraktur kruris

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui dan memahami tentang penyebab Fraktur kruris dan penatalaksanaannya

1.3.2.2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan Fraktur kruris

1.3.2.3. Menerapkan asuhan keperawatan pada pasien Fraktur kruris

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar
jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).

Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia
dan fibula (Ahmad Ramali).

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi
pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000).

2.2 Etiologi

1. Trauma

Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:


a. Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.

b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

2. Fraktur Patologis

Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat suatu
proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau osteoporosis.

3. Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan

Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu mengabsorpsi
energi atau kekuatan yang menimpanya.

4. Spontan . Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

5. Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi
atau gerakan memuntir yang keras.

6. Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering
dikait dengan gangguan kesejajaran. (Apley, G.A. 1995 : 840)

2.3 Klasifikasi

1. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :

a. Fraktur complete : tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih.

b. Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :

1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang
pipih.

2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna, clavikula dan costae.

3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.

2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:

a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu tulang)

b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu tulang)

c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang

d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih


e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.

3. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :

a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya

b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas:

1) Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat

2) Angulated, membentuk sudut tertentu

3) Rotated, memutar

4) Distracted, saling menjauh karena ada interposisi

5) Overriding, garis fraktur tumpang tindih

6) Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.

4. Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar,
fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh

b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang
yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai
ke tulang, terbai atas :

1) Derajat I

a) Luka kurang dari 1 cm

b) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.

c) Kraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.

d) Kontaminasi ringan.

2) Derajat II

a) Laserasi lebih dari 1 cm

b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse

c) Fraktur komuniti sedang.

3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta
kontaminasi derajat tinggi.

2.4 Manifestasi klinis

1. Deformitas

2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan
keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi pemendekan tulang, Penekanan tulang

3. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.

4. Echumosis dan perdarahan subculaneus

5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.

6. Tendernes atau keempuka

7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan
struktur di daerah yang berdekatan.

8. Kehilangan sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf atau perdarahan).

9. Pergerakan abnormal

10. Syock hipovolemik dari hilangnya hasil darah.

11. Krepitasi

2.5 WOC

2.6 Pemeriksaan diagnostik

1. Foto Rontgen : Untuk mengetahui lokasi, tipe fraktur dan garis fraktur secara langsung. Biasanya
diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, MRI : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler

4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun. Peningkatan


jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma

5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati.

2.7 Penatalaksanaan

1. Rekognasi

Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas. Karena itu begitu
diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai
untuk melindunginya dari kerusakan.

2. Traksi

Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk
tulang. Ada 2 macam yaitu:

a. Skin Traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada
kulit dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).

b. Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi
panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.

3. Reduksi

a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)

4. Imobilisasi Fraktur

Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna.

2.8 Perawatan Perioperatif

1. Perawatan Pre Operasi:

a. Persiapan Pre Operasi:


1) Pasien sebaiknya tiba di ruang operasi dengan daerah yang akan di operasi sudah dibersihkan (di
cukur dan personal hygiene)

2) Kateterisasi

3) Puasa mulai tengah malam sebelum operasi esok paginya (pada spinal anestesi dianjurkan untuk
makan terlebih dahulu)

4) Informed Consent

5) Pendidikan Kesehatan mengenai tindakan yang dilakukan di meja operasi

2. Perawatan intra Operasi:

a. Menerima Pasien dan memeriksa kembali persiapan pasien

b. Identitas pasien

c. Surat persetujuan operasi

d. Pemeriksaan laboratorium darah, rontgen, EKG.

e. Mengganti baju pasien

f. Menilai KU dan TTV

g. Memberikan Pre Medikasi : Mengecek nama pasien sebelum memberikan obat dan memberikan
obat pre medikasi.

h. Mendorong pasien kekamar tindakan sesuai jenis kasus pembedahan

i. Perawatan dilakukan sejak memindahkan pasien ke meja operasi samapai selesai

2.9 Komplikasi

1. Dini

a. Compartement syndrome : Merupakan komlikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Tekanan intracompartement dapat dibuka
langsung dengan cara whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi.

b. Infeksi : Pada trauma orthopedic infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat

c. Avaskuler nekrosis : Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
d. Shock : karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi.

e. Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki
dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi .

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPARAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Identitas Pasien

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri pada daerah Fraktur, Kondisi fisik yang lemah, tidak bisa melakukan banyak aktivitas, mual,
muntah, dan nafsu makan menurun, (Brunner & suddarth, 2002)

b. Riwayat Penyakit dahulu

Ada tidaknya riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan post operasi,
(Sjamsuhidayat & Wim Dejong)

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Fraktur bukan merupakan penyakit keturunan akan tetapi adanya riwayat keluarga dengan DM perlu di
perhatikan karena dapat mempengaruhi perawatan post operasi

2. Pola Kebiasan

a. Pola Nutrisi : Tidak mengalami perubahan, namun beberapa kondisi dapat menyebabkan pola
nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi

b. Pola Eliminasi : Pasien dapat mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi dan gangguan
eliminasi urine akibat adanya program eliminasi

c. Pola Istirahat : Kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang berarti,
namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti
timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitali
d. Pola Aktivitas : Hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur sehingga aktivitas pasien harus
dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya
sendiri, (Doenges, 2000)

e. Personal Hygiene : Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada
bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.

f. Riwayat Psikologis : Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas, selain itu dapat juga terjadi
ganggguan konsep diri body image, psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit.

g. Riwayat Spiritual : Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti

h. Riwayat Sosial : Adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien dapat juga menarik
diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna

i. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan dikumpulkan,
pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala sampai kejari kaki.

3. Inspeksi : Pengamatan lokasi pembengkakan, kulit pucat, laserasi, kemerahan mungkin timbul pada
area terjadinya faktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.

4. Palpasi : Pemeriksaan dengan perabaan, penolakan otot oleh sentuhan kita adalah nyeri tekan,
lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di
daerah luka insisi.

5. Perkusi : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.

6. Auskultasi ; Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur berongga atau
cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien fraktur pemeriksaan ini pada areal yang
sakit jarang dilakukan, (Brunner & Suddarth, 2002)

3.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien pasca operasi ortopedi adalah sebagai berikut.

1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.

2. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat,
gangguan peredaran darah.

3. Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian.


4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan,
adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips).

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive.

3.3 Rencana Keperawatan

Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti berikut :

1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.

Tujuan nyeri berkurang atau hilang dengan

Kriteria Hasil :

1. Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang

2. Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan ketidaknyamanan.

3. Bergerak dengan lebih nyaman

Intervensi :

a. Lakukan pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri.

R/ Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya.

b. Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot.

R/ Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri

c. Tinggikan ekstremitas yang sakit.

R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri.

d. Berikan kompres dingin (es).

R/ Menurunkan edema dan pembentukan hematom

e. Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin.

R/ Menghilangkan atau mengurangi nyeri secara non farmakologis

2. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat,
gangguan peredaran darah.

Tujuan tidak terjadi kerusakan / pembengkakan

Kriteria hasil :
1. Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat:

2. Warna kulit normal dan hangat.

3. Respons pengisian kapiler normal (crt 3 detik).

Intervensi :

a. Kaji status neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri, edema,
parestesi, gerakan).

R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya

b. Tinggikan ekstremitas yang sakit.

R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri

c. Balutan yang ketat harus dilonggarkan.

R/ Untuk memperlancar peredaran darah.

d. Anjurkan klien untuk melakukan pengeseran otot, latihan pergelangan kaki, dan "pemompaan"
betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah.

R/ Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar peredaran darah

3. Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian

Tujuan pasien mampu melaksanakan tugas secara mandiri

Kriteria hasil :

1. Klien memperlihatkan upaya memperbaiki kesehatan.

2. Mengubah posisi sendiri untuk menghilangkan tekanan pada kulit.

3. Menjaga hidrasi yang adekuat.

Intervensi :

a. Bantu klien untuk merubah posisi setiap 2 jam.

R/ Untuk mencegah tekanan pada kulit sehingga terhindar pada luka decubitus.

b. Lakukan perawatan kulit, lakukan pemijatan dan minimalkan tekanan pada penonjolan tulang.

R/ Untuk menjaga kulit tetap elastic dan hidrasi yang baik.


c. Kolaborasi kepada tim gizi; pemberian menu seimbang dan pembatasan susu.

R/ Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan,


adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips)

Tujuan pasien mampu melakukan mobilisasi sesuai terapi yang diberikan

Kriteria hasil :

1. Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik.

2. Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk.

3. Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran

Intervensi :

a. Bantu klien menggerakkan bagian cedera dengan tetap memberikan sokongan yang adekuat.

R/ Agar dapat membantu mobilitas secara bertahap

b. Ekstremitas ditinggikan dan disokong dengan bantal.

R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri

c. Nyeri dikontrol dengan bidai dan memberikan obat anti-nyeri sebelum digerakkan.

R/ Mengurangi nyeri sebelum latihan mobilitas

d. Ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda), dan anjurkan klien untuk
latihan.

R/ Alat bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan mobilisasi

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

Tujuan tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil : Tidak terjadi Infeksi

Intervensi :

a. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotik

R/ Untuk menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien


b. Pantau tanda-tanda vital

R/ Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi

c. Pantau luka operasi dan cairan yang keluar dari luka

R/ Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda infeksi dari luka.

d. Pantau adanya infeksi pada saluran kemih

R/ Retensi urine sering terjadi setelah pembedahan

3.4 Evaluasi

1. Nyeri berkurang sampai dengan hilang

2. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer

3. Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik

4. Dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.

5. Tidak terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price. 2001. Pathofisiologi Konsep Klinisk Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. FKUI.

Muttaqin, Arif. 2005. Ringkasan Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal.
Edisi 1.
Jaelani.Ners di 23.11

Berbagi

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Beranda

Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

S-ar putea să vă placă și