Sunteți pe pagina 1din 32

MAKALAH LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 3

MODUL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS

Disusun oleh :

Kelompok 2

Nurhidayatul Mu’alimah 11141040000009

Iin Silawati 11141040000012

Shova Maudina 11141040000015

Alfi Dzakiyatid D 11141040000024

Anis Sanjaya 11141040000025

Khoir Nikmatu Zulfa 11141040000028

Lia Kamaliah 11141040000035

Yessica Putriandeta 11141040000037

Puspita Sari 11141040000040

Dita Retno Wulandari 11141040000041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

SEPTEMBER/ 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan kuasa-Nya kami mampu menyelesaikan laporan makalah Diskusi Kelompok pemicu
3 mengenai hipertensi, Stroke hemoragik, pneumonia, dan craniotomi cyto Makalah ini
dibuat agar dapat menambah pengetahuan pembaca tentang hal-hal yang terkait
dengannya.

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi pembaca dalam
memperdalam atau menambah wawasan dan pengetahuan tentang hipertensi, Stroke
hemoragik, pneumonia, dan craniotomi cyto . Jika terdapat kata maupun penulisan yang
salah, kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar
makalah selanjutnya dapat kami kerjakan lebih baik lagi.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I.....................................................................................................................................3

PENDAHULUAN....................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang............................................................................................................3

1.3 Tujuan.........................................................................................................................4

BAB II....................................................................................................................................5

ISI..........................................................................................................................................5

2.1. Patofisiologi hipertensi dengan stroke hemoragik....................................................5

2.2. Tatalaksana stroke hemoragik...................................................................................9

2.3. Patofisiologi pneumonia..........................................................................................15

2.4. Tatalaksana pneumonia..........................................................................................16

2.5. Prosedur kraniotomi................................................................................................18

2.6. Farmakologi pada kasus..........................................................................................20

2.7. Intruksi knock down...............................................................................................24

 Knock Down............................................................................................................24

2.8. Dioagnosa keperawatan pada kasus diatas.............................................................26

BAB III.................................................................................................................................31

PENUTUP............................................................................................................................31

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................32

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

John, seorang laki-laki berusia 55 ke IGD tgl 7 april 2015 pkl 10.00 dengan
kesadaran menurun sejak 1 jam smrs, perkiraan BB 60 Kg, somnolen, GCS E2M3V2, TD
180/80 mmHg, N 123x/menit ireguler dan kuat, P 26x/menit, ngorok positif, kelemahan
ekstremitas kanan, pupil anisokor, hasil pemeriksaan penunjang Hb 15 g/dl, Hematokrit
%, eritrosit 8 juta, leukosit 13 ribu uL, trombosit 500 uL, GDS 150 mg/dL; SGOT 30 uL
SGPT 35 uL; ureum 35 mg/dL; creatinin 0,5 mg/dL, foto rongent dada : jantung normal,
paru kanan dan kiri bercak-bercak infiltrate, suspek pneumonia (CAP); CT Scan kepala :
perdarahan dan rencana operasi cito craniotomy.

Pada tanggal 7 April 2015 pkl 19.00 pasien masuk ke ICU dari kamar operasi dengan
kesadaran tidak dapat dinilai karena dalam pengaruh obat (DPO). Saat masuk ICU pasien
sudah terpasang ETT dengan bagging; TD 120/70 mmHg, N 100x/menit, saturasi perifer
98%; operasi berlangsung selama 3 jam. Instruksi post operasi knock down; terapi :
Fentanyl 2 mcg/KgBB/hari, resofol 4 mg/KgBB/jam, triofusin 1000 1L/24 jam, NaCl 0,9%
1 L/hari, parenteral 3x 200 cc susu, meropenem 2x 1gr (iv) Pasien mendapatkan 100%
oksigen dengan CMV

synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV) dengan di support assisted


spontaneous breathing (ASB), 5 cm H2O PEEP, a mandatory respiratory rate 12 x/menit
dan tidal volume (Vt) 700 mL (BB pasien 70 Kg). Hasil analisa gas darah pada tanggal 7
april 2015 pkl. 20.00 sebagai berikut: pH 7,355 ; Pa CO2 40 ; Pa O2 100; HCO3- 25
mmol/L; Base Excess (BE) +1

Pada hari tanggal 8 April 2015 pkl 16, sedasi tidak berubah namun ventilasi John
berubah menjadi SIMV , namun kosentrasi oksigennya dapat diturunkan ke 60 % (0,6 Fi
O2). Pada tanggal 9 april sedasi di stop dan kosentrasi oksigen inspirasi turun sampai 40

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


% (0,4 Fi O2). John sadar cepat setelah sedasi distop dan mulai dilakukan Weaning aktif.
Analisa Gas Darah (AGD), Strong ion difference (SID) 39,9 dan hasil laboratorium lainnya
sebgai berikut

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan patofisiologi hipertensi dengan stroke ?

2. Bagaimana tatalaksana stroke hemoragik ?

3. bagaimana patofisiologi pneumonia ?

4. Bagaimana tatalaksana pneumonia ?

5. Bagaimana prosedur kraniotomi ?

6. Bagaimana farmakologi pada kasus diatas ?

7. Bagaimana yang dimaksud dengan intruksi knock down ?

8. bagaimana dioagnosa keperawatan pada kasus diatas ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui hubungan patofisiologi hipertensi dengan stroke ?

2. Mengetahui tatalaksana stroke hemoragik ?

3. Mengetahui patofisiologi pneumonia ?

4. Mengetahui tatalaksana pneumonia ?

5. Mengetahui prosedur kraniotomi ?

6. Mengetahui farmakologi pada kasus diatas ?

7. Mengetahui yang dimaksud dengan intruksi knock down ?

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


8. Mengetahui dioagnosa keperawatan pada kasus diatas ?

BAB II

ISI

2.1. Patofisiologi hipertensi dengan stroke hemoragik


Stroke merupakan masalah kesehatan mayor yang menjadi penyebab kematian
ketiga serta salah satu penyebab disabilitas kronis (mcdonnel, 2006; goldstein, 2011).
Stroke dibagi 2 kelompok besar, yaitu stroke iskemik dan perdarahan. Stroke dengan
defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan
otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh
penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus,
menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh
darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau
perdarahan subrakhnoid.

Patologi stroke
a. Infark
Stroke infarct terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak
normalnya adalah 58 ml/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18
ml/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti
meskipun struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika
aliran darah ke otak turun sampai <10 ml/100 gram jaringan otak per menit, akan
terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel
membentuk daerah infark.
b. Perdarahan intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain
adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


c. Perdarahan subaraknoid
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan
arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau tumor.

Stroke hemoragik.
Perdarahan otak intraparenkim sering dijumpai daripada perdarahan subaraknoid (sah).
Perdarahan subaraknoid itu sendiri mungkin tidak memerlukan terapi pembedahan namun
beberapa penyebab dan komplikasi yang terjadi akibat sah tersebut membutuhkan
pembedahan. Aneurisma yang menyebabkan sah perlu disingkirkan dengan proses
clipping atau coiling. Malformasi vaskular mungkin membutuhkan pembedahan eksisi.
Hidrosefalus atau edema maligna akibat sah juga membutuhkan pembedahan.

Patofisiologi dan gejala klinis


Patofisiologi terjadinya stroke hemoragik dan gejala klinisnya berupa :
1. Patofisiologi berdasarkan penyebabnya :

a. Pendarahan intraserebral

Merupakan 10% dari seluruh kasus yang ada. Perdarahan intraserebri


ditandai oleh adaya perdarahan ke dalam parenkim otak akibat pecahnya arteri
penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superficial dan
berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa
anyaman kapiler.

Atherosklerosis yang terjadi dengan meningkatnya usia dan adanya


hipertensi kronik, maka sepanjang arteri penetrans ini terjadi aneurisma kecil –
kecil (mikroaneurisma) dengan diameter sekitar 1 mm disebut aneurismas
charcot-bouchard. Pada suatu saat aneurisma ini dapat pecah oleh tekanan
darah yang meningkat sehingga terjadilan perdarahan ke dalam parenkim otak.
Darah ini mendorong struktur otak dan merembes ke sekitarnya bahkan dapat
masuk ke dalam ventrikel atau ke ruangan subaraknoid yang akan bercampur
dengan cairan serebrospinal dan merangsang meningens.

Onset perdarahan intraserebri sangat mendadak, seringkali terjadi saat


beraktivitas dan disertai nyeri kepala berat, muntah dan penurunan kesadaran,
kadang-kadang juga disertai kejang. Distribusi umur biasanya pada usia

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


pertengahan sampai tua dan lebih sering dijumpai pada laki-laki. Hipertensi
memegang peranan penting sebagai penyebab lemahnya dinding pembuluh
darah dan pembentukan mikroaneurisma. Pada pasien nonhipertensi usia
lanjut, penyebab utama terjadinya perdarahan intraserebri adalah amiloid
angiopathy. Penyebab lainnya dapat berupa aneurisma, avm, angiopati
kavernosa, diskrasia darah, terapi antikoagulan, kokain, amfetamin, alkohol
dan tumor otak. Dari hasil anamnesa tidak dijumpai adanya riwayat tia.

Lokasi perdarahan umumnya terletak pada daerah ganglia basalis, pons,


serebelum dan thalamus. Perdarahan pada ganglia basalis sering meluas
hingga mengenai kapsula interna dan kadang-kadang rupture ke dalam
ventrikel lateral lalu menyebar melalui system ventrikuler ke dalam rongga
subarachnoid. Adanya perluasan intraventrikuler sering berakibat fatal.
Perdarahan pada lobus hemisfer serebri atau serebelum biasanya terbatas
dalam parenkim otak.

Apabila pasien dengan perdarahan intraserebri dapat bertahan hidup,


adanya darah dan jaringan nekrotik otak akan dibersihkan oleh fagosit.
Jaringan otak yang telah rusak sebagian digantikan pleh jaringan ikat, lia dan
pembuluh darah baru, yang meninggalkan rongga kecil yang terisi cairan.

Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran hematoma.


Karakteristiknya berupa sakit kepala, muntah-muntah dan kadang-kadang
kejang pada saat permulaan. Kesadaran dapat terganggu pada keadaan awal
dan menjadi jelas dalam waktu 24-48 jam pertama bila volume darah lebih
dari 50 cc. Karena jaringan otak terdorong, maka timbul gejala defisit
neurologik yang cepat menjadi berat dalam beberapa jam.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan css seperti air cucian daging


(xanthocrome) pada pungsi lumbal dan adanya perdarahan (hiperdens) pada ct
scan.

b. Pendarahan subarachnoid

Ditandai dengan perdarahan yang masuk ke dalam rongga subarachnoid.


Onsetnya sangat mendadak dan disertai nyeri kepala hebat, penurunan

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


kesadaran dan muntah. Distribusi umur penderita ini umumnya terjadi pada
usia muda dan lebih banyak pada wanita.

Pada 10-15% kasus penyebabnya tidak diketahui, umumnya akibat rupture


aneurisma, kadang-kadang juga karena pecahnya malformasi arterivenosa, dan
terapi antikoagulan. Aneurisma biasanya berlokasi di sirkulus willisi dan
percabangannya. Bila aneurisma pecah, darah segera mengisi ruang
subarakhnoid atau merembes ke dalam parenkim otak yang letaknya
berdekatan.

Gejala klinis perdarahan subarachnoid berupa sakit kepala kronik akibat


penekanan aneurisma yang besar terhadap organ sekitar, akibat pecahnya
aneurisma mendadak dirasakan sakit kepala hebat, muntah dan penurunan
kesadaran. Biasanya ditemukan rangsang meningen positif berupa kaku kuduk
akibat darah dalam likuor dan kernig’s sign, perdarahan subhialoid pada
funduskopi, css gross hemorrhagic pada pungsi lumbal dan ct scan
menunjukkan adanya darah dalam rongga subarachnoid. Komplikasi berupa
vasospasme dapat terjadi > 48 jam setelah onset dengan akibat terjadinya
infark otak dan deficit neurologik fokal. Perdarahan ulang kadang-kadang
terjadi dalam beberapa mingu setelah kejadian pertama. Angka kematian
cukup tinggi 30-70% dan tergantung beratnya penyakit pada saat pertama kali
muncul.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


Derajat pendarahan subaraknoid berdasarkan hunt dan hess :
 Derajat 0 : tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur

 Derajat 1 : sakit kepala ringan

 Derajat 2 : sakit kepala berat dengan tanda rangsang meningeal dan kemungkinan
adanya defisit saraf kranial

 Derajat 3 : kesadaran menurun dengan defisit fokal neurologi ringan

 Derajat 4 : stupor, hemiparesis sedang sampai berat, awal deserebrasi

 Derajat 5 : koma dalam, deserebrasi

Patofisiologi berdasarkan lokasi lesi vaskuler

A. Anterior circulation (sistem karotis)


Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala
disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau agnosia. Selain itu dapat
juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang.
B. Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala
disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks (jatuh tiba-tiba tanpa
penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan saraf otak, ataxia,
defisit sistem sensorimotorik kontralateral (hemiparese alternans). Selain itu dapat
juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang
tetapi tidak spesifik untuk stroke yang disebabkan sistem vertebrobasiler.

2.2. Tatalaksana stroke hemoragik


A. Evaluasi Cepat dan Diagnosis

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan
diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

1. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes, dan lain-lain).
2. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit
karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan
torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.1
3. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan
saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks,
koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah
NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of
evidence.

B. Terapi Umum

1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan:


 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP),
 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO,
Class V, GCP).
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


 Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
C).
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
C). Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi
oksigen(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).Intubasi ETT (Endo Tracheal
Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia
(p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk terjadi aspirasi.Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2
minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan
trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik:
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik
seperti glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk
memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan
nutrisi. Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada
Stroke Akut). Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik
berkisar 140 mmHg.
 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama
setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Bila
terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
 Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C).

C. Pemeriksaan Awal Fisik Umum

1. Tekanan darah
2. Pemeriksaan jantung
3. Pemeriksaan neurologi umum awal: Derajat kesadaran, Pemeriksaan pupil dan
okulomotor, Keparahan hemiparesis
4. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
5. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama
setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).1
6. Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami
penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


7. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
8. Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi :
 Tinggikan posisi kepala 200 - 300
 Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugula
 Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
 Hindari hipertermia
 Jaga normovolernia
 Osmoterapi atas indikasi: Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
 Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
 Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
 Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan
tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV,
Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium
yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengankenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai
alternative.
 Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada
kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).1
 Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
 Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan
efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan
hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

D. Penanganan Transformasi Hemoragik

Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik (AHA/ASA, Class
Ib, Level of evidence B).1 Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke
perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan
darah arterial secara hati-hati.

E. Pengendalian Kejang

1. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh fenitoin,
loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
2. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


3. Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
4. Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan
selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

F. Pengendalian Suhu Tubuh

1. Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi
penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
2. Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA Guideline) atau
37,5 oC (ESO Guideline).Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter
ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi
meningitis.Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA
Guideline).

G. Pemeriksaan Penunjang

1. EKG
2. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula darah,
analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
3. Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal
4. Pemeriksaan radiologi
 Foto rontgen dada
 CT Scan

Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat

1. Cairan
 Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan
vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
 Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
 Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500
ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat
Celcius pada penderita panas).
 Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan
diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
 Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


 Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.

2. Nutrisi

 Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
 Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi: Karbohidrat
30-40 % dari total kalori; Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55
%); Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
 Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
 Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
 Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan.
Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang
mendapat warfarin.

3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi

 Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan
kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C)
 Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas
kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of
evidence A).
 Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai kasur antidekubitus.
 Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
 Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin subkutan
5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level
of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu
diperhatikan. Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan,
penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah
thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).6

4. Penatalaksanaan Medis Lain

 Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa darah
>180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA,Class I,

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


Level of evidence C).Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia
berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-
20%.
 jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer
seperti benzodiazepine short acting atau propofol bias digunakan.
 Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
 Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
 Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien karena dapat
mempengaruhi TTIK.
 Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
 Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
 Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, Dupleks Carotid
Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan indikasi.
 Rehabilitasi.
 Edukasi.
 Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

2.3. Patofisiologi pneumonia


Pneumonia komuniti (community acquired pneumonia, CAP) adalah
pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan
rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada
pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007)

penyebab CAP terbanyak di ruang rawat inap yang didapat dari pemeriksaan
dahak adalah kuman gram negatif seperti Klebsiella pneumonia, Acinetobacter baumanii
dan Pseudomonas aeruginosa, sementara kuman gram positif hanya sedikit dijumpai
seperti Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.

Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit. Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai
cara:

a. Inhalasi langsung dari udara


b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
d. Penyebaran secara hematogen

Saluran napas bagian bawah di desain untuk melindungi diri secara efektif dari
invasi patogen. Infeksi akan terjadi apabila mekanisme proteksi terganggu. Cara yang
tersering menyebabkan infeksi saluran napas bawah adalah pada saat mikroorganisme
turut teraspirasi bersama sekret orofaring. Kadang dapat juga terjadi infeksi secara
hematogen dan akibat inhalasi dari droplet yang mengandung kuman. Ketika alveoli
terganggu oleh kuman yang mencapai parenkim paru, terjadi respon inflamasi lokal. Sel
inflamasi (sel darah putih, limfosit, monosit) dan cairan memasuki alveoli, yang
menyebabkan konsolidasi pada paru. Terjadi peningkatan jumlah mediator inflamasi yang
masuk ke sirkulasi darah sebagai respon sistemik yang dapat dijadikan sebagai gejala dan
tanda dari pneumonia.

2.4. Tatalaksana pneumonia


Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi 3 yaitu:
1.Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
e. Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
2. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatika
a. Pemberian terapi oksigen
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
d. Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
3. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat
simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
c. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


d. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

Infectious Disease Society Association / American Thoracic Society (IDSA/ATS) Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksaan Pneumonia Komunitas

Rawat Jalan
1.Kondisi sehat dan tidak Tanpa faktor modifikasi :
menggunakan antibiotik selama 3 Beta laktam atau beta laktam + anti beta laktamase
bulan :  Dengan faktor modifikasi : beta laktam + anti beta
A. Makrolide laktamase atau florokuinolon respirasi
B. Doxycycline Curiga pneumonia atipikal : makrolid baru
2. Adanya komorbiditas (roksitromisin, klaritromisin)
atau penggunaan antibiotik
3 bulan sebelumnya :
A.Florokuinolon respirasi
B.Beta laktam + makrolide atau
doxycyline sebagai pengganti
makrolide
apabila ditemukan adanya
resistens

Rawat Inap non Intensive Care Unit (ICU)

A. Floroquinolone respirasi Tanpa faktor modifikasi : beta laktam + anti betalaktamase


B. Beta laktam + makrolide dengan IV, atau Sefalosporin G2, G3 IV, atau florokuinolon
doxycyline sebagai alternatif dari respirasi IV
makrolide  Dengan faktor modifikasi Sefalosporin G2, G3 IV, atau
florokuinolon respirasi IV
 Curiga infeksi atipikal ditambah
makrolid baru

Rawat Inap ICU


Beta laktam ditambah Tidak ada faktor re siko pseudomonas :
antara azithromycin atau Sefalosporin IV non pseudomonas + makrolid baru atau
florokuinolone florokuinolon respirasi IV
 Curiga infeksi Pseudomonas:  Ada faktor resiko pseudomonas : Sefalosporin anti
A. Antipneumococcus pseudomonas IV atau karbapenem IV + florokuinolon anti
antipseudomonal beta laktam pseudomonas (siprofloksasin) IV atau aminoglikosi da IV
(piperaciliin  Curiga infeksi atipikal : sefalosporin anti pseudomonas

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


–tazobactam, cefepime, imipenem, IV atau karbapenem IV + aminoglikosida IV + makrolid
atau meropenem) ditambah antar baru atau florokuinolon respirasi IV
ciprofloxacin atau levofloxacin,
atau
B. Beta laktam + aminoglikosida
dan azithromycin, atau
C. Beta laktam + aminoglikosida
dan antipneumococcus
florokuinolone

2.5. Prosedur kraniotomi


Kraniotomi adalah tindakan pembukaan tengkorak untuk mendapatkan akses pada
struktur intracranial. (Smeltzer, 2013)

Tujuan:

1. Mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak


2. Meghilangkan tumor
3. Mengurangi TIK
4. Mengevakuasi bekuan darah
5. Mengotrol hemoragi (Smeltzer, 2013)

Indikasi:

 Lesi dengan desek ruang yang jelas, edema dengan ancaman terjadi herniasi
 Lesi intracranial dengan deficit neurologis, dengan disebabkan peningkatan TIK
karena pendarahan intracranial
 Hematoma dengan syarat:
- < 30 cc tidak signifikan dilakukan operasi
- > 30 cc kandidat baik untuk dilakukan craniotomy
- > 85 tidak memiliki prognosis yang baik jika dilakukan operasi (Muhidin,
2011)

Penatalksaan pre-op:

a. Terapi antikonvulsan (fenitol) untuk mengurangi kejang


b. Steroid (dexametason) untuk menguragi edema cerebral
c. Cairan dapat di batasi

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


d. Agen osmotic (manitol) dan diuretic (furosemide) dapat di berikan sebelum dan
selama oerasibila psein cenderung menahan air
e. Kateter urine tetap dipasang (Smeltzer, 2013)

Penatalksanaan post-op:

i. Jalur arteri dan jalur tekanan vena central (CVP) dpat dipasnag untuk memonitor
TD, dan ukur CVP
ii. Mengurangi edema cerebri:
- Pemberian manitol, menarik air secara bebas dari area otak dan diekskresikan
melalui diuresis
- Dexamethasone dibaerikan melalui IV setiap 6 jam selama 24-72 jam,
selanjutnya dosisnya dikurangi
iii. Meredakan nyeri dan mencegah kejang
- Asetaminofen jika suhu diatas 37,5 C
- Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam) pada pasien kraniotomi
supratentorial karena resiko peningkatan epilepsy
- Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang
teraupetik
- Fentanyl adalah analgesic narkotik kuat, onset durasi singkat, tidak
mengganggu pulih sadar dan tidak menyebbakan pelepasa histamine
iv. Memantau TIK
Kateter ventrikel disambungkan ke system drainase akstrasel. Kepatenan
diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang
v. Hemodinamik
Monitoring ketat TD, dan pertimbangkan titrasi antihipertensi, include beta bloker
atau kalsium channel blocker dapat menurunkan kerja simpatif yang berlebih.
vi. Ventilasi
Perbaiki ventilasi dengan peningkatan PCO2, penurunan PH, pantau AGD dan
CBF yang meningkat 3% untuk peningkatan PCO2
vii. Status neurologis
Pantau kondisi dan catat perkembangan
viii. Metabolisme
Nutrisi dan hidrasi harus diggencarkan, terutama glukoa karena bahan bakar
metabolism otak yang utama adalah glukosa.

2.6. Farmakologi pada kasus

Komposisi Fentanyl.

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


Indikasi Suplemen analgesik narkotik pada anestesi regional atau general.
Premedikasi 100 mcg IM 30-60 mnt sblm op. Tambahan pada anestesi
regional 50-100 mcg IM/IV lambat selama 1-2 mnt bila tambahan
analgesia diperlukan. Pasca op (ruang pemulihan) 50-100 mcg IM, dapat
Dosis diulangi dalam 1-2 jam bila perlu. Sbg analgesik tambahan terhadap
anestesi umum: Dosis rendah: 2 mcg/kg BB, Dosis sedang: 2-20 mcg/kg
BB; Dosis tinggi: 20-50 mcg/kg BB. Sbg zat anestesi: 50-100 mcg/kg
BB.
Depresi pernapasan. Cedera kepala. Alkoholisme akut. Serangan asma
Kontra Indikasi
akut. Intoleransi. Hamil, laktasi.
Usia lanjut & pasien lemah. Disfungsi hati & ginjal. Penyakit paru.
Perhatian Penurunan cadangan pernafasan. Anak < 2 tahun. Hipotiroidisme.
Hipertrofi prostat. Syok. Gangguan obstruksi usus. Penyakit KV.
Depresi nafas, kekakuan otot, hipotensi, bradikardia, laringospasme,
Efek Samping
mual & muntah. Menggigil, tidak bisa istirahat, halusinasi pasca op,
yang Mungkin
gejala ekstrapiramidal bila digunakan dengan trankuilizer seperti
Timbul
droperidol. Pergerakan mioklonik, pusing, apnea, reaksi alergi.
Neuroleptik, gas halogenik, obat yang menekan fungsi SSP, MAOI,
Interaksi Obat
barbiturat, benzodiazepin, ritonavir.
C: Studi pada binatang percobaan telah memperlihatkan adanya efek
samping pada janin (teratogenik atau embroisidal atau lainnya) dan tidak
ada studi terkontrol pada wanita, atau studi pada wanita dan binatang
percobaan tidak dapat dilakukan. Obat hanya boleh diberikan jika
besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap
Kategori janin.
Keamanan (jika digunakan dalam waktu lama/dosis tinggi pada akhir masa
Kehamilan kehamilan)
D: Ada bukti positif mengenai risiko pada janin manusia, tetapi manfaat
dari penggunaan obat ini pada wanita hamil dapat diterima meskipun
berisiko pada janin (misalnya jika obat diperlukan untuk mengatasi
situasi yang mengancam jiwa atau untuk penyakit serius dimana obat
yang lebih aman tidak dapat digunakan atau tidak efektif).

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


Komposisi Propofol.

Indikasi Induksi &amp; pemeliharaan anestesi umum; sedasi selama


perawatan intensif.

Dosis Induksi anestesi umum Dws < 55 thn Awal 40 mg bolus IV perlahan
dengan interval 10 detik; dosis normal 2-2.5 mg/kgBB; > 55 thn 1-1.5
mg/kgBB, anak > 8 thn 2.5 mg/kgBB bolus IV perlahan.
Pemeliharaan: dapat dengan infus kontinu atau bolus ulangan. Infus
kontinu Awal anestesi (10-20 mnt pertama) untuk bbrp pasien
kecepatan tinggi 8-10 mg/kgBB/jam. Namun biasanya anestesi
tercapai 4-6 mg/kgBB/jam (maks 12 mg/kgBB/jam). Inj bolus
ulangan 25-50 mg. Anak > 3 thn 9-15 mg/kgBB/hari. Sedasi pada
pasien ICUbolus 1-2 mg/kgBB diikuti dengan infus kontinu sesuai
kebutuhan.

Perhatian Insufisiensi jantung, pernafasan, ginjal, hati. Pasien hipovolemik &


dengan kondisi yang memburuk. Kelainan metabolisme lemak berat.
Epilepsi. Kehamilan & laktasi. Dpt mengganggu kemampuan
mengemudi atau menjalankan mesin.

Efek Samping Nyeri pada tempat suntikan, hipotensi, apneu, gerakan epilepsi,
yang Mungkin kejang, reaksi distonik, edema pulmonal, sakit kepala, mual, muntah,
Timbul henti jantung, perubahan warna urin, perubahan perilaku 5eksual.

Interaksi Obat Opiat menimbulkan depresi pernafasan.

Kategori B: Studi terhadap reproduksi pada binatang percobaan tidak


Keamanan memperlihatkan adanya risiko terhadap janin tetapi tidak ada studi
Kehamilan terkontrol yang dilakukan terhadap wanita hamil, atau studi terhadap
reproduksi binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping
(selain penurunan fertilitas) yang tidak dikonfirmasikan dalam studi
terkontrol pada wanita pada kehamilan trimester 1 (dan tidak ada
bukti risio pada trimester selanjutnya).

Fungsi
Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga terjadi kebocoran sel

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


bakteri dan bakteri lisis.

indikasi Diindikasikan untuk terapi infeksi berikut yang disebabkan oleh 1 atau
lebih bakteri yang sensitif terhadap meropenem.
Dewasa dan anak ≥ 50 kg BKategori B:
– Terapi pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi ginekologi, infeksi
kulit dan struktur kulit : 500 mg IV tiap 8 jam.
– Terapi pneumonia nosokomial, peritonitis, dugaan infeksi pada pasien
neutropenia dan septikemia : 1000 mg tiap 8 jam.

Dosis: – Meningitis : 2000 mg tiap 8 jam.

Anak ≥ 3 bulan:
– 10 – 20 mg/kg tiap 8 jam tergantung jenis dan tingkat keparahan
infeksi, kepekaan patogen dan kondisi pasien.

– Meningitis : 40 mg/kg tiap 8 jam.

Kontra Indikasi:
Hipersensitif terhadap carbapenem
Peringatan dan
Perhatian: Hanya untuk infeksi yang berat

– Lokal : inflamasi, reaksi pada tempat injeksi, flebitis/tromboflebitis,


nyeri, edema.
Efek Samping:
– Gastrointestinal : diare, nyeri abdomen, mual, muntah, kolitis,
pseudomembranosa

Per liter triofusin 500 (fruktosa 60g, glukosa 33g, xylitol 30g)
Komposisi: Per liter triofusin 1000 (fruktosa 120g, glukosa 66g, xylitol 60g)
Per liter triofusin 1600 (fruktosa 200g, glukosa 110g, xylitol 100g)
Triofusin 500: 50 ml/kgBB/hari
Dosis Triofusin 1000: 25 ml/kgBB/hari
Triofusin 1600: 15 ml/kgBB/hari

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


Larutan karbohidrat 40% mengandung fruktosa, dekstrosa dan xylitol
Farmakologi dengan rasio 2:1:1 dan diadaptasi sesuai kebutuhan metabolisme
pascatrauma/stres/sepsis.

Indikasi Memenuhi kebutuhan energi total dan parsial, serta elektrolit secara
parenteral
Gagal ginjal tanpa dialisis, hipersensitif, gangguan hati berat, gangguan
Kontraindikasi metabolisme protein, asidosis metabolik, hiperkalemia, dan
hipernitremia.
- Gangguan ginjal.
Peringatan dan
- Cek kadar gula darah secara berkala, khususnya pada pasien
Perhatian
diabetes.
Demam, nyeri pada tempat injeksi, trombosis vena, flebitis,
Efek Samping
ekstravasasi, dan hipervolemia.

2.7. Intruksi knock down

 Knock Down

Merupakan dimana aktivitas neuron diturunkan dan metabolisme direndahkan


dengan harapan bahwa kebutuhan energi relatif dapat dikurangi, vasokontriksi dan
penurunan aliran darah serebral sehingga tekanan intrakranial turun. Dengan mengurangi
aktivitas listrik di otak dan memperlaambat metabolisme otak, dapat meminimalkan
pembengkakakn dan peradangan otak. Pilihan lain untuk mengurangi pembengkakan otak
termasuk obat-obatan (diuretik/steroid). Mengeluarkan cairan berlebih dari dalam
tengkorak atau meningkatkan aliran darah dari otak.

Teknik ini untuk mendukung jalan napas dan memastikan bahwa tekanan darah,
denyut jantung dan kadar O2 dalam darah dipertahankan pada tingkat normal. Obat-obat
yang dibutuhkan biasanya propofol atau barbiturat yang diberikan melalui pompa infus.
Lamanya knock down tergantung pada penyakit pasien. Dalam beberapa kasus biasanya
elama beberapa hari sampai dua minggu. (Iskandar,J.2009)

 Weaning Ventilator Mekanik

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


INDIKASI PENYAPIHAN VENTILASI MEKANIK
Terdapat kriteria menurut (Hudac & Gallo, 1994) mengenai keputusan penyapihan
ventilasi mekanik pada pasien. Namun demikian tidak semua pasien yang memenuhi
kriteria tersebut mampu bertoleransi terhadap latihan nafas
Tabel 1. Indikasi Penyapihan Ventilasi Mekanik
No Kriteria
1 Proses penyakit yang menyebabkan pasien membutuhkan ventilator mekanik
sudah tertangani
2 - PaO2/FiO2> 200
- PEEP < 5
- FiO2< 0,5
- pH > 7,25
- Hb > 8 g%
3 Pasien sadar, dan afebril (suhu tubuh normal)
4 Fungsi jantung stabil:
- HR < 140/min
- Tidak terdapat iskemi otot jantung (myokardial Ischemia)
- Bebas dari obat-obatan vasopresor atau hanya menggunakan obat-obatan
inotropik dosis rendah

5 Fungsi paru stabil:


- Kapasitas vital 10-15 cc/kg
- Volume tidal 4-5 cc/kg
- Ventilasi menit 6-10l
- Frekuensi < 20 permenit
6 Kondisi selang ET/TT:
- Posisi diatas karina pada foto Rontgen
- Ukuran : diameter 8,5 mm
7 Terbebas dari asidosis respiratorik
8 Nutrisi :
- Kalori perhari 2000-2500 kal
- Waktu : 1 jam sebelum makan
9 Jalan Nafas :
- Sekresi : antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan (suction)
- Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid
- Posisi : duduk, semifowler
10 Obat-obatan :

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


- Agen sedatif : dihentikan lebih dari 24 jam
- Agen paralisis: dihentikan lebih dari 24 jam
11 Psikologi pasien
- Mempersiapkan kondisi emosi/psikologi pasien untuk tindakan penyapihan
(Kusuma & Atmaaya, 2011)
JENIS PENYAPIHAN
Berdasarkan lamanya waktu pelaksanaannya, penyapihan dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu penyapihan jangka pendek dan penyapihan jangka panjang.
a. Penyapihan Jangka Pendek : Penyapihan ini, hanya membutuhkan waktu
percobaan singkat, yaitu sekitar 20 menit sebelum ektubasi. Metode yang
digunakan dalam proses penyapihan jangka pendek adalah T-Piece dan
Intermitten Mandatory Ventilation.
b. Penyapihan Jangka Panjang : Waktu yang dibutuhkan untuk penyapihan lebih
lama, yakni 3-4 minggu karena berbagai permasalahan yang dihadapi. Metode
penyapihan yang digunakan meliputi: T-Piece, CPAP, SIMV, dan Pressure Support
Ventilation. Penyapihan pasien dengan metode Synchronized Intermitten
Mandatory Ventilation (SIMV) Persiapannya, sama dengan pada mode lain.
Kecepatan SIMV diturunkan perlahan. Hal ini memberikan kesempatan kepada
pasien untuk melatih otot pernafasan. Evaluasi yang cepat terhadap kemungkinan
hipoventilasi dan hiperkapnia merupakan hal yang sangat penting. Kemudian
volume tidal juga secara perlahan diturunkan sesuai dengan kemajuan pasien.
Pengawasan dilakukan dengan pemeriksaan AGD dan ventilasi pasien (Kusuma,
Atmajaya, 2011)

2.8. Dioagnosa keperawatan pada kasus diatas

RUANG IGD

PENURUNAN KAPASITAS ADAPTIF INTRAKRANIAL

Data Subjektif: Data Objektif:


- Pasien somnolen (GCS E2M3V2)
- Pupil anisokor
- N 123x/menit

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


- TD 180/80 mmHg
Diagnosa: Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial b.d Perdarahan Cedera
Kepala

Definisi: Mekanisme dinamika cairan intrakranial yang normalnya melakukan


kompensasi untuk meningkatkan volume intrakranial mengalami gangguan, yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) secara tidak merata dan
berespon terhadap berbagai stimuli yang berbahaya dan tidak berbahaya
Batasan karakteristik:
Uji respons tekanan volume yang beragam (pupil anisokor)

NOC: NIC:
a. Circulation Status a. Intrakranial Pressure (ICP)
b. Tissue Perfusion: Cerebral
Monitoring
Kriteria hasil: - Berikan informasi kepada keluarga
- Monitor tekanan perfusi serebral
 Mendemonstrasikan status sirkulasi - Catat respon pasien terhadap stimulasi
yang ditandai dengan: - Monitor tekanan intrakranial dan
- Tekanan sistol dan diastol dalam respon neurology terhadap aktivitas
rentang normal (120/80 mmHg) - Monitor jumlah drainage cairan
- Tidak ada ortostatik hipertensi cerebrospinal
- Tidak ada tanda-tanda - Monitor intake dan output cairan
peningkatan intrakranial - Kolaborasi pemberian
 Mendemonstrasikan kemampuan antibiotik
kognitif yang ditandai dengan: - Posisikan pasien pada semi fowler
- Berkomunikasi dengan jelas dan - Minimalkan stimulus dari lingkungan
b. Cerebral edema management
sesuai dengan kemampuan - Monitor tingkat kesadaran
- Menunjukkan perhatian, - Monitor status neurology
konsentrasi, dan orientasi - Monitor vital sign, CSF dan warnanya
- Memproses informasi - Monitor respiratory status: RR, irama,
- Membuka keputusan dengan kedalaman, PO2, PCO2, pH,
benar bikarbonat
 Menunjukkan sensori motorik kranial - Monitor kondisi pekerjaan dan
yang utuh: penurunan stimulus lingkungan
- Tingkat kesadaran membaik - Cegah valsava manouver
- Tidak ada gerakan involunter
RUANG ICU

GANGGUAN VENTILASI SPONTAN

Data Subjektif: Data Objektif:


- Pasien somnolen (GCS E2M3V2)
- TD 180/80 mmHg

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


- N 123x/menit
- P 26x/menit
- Ngorok positif
- Paru kanan dan kiri bercak infiltrate
- Suspek pneumonia
- Rencana operasis cito craniotomy
(diberikan anastesi total)
- Pasien terpasang ventilator mekanik
Diagnosa: Gangguan Ventilasi Spontan b.d Penurunan Kemampuan Otot
Pernapasan

Definisi: Penurunan cadangan energi yang mengakibatkan ketidakmampuan individu


untuk mempertahankan pernapasan yang adekuatv untuk menyokong kehidupan
Batasan karakteristik:
- Peningkatan laju metabolisme
- Peningkatan frekuensi jantung
Peningkatan gangguan otot aksesorius

NOC: NIC:
a. Respiratory Status: Airway Patency a. Mechanical Ventilation Management:
b. Mechanical Ventilation Weaning
Invasive
Response - Pastikan alarm ventilator aktif
- Konsultasikan dengan tenaga kesehatan
Kriteria hasil:
lainnya dalam pemilihan jenis ventilator
- Respon ventilasi mekanis: pertukaran
- Berikan agen pelumpuh otot, sedatif,
alveolar dan perfusi jaringan didukung
dan analgesic narkotik jika diperlukan
oleh ventilasi mekanik - Pantau adanya penurunan volume
- Status pernapasan dan pertukaran gas:
ekshalasi dan peningkatan tekanan
pertukaran CO2 atau O2 di alveolus
inspirasi pada pasien
untuk mempertahankan konsentrasi - Pantau kefektifan ventilasi mekanik
gas darah arteri dalam rentang normal pada kondisi fisiologis dan psikologis
- Status pernapasan ventilasi:
pasien
pergerakan udara keluar-masuk paru - Pantau adanya efek yang merugikan
adekuat dari ventilasi mekanik: infeksi,
- Tanda vital: tingkat suhu tubuh, nadi,
barotraumas, dan penurunan curah
pernapasan, tekanan darah dalam
jantung
rentang normal - Auskultasi suara napas, catat area
- Menerima nutrisi adekuat sebelum,
penurunan atau ketaidaan ventilasi dan
selama, dan setelah proses penyapihan
adanya suara napas tambahan
dan ventilator - Lakukan higiene mulut secara rutin
b. Monitoring Ventilatory Weaning

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


- Tentukan kesiapan klien untuk
dilakukan penyapihan (hemodinamika,
dll)
- Menitor prediksi kemampuan toleransi
adaptasi penyapihan
- Memastikan pasien terbebas dari infeksi
- Monitor dengan tenaga kesehatan lain
untuk pemenuhan status nutrisi
- Posisikan pasien dalam keadaan
nyaman untuk menggunakan otot
pernapasan
- Suction jika diperlukan
- Monitor tanda-tanda kelelahan otot
pernapasan

i Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis/ pemicu 3


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

John 55 tahun mengalami stroke hemoragik sehingga harus dilakukan


craniotomi. Seelum masuk keruah sakit pasien telah mengalami pneumonia yang
didapat dari komunitas.

33
DAFTAR PUSTAKA

Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta :


EGC
Rowles C.J and Moss,R (2007). Nursing Manajemen :Staff Nurse Job Satisfaction
And Managenent Style. WB Saunder Company. Philadelpia
Muttaqin, arif.2008. buku ajaran asuhan keperawatan pada gangguan sistem
pernapasan.jakarta: nuha medika

Kusuma, I & Atmajaya, U. (2011). Penyapihan Ventilasi Mekanik. Denpasar: Balai


Penerbitan Fakultas Kedokteran Unud
Iskandar,J.2009.Cedera Kepala.Jakarta: Gramedia
Mahdian. 2010. Stroke dan Bedah Saraf. Dari mitrakeluarga.com diakses tanggal
25 Oktober 2017 pukul 17.00 WIB

Smeltzer, Susanne. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Sudart vol 3. Jakarta : EGC

Jeremy, P.T., 2007, At Glance Sistem Respirasi, Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga
Medical Series, hal.
AHA/ASA Guideline. Guideline for the early management of adults with ischemic stroke. Stroke
2007; 38:1655-1711.
Ringleb PA et al. Guideline for Management of Ischemic Stroke and Transiengt Ischemic Attack
2008. The European Stroke Organization (ESO) Executive Committee and the ESO Writing
Committee.
Broderick J et al. Guideline for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in
Adults: 2007 Update. Stroke 2007, 38:2001-2023
Hart RG, Palacio S. Cardioembolic Stroke. http://www.emedicine.com/neuro/topic45.htm
Coull B.M, et al. anticoagulants and Antiplatelet Agents in Acute Ischemic Stroke. Report of the
Joint Stroke Guideline Development Committee of the American Academy of Neurology
and the American Stroke Association (a Division of the American Heart Association).
Stroke. 2002;33;1934-1942.
Adams, HP. Et al. emergent Use of Anticoagulation for Treatment of Patient With Ischemic
Stroke. Stroke. 2002;33:856-861.

33
Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke: Gejala Dan Penatalaksanaan Cdk 185/Vol.38
No.4/Mei-Juni. Rsup dr sardjito/ bagian ilmu penyakit saraf, Fakultas kedokteran
universitas gadjah mada, yogyakarta, indonesia

33

S-ar putea să vă placă și